05. Yang Terjadi
Ketika kami sampai di kantor desa, aku tak dibolehkan untuk ikut masuk bersama Ayah dan Ibu bertemu Gimmy. Padahal, aku hanya ingin mengatakan kalau kami akan selalu mengiriminya surat apa pun halangannya, bahwa kami akan selalu menunggu di rumah untuknya pulang. Tapi Tetua ternyata menolak keras. Akhirnya, aku memilih untuk kembali pulang.
Sekali lagi, Ibu memberi peringatan agar aku tak perlu ke perpustakaan dan cepat kembali ke rumah bersama adik-adik. Baiklah, aku akan berusaha untuk meredam rasa ingin tahu, untuk meredam segala pertanyaan yang sekarang benar-benar menghantui, dan aku tak bisa. Begitu melewati perpustakaan yang ruang dalamnya masih menyala karena lampu, aku tak bisa menahan kakiku untuk terus berjalan tak menghiraukannya.
Sekarang, di sinilah aku berada. Di dalam perpustakaan yang senyap bersama satu pustakawan cantik yang tertidur di mejanya.
Kesalahan yang aku perbuat lagi hari ini adalah; menentang perintah Ibu, berbohong. Sepertinya, jika Ibu di luar kendali dan tahu apa yang aku lakukan sekarang, aku akan dijadikan daging panggang esok pagi.
Melangkahkan kaki menuju lantai dua, kembali membaca judul-judul buku sejarah yang tersimpan di rak sewarna marun yang terdapat di pojok ruangan---tempatnya buku-buku berat, buku-buku dengan sampul keras, dan buku-buku dengan bahasa latin. Kebanyakan anak-anak akan menghindarinya, sebab, bahasa latin begitu sulit. Apalagi kami juga harus mengerti kata-kata yang tak pernah kami dengan sebelumnya.
Tak ada judul buku yang menarik, selain satu buku tebal dengan sampul yang memakai plastik. Judulnya adalah, "The Monsters". Di bagian sampul terdapat gambar makhluk unik, seperti judulnya, gambar-gambar ini dapat dikatakan sebagai monster. Makhluk dengan rupa aneh yang sebagian besar terdapat dalam mimpi buruk. Dilihat dari judulnya, sepertinya ini adalah buku fantasi. Kenapa ada dalam rak buku sejarah? Jika suatu hari aku kembali ke perpustakaan dan mendapat buku-buku di lain tempatnya, aku akan mengamuk.
Aku membukanya, isinya hanyalah gambar-gambar seram dengan nama beserta kelemahannya. Seperti Boggarts, Bokwus, Goblin, Leshy, dan masih banyak lagi. Rasanya ingin menyimpannya kembali, tapi mengingat Choir sangat suka menggambar, mungkin aku dapat meminjamnya? Buku ini menarik dan mengerikan, berharap Choir tak memikirkannya terlalu dalam sampai bermimpi buruk nantinya.
Kembali melirik rak buku, sepertinya aku akan mengambil buku-buku yang tak dipinjam oleh Ayah dan Ibu, atau oleh adik-adik. Seperti buku "Sejarah Kelima Desa 1000 Tahun Lalu". Lima desa yang dimaksud itu tentu saja desa kami; Cratirone, Half, Serenity, Bordash, dan Scoutteland. Aku belum membacanya, aku juga baru mempelajari sejarah sekitar dua sampai empat ratus tahun yang lalu. Seperti saat-saat desa kami mengalami musim kemarau panjang, penjajahan dengan desa lain, juga perang. Aku mengambilnya, kemudian melangkahkan kaki untuk turun ke lantai pertama.
Saat pandangan melirik rak buku khusus cerita anak, aku mendapati tulisan "The Little Mermaid" yang tergeletak di lantai bersama dua buku lain. Senyumku mengembang, mengingat apa yang kami bicarakan sebelum pergi ke aula.
Brak!
Aku menoleh ke belakang, terkejut melihat pintu perpustakaan rusak dan bau busuk tiba-tiba tercium begitu menyengat. Lantai kayu yang senantiasa mengkilap karena dipoles kain pel setiap pagi kini ternoda dengan warna merah tua, seperti selai stroberi di atas roti. Sayang, itu bukanlah selai stroberi seperti yang aku pikirkan.
Kraaak ....
Suara-suara dari pojok kanan tepat di bawah tangga menuju lantai dua terdengar seperti menekan kayu rapuh dengan keras. Sadar ada keanehan, aku melangkahkan kaki dengan cepat untuk mengecek apa yang terjadi. Setelah tahu, mataku membeliak nyaris bulat sempurna---mundur beberapa langkah ke belakang dan mengenai rak buku, membuatnya terjatuh---berserakan dan saling bertumpuk.
Apa yang kulihat adalah pustakawan yang dicekik oleh seseorang, tidak, hewan---aku tak dapat mengatakannya. Bentuk tubuhnya tak sempurna, membuatku tidak tahu sosok itu hewan atau manusia. Yang jelas pustakawan itu menyimpan satu jemari telunjuknya di mulut dan seolah berbisik mengatakan, pergi.
Aku panik, apalagi saat suara seseorang menggeram keras itu menggema. Sejurus kemudian, teriakan orang-orang mulai terdengar begitu memekikkan telinga. Aku melirik sekali lagi ke depan, makhluk itu sudah berlari cepat menuju ke arahku. Pustakawan terkulai di lantai, dia melempar buku dan mengenai kepala makhluk itu, kemudian mengambil kain pel---segera menusuk bagian kepalanya hingga menembus---membuat darahnya bercucuran.
"CEPAT PERGI!!"
Kakiku gemetar, tapi aku menurut dan segera keluar dari perpustakaan. Anehnya, malam ini terasa begitu dingin sampai membuatku bergidik. Lagi-lagi aku dibuat panik. Para ibu berlari menggendong bayi mereka yang masih tertidur, anak-anak juga berteriak ketakutan. Kepalaku tak henti-hentinya bertanya, ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku memeluk buku yang masih berada dalam genggaman dengan erat, kemudian, dengan segala ketakutan dan sekelumit keberanian aku ikut berlari---melawan arah orang-orang yang sedang berlarian menuju gerbang. Aku harus bertemu Ayah dan Ibu di kantor desa. Namun, belum setengah perjalanan aku lakukan, Ibu sudah lebih dulu berlari dengan mimik panik tertahan ke arahku.
"Grill, bawa adik-adik keluar dari rumah dan pergi dari sini." Ibu sampai di depanku kemudian mengatur napasnya yang masih menggebu-gebu. "Bawa baju hangat juga, jangan sampai tertinggal gerobak di gerbang. Mengerti? Ayah, Ibu dan Gimmy akan menyusul."
Aku terdiam. Ibu tampak gemetar sama seperti halnya aku. Di bagian wajahnya terdapat bercak merah yang kentara, dari matanya aku tak mendapatkan kejujuran. Dengan kata lain, Ibu menutupi sesuatu.
"Ibu, ada apa?" Aku mencoba bertanya. "Di perpustakaan----"
"Cepat, Grill. Ibu tahu kau bisa diandalkan."
Kami saling beradu pandang sejenak, meski ragu akhirnya aku mengangguk, mengeratkan pelukan buku-buku, segera berbalik arah dan berlari secepat mungkin menuju apartemen.
Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya, sesuatu yang buruk baru saja menimpa kami.
***
Segerombol manusia memenuhi tangga, menyesakkan dada karena saling menghimpit satu sama lain demi bisa turun dan keluar dari apartemen yang kecil ini. Raut wajah mereka panik dan semakin panik saat alarm dengan suara mengerikan itu terdengar. Alarm yang hanya dibunyikan saat desa berada dalam bahaya. Dalam buku sejarah yang kubaca, alarm ini terakhir kali dibunyikan dua abad yang lalu.
Aku yang sadar tak memiliki banyak waktu, memberanikan diri untuk masuk di antara mereka, menyempil, menaiki tangga agar sampai ke lantai delapan, lantai rumah kami.
Aku terdorong hingga mengenai tembok, terhenti beberapa saat sebab Pak Romy yang memiliki tubuh gempal tak dapat menahan bobot tubuhnya itu terjungkal, membuat orang-orang berteriak takut tertimpa. Ketika ada peluang, aku malah hampir terjatuh karena terlalu menekan pegangan tangga yang sudah rapuh.
Namun, usahaku tidak sia-sia. Begitu sampai aku segera mendobrak pintu, membuka pintu kamar dan membangunkan adik-adik. Tentu mereka bertanya-tanya. Tapi aku tak cukup waktu untuk menjelaskan pada mereka apa yang terjadi, karena sejujurnya aku pun tidak tahu ada apa. Aku hanya menyuruh mereka untuk bangun dan bersiap-siap; membawa tas selempang masing-masing, memakai jaket beserta jas hujan, dan membawa keperluan mereka yang sekiranya penting.
Setelah selesai, aku meminta mereka untuk berjanji tak akan terpisah dan tutup mulut sampai kami tiba di gerobak depan gerbang kemudian bertemu Ayah, Ibu juga Gimmy. Mereka setuju, lantas kami berlari cepat menuruni tangga yang sudah agak sepi, keluar menjauhi apartemen.
Orang-orang tergeletak tak sadarkan diri. Beberapa masih sanggup berlari dengan takut, kebanyakan menunduk dan bersembunyi. Kami masih berlari menuju gerbang, suara-suara aneh yang menggeram masih terdengar, tapi begitu jauh. Langit mulai merah, bintang-bintang tertutup awan, sejurus kemudian, gemercik hujan turun.
Kami sampai di gerbang yang sepi. Ke mana perginya orang-orang? Setahuku di gerbang terdapat sembilan gerobak besar dengan enam kuda setiap gerobaknya. Namun, di sini hanya ada enam, di mana tiga gerobak yang lain? Bahkan saat kami memilih untuk naik ke salah satu gerobak dan menunggu dalam senyap, tak ada satu orang pun yang datang atau pak kusir yang akan membawa kami pergi dari Cratirone.
"Sebenarnya ada apa, Grill? Kenapa orang-orang berlari dan terluka? Kenapa kita harus naik gerobak untuk anak-anak magang di gerbang malam hari?" tanya Teressa. Aku mengerti rasa ingin tahu Teressa, tapi aku tak dapat menjawabnya.
"Kita harus tetap di sini, menunggu yang lain."
"Kenapa? Di mana Ibu dan Ayah? Lalu ... Gimmy?" tanya Chloe, membuatku tak tahu harus menjawab apa.
"Grill ... ada apa? Kenapa kau terlihat seperti takut?" William melirikku dengan pandangan yang sulit untuk aku artikan.
Aku menggigit bibir bawah, mengepal kedua tangan dan hendak menjawab sebelum gerobak yang kami tumpangi sedikit bergerak miring---seperti diangkat oleh sesuatu yang kemudian ditempatkannya kembali seperti semula. Kami sempat menjerit, apalagi saat satu mata besar muncul di jendela belakang Choirul. Lantas, Choirul yang menyadarinya terdiam dengan mimik panik tertahan.
Seperti yang dilakukan pustakawan saat tadi, aku menyimpan satu jemari telunjuk tangan di depan bibir, mengisyaratkan agar Choirul tidak bersuara. Kami tegang, terjebak dalam hening yang mengerikan. Sampai kemudian mata besar itu menghilang dari balik jendela dan membuat kami mengembuskan napas lega.
Itu hanya sejenak, sebelum gerobak yang kami tumpangi dibalikkan hingga kami terjungkal, saling berteriak dan merasa sakit pada bagian tubuh. Seseorang menggeram hebat, kemudian terdengar banyak pasang kaki berlari mendekat ke tempat gerobak kami.
Saat aku melongok ke luar dari jendela gerobak yang masih terbalik, dari kejauhan dapat kulihat banyak sosok dengan tubuh besar berlarian menuju ke arah sini.
Saat itu juga kami sadar, bahwa gerobak ini tak aman. Bahwa kami akan terkepung oleh makhluk aneh yang tak kutahu makhluk apa mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro