Chapter 05
Pagi yang datang kembali untuk melanjutkan kisah kemarin yang sempat terhenti. Masih seperti pagi-pagi sebelumnya, terdengar kebisingan dari halaman rumah bangsawan Jang.
"Pukul lebih keras ... kau seorang pria, jangan selemah itu," ucap Kyung Woo dengan tangan kanan yang menggerakkan pedang kayu untuk menangkis serangan dari Siwoo yang tampak bersusah payah, namun sama sekali tak membuat sang kakak kuwalahan.
"Aku bilang lebih keras ... kau tidak tahu bagaimana caranya menggunakan pedangmu?"
Siwoo berhenti mengayunkan pedangnya dan mendengus. Rutinitas pagi bocah itu adalah menahan rasa kesalnya terhadap sang kakak. Jika Siwoo mewarisi sifat dari ibunya, maka Kyung Woo mewarisi sifat dari ayahnya. Namun terkadang mereka menunjukkan sifat yang diwarisi oleh kedua orang tua mereka.
Kyung Woo lantas menegur, "apa? Kenapa melihatku seperti itu? Matamu tidak terlalu lebar, tidak perlu melihatku seperti itu."
Siwoo tiba-tiba mengangkat pedangnya, membuat Kyung Woo salah sangka bahwa bocah itu akan kembali mengayunkan pedangnya. Di luar dugaan, Siwoo justru menggunakan pedang kayu di tangannya untuk menusuk kaki Kyung Woo dan membuat si sulung memekik kesakitan.
"Argh ... Ya! Kau sudah gila! Aish ..."
Kyung Woo membungkuk, memegangi kakinya yang terasa sakit. Dan saat itulah Siwoo mengambil kesempatan untuk balas dendam. Bocah itu berpindah ke belakang Kyung Woo dan segera memukuli sang kakak menggunakan pedang kayu di tangannya.
"Ya! Apa sedang kau lakukan?"
Kyung Woo segera menegakkan tubuhnya. Namun Siwoo semakin memukulinya dengan brutal.
"Jang Siwoo, hentikan itu!"
"Rasakan ini, rasakan ini!" seru Siwoo di sela pukulan yang ia berikan.
"Bocah ini!" geram Kyung Woo.
Kyung Woo ingin menghentikan Siwoo. Namun bocah itu berhenti memukulinya bahkan sebelum ia melakukan sesuatu.
"Eh?" Siwoo terkejut ketika tiba-tiba tubuhnya melayang.
Jang Sajung yang sebelumnya baru keluar dari rumah dan menyaksikan perkelahian kedua putranya lantas segera menengahi keduanya dengan mengangkat tubuh si bungsu dan membawanya ke samping tubuhnya. Melingkarkan tangannya pada perut bocah itu dan membawanya seperti membawa karung beras.
Sajung kemudian menegur, "pagi-pagi kenapa sudah ribut?"
Kyung Woo menunjuk Siwoo sembari berucap tak terima, "anak itu penyebabnya."
"Kenapa Kakak selalu menyalahkanku?" balas Siwoo tak terima.
"Kau yang menusuk kakiku dan memukuliku. Apakah itu salahku?"
"Tentu saja Kakak bersalah!"
Kyung Woo tak terima. "Kenapa aku?!"
"Kakak selalu membuatku kesal. Tidak pernah bersikap baik padaku."
Kyung Woo menatap tak percaya. "Ya! Hati-hati jika bicara. Jika aku tidak baik padamu, aku sudah mengusirmu dari kamarku."
Siwoo memberontak dan hampir membuat sang ayah menjatuhkannya.
"Itu juga kamarku!"
"Bukan. Ayah dan ibu memberikan kamar itu padaku."
Siwoo mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke samping kepala. Merasa sangat kesal terhadap sang kakak.
Si bungsu lantas memekik, "Ayah!"
Putri Yowon keluar dan berdiri di teras. Hanya mampu menggelengkan kepalanya ketika melihat pertengkaran mulut kedua putranya. Sedangkan Sajung hanya bisa tersenyum lebar. Harus bagaimana lagi, begitulah kehidupan damai mereka.
~GORYEO SURVIVAL~
Meninggalkan keluarga kecilnya, Sajung kembali ke sisi Wang Geun untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang pengawal pribadi sang Raja. Memasuki ruang kerja Wang Geun, Sajung berpapasan dengan seorang kasim yang tengah membawa beberapa gulungan meninggalkan ruangan itu. Sajung kemudian berjalan menghampiri Wang Geun dan mendapatkan teguran dari sang Raja.
"Kau sudah datang?"
"Ya, Yang Mulia."
Wang Geun memberikan stempel kerajaan pada bagian sudut kertas yang berada di hadapannya lalu melipatnya setelah tinta di kertas itu mengering. Memasukkannya ke dalam aplop panjang, Wang Geun lantas mengarahkan pandangannya pada Kasim Hong yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.
"Kasim Hong."
"Ya, Yang Mulia?" Kasim Hong datang mendekat.
Wang Geun menyerahkan surat di tangannya pada kasim Hong. "Kirim utusan untuk pergi ke rumah Bangsawan Choi dan sampaikan surat ini padanya."
"Baik, Yang Mulia." Kasim Hong menerima surat tersebut.
Sebelum Kasim Hong beranjak, Sajung lebih dulu berbicara. "Jika Yang Mulia tidak keberatan. Biarkan hamba yang menyampaikan surat itu pada Bangsawan Choi."
"Tidak, kau tetap di sini. Aku memiliki urusan denganmu."
Kasim Hong lantas sedikit membungkukkan badannya untuk berpamitan. "Hamba mohon undur diri, Yang Mulia."
Kasim Hong pergi, membuat perhatian Wang Geun sepenuhnya mengarah pada Sajung.
"Duduklah, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu."
Sajung menarik sebuah kursi di samping meja dan mendudukinya. Tak begitu canggung karena keduanya sudah berteman sejak sebelum Wang Geun menjadi Raja.
"Hal apakah yang ingin Yang Mulia bicarakan dengan hamba?"
"Tentang rumor yang beredar dari Kuil Beopju."
Wajah Sajung terlihat lebih serius. "Apa yang terjadi?"
"Mereka sudah mengirimkan petisi untuk membubarkan seluruh aktvitas cenayang di dalam istana."
Pandangan Sajung teralihkan. Tak merasa terkejut karena sebelum ini rumor tentang hal itu sudah menyebar terlebih dulu. Para Biksu yang tinggal di Kuil Beopju yang terletak di kaki gunung Songni, meminta agar Wang Geun menutup praktek cenayang dan menyebutkan para cenayang sebagai sekte penganut aliran sesat setelah terdengar kabar bahwa terdapat seorang cenayang yang menguasai ilmu sihir hitam di dalam istana.
"Bagaimana menurutmu? Aku ingin mendengarkan pendapatmu mengenai hal ini."
Sajung mengembalikan pandangannya pada Wang Geun. "Hamba ragu untuk memberikan saran terhadap masalah ini jika itu berhubungan dengan Kuil Beopju ... para Raja sebelumnya memiliki hubungan baik dengan Kuil Beopju."
Wang Geun terlihat resah. "Haruskah praktek para cenayang dihentikan saja?"
"Hamba pikir hal itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Aktivitas para cenayang berada di bawah pengawasan Ibu Suri. Ibu Suri tidak akan membiarkan mereka dihilangkan begitu saja."
Wang Geun mengangguk beberapa kali, menyetujui pendapat Sajung. Terlebih lagi sang Raja sering berselisih paham dengan Ibu Suri yang merupakan Ratu dari Raja sebelumnya, sedangkan Wang Geun sendiri merupakan anak dari seorang Selir. Bisa dikatakan bahwa Wang Geun berhasil menjadi Raja setelah melakukan kudeta dengan membunuh Putra Mahkota yang tidak lain adalah kakaknya sendiri. Dan tentu saja hal itulah yang membuat hubungan antara Wang Geun dan Ibu Suri tidak pernah membaik.
Wang Geun bergumam, "kau benar. Ibu Suri pasti tidak akan menyetujuinya ... haruskah aku menemui mereka secara langsung?"
Batin Sajung tersentak. "Hamba rasa itu bukanlah keputusan yang baik, Yang Mulia ... beberapa kelompok pasti mengambil keuntungan dalam masalah ini. Jikapun memang ada yang harus pergi ke sana, maka biarkan hamba yang pergi ke sana."
"Tidak perlu. Untuk sekarang kita sisihkan masalah ini dan fokus pada hal lain."
Dahi Sajung mengernyit. "Hal lain apakah itu, Yang Mulia?"
"Festival musim semi. Kerajaan akan ikut meramaikan festival musim semi tahun ini sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang melimpah tahun ini."
"Yang Mulia akan membuka gerbang istana untuk rakyat?"
Dengan garis senyum di wajahnya, Wang Geun menjawab, "benar. Aku berencana membuat pesat rakyat di halaman istana."
"Tapi bukankah itu terlalu berbahaya, Yang Mulia?"
Senyum Wang Geun melebar. "Jangan berlebihan. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi ... dan untuk itu, bawalah Putri Yowon serta anak-anakmu kembali ke istana ..."
Batin Sajung kembali tersentak ketika apa yang paling ia takuti akhirnya terjadi.
"... kalian harus menetap di sini sampai festival musim semi selesai dilaksanakan."
Dengan sedikit gugup Sajung berucap, "hamba rasa Putri Yowon tidak akan bersedia, Yang Mulia."
"Jika dia tidak bersedia, maka aku sendiri yang akan datang menjemputnya."
Sajung memalingkan pandangannya. Terlihat begitu resah akan permintaan sederhana dari sang Raja.
Menyadari kegelisahan Sajung, Wang Geun lantas menegur, "ada apa? Apa kau memiliki masalah dengan hal itu?"
Sajung segera mengembalikan pandangannya pada Wang Geun. "Tidak, Yang Mulia. Hamba akan membujuk Putri Yowon agar bersedia kembali ke istana."
Senyum Wang Geun mengembang. "Syukurlah. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan para keponakanku ... kira-kira sudah sebesar apa Putri Gahyeon saat ini?"
Sajung terlihat tak nyaman. Bagaimana caranya ia menjadikan Siwoo sebagai Putri Gahyeon, di saat bocah itu belum bisa mengerti apa yang terjadi di sekitarnya. Jang Sajung merasa tertekan. Alih-alih mengkhawatirkan dirinya sendiri, dia lebih khawatir terhadap nasib putra bungsunya.
Selesai ditulis : 02.09.2020
Dipublikasikan : 03.03.2021
Sekilas info :
Jika terdapat kesalahan dalam penulisan nama, harap kalian menegur saya.
Seperti yang tertulis di atas, cerita ini ditulis sejak 2 September 2020. Dan saat itu cerita ini bersetting pada era Joseon bukannya Goryeo.
Dan karena saya memikirkan jalan cerita yang lebih serius, akhirnya saya memilih mengganti setting waktu cerita ini pada era Goryeo.
Sejauh ini saya sudah menulis sekitar 15 ribu kata dan karena perubahan setting waktu, cerita ini harus mengalami perombakan besar-besaran. Begitupun dengan semua nama pemain yang juga diubah.
Meski nama-nama di sini sangat asing dan sulit untuk diingat, mari kita sama-sama berusaha. Dan jangan heran jika nantinya ada kekeliruan dalam penulisan nama, itu terjadi karena saya kurang teliti.
Dan ini adalah cerita pertama saya yang mengambil setting waktu era kerajaan Goryeo, jadi mohon maaf jika tulisan saya masih sedikit kaku.
Bagi yang belum tahu, Goryeo adalah kerajaan sebelum Joseon.
Dan sebelum Goryeo berdiri, masih ada Silla, Baekje dan Goguryeo.
Lebih jelasnya silahkan cari di internet karena ada banyak orang yang menulis tentang pembahasan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro