Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Kegugupan

Kesialan ini terlalu bertubi-tubi.

Isvara merasa tercekik. Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang, dia benar-benar tidak berkutik.

Baru sekarang Isvara memikirkannya, hal-hal buruk yang dialaminya terlalu beruntun. Semuanya terjadi begitu terkonsep. Mendorong Isvara selangkah demi selangkah mundur.

Kecelakaan itu ....

Isvara memegangi kaki kanannya yang saat ini tidak berguna. Bibirnya terkatup rapat. Dia tidak pernah menyangka kalau kecelakaan yang menimpanya saat itu akan menjadi buatan tangan manusia.

Ini jelas-jelas direncanakan, terlebih ... kemungkinan pelakunya masih kakeknya sendiri.

Dia diberi uang asuransi, tapi pacarnya dalam sekejap mengkhianatinya. Pria itu melarikan diri dan mengambil hampir semua uangnya. Isvara tidak punya kemampuan, tapi secara 'kebetulan', kakeknya menemukannya. Dia meminta Isvara untuk datang ke Pulau Pengantin.

Tujuannya?

Isvara saat ini duduk di kursi rodanya, sendirian menatap pemandangan hijau yang asri pukul 9 pagi. Tatapannya terarah lurus pada sebuah pohon besar di kejauhan. Tempat di mana Isvara melihat sosok pria yang berdiri di sana saat malam hujan.

"Kegembiraan warga kampung nyambut kedatangan aku terlalu nggak biasa." Isvara bergumam pelan. Matanya menerawang kosong. "Kakek juga terlalu antusias. Mama dan Papa mungkin bukan kawin lari. Kalau sekadar nggak direstui, harusnya mereka nggak tutup mulut soal Kakek sama sekali."

Tapi setiap kali mengingat kakeknya, jelas ekspresi orang tua Isvara pucat. Mereka tampak ketakutan dan gugup. Ini tidak seperti membicarakan ayah atau mertua, tapi ... seolah membahas sosok yang menakutkan.

Terlebih, Isvara dan orang tuanya selalu berpindah dari satu kota ke kota lain. Seolah menghindari kejaran seseorang.

"Aku ceroboh." Isvara memejamkan matanya rapat. Dia menghela napas berat. Saat ini, dia hanya bisa mencari jalan keluar. Dia  mencoba menenangkan diri, tidak terlalu takut dan gugup. Saat ini, selama dia tidak melanggar aturan, harusnya dia baik-baik saja.

Bahkan, walau 'sosok yang mengaku sebagai suaminya' ingin mengambil hidup Isvara, setidaknya tidak dalam waktu dekat.

Setelah cukup lama, perlahan Isvara membuka mata, dia terkejut melihat sosok yang sudah berjongkok di depannya.

"De-Deva?"

"Ah, saya bikin kamu kaget?" Deva tertawa ringan. Pria itu memasang ekspresi humor. "Saya melihat kamu melamun, jadi saya penasaran."

Isvara mengepalkan tangannya. Mencoba bersikap biasa, dia menjawab lembut, "Ya, ada banyak hal yang terjadi."

"Gelisah?"

"Mereka yang hidup selalu gelisah." Isvara tidak menyangkalnya. "Selalu ada satu atau dua hal penyebabnya. Terkadang lebih banyak dari yang bisa kita tangani. Kedamaian dan ketentraman itu hanya sekadar doa dan harapan. Mereka yang hidup nggak akan pernah bisa mengalami terutama dalam jangka panjang."

Mendengar kata-kata itu, senyuman di bibir Deva lebih halus. Dia berkata menenangkan, "Itu uniknya manusia."

Deva mengimbuhkan, "Khawatir dan cemas untuk hal-hal yang belum tentu terjadi, sama sekali nggak mengantisipasi terhadap hal-hal yang justru hampir selangkah mereka hadapi."

"Apa tujuan manusia terus berkembang biak? Dunia ini nggak sebaik dan seindah yang mereka pikirkan. Terkadang ... hidup menjadi salah satu kesalahan terbesar."

"Kamu nggak mau hidup?"

Isvara terdiam. Dia kali ini menatap Deva lurus, berkata tenang namun yakin, "Saya mau hidup."

Terlepas dari bagaimana situasinya, bahkan walau beberapa kali Isvara mengalami keputusasaan yang membuatnya ingin mati, Isvara masih ingin hidup. Baginya, walau kematian dijanjikan kedamaian, selama tidak ada orang mati yang kembali hidup dan membuktikannya, jalan setelah kematian masih tidak terprediksi.

Mati itu pasti.

Isvara mengerti, setiap mereka yang hidup akan mati.

Tapi, selama Isvara diberi waktu, bahkan walau sakit dan sulit ... dia masih akan bertahan hidup. Karena ... dia memiliki pengalaman dalam hidup ini, dia bisa memikirkan langkah demi langkah yang akan dia lakukan selama hidupnya. Selalu ada jalan dan cara untuk menghadapi setiap problematika.

Sebaliknya, jika Isvara mati ... tanpa pengalaman 'kematian' sama sekali, dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada jiwanya? Tubuhnya jelas akan dihancurkan, menjadi makanan cacing dan belatung di dalam kuburan.

Jadi ... Isvara masih ingin hidup.

Mendengar pernyataan Isvara, Deva terpana, dia lalu terkekeh kecil dan mengatakan, "Kamu bener-bener memiliki kepribadian yang positif." Deva berdiri. Dia bertanya, "Saya akan mengajak kamu pergi berkeliling di dekat sini? Kamu pasti bosan selalu di rumah Kakek kamu, kan?"

Mendengar pertanyaan Deva, Isvara langsung setuju. Bahkan walau kemungkinan keberhasilannya hanya 0,001%, Isvara masih harus mencoba melihat lingkungan di sekitarnya, berharap ada jalan baginya untuk melarikan diri di saat situasinya memburuk.

Jadi Isvara membiarkan Deva mendorong kursi rodanya. Mereka meninggalkan wilayah vila. Saat Isvara menoleh dan mendongak, dia melihat Irman menatapnya dari balkon lantai 2 rumah mereka. Ekspresinya tampak suram, namun dia masih tidak menghentikan Isvara.

"Sejujurnya ... Pulau Pengantin ini dirawat dengan baik." Isvara berkata dengan nada hangat. "Udaranya bersih, pemandangannya asri, pantainya juga cantik. Sayang banget saya nggak menghabiskan waktu terlalu lama di pantai kemarin. Saya suka bermain pasir."

"Kapan-kapan, saya akan membawa kamu pergi ke pantai."

"Saya berharap bisa melihat sunset di sana."

"Itu nggak mungkin."

Isvara mendongak, menatap Deva tidak mengerti.

"Jaraknya cukup jauh, kamu nggak boleh meninggalkan rumah mulai jam 7 malam." bibir Deva mengukir senyuman kosong. "Nanti kamu diculik."

"Diculik?" Isvara memasang ekspresi ingin tahu. Namun kedua tangannya mengepal. Dia jelas gugup, namun berusaha tetap terlihat tenang. "Siapa yang akan menculik?"

Kali ini Deva tidak mengatakan apa-apa. Membuat kegugupan Isvara semakin meningkat, punggungnya mulai berkeringat dingin.

Deva berkedip, lalu dia tertawa kecil, "Saya juga nggak tahu. Tapi itu aturannya. Orang-orang yang melanggar aturan selalu menghilang. Jadi nggak ada satu pun di antara mereka yang menjelaskan." 

Deva melihat sekelilingnya. Mereka menyusuri jalan aspal yang mulus dan lurus. Melewati rumah demi rumah yang dibangun sama persis. Bahkan ukuran tinggi pohon dan rerumputan yang menghiasi sekitar komplek itu terlihat persis. Membuat Isvara curiga kalau arsiteknya seorang yang mengidap OCD kronis.

"Terkadang, ketidaktahuan itu berkah." Deva mengusapi puncak kepala Isvara. "Ikuti saja aturannya."

"Mbak Isvara."

"Oh, ini Mbak Isvara."

"Mbak Isvara, halo."

Saat Isvara melewati beberapa orang yang sedang menyapu di depan halaman rumah mereka, orang-orang itu selalu menyapa Isvara dengan hangat. Senyuman di bibir mereka aneh, tatapan mereka penuh harapan dan pemujaan.

Isvara hanya bisa tersenyum susah payah, mengenyahkan perasaan tidak nyaman dan sejuta kecemasannya. Bersikap seolah dia tidak tahu apa-apa.

Isvara ... sebenarnya sudah menebak beberapa poin alasan dia diminta 'pulang' sekarang.

Pulau ini aneh. Tampak sangat spiritual dan penuh mitos. 

Alasan orang tuanya lari. Kakeknya bersikeras mengundangnya pulang. Ditambah ... dia tiba-tiba sudah menjadi istri dari sosok yang kemungkinan bukan manusia.

Tebakan Isvara, 99% dia yakin ... kalau dia dijadikan ... tumbal?

"Isvara ... kamu bener-bener orang yang cerdas." pujian Deva yang tiba-tiba mengejutkan keheningan Isvara. Isvara mendongak, menatapnya tidak mengerti.

Jelas bingung, "Maaf?"

"Saya selalu merasa  kamu itu orang yang sangat cerdas." Deva memuji tulus. "Itu tanpa sadar membuat saya ... setiap siang malam memikirkan  kamu."

Ah?

Pupil Isvara melebar. Kali ini dia lebih tidak paham.

Deva terkekeh, menutup mulut dengan punggung tangannya sambil berdehem. Dia tampak malu-malu, namun kedua manik gelapnya terlihat berbinar saat berbisik, "Saya ... berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan kamu. Ah, apa itu terlalu cepat?"

***

Update~

Mayanlah. 10 harian. Ngehehe.

Vote dulu.

Absen juga.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro