Part 8 : Old Friend
Shenshen_88
Present
Wenzhou Fanfiction
🌷 Happy Reading 🌷
Desas desus berdedar seperti asap dihembus angin. Gosip bahwa Wen Kexing telah kehilangan seluruh keberuntungannya telah memancing tawa sinis para penjudi di kedai Peach, bahkan mungkin menyebar ke seluruh desa.
Cerita bahkan ditambah-tambah secara keji, rumor tentang Wen Kexing yang tiba-tiba terlihat memiliki seorang partner misterius di rumahnya mulai menggaung berupa bisikan-bisikan berbumbu humor cabul.
Dalam waktu tidak sampai dua pekan, Wen Kexing telah berubah menjadi seorang pecundang paling ditertawakan tetapi masih juga banyak yang iri. Tentu saja, karena meskipun sudah di cap payah. Pemuda itu masih berkeliaran kesana kemari dengan gaya angkuh dan tawanya yang mengayun ringan dan penuh nada sarkastis.
Rupa tampan dan penampilannya masih cukup baik. Pemuda itu percaya bahwa kelak semua keberuntungannya dalam berjudi akan kembali. Jadi, dia tidak menyerah.
Siang itu Wen Kexing duduk di kedai teh sendirian. Beberapa hari terakhir telah memasuki musim gugur. Pemuda itu sedang menghadapi secangkir teh yang masih mengepul-ngepul. Di luar sana, pohon bunga Osmanthus mulai menggugurkan daunnya yang kekuningan.
Dia nyaris kehabisan uang, hal itu membuat kepalanya nyaris meledak.
Menyangga kening dengan telapak tangan, dia memejamkan mata dalam keheningan.
Tiba-tiba seseorang memukul kepalanya dengan sebatang ranting.
“Siapa?” dia meremas tangkai ranting itu dan menoleh.
Seorang pemuda di desa Suzaku yang dulu pernah akrab dengannya di masa kecil, Cao Weining, berdiri di belakangnya.
“Kau??” Wen Kexing melebarkan mata.
“Masih mengenaliku?” tanya Weining, pemuda itu hampir seusia dengan Wen Kexing.
Penampilannya sangat baik. Mengenakan baju putih panjang dengan ikat pinggang berwarna biru. Sebuah gantungan giok tersampir di pinggang menandakan dia berasal dari keluarga yang cukup lumayan.
“Tentu saja,” Wen Kexing terkekeh.
Weining duduk di depan kawan lamanya, memberi isyarat pada pelayan untuk menyajikan teh lagi.
“Weining, pinjami aku sedikit uang,” gumam Wen Kexing, mengulurkan tangannya.
Weining bengong.
Dia sudah lama tidak berjumpa dengan Wen Kexing karena sudah bertahun-tahun keluarganya pindah ke desa lain. Meski begitu, Weining sempat mendengar rumor kebiasaan bejudi Wen Kexing dan hidup urakannya semenjak kedua orang tuanya meninggal dan mewariskan kebangkrutan.
Weining menggaruk-garuk kepala. Orang di depannya ini sudah sering kalah judi dan masih berani meminjam uang?
Ingin sekali rasanya dia memukul kepala Wen Kexing dengan dahan pohon.
Wen Kexing memvoutkan bibirnya, dia meraih cangkir porselin berisi teh, meneguknya dengan kasar. Pemuda itu tersedak untuk sesaat.
“Kau sama sekali tidak bertanya kabarku setelah lama tidak bertemu. Malah meminjam uang, astaga..”
Weining geleng-geleng kepala.
Wen Kexing terbahak.
“Untuk apa bertanya, kau terlihat sangat sehat. Pakaianmu dari kain halus terbaik dan beraroma wangi kosmetik perempuan. Itu menandakan kabarmu sangat baik,” dia berkata sambil merentangkan tangannya.
Cao Weining merengut. Dia sudah tahu sifat angkuh dan acuh tak acuh Wen Kexing sejak lama, tetapi dia tidak menyangka semakin dewasa sifatnya semakin memburuk.
Pelayan datang menyajikan teh dan Weining mengeluarkan sekeping perak dari dompetnya.
“Dompetmu terlihat sangat penuh,” Wen Kexing mengerling licik.
Weining mendengus.
“Berapa banyak yang kamu perlukan?”
“Tidak banyak. Hanya sepuluh keping koin emas.”
Weining nyaris terlonjak dari duduknya.
“Untuk apa kamu menginginkan uang sebanyak itu?”
“Banyak?” Wen Kexing melotot.
“Bagiku jumlah itu tidak seberapa. Aku pernah memiliki satu kotak penuh koin emas,” sambungnya bangga.
“Lalu dimana uangmu sekarang?” tanya Weining, nadanya mendesak.
Wen Kexing menelan liur. Dia menyembunyikan kecemasan yang tiba-tiba merayapi hatinya dengan berpura-pura sibuk menuangkan teh.
“Semuanya habis di meja judi. Sialan! Ada apa denganku..? kenapa nasibku sial melulu,” Wen Kexing nyaris menggeram.
“Ha! Kau meminjam uang padaku untuk berjudi?” Weining mengerutkan mulutnya, ekspresinya tidak setuju.
Wen Kexing melirik sinis.
“Mau pinjami atau tidak?”
“Astaga..” Weining menarik nafas bimbang.
“Kudengar kau memang sering bermain judi dan berjalan kesana kemari menyombongkan diri. Sekarang kau bahkan mengakui ketidakberuntunganmu. Lalu kemana aku akan meminta pembayaran kembali?”
“Cihh! Kau sudah melupakan sifatku yang paling terpuji. Begini-begini juga, aku termasuk seorang pria bertanggungjwab. Aku pasti akan membayar semua utangku.”
Cao Weining masih merengut.
“Katakan yang sebenarnya, jika aku memberikanmu pinjaman, kau akan mempertaruhkan semuanya di meja judi?” selidik Weining.
Wen Kexing kembali menyeringai licik.
“Tentu saja, apalagi yang akan kulakukan?”
Weining mendesah berat. Kembali menggeleng-gelengkan kepala penuh kebingungan.
“Cepat berikan aku uang. Jangan berlagak miskin, percayalah aku akan membayar kembali beserta bunganya,” Wen Kexing berkata lagi, mulai tidak sabar.
“Teman macam apa kau ini..”
Weining menggerutu, tangannya bergerak ke balik baju mengambil dompetnya dan mengeluarkan sepuluh keping koin emas. Dompet itu nyaris kosong sekarang.
Terkekeh riang, Wen Kexing meraup kepingan berkilauan itu.
“Weining, kau benar-benar orang baik..” dia berujar di sela tawa.
Ekspresi wajahnya menjilat.
Cao Weining mendengus kesal tetapi tidak berdaya. Dirinya selalu saja tidak bisa bersikap tegas, terlebih di hadapan pemuda penuh siasat seperti Wen Kexing yang pandai bersilat lidah.
“Bulan depan kau harus bayar!” desisnya.
Wen Kexing masih tertawa riang.
“Jangan khawatir, kau akan mendapatkan kembali uangmu.”
Dengan melambaikan tangan, Wen Kexing memanggil pelayan kedai dan memesan beberapa jenis makanan.
“Jadi, mari kita makan siang bersama untu merayakan pertemuan pertama kita setelah berpisah sekian lama.”
Cao Weining menatap curiga, firasatnya mengatakan bahwa pesanan kali ini juga harus dia yang bayar tagihannya.
Wen Kexing benar-benar pemeras.
“Sial..” gumam Weining, mulutnya terpilin.
“Apa yang kau katakan?” tukas Wen Kexing.
“Ah tidak, tidak. Ayo kita makan siang..” Weining tertawa kering.
Wen Kexing kembali tertawa ringan penuh kemenangan.
Keduanya menghabiskan waktu satu jam untuk menuntaskan makan siang yang beraneka ragam, dan Weining yang malang harus menahan diri untuk menanggapi semua omong kosong Wen Kexing tentang kehebatan dirinya dalam hal minum, berkelahi, dan bermain judi.
Pemuda tampan ini benar-benar bangga dengan kehidupan urakannya. Weining tak berhenti terpana sepanjang pembicaraan.
“Hidupmu benar-benar seru dan penuh warna. Sementara kehidupanku sangat datar dan membosankan,” ujar Cao Weining, dia mendorong piring kosong dan menyangga dagu dengan tangan.
Matanya sayu karena kekenyangan.
Wen Kexing meliriknya sekilas.
“Kau tinggal di mana sekarang?”
“Desa Yan Hui, sekitar sepuluh mil sebelah timur dari gerbang Suzaku, kau harus memutari sungai terlebih dahulu untuk tiba di sana.”
“Apa yang kau lakukan di sana?”
“Bertani, kau tahu keluargaku semuanya petani sayuran dan memiliki lahan yang luas.”
“Cih! Sombong,” Wen Kexing mengernyit sinis.
Weining terbahak.
“Kapan-kapan, berkunjunglah kesana,” ujarnya, lebih bersahabat.
“Kau tidak takut aku datang untuk meminjam uang lagi?” Wen Kexing mengerling licik.
Air muka Weining seketika berubah keruh.
Kali ini Wen Kexing yang tertawa.
Dia melihat keluar kedai, menyaksikan hari semakin merangkak siang. Matahari musim gugur mulai terhalang gumpalan awan dan sesekali cuaca nampak redup.
Wen Kexing memutuskan ini saatnya untuk pergi. Dia memanggil pelayan, memesan beberapa macam makanan lagi dan memintanya untuk dikemas dalam satu keranjang.
“Kau pesan makanan lagi?” tanya Weining.
“Untuk dibawa pulang. Jadi aku tidak perlu repot-repot lagi untuk makan malam. Tidak setiap hari aku berjumpa kawan dermawan sepertimu.”
Weining mengurut pelipisnya. Tagihannya semakin bertambah.
“Kau benar-benar licik,” dia menggerutu sebal.
Beberapa lama kemudian, pelayan mengantarkan satu keranjang berisi penuh makanan itu pada Wen Kexing.
Setelah berbasa-basi sejenak, dia mulai bersiap untuk pergi dan melemparkan senyuman yang menjengkelkan pada kawan lamanya yang sial itu.
Weining mengamati keranjang di tangan Wen Kexing dan memunculkan sebuah pertanyaan yang tak terduga.
“Jadi rumor itu benar?”
Wen Kexing menoleh cepat.
“Apa?”
“Kau memiliki seorang partner sekarang,” Weining memandang wajah kawannya.
“Kau sama sekali tidak mengungkit tentangnya selama pembicaraan. Itu artinya kau menutupi kabar itu.”
Wen Kexing mendecih.
“Kau tahu apa yang paling berbahaya? Itu rumor. Kau terlalu menanggapi serius gosip para pecundang di desa.”
“Jadi benar?”
“Apa yang ingin kau ketahui?” sembur Wen Kexing.
“Kau memiliki partner seorang pemuda. Itu yang kudengar. Karena wajah pemuda itu terlalu menarik perhatian, kau senantiasa menyembunyikannya di rumahmu. Makanan dalam keranjang itu, kau membelinya untuk dia bukan?”
“Lalu apa masalahmu? Dia hanya seseorang yang kutemukan tersesat di dekat gerbang desa. Karena aku sebatang kara sekarang, maka kuputuskan untuk mengangkatnya sebagai saudara.”
Weining tersenyum tipis.
“Aku sama sekali tidak masalah. Tapi menolong seseorang yang tak dikenal dan tidak menguntungkan buatmu, itu sama sekali bukan sifatmu. Katakan, apa ada sesuatu yang lebih dari itu?” Weining terlihat sedikit menggoda.
“Cihh! Omong kosong!”
Pikirannya kali ini benar-benar dikacaukan oleh Cao Weining, membuat Wen Kexing ingin segera meninggalkan tempat itu.
Weining ingin mengatakan suatu hal yang lain tapi Wen Kexing sudah berjalan cepat dan berlalu seperti angin.
“Dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih,” Weining meringis.
“Benar-benar sial..”
Pemuda itu menghela nafas panjang dan dalam.
~¤~¤~¤~
Hari ke tiga puluh lima
“Ah Xu, kalau aku belum pulang. Kau tidak boleh kemana-mana, tunggu saja aku di rumah! Mengerti!” ujar Wen Kexing.
Ah Xu, yang tengah duduk di kursi ruangan tengah melihat padanya dan tersenyum dengan wajahnya yang lugu.
“Baik. Aku akan menunggu Lao Wen pulang setiap malam.”
“Bagus kalau begitu,” sahut Wen Kexing datar.
Dia melirik sekilas pada Ah Xu.
“Kau tidak usah memikirkan atau melakukan apa pun. Kau juga tidak boleh sekali-kali mengikutiku. Di luar sangat berbahaya. Kali ini musuhku bertambah banyak.”
Wen kexing mengatakannya dengan sebal. Fakta bahwa kekalahannya yang terus menerus dan kesombongannya yang tak juga surut semakin membuat para pria di desa ini jengkel padanya dan berusaha memnacing-mancing masalah.
Beberapa malam kemudian, Ah Xu benar-benar mematuhi kata-kata Wen Kexing. Dia selalu menunggu Wen Kexing pulang dan tidak pernah tidur.
Persis seperti malam itu, saat bulan separuh memunculkan dirinya, Wen Kexing merasa sangat bosan dan gagasan untuk berjudi menggelitik hatinya.
Dia membongkar beberapa kotak di dalam lemari tua tempat dia pernah menyimpan keping-keping perak yang terlupakan karena terlalu sering menang berjudi.
Setelah mengambil uang dia berjalan pergi keluar rumah. Ah Xu hanya berdiri kaku di pintu. Tidak mengatakan apapun. Hanya memandangnya dengan tatapan aneh dan bingung.
Wen Kexing melenggang tanpa mempedulikan apa pun, aroma anggur favoritnya di kedai Peach serasa sudah memenuhi indra penciumannya.
Dia tersenyum diam-diam, sekilas menoleh kembali pada sosok Ah Xu yang semakin samar, terbingkai kaku di ambang pintu.
Seketika senyum licik Wen Kexing sirna perlahan-lahan. Melihat ekspresi Ah Xu, dan meninggalkannya dalam kesendirian, entah mengapa ada perasaan yang sulit dilukiskan dalam dirinya.
Wen Kexing tahu ini bukan pertama kali dia meninggalkan Ah Xu semalaman untuk pergi minum dan mengoceh bersama gadis-gadis tukang pijat yang mata duitan.
Tetapi kali ini dia merasakan sekelumit rasa kasihan dan juga bersalah.
Wen Kexing segera memutar tubuh dan bergegas meneruskan langkah. Pikirannya mengalir lebih cepat dibanding emosi dangkal di hatinya.
Begitulah seharusnya pola pikir laki-laki sejati, Wen Kexing membatin, menyeringai bangga.
“Cihh! Wen Kexing, kau tidak boleh cengeng!” dia bergumam tegas pada diri sendiri. Ujung alisnya sedikit terangkat ekspresinya kembali kaku dan tidak berubah.
Lewat tengah malam, Wen Kexing tersaruk-saruk pulang dengan raut wajah meringis-ringis efek sakit kepala karena terlalu banyak minum. Dia mencengkeram pegangan pintu, mendorongnya dengan keras. Cahaya lentera menyambutnya dari dalam, membuat sepasang matanya seketika menyipit.
“Selamat datang Lao Wen, kau sudah pulang..” ucapan Ah Xu bergema di ruangan yang hening.
“………??”
“Kau tampak sakit dan kesal, apa kau kalah judi lagi?” tanya Ah Xu menepuk bahu Wen Kexing yang sedikit membungkuk.
“Ah Xu, kenapa kau belum tidur?”
“Aku menunggumu,” Ah Xu tersenyum samar.
“Astaga..” Wen Kexing menutup wajah.
Perlahan-lahan Wen Kexing menurunkan tangan Ah Xu dari bahunya. Dia berjalan sempoyongan menuju kamar tidur.
Dhakk!
“Sialan!” Wen Kexing mengumpat murka, dia terlalu pusing sehingga pandangannya mengabur dan tidak bisa melihat daun pintu dengan jelas.
Dengan wajah merengut, dia mengelus-ngelus jidatnya yang terbentur pintu. Tawa merdu Ah Xu menggumam di belakangnya membuat Wen Kexing semakin kesal.
“Kau tidur saja, aku tak mau diganggu..” Wen Kexing berkata terpatah-patah.
Sebelum pemabuk tampan itu tersandung dan ambruk, Ah Xu segera membimbingnya menuju tempat tidur.
Setelah Wen Kexing berbaring nyaman, Ah Xu tidak segera beranjak dari sampingnya. Dia menatap Wen Kexing yang terpejam dengan gurat-gurat kesakitan terukir di wajahnya.
“Kepalaku..” dia menggumam, setengah mengeluh, setengah menggerutu.
“Aku akan ambilkan obat,” ujar Ah Xu.
Seketika Wen Kexing membuka mata, menatap nyalang pada Ah Xu.
“Apa kau tahu obat untuk sakit kepala?”
Ah Xu terlihat bingung, lalu dia mengerjap seakan baru teringat sesuatu.
“Ah, bagaimana jika aku memijat kepalamu dengan memakai minyak akar? Aku melihatnya di dalam mangkok di meja dekat dapur. Aromanya memang cukup menyengat.”
“…???”
Wen Kexing tercengang. Dia mengingat-ingat apakah memang memiliki minyak seperti itu. Dia memang pernah beberapa kali menggunakan minyak akar-akaran yang dia beli di toko obat. Katanya untuk pereda rasa nyeri.
Tapi itu sudah lama sekali, dia tidak yakin apakah minyak itu sekarang masih berupa minyak atau sudah jadi lapisan lilin jamuran.
Terlalu sakit untuk memikirkan hal-hal sepele. Wen Kexing mendesis malas.
“Terserahlah…” dia komat-kamit.
Dia mendengar Ah Xu beranjak dan keluar kamar kemudian kembali beberapa saat kemudian. Wen Kexing hanya memejamkan mata, tidak berbicara, diam-diam menikmati pijatan jemari Ah Xu di pelipisnya.
Tetapi dengan cepat Wen Kexing mengernyit, dia menciuma bau yang menyengat dan mulai tidak tahan.
Tangannya menjentik jemari Ah Xu, lantas menatap kosong.
“Minyak apa yang kau gunakan? Kenapa aromanya aneh begini?"
Ah Xu menatapnya bingung, lalu menunduk mengamati minyak dalam mangkok di tangannya.
“Apa aku salah ambil?” dia bergumam.
Wen Kexing mendengus.
Hal buruk apalagi ini? Dia merasa otaknya nyaris meledak.
“Sudah sudah! Jangan memijat lagi! Singkirkan minyak itu!” dia menggerutu. Kerutan di keningnya semakin dalam.
Ah Xu masih mengamati mangkok di tangannya, mencium aromanya dengan hati-hati.
“Mirip sekali dengan aroma di dalam lentera,” dia berkata dengan nada sederhana.
Wen Kexing berjengit, mendelik sesaat, kemudian menghembuskan nafas panjang.
“Astaga.. kau mengambil minyak tanah?” dia benar-benar ingin mengacak-ngacak seluruh ruangan saat itu juga saking jengkelnya. Tetapi tulang belulangnya lemas sekarang seperti ranting pohon. Jadi, Wen Kexing hanya bisa bersungut-sungut pelan.
Ah Xu tersenyum singkat. Dia menaruh minyak itu di atas sebuah meja di sisi lain ruangan.
“Ah, penerangan di belakang sangat lemah. Wajar jika aku salah,” dia berkata masih tanpa nada bersalah.
Wen Kexing sudah kehilangan seluruh omelannya. Dia hanya mengeluarkan suara ‘hmm’ yang singkat dan bernada galak.
Keheningan memanjang untuk beberapa lama, sampai suatu saat suara berderak menggema keras di langit luar sana.
Wen Kexing terperanjat sesaat, kemudian segera menyadari bahwa itu bunyi petir.
Ah Xu bahkan nyaris terlonjak. Dia menatap cemas ke luar jendela.
“Lao Wen, nampaknya akan turun hujan,” dia bergumam penuh rasa khawatir.
“Memangnya kenapa kalau mau hujan, hanya sekumpulan air. Kenapa kau begitu khawatir?” desis Wen Kexing masih dengan mata terpejam.
“Tapi aku takut petir,” Ah Xu menghampiri tempat tidur lagi.
“Jadi?”
“Aku ingin tidur di dekat Lao Wen,” ujarnya takut-takut.
Wen Kexing membuka mata dan seketika terbelalak.
“Apa katamu?”
Ah Xu mengabaikan ekspresi terkejut Wen Kexing dan mulai naik ke tempat tidur. Di luar sana petir kembali membahana. Tubuh dingin Ah Xu mengejang sesaat mendengar bunyi keras itu.
“Hai Ah Xu, kau tidak akan nyaman tidur dengan posisi begini, ayo pindah ke kamarmu,” Wen Kexing berdesis panik.
“Tidak apa-apa, hanya untuk malam ini saja. Semoga tidak sering turun hujan,” sahut Ah Xu bersikeras.
Kedengarannya sederhana saja, dua orang pria tidur bersama. Itu merupakan hal yang lumrah terutama pada saat-saat darurat. Tetapi bagi Wen Kexing lain lagi. Hatinya kebat kebit tak karuan. Fakta bahwa dia mencintai Ah Xu membuatnya takut dia akan memperlakukan pemuda itu tidak semestinya.
Akhirnya Wen Kexing hanya menatap langit-langit kamar, tidak bisa tidur sama sekali dan menikmati sakit kepala yang semakin mencengeram.
Dia melirik Ah Xu, pemuda itu tidur dengan cepat, meringkuk di atas lengan Wen Kexing seperti seorang anak kecil yang baik. Sementara di luar sana, bunyi tetes-tetes hujan semakin ramai, menerpa atap dan jendela.
Wen Kexing memasang wajah pokernya yang paling konyol, menghembuskan nafas keras berulang kali.
“Sialan, kenapa jadi begini?” bibirnya kembali komat kamit, merasa tak berdaya.
Jam-jam berlalu dan rasa kantuk belum juga menghampiri Wen Kexing. Pemuda itu memejamkan mata tetapi tidak tidur. Keheningan malam terasa menakutkan. Hujan mereda, hanya ada desau angin dan bunyi ayam hutan yang terkesiap di kejauhan.
Di saat jiwanya mulai melayang, mengalir bersama kantuk yang perlahan datang. Suara Ah Xu terdengar bergumam, perlahan memecah kesunyian, nampaknya di bermimpi, karena saat bicara matanya masih terpejam rapat.
“Aku ingin menjadi manusia..” Ah Xu berkata lirih, mengigau dalam mimpi indahnya.
Wen Kexing merasa detak jantungnya bertambah cepat. Dia membuka mata, melirik Ah Xu yang masih tidur dengan damai.
“Aku ingin menjadi manusia seperti Lao Wen,” Ah Xu mengigau lagi.
Tanpa sadar Wen Kexing tersenyum tipis. Dia menepuk nepuk kepala Ah Xu dengan lembut.
Sesaat hanya terdengar deru nafas keduanya yang teratur. Wen Kexing mencoba memejamkan mata kembali, tetapi ternyata Ah Xu belum berhenti mengigau.
“Jika aku sudah menjadi manusia, aku ingin menikah dengan Lao Wen..”
Wen Kexing terkesiap dalam hening, dia melirik Ah Xu sekali lagi. pemuda itu masih terpejam, tersenyum samar dalam tidur yang damai.
Mendengar kalimat itu, Wen Kexing merasa hatinya teriris.
Benarkah?
Apakah Ah Xu juga memiliki perasaan yang sama.
Wen Kexing hanya bisa memandangi wajah tampan Ah Xu yang bagaikan ilusi.
Berharap matahari yang murah hati datang lebih awal dan mengakhiri malam ini.
To be continued
Please vote if you like this chapter 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro