Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6 : I Can Hear Your Voice


🌷 Happy Reading 🌷

Wen Kexing berlari menuju sumber kegaduhan. Cahaya bulan dan lampion-lampion yang redup menerangi beberapa sosok pria yang berdiri mengelilingi seseorang.

Wen Kexing menginjak beberapa ranting kemudian terpikir untuk memungut sebatang dahan berukuran cukup besar yang terserak di dekat sebatang pohon.

“Hehh! Minggir! Minggir semua!” dia berteriak-teriak penuh kemarahan, mengayun-ngayunkan dahan pohon di tangannya ke arah orang-orang itu.

Tiga orang pria itu serentak mundur melihat gerakan Wen Kexing yang menyerang dengan kacau balau.

Saat sosok sosok itu bergeser, dia bisa melihat Ah Xu terduduk di rumput, Nampak kaku dan menyendiri. Meski tetap membisu, bisa dilihatnya wajah Ah Xu memucat dan bibirnya gemetar. Pemuda ajaib yang terbuat dari mayat itu menatap takut-takut pada Wen Kexing kemudian menunduk, entah apa yang dia pikirkan.

Wen Kexing mengatupkan giginya, dia mendelik pada para pria asing yang masih berdiri di situ.

“Heh! Lihat apa kalian? Pergi! Bubar sana!”

“Apa yang kau lakukan Wen Kexing?” salah seorang pria itu rupanya mengenal Wen Kexing, mencoba mendebat kemarahan pemuda yang tiba-tiba datang mengacau.

“Jangan sentuh pemuda itu! Dia milikku!” Wen Kexing menghardik keras, mengacungkan dahan pohon di tangannya untuk menakut-nakuti.

Para pria yang juga pemabuk itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka mengepalkan tinjunya dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang Wen Kexing.

“Apa-apaan kau? Menganggu kesenangan kami,” omel salah seorang pria.

“Aku tidak percaya, pemuda sebagus ini milikmu? Bukannya kau tak punya siapa-siapa?”

“Dia milikku! Kalian jangan berani mendekatinya! Pergi! Pergi sana hehh! Brengsek!!”

Kemarahan yang dilipatgandakan oleh pegaruh alkohol menguasai Wen Kexing sehingga pemuda itu berteriak kacau balau, menyabetkan dahan pohon kesana kemari.

Lengan salah seorang pria yang berada di situ tanpa sengaja bertabrakan dengan dahan pohon yang berubah menjadi bayang-bayang karena digerakkan dengan sangat cepat.

“Aduhh! Sialan kau Wen Kexing!”

Terdengar umpatan dan mereka serempak menjauh, masih dengan melontarkan tatapan kesal pada pemuda pemarah yang menggunakan dahan pohon sebagai pedang.

Sungguh aksi yang menggelikan.

Salah satu dari mereka cukup bijak untuk tidak terbawa emosi. Mendengar aura membunuh dalam suara Wen Kexing yang menusuk menembus angin malam, membuat mereka bergidik. Memutuskan untuk menghindari amukan lebih ganas dari pemuda itu, ketiganya akhirnya berbalik pergi.

Salah seorang yang sempat terkena pukulan dahan tiba-tiba berbalik dan mendorong bahu Wen Kexing sekuat tenaga.

“Dasar bodoh! Punya pelayan setampan itu jangan dibiarkan sendirian di luar!” pria itu membentak kesal kemudian segera menghambur pergi.

Tidak siap menerima dorongan yang dilakukan secara mendadak, Wen Kexing terjajar beberapa langkah hingga punggungnya membentur sebatang pohon. Telapak tangannya menahan untuk tidak jatuh dan tergores kulit batang pohon yang kasar, menciptakan beberapa lecet.

Dia meringis tetapi langsung berdiri tegak.

“Pemuda dungu!”

“Padahal kita hajar saja dia beramai-ramai..”

“Sudah! Sudah! Hanya seorang pemuda biasa, kenapa harus berkelahi?!"

Suara-suara itu semakin samar ketika sosok-sosok itu menjauh dan lenyap di ujung jalan.

Wen Kexing menghambur ke arah Ah Xu. Pemuda itu masih duduk di rumput, jemarinya terlihat bergetar. Wajahnya semakin pucat seperti tidak berdarah.

Wen Kexing berjongkok menyeimbangkan tinggi tubuhnya dengan Ah Xu, ragu-ragu, ia mengelus bahu pemuda yang membisu kaku itu.

“Kau pasti takut,” ujar Wen Kexing, berusaha terdengar ramah.

Kulit Ah Xu sedingin es, dan meskipun terhalang oleh lapisan pakaian, bisa dirasakannya hawa dingin mengalir ke telapak tangan Wen Kexing.

Pemuda tampan itu segera melepas jubah luarnya yang panjang, mengibaskannya untuk mengusir serangga malam yang mungkin menempel, kemudian menyelimuti bahu Ah Xu yang gemetaran.

“Harusnya kau berteriak minta tolong,” ujar Wen Kexing lagi, meski pun diucapkan dengan datar, masih terselip nada omelan dalam ucapannya.

“Aku harus bilang apa?”

Hahh!!

Ah Xu bicara.

“Aku harus bilang apa?”

Ah Xu berkata sambil menoleh pada Wen Kexing, wajahnya berpendar di bawah cahaya bulan dan pemuda tampan itu langsung terpesona.

Untuk pertama kalinya dia mendengar Ah Xu bicara. Suaranya sangat halus dan mengayun, bagai irama lonceng kecil yang indah bergema dari kejauhan.

Untuk sesaat Wen Kexing terpaku, dia berkedip-kedip lambat.

“Bilang saja ‘Lao Wen tolong aku’ !” ujar Wen Kexing mengatasi keterpanaannya.

Ah Xu menatapnya dalam-dalam, kali ini mata bening itu membersitkan sesuatu. Seperti ada rasa penasaran, ketertarikan, dan semacamnya.

“Namamu Lao Wen?” Ah Xu bersuara lagi, pelan dan lambat.

Wajah tampan Wen Kexing kembali berubah konyol, terbengong sessaat, dia baru teringat bahwa sejak awal ia tak pernah memperkenalkan dirinya.

“Namaku Wen Kexing,” untuk pertama kali, ia menyebutkan nama di depan Ah Xu.

“Panggil saja aku Lao Wen.”

Sepasang mata Ah Xu sekilas bersinar cerah, dia mengangguk samar.

Angin malam semakin terasa dingin menusuk. Wen Kexing menepuk lembut bahu Ah Xu, membantunya untuk berdiri.

“Sudah, ayo kita pulang. Di sini tidak aman..” dia melingkarkan lengan di bahu Ah Xu, meski terkesan melindungi pemuda itu, tetapi sebenarnya Wen Kexing juga setengah bertumpu pada tubuh Ah Xu karena dia pun cukup lemas dan pusing akibat terlalu banyak minum.

“Lain kali jangan mengikutiku,” dia berbisik di telinga Ah Xu, ujung hidungnya yang lancip tanpa sengaja menyentuh pipi Ah Xu yang halus dan sedingin marmer.

Terkejut, Ah Xu berpaling padanya, memandang dengan sorot mata aneh, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Sedetik kemudian, dia kembali melontarkan senyuman yang menawan.

Tanpa bisa dielakkan, Wen Kexing merasa dadanya berdesir dan hatinya berdebar tak karuan.

Sialan!

Dia mengutuk dalam hati

Ah Xu ini, aku semakin menyukainya. Bagaimana ini? Mana baru dua puluh  hari..

Sepanjang jalan menuju ke rumah, Wen Kexing tak henti-henti mengomel dalam hati, sementara dirasakannya tubuh Ah Xu semakin bersandar nyaman di bahunya.

Wen Kexing menghembuskan nafas keras-keras. Merasa kesal tanpa sebab.

Setan tengik itu! Apa tidak bisa lebih hebat? Kenapa harus menunggu seratus hari? Kenapa tidak sepuluh hari saja..!?

Pikiran-pikiran kotor berseliweran dalam benak Wen Kexing dan tidak kunjung mereda sampai ia jatuh tertidur karena pusing dan lelah.

Ah Xu terduduk di tepi tempat tidur tanpa berbicara. Perisiwa barusan melahirkan goresan ketakutan dalam jiwanya yang belum sempurna.

Memorinya belum terbentuk seperti manusia pada umumnya sehingga di depan matanya peristiwa tadi hanya berupa adegan samar-samar dan hanya ada ketidakjelasan. Tetapi dia merasakan kesan yang mendalam terhadap pemuda mabuk yang kini jatuh tertidur di depannya, mendengkur seperti babi.

Ah Xu tersenyum kecil, untungnya dia belum terbiasa dengan segala jenis emosi sehingga ekspresinya tidak mengungkapkan apapun.

~¤~¤~¤~

Saat peristiwa dikepungnya Ah Xu oleh tiga orang pemabuk itu, kejadiannya begitu cepat dan diluar kendali. Tepat ketika Wen Kexing terdorong dan membentur batang pohon, dia tidak menyadari bahwa sesuatu terjatuh dari balik pakaiannya.

Dikuasai kemarahan, rasa cemas terhadap Ah Xu dan juga kondisi pusing akibat mabuk, Wen Kexing tidak melihat kilau keemasan terlempar ke balik semak belukar.

Jika itu koin emas atau perak biasa yang sering di perolehnya di meja judi, bukanlah suatu masalah.

Ironisnya, benda yang terlempar ke balik semak itu adalah koin keberuntungan yang dia dapatkan dari kakek tua misterius.

Dengan jatuhnya koin itu, hanya dewa yang tahu apa yang akan terjadi pada nasib Wen Kexing. Jika seseorang mencoba mengubah peruntungannya, pasti akan ada harga yang harus dibayar.

Apakah dengan terus-menerus beruntung dalam perjudian, itu berarti menumpuk kesialan di belakang?

Pemuda mabuk itu sama sekali tidak tahu dan kini telah tenggelam dalam mimpinya. Karena terbiasa menang, keberadaan koin keberuntungan itu pun semakin lama semakin ia lupakan.

Seorang pengemis tua tersaruk-saruk di gelapnya malam. Dia terduduk lesu di bawah pohon tempat kejadian pengepungan Ah Xu, bersandar pada batang pohon.

Pengemis mengenaskan itu menangkap kilau keemasan di rerumputan, terhalang semak belukar. Matanya berbinar-binar, koin emas merupakan suatu benda langka dalam hidupnya. Penuh semangat ia menjulurkan tangan mengambil benda berharga itu, sambari dalam hati tak henti-henti berterima kasih kepada dewa.

Pengemis itu tidak tahu koin emas yang ditemukannya adalah koin keberuntungan seseorang. Dia sama sekali tidak peduli. Yang ada di pikirannya adalah dia bisa membeli makan dan minum.

Tertawa senang, pengemis itu bergumam.

“Lumayan… buat biaya makan sehari-hari..”

~¤~¤~¤~

Wen Kexing tidur nyenyak semalaman seperti orang mati dan keesokan harinya bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Dia mengomel-ngomel sambil memijat-mijat pelipisnya yang masih berdenyut-denyut sakit.

“Ah Xu, bisakah kau buatkan aku ramuan obat?” dia terhuyung-huyung bangkit dari tempat tidur.

Untuk beberapa lama ia duduk, meluruskan kaki dan setelah menguap berkali-kali dia berjalan keluar kamar menuju ruangan utama yang langsung berbatasan dengan halaman.

“Ah Xu..” dia berteriak lagi.

Pemuda manis dan lugu itu duduk di dekat ambang jendela, menikmati pemandangan tumbuhan sakura yang menggugurkan kelopaknya. Matanya berbinar-binar seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali menyaksikan pemandangan indah.

Wen Kexing nyaris mengumpat melihat Ah Xu bersantai sementara dirinya kusut masai tak karuan, pusing dan lapar.

Dia menyipitkan mata, mengamati ekspresi pemuda itu yang tersenyum-senyum sendiri menikmati keindahan pagi.

“Ah Xu!” dia memanggil.

Ah Xu menoleh sedikit terkejut, kemudian senyum manisnya terukir kembali.

“Lao Wen, kau sudah bangun..” suaranya semerdu tadi malam, dan Wen Kexing tertegun. Dia baru teringat kembali bahwa sekarang Ah Xu bisa bicara sperti kebanyakan orang, dan ia merasa takjub karenanya.

“Ehmm.. kepalaku sakit sekali, apakah kau bisa membuat ramuan obat?”

Ah Xu bengong sesaat, lantas menggeleng.

Wen Kexing menepuk kening, tolol, bagaimana mungkin Ah Xu tiba-tiba bisa membuat ramuan obat untuk sakit kepala dan sejenisnya. Kecuali dia titisan tabib sakti.

Dengan malas, Wen Kexing mengibaskan tangan.

“Sudahlah, kau tak mungkin bisa membuatnya. Aku ragu apa kau tahu nama-nama tanaman.”

Ah Xu mengatupkan bibir, ekspresinya berubah muram.

“Ahh begini saja, kau pergi ke toko obat dan belikan aku obat sakit kepala. Tokonya di ujung belokan sana, hanya seratus meter dari sini.”

Ah Xu tidak langsung menjawab, dia nampak mencerna semua perintah Wen Kexing. Melihat reaksi Ah Xu yang lambat, Wen Kexing kembali ragu-ragu, sejurus kemudian tiba-tiba kejadian tadi malam melintas kembali di ingatannya.

Dia bahkan masih bisa merasakan kejengkelannya sampai pagi ini. Kekhawatirannya terhadap Ah Xu perlahan muncul lagi.

“Sudahlah! Biar aku saja yang pergi..” dia bergumam, setengah mengomel.

Ah Xu hanya menatap bingung, dia mengamati Wen Kexing yang sempoyongan menuju kamar mandi.

Tak lama kemudian Wen Kexing bergegas keluar rumah, melintasi halaman setelah sebelumnya berpesan pada Ah Xu untuk tidak mengikuti dirinya.

Jalanan sudah ramai pagi ini seiring matahari yang semakin naik. Wen Kexing menuju toko obat dan membeli ramuan yang dia butuhkan tak lupa mampir ke sebuah rumah makan membeli beberapa jenis makanan untuk dibawanya pulang.

Dia sangat yakin Ah Xu juga belum makan sejak semalam.

Berjalan arogan seperti gayanya yang biasa, diam-diam Wen Kexing kembali mengutuk-ngutuk dalam hati saat dia berjalan pulang ke rumah sambil menjinjing tas makanan.

“Sialan, kenapa sekarang malah aku yang jadi pembantunya..” dia mendesah putus asa.

Setan gerbang Suzaku itu,
dia benar-benar tahu kelemahanku..

To be continued 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro