Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3 : The Devil

      ~¤~¤~ Happy Reading ~¤~¤~

Hari demi hari berganti, pekan pun berlalu. Wen Kexing tenggelam dalam kegemarannya minum-minum dan berjudi. Sesuai dengan ucapan pria bungkuk misterius itu, Wen Kexing tidak pernah kalah dalam berjudi siapa pun lawannya.

Dengan cepat kabar menyebar seperti asap, dia menjadi penjudi andal, semua orang mulai malas mengajaknya bertaruh karena entah bagaimana caranya, akan berakhir kemenangan di pihak Wen Kexing.

Rumor bermunculan seperti jamur di musim hujan. Beberapa orang menyangka Wen Kexing telah mempelajari trik-trik berjudi pada seorang master, sebagian menduga pemuda itu bermain curang yang sulit untuk diungkapkan, sisanya menyebarkan desas desus bahwa dia telah menjual jiwanya kepada siluman demi meraih semua keberuntungan.

"Si tampan sialan itu, entah setan apa yang membantunya," gerutu seorang pria yang sudah bangkrut karena kalah berturut-turut dalam serangkaian perjudian.

"Sepertinya dia sedang menghabiskan seluruh keberuntungannya, sehingga dia hanya akan mengalami kesialan di masa tua."

"Cihhh, sudah kaya begitu hasil berjudi. Bagaimana bisa sial. Kau lihat apa yang dia dapat, berkeping-keping logam emas, giok, batu permata."

"Kalau aku jadi dia, aku akan pensiun berjudi dan mendirikan usaha toko atau restoran," seorang temannya menimpali, sibuk menuangkan anggur ke dalam cangkir.

Kekehan sinis menyambut komentarnya, si kawan melontarkan lirikan tajam, "Berjudi itu ibarat candu. Kau akan sulit berhenti bahkan jika sudah memiliki segudang harta. Penjudi akan terus bertaruh sampai dia jatuh miskin."

Wen Kexing memejamkan mata, menyangga pelipis dengan tangannya yang tertumpu di meja. Dia sudah menghabiskan satu guci anggur selama dua jam duduk di kedai Peach. Tidak ada yang dikerjakannya selain minum dan pura-pura tidur.

Semua orang di ruangan itu tidak ada yang mau meladeni tantangannya untuk bermain judi. Hanya ada dua gadis penghibur yang terus menerus melontarkan kata pujian padanya sambil memijat-mijat bahunya dengan tangan-tangan mereka yang halus.

Sebenarnya pemuda itu mendengar celotehan para penjudi putus asa di beberapa meja yang berseberangan dengan meja tempatnya duduk sekarang. Tapi Wen Kexing tidak mempedulikannya. Tentu saja mereka semua iri padanya. Dirinya tampan, penjudi handal yang selalu beruntung, memiliki banyak uang, dan dikelilingi para gadis cantik.

Sebagai reaksi atas gunjingan para pengunjung kedai, Wen Kexing membuka mata, mengangkat wajahnya dan menghujamkan tatapan sedingin es pada orang-orang itu. Bola matanya berkilauan bagai mutiara laut hitam, menyiratkan keangkuhan. Sudut bibirnya terangkat, mencemooh. Lantas dengan selera humor yang sarkastis, dia bangkit dari duduknya dan berjalan melenggang menuju pintu keluar. Diabaikannya gadis-gadis penghibur itu setelah dia melemparkan beberapa keping koin emas.

"Membosankan. Tidak ada yang berani bertaruh denganku. Kalian para pecundang.." dia bergumam, memegang leher guci berisi anggur dan lenyap keluar kedai.

"Berjudilah dengan setan, Wen Kexing!" Salah seorang pria menyahut dengan nada ganas.

Di luar sana, tawa lantang Wen Kexing berkumandang.

~ • ~ • ~

Beberapa ratus meter ke sebelah timur desa, mengalir seruas sungai dengan aliran airnya yang menggumam sepanjang siang dan malam.

Suara langkah kaki bergesekan dengan permukaan tanah berbatu terdengar jelas diantara gemuruh aliran sungai.

Ekpresi Wen Kexing kosong. Dia tahu banyak warga desa yang suka luntang lantung berkeliaran tidak jelas dan terkadang membuat keonaran. Mungkin malam ini dia didekati oleh seseorang yang sama bosan dan frustasi seperti dirinya.

"Kau Wen Kexing?" suara parau serak dan jelek itu muncul dari belakang.

Wen Kexing meneguk lagi anggur di guci dengan marah. Pertanyaan macam apa itu? Pemuda setampan dirinya, bisa siapa lagi.

"Kudengar kau ahli berjudi dan tak pernah kalah," orang itu bicara lagi.
Ucapannya kali ini berhasil menggerakan leher malas Wen Kexing untuk menoleh.

Pemuda tampan itu melihat seorang kakek tua berjenggot dan beralis putih. Diterangi cahaya pucat bulan purnama mata kakek tua itu hitam gelap, mengingatkannya pada semua kegelapan yang mungkin terkumpul di malam hari, dan mungkin juga disana terkumpul semua keburukan.

Menyempurnakan prasangkanya, kakek tua itu tertawa licik.

"Malam ini festival hantu. Aku ingin menantangmu berjudi," ujar si kakek mantap.

Wen Kexing bertatapan dengan sepasang mata gelap itu dan pikirannya yang kacau dan kesal buyar seperti asap.

"Siapa kau?" tanyanya curiga.
"Kenapa lagi-lagi ada kakek tua jelek yang mengusikku.. sungguh sial!" dia menggerutu, melirik ke arah lain dengan acuh tak acuh.

Si kakek terkekeh, suaranya menggaung, mendirikan bulu roma.

"Semua jenis mahluk, manusia atau setan, laki-laki dan perempuan, tampaknya tertarik padamu."

"Benarkah? Aku tersanjung," Wen Kexing menyeringai.

"Sepanjang usiaku yang panjang, aku secara khusus datang untuk menantangmu."

Secara alami, Wen Ke Xing merasa tertarik dengan tantangan itu dan ingin segera menyetujui undangan berjudi si kakek. Tetapi dia menahan hasratnya sesaat, bagaimana pun ada sesuatu yang tidak biasa dalam diri orang itu.

Si kakek berpenampilan sangat sederhana dan ia berani taruhan kalau dia sangat miskin. Lalu, dengan apa si kakek akan bertaruh?

Tidak mungkin dia akan mempertaruhkan diri sendiri. Siapa yang tertarik memperbudak kakek tua jelek yang bisa mati kapan saja.

"Aku tidak melihat ada barang berharga yang kau miliki," sahut Wen Kexing.

Mata kakek itu hitam keabuan dan karena malam gelap, itu tidak kelihatan. Tetapi ada kilau aneh saat Wen Kexing menanyakan tentang barang berharga.

"Aku akan menunjukkannya saat kita mulai bermain," dia menyela diiringi seringai licik.

"Di mana kau ingin bermain?" Wen Kexing diburu rasa penasaran. Dia ingin segera memukul keras kakek tua sembrono di depannya.

Si kakek melirik dingin, terdengar tarikan nafasnya berat dan sesak.

Wen Kexing mengernyit jengkel. Jangan-jangan selain tua jelek nekad dan sembrono, kakek ini juga menderita penyakit asma.

"Di sini tempat yang sempurna, kita bisa bermain judi di bawah sinar bulan."

"Ah tidak tidak tidak!" Wen Kexing menampilkan ekpresi orang yang sariawan.

"Sungguh tidak sepadan, di bawah sinar bulan berduaan dengan kakek tua."

Si kakek tertawa parau.

"Bagaimana jika di gerbang Suzaku?" Kakek tua menyarankan.

Wen Kexing mendesah bosan. Dia menggeleng kuat-kuat.

"Sungguh tiada keperluan menempuh jarak jauh hanya untuk bermain judi. Kita harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai di gerbang desa."

Si kakek menyerah, dia menggaruk lehernya dan mengangkat bahu.

"Terserah kaulah anak muda."

Wen Kexing tertawa singkat. Merasa puas karena dia yang menentukan lokasi.

"Kita bermain di kedai Peach."

"Kedai Peach? Itu tempat kesukaanmu bukan?"

"Semua orang tahu itu. Aku penjudi handal. Kedai peach akan terbuka semalaman untukku."

"Aku juga handal, dan tidak pernah kalah berjudi. Baiklah! Ayo kita kesana."
Si kakek rupanya tidak mau kalah.

Wen Kexing melirik licik.
"Kau lihat. Aku bahkan sudah menang satu putaran. Kakek lemah, berani menantangku..." gumamnya seraya terkekeh.

Si kakek tua menggumam samar.

Sementara bulan semakin bergeser sedikit demi sedikit menuju ke puncaknya. Burung-burung malam mengepakkan sayap dan menghilang di balik pucuk pepohonan.

Keduanya mengambil posisi di sudut paling tenang dan terisolasi di kedai Peach. Tidak ada yang berani mengganggu mereka, selain karena malam itu tidak banyak pengunjung yang tersisa, mereka hanya melirik bosan pada Wen Kexing dan merasa kasihan pada kakek tua sial yang bertaruh dengannya.

Wen Kexing mulai memainkan dadu di telapak tangan tanpa melemparnya,  memasang senyum menawannya disertai tatapan mematikan.

Si kakek tua bukannya tidak tahu dia diremehkan. Tetapi memutuskan untuk bersikap tenang dan mengeluarkan kantong kain kecil, dengan gerakan ringan setengah melemparkan kantong itu yang membuat isinya separuh tercecer keluar.

Kalung dari batu giok, gelang emas, permata, dan kepingan logam emas.

Wen Kexing melebarkan mata, irisnya cemerlang oleh ketamakan.

"Tak kusangka, kau lumayan kaya juga, kek!" dia terkekeh, senang sekaligus terkejut.

Kakek tua melambai pada pelayan, memesan dua guci anggur terbaik. Dia duduk bersila, nampak bosan bahkan sebelum permainan dimulai.

"Ayo lempar dadunya, sebelum aku membatalkan taruhanku," dengus si kakek.

Wen Kexing terbahak. Tiba-tiba dia menjadi sangat bersemangat.

"Kau yang duluan menantangku, kenapa terlihat bosan?" usiknya, masih memainkan dadu di tangan.

Si kakek tua memutar bola mata dengan malas.
"Melihat reaksimu terhadap perhiasan itu, aku nyaris bisa melihat kekalahanmu."

Wen Kexing meleletkan ujung lidah ke bibirnya, menyeringai licik.

"Kakek tua, kesombonganmu lumayan juga.." dia terkekeh lagi, geli.

Detik berikutnya dengan gaya angkuh yang sudah menjadi ciri khas alami, dia melemparkan dadu.

Ganjil!

Genap!

Ganjil!

Genap!

Waktu terus merangkak, sudah hampir lewat tengah malam. Kedai Peach semakin sepi. Dua orang pelayan nyaris ketiduran, kepala terkulai di atas meja dan mendengkur dengan mulut terbuka.

Wen Kexing terus menang dalam permainan itu menjadikan si kakek tua semakin agresif.

"Sial! Kalah lagi! Wen Kexing, kau pasti bermain curang!" si kakek mengumpat-umpat jengkel.

"Terima saja kekalahanmu kakek tua!" Wen Kexing mulai mabuk dan sedikit pusing. Tapi naluri berjudinya masih tajam. Dia meraup semua perhiasan berharga yang tercecer di atas meja.

"Aku tidak mau kalah!" Si kakek mendengus keras.

"Hati-hati dengan asmamu, kek!" Wen Kexing tergelak.

Si kakek sudah kehilangan semuanya. Saat itu sudah lewat tengah malam dan tak ada siapapun di kedai peach selain dua orang pelayan yang ketiduran. Tiba-tiba si kakek mengerling licik, terlintas sebuah niat busuk dalam benaknya.

"Heh, Wen Kexing! Kau yakin masih bisa melanjutkan permainan ini?" dia bertanya setengah mendesis.

Wen Kexing menyeka anggur yang menetes dari sudut bibir dengan ujung lengan.

"Kenapa? Kau masih belum puas? Kulihat sudah tidak ada yang tersisa."

"Yah kau benar! Aku terus menerus kalah, kau pasti memainkan trik licik. Tapi, aku masih punya satu lagi benda berharga yang belum kupertaruhkan."

Wen Kexing menatap, beberapa saat dia tidak bicara, tetapi jelas ekspresinya tertarik.

"Apa itu?"

"Mahakaryaku," si kakek menyeringai seram.

"Cihh... Memangnya kau punya keahlian apa? Kau pemahat? Pembuat senjata? Apa yang bisa kau ciptakan?" Wen Kexing menggerutu bosan, dia mulai merasa si kakek hanya berusaha bersiasat, membuatnya lengah dan tidak terima kekalahan.

"Benda berharga yang kubuat dengan segala kekuatanku.." si kakek terkekeh parau, mata kelabunya bersinar aneh.

"Heh! Kakek tua gembel! Kau sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Akui saja kekalahanmu!"

"Belum!" Si kakek meninju meja.

Sejurus kemudian dia kembali memandang Wen Kexing, seringai licik kembali melintas di wajah tua keriputnya.

"Jangan bertele-tele! Katakan apa yang kau miliki untuk dipertaruhkan!" Wen Kexing membentak jengkel.

Senyum si kakek semakin menjengkelkan saat dia berbisik dramatis.

"Seorang pengantin..."

Wajah Wen Kexing yang terpilin efek minum anggur sontak berubah tegang, dia menyipitkan mata, menatap aneh seolah si kakek adalah orang gila yang sedang menceracaukan kegilaannya.

"Apa pengantin? Yang benar saja!" dengus Wen Kexing. Jelas sekali dia tidak tertarik.

Si kakek kehilangan antusiasme dengan cepat. Wajahnya tertekuk kesal.

"Kau tidak tertarik? Manusia tidak normal," bibir keriputnya komat kamit.

Wen Kexing menyangga keningnya, kepalanya mulai berdenyut lagi.

"Aku tidak ingin menikah, perempuan sangat merepotkan."

"Oh, jadi itu masalahnya. Bagaimana kalau aku memberimu taruhan pengantin laki-laki."

Wen Kexing terbatuk-batuk, dia memijat tenggorokannya, mengangkat wajah dan mulai mengumpat lagi.

"Apa rencanamu? Kenapa bersikeras ingin taruhan lagi?"

"Aku tidak pernah kalah seperti malam ini selama hidupku. Aku ingin mencoba sampai akhir. Mungkin kau akan kalah pada putaran kali ini."

"Jadi, kau ingin menipuku dengan memberikan seorang pengantin? Laki-laki pula! Astaga!"

"Kau bilang perempuan merepotkan. Jadi aku bisa mengubahnya menjadi laki-laki. Jangan khawatir, meski laki-laki, tapi dia sangat indah seperti perempuan," si kakek terkekeh, menemukan semangatnya kembali.

Benak Wen Kexing tergelitik. Dia merasa tertantang, bukan tentang pengantinnya, tetapi dia sangat penasaran sampai tahap mana keping emas keberuntungan yang ia miliki menunjukkan keajaibannya.

Dia menggebrak meja, membuat si kakek tersentak ke belakang.

"Baiklah! Ayo kita bertaruh untuk terakhir kali! Jadi kau bisa mati dengan damai!"

Si kakek tua tertawa parau dan kering, bahu kurusnya berguncang.

"Tapi dengan satu syarat," dia mengangkat telunjuknya.

"Bawel! Sudah mau bangkrut masih banyak gaya. Apa maumu?" Wen Kexing melirik kesal.

"Aku ingin bermain dengan menampakkan wujud asliku," bisik si kakek.

Wen Kexing menoleh perlahan, dia merasakan firasat buruk, matanya mulai diselimuti teror.
"Siapa kamu sebenarnya?" Suaranya tercekat, dirayapi ketegangan.

Si kakek menatapnya lama, lantas mata kelabunya semakin berkilau, wajahnya diselimuti asap gelap dan begitu asap memudar, sosok yang duduk di depannya telah berubah.

Wajah yang menakutkan. Memiliki tanduk runcing berbentuk aneh, taring berkilau karena ketajamannya yang tak terbayangkan.

Sebutir keringat jatuh di pelipis Wen Kexing. Dia menggerak-gerakkan bibir, mencoba menggumamkan sesuatu.

"Se -- setan..."

To be continued
Please vote if you like Wenzhou family 💞

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro