Part 20 : The Other Side of A Story
Helaian rambut Cheng Ling berkeliaran di sekitar wajahnya kala angin malam menyapa. Mendesis seraya mengibaskan tangan mengusir serangga kecil yang berdengung di telinganya, anak itu menunduk merenungi halaman berbatu kerikil kecil, rumput liar bertumbuhan di sela bebatuan.
Dalam hening, Cheng Ling masih belum bisa mengusir bayangan si kakek tua misterius yang meracuninya dengan kisah tak masuk akal.
Bulan semakin merangkak naik kala malam kian larut. Cheng Ling merapatkan lapisan baju, menyilangkan lengan di depan dada. Tak mempedulikan tubuh yang perlahan menggigil, Cheng Ling bertahan duduk di bangku kayu di halaman. Mendongak ke langit menatap bulan.
Sang penjudi tampan, Wen Kexing, mengintip dari jendela ke arah di mana Cheng Ling menikmati kesendirian.
Meski keadaan si anak nampak muram dan kedinginan, Wen Kexing tidak merasa kasihan. Dia malah menatap kesal menyaksikan tingkah Cheng Ling yang seakan mengundang penyakit.
"Cheng Ling! Sedang apa kau di luar? Masuk! Tubuhmu bisa sakit kedinginan."
Suaranya lantang memerintah, alis indahnya yang terukir bertaut melahirkan ekspresi garang.
Cheng Ling menoleh lambat-lambat. Mencibir ke arah sang paman.
Melihat tampang Cheng Ling yang seolah tak peduli, Wen Kexing seketika menjadi kesal.
"Hei, kenapa kau tak mendengar?!"
Namun Cheng Ling tak menganggap seruan itu. Menampilkan senyum penuh tanda tanya, dia berkata ragu-ragu.
"Paman Wen, jangan kesal dulu. Bisakah kita bicara tentang sesuatu?"
Suaranya mengalun pelan terbawa hembusan angin.
Wen Kexing mengangkat alis, selintas dia merasa ada yang berbeda dengan anak ini. Maka, dengan langkah terseret malas, dia membuka pintu, menuju halaman dimana Cheng Ling duduk.
"Cuaca dingin malam ini, membuatku tidak bisa berpikir jernih. Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau terlihat bingung?" Wen Kexing duduk di samping Cheng Ling, mendaratkan tepukan lembut di bahu sempit si anak.
"Jika ada suatu kejadian aneh menimpa di satu hari yang tak biasa, rasanya cukup sulit untuk mengabaikannya," Cheng Ling memulai pembicaraan, sempat merasa bingung untuk menyampaikan. Tetapi rasa penasaran terlalu mendesak, untuk kesekian kali, dan sekali lagi, mengharap penjelasan.
"Bicara apa kau ini? Ada kejadian aneh apa?" Wen Kexing bertanya, nadanya penuh curiga.
Cheng Ling tidak langsung menjawab, hanya menyunggingkan senyum tipis penuh teka teki. Dia malah melirik ke pintu rumah kemudian bertanya,
"Di mana paman Xu?"
Wen Kexing ikut melihat ke arah pintu. Nampak uap tipis mengalir lewat sela jendela samping, menciptakan pola samar tak beraturan dalam keremangan.
"Tadi sedang sibuk di depan tungku. Akhir-akhir ini minatnya tertarik pada pengobatan. Mungkin dia tengah merebus obat kuat. Siapa tahu?" Kekehan senada suara keledai mengalir lewat tenggorokannya. Wajah tampannya diselimuti ekspresi tidak jelas.
Astaga...
Cheng Ling nampaknya sudah bisa menduga arah pikiran sang paman yang tak pernah jernih, bagaikan anak sungai dilanda gelombang banjir. Deras, keruh dan berpasir.
Dengan cepat, Cheng Ling segera mengubah arah pembicaraan.
"Sore tadi, aku bertemu seseorang."
"Hmm -- siapa?" Wen Kexing sedikit tertarik.
"Seorang kakek misterius, dia duduk sendiri di kaki gerbang desa Suzaku dan memintaku menemaninya sebentar."
Kata gerbang Suzaku seolah membongkar sisa kenangan lama yang sudah hampir terhapus dalam ingatan Wen Kexing.
Dia merasakan satu sensasi yang sulit diungkapkan. Sebuah kisah yang mampu membangkitkan sisi nostalgia bahkan dalam diri pemuda sinting sepertinya.
"Pasti sangat menyebalkan harus bicara dengan kakek-kakek. Apakah dia sangat jelek?" Wen Kexing tidak berharap putra angkatnya akan mengalami kesialan langka yang sudah pernah menimpa di masa bertahun-tahun lalu.
"Ya. Sangat jelek. Wajahnya kusam keabuan, nyaris menakutkan. Dia menceritakan padaku sebuah kisah yang sama anehnya dengan kakek itu."
Wen Kexing menoleh, menelisik wajah Cheng Ling. Menatap lekat tepat ke dalam matanya seolah-olah di permukaan bening itu dia bisa melihat sisa bayangan samar kakek misterius yang diceritakan.
"Ha! Jangan-jangan setan tengik itu! Berani-beraninya dia!" Tangannya terkepal, sementara mulutnya komat-kamit meluncurkan beberapa makian.
"Siapa maksud paman?" Cheng Ling balas menatap polos.
"Setan tua tengik penunggu gerbang Suzaku."
Pucat merayapi wajah Cheng Ling. Jadi benar dugaannya, kakek tua kurang kerjaan itu memang setan.
"Kisah apa yang dia ceritakan padamu?"
Menelan liurnya, Cheng Ling melirik khawatir.
"Kisahmu dan paman Ah Xu."
"Ehh..??"
"Benar. Kakek itu bilang kau dan paman Ah Xu mati konyol pada suatu malam bulan purnama. Dan ia telah menyampaikan kisah itu pada banyak pengembara yang lewat di sana."
Wen Kexing tercengang untuk beberapa saat, sekelebat wajah tua pesakitan tetapi juga menyeramkan muncul samar dan perlahan dari belakang kepalanya yang sudah penuh menampung banyak kejadian.
Beberapa peristiwa lewat begitu saja. Sebagian tertinggal. Penuh kesan, manis atau pun pahit, jika memungkinkan, siapa pun orangnya pasti ingin menyembunyikan bahkan menghapus semua jejak ingatan buruk yang menyebalkan.
Peristiwa perjudian dengan kakek setan, mungkin hanya dirinya yang mengalami itu, tak ada lagi penjudi lain yang bisa lebih sial lagi dari dirinya.
Eh, sial ataukah beruntung?
Bahkan Wen Kexing sampai detik ini masih bingung.
Hadiah pengantin yang terbuat dari mayat, adalah satu hal yang tak pernah ia prediksi sepanjang kariernya dahulu sebagai penjudi.
"Setan tengik itu! Sudah dua puluh tahun berlalu, masih saja iri. Apa untungnya dia menyebar kisah bohong tentang aku dan Ah Xu," komat-kamit dengan wajah tertekuk, Wen Kexing mulai merasakan kekesalan yang familiar pada sosok kakek setan.
"Hmm.. kalau benar dugaan paman. Aku kagum pada keteguhan kakek itu menyimpan rasa dengki selama bertahun-tahun dan bertahan dengan itu, bukanlah hal yang mudah."
Cheng Ling mengulum senyum.
"Ha! Dasar setan gila! Kalau sampai dia muncul lagi menemuiku aku akan memasaknya jadi bubur."
"Terbuat dari apa sebenarnya hatimu? Berjumpa dan berjudi dengan setan, tapi masih bisa hidup dengan normal dan penuh keberanian, bahkan masih bisa bercanda," komentar Cheng Ling, menatap kagum pada paras tampan Wen Kexing yang nyaris tak tersentuh oleh waktu.
"Terbuat dari batu, tentu saja. Tetapi jika di depan paman Ah Xu mu, berubah menjadi tofu, bahkan lebih lembut dari itu."
Kekehan sember terdengar sekali lagi, membuat Cheng Ling meringis.
"Jadi bagaimana sebenarnya kisahmu dengan paman Ah Xu? Benarkah kau berjudi dengan setan dan mendapat hadiah pengantin indah terbuat dari mayat? Benarkah kalian mati saat melakukan.. itu , ehm.."
Anak lugu itu terlihat kesulitan dan tidak leluasa menyampaikan satu hal. Mengatakan satu kata yang cukup memalukan bagi anak yang belum banyak menjelajah laknat dan asam garam kehidupan.
Wen Kexing tertawa lagi, diiringi satu tepukan lembut di punggung Cheng Ling, kemudian melingkarkan lengan kokohnya di bahu sempit si anak.
"Setan itu pasti sudah meracuni kepalamu dengan hal hal kotor. Tetapi mendengar pertanyaanmu, kukira setan itu sudah menceritakan yang sebenarnya. Hanya saja -- dia tidak menyelesaikannya, atau mungkin benar seperti katamu, dia memegang teguh rasa iri dengki padaku sehingga merasa puas dengan menyebarkan kisah palsu, agar aku menjadi penjudi yang berakhir sial dan mengenaskan di mata orang-orang. Cihh! Dasar setan penggosip!" Wen Kexing menggerutu geram.
Angin malam berdesir lagi seiring gemerisik dedaunan maple di ujung jalan setapak yang berbatasan dengan pagar halaman.
Menatap penuh kesan mendalam, pandangan Wen Kexing mengikuti pergerakan helai helai daun yang berguguran.
Mungkin dirinya dan Ah Xu dahulu persis seperti itu. Bagai dua helai daun jatuh, terbang kesana kemari mengikuti arah angin. Tanpa pegangan, tanpa tujuan, satu-satunya yang membuat keduanya tidak terpisahkan, adalah cinta mereka.
Diam-diam pemuda tampan itu tersenyum, senyuman yang jauh, dan menyendiri.
Zhang Cheng Ling mengamati ekspresi pamannya. Ras haru mengusik, ikut terhanyut dalam lamunan sepi Wen Kexing.
"Kau pasti teringat masa lalu," bisik Cheng Ling.
"Ya. Aku sedang memikirkan betapa romantisnya setan tua tengik itu, bisa-bisanya dia mengarang cerita bahwa aku dan Ah Xu mati saat sedang bercinta, memangnya aku seberingas apa?" ucapan ringan itu terlontar dengan senyuman tetapi seketika membuat Cheng Ling merasa jengah.
Anak itu menggaruk-garuk pelipisnya.
"Jadi kau tidak mati malam itu?"
"Tentu saja tidak. Aku berada di sampingmu sekarang. Kau pikir aku hantu? Jika dipikirkan, mati dalam pelukan kekasih saat bercinta memang cara yang romantis untuk mati. Tetapi aku tidak mau, jika aku mati secepat itu, percuma aku mendapatkan Ah Xu."
Kekehan lagi, dan kalimat yang membuat Cheng Ling semakin malu.
"Tetapi kakek itu mengatakan kau menyentuh pengantinmu sebelum hari ke seratus," protes Cheng Ling.
"Awalnya kupikir begitu. Aku dan Ah Xu sudah siap untuk mati malam itu. Tapi ada satu hal yang terlewatkan oleh kami.. Rembulan sudah bergerak ke ufuk barat. Itu hal terakhir yang kuingat, dan aku tidak banyak berpikir karena nyaris sekarat."
"Benarkah?" Cheng Ling menatap iris hitam Wen Kexing.
Bertahan untuk tidak melepas sang pengantin. Berjuang melawan takdir sialan. Bahkan rembulan pun memberikan restunya.
"Aku akan menceritakan apa yang terjadi malam itu. Dan ya, satu hal lagi. Bukan aku yang duluan mengajak bercinta. Itu permintaan paman Xu-mu," cetus Wen Kexing, nadanya menuntut.
Terbatuk-batuk kering, Cheng Ling melirik canggung.
"Penting ya?" gumamnya.
Pemuda tampan itu tertawa penuh kemenangan.
"Tentu saja!"
Jadi, siapa membohongi siapa?
Cinta Wen Kexing yang tulus pada Ah Xu, dan juga sebaliknya. Bukankah sudah sepantasnya berbalas akhir yang bahagia?
To be continued
Please vote and comment if you still like this Wenzhou Love Story.
💖💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro