Part 2 : Handsome Gambler
Desa Suzaku, dua puluh tahun lalu
Setahun setelah peperangan penduduk dengan kelompok pendatang yang berbondong-bondong bermaksud menguasai desa itu, Wen Kexing telah berubah dari seorang anak pebisnis sukses menjadi pengangguran yang berkeliaran dan berdebat dengan semua orang.
Pada saat itu, meskipun Wen Kexing sombong dan cenderung penyendiri, dia sangat berbeda dari pemuda desa kebanyakan. Orang-orang akan menatap kagum pada ketampanan wajahnya sekaligus sebal melihat tingkah laku dan gaya bicaranya yang semena-mena.
Kegemarannya pada minum-minum tidak berubah meski dia telah jatuh miskin setelah kematian ayahnya, sementara toko kain dan cenderamata milik sang ayah ludes terbakar selama bulan-bulan penuh dengan bentrokan dan kerusuhan.
Sore yang cerah di musim semi tahun itu, Wen Kexing melangkah masuk ke dalam kedai minum Peach. Pakaiannya merah menyala halus dengan lengan lebar. Pita merah mengikat pinggang rampingnya, sementara wajah yang seputih dan sehalus salju terlihat menyunggingkan senyum penuh siasat dan seringai mencurigakan.
Seorang pelayan segera menyambutnya, bunga kata-kata berhamburan dari mulut si pelayan menawarkan segala jenis minuman dan makanan. Mengira bahwa Wen Kexing masih sekaya dulu.
Tentu saja Wen Kexing tidak ingin terlihat seperti gelandangan. Jadi, meskipun dia sudah jatuh bangkrut dan hanya memiliki rumah warisan orang tua yang nyaris kosong tanpa perabotan, hanya tersisa satu kotak besi berisi kepingan perak yang sempat ditanam sang ayah di kolong tempat tidurnya, dia masih berlagak orang kaya yang berkuasa.
"Aku ingin anggur terbaik di kedai ini," dia berkata dengan suara berayun yang acuh tak acuh, lantas duduk bersila menghadap meja yang masih kosong.
"Anggur putih khas kedai Peach, itu merupakan minuman terbaik yang tidak akan bisa anda cicipi di seluruh negeri. Hanya kedai kami yang memiliknya," si pelayan berkata dengan semangat berapi-api.
"Cepat ambilkan!" Wen Kexing mengibaskan tangan seperti tengah mengusir lalat.
Pelayan itu dengan cepat mundur.
Wen Kexing menjelajah seisi kedai minum dengan tatapan sinis dan angkuh. Melihat sekelompok pria tengah berjudi, moodnya yang sedari tadi berputar-putar di sepanjang perjalanan tanpa tujuan, kini segera kembali ke posisi semula.
Setelah pelayan menghidangkan seguci anggur, dia membawanya dan berjalan mantap menghampiri sekelompok orang yang tengah bergantian melempar dadu.
"Ah, aku kalah lagi!" umpat salah seorang pria.
"Keahlian berjudi seburuk itu, kau nekad bertaruh di sini!" salah satu temannya menimpali, dengan rakus menyapu bersih kepingan perak di atas meja.
"Itu sisa uangku yang terakhir, sialan!"
"Besok kau akan bertaruh apalagi? Jual saja ladangmu!"
"Tidak ada ladang, hanya sekawanan domba kurus!"
Meraih guci berisi arak dengan marah, nyaris menumpahkan ke atas meja, si pria malang yang kalah perjudian mengalirkan minuman ke kerongkongannya, sebagian cairan itu menetes-netes di lehernya.
"Ckckck..." Wen Kexing menggeleng-geleng prihatin.
"Tuan-tuan, izinkan aku bergabung dalam permainan," dia berkata dengan gaya seanggun mungkin.
Para penjudi itu serentak menoleh padanya, mereka tidak yakin akan keterampilan judi apa yang diwarisi Wen Kexing dari ayahnya yang tidak pernah menyentuh meja judi.
"Aku pasti akan memenangkan permainan," dia tersenyum dingin untuk membuat auranya lebih mengesankan.
"Apa kau benar-benar membutuhkan uang?" Salah seorang penjudi bertanya curiga.
"Sama sekali tidak. Aku membutuhkan teman bermain," Wen Kenxing mengambil tempat duduk diantara mereka.
"Benarkah? Bukannya kau terbiasa kesepian," seorang lagi mencemooh.
Wen Kexing hanya tertawa singkat.
Sebenarnya, dia memang membutuhkan uang. Wen Kexing sama sekali tidak memiliki keahlian berbisnis, dan dikarenakan toko ayahnya juga habis terbakar, dia tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan yang bisa menghasilkan uang.
Berjudi sepertinya salah satu jalan pintas yang cemerlang.
"Bagaimana jika kita mulai permainan?" Wen Kexing menaruh beberapa keping perak yang dia ambil dari kantung kecil di balik bajunya.
Begitu dia menyelesaikan kalimatnya, sekeliling meja tiba-tiba menjadi sunyi.
"Kau hanya cari masalah, anak muda!" Seorang penjudi setengah baya dan cukup senior mulai mengambil dua buah dadu dan menangkupnya dengan kedua telapak tangan.
"Ayo lempar!" Wen Kexing melebarkan mata, rona kejam melintas di wajahnya.
Ganjil!
Genap!
Ganjil!
Genap!
Braakkk!!
Wen Kexing menggebrak meja.
Tanpa terasa malam turun di desa Suzaku. Lampion menyala di setiap penjuru. Suasana kedai minum Peach makin ramai. Jika malam tiba, sekelompok pemain musik akan menghidupkan suasana menjadi lebih hangat. Para gadis yang berdatangan untuk menghibur atau sekedar menemani ngobrol para tamu mengumandangkan kata-kata manis dan tawa merdu yang memenuhi udara.
Wen Kexing tentu saja selalu menjadi pusat perhatian para gadis. Satu atau dua orang mencoba mendekatinya, tapi pemuda tampan itu benar-benar fokus berjudi.
Dan sialnya! Dia kalah pada putaran pertama, sekali menang, dan kalah lagi pada putaran berikutnya.
Malam itu berakhir dengan buruk. Wen Kexing keluar dari kedai minum Peach dalam keadaan mabuk dan kalah.
"Sial! Benar-benar sial!" dia mengumpat-umpat dan berjalan terhuyung-huyung menuju rumahnya.
Semenjak malam penuh tantangan itu, Wen Kexing jadi kecanduan berjudi. Seluruh uang warisan sang ayah yang terkubur di sebuah kotak besi di kolong tempat tidurnya ludes dengan cepat.
Seminggu berikutnya, Wen Kexing selalu mengulangi kebiasaan yang sama. Mabuk-mabukan dan berjudi, lantas pulang pada tengah malam dengan kepala pusing dan memarahi siapapun yang berpapasan dengannya di sepanjang jalan.
Malam itu bulan purnama. Wen Kexing berjalan lunglai, tangannya memegang guci porselen berisi anggur putih peach kesukaannya. Baju panjang dan halus berwarna merah kebanggaannya menggeletar dihembus angin malam.
Jalan menuju rumahnya sunyi dan gelap. Sinar teduh rembulan menuntun pandangannya yang mengabur karena mabuk. Satu blok jauhnya, samar-samar terdengar suara-suara orang melakukan patroli keamanan.
"Jiwa-jiwa tidak berguna sepertimu harusnya mati dalam peperangan."
Tiba-tiba terdengar suara serak seorang pria tak dikenal.
Wen Kexing mencari-cari sumber suara, dengan wajah merengut dan air muka keruh, dia melihat seorang pria tua bungkuk terhuyung-huyung ke arahnya.
"Heh pak tua, apa kau mabuk juga?" Wen Kexing tidak mempedulikan ucapan orang itu dan malah balas mengoloknya.
"Seperti biasa kau kalah lagi kan?" Pria bungkuk itu berwajah menyeramkan, nyaris kehitaman dan sinar matanya berkilau kemerahan.
"Ha! Aku hanya sedang sial! Jika suatu hari kesialanku sudah maksimal. Keberuntungan akan datang dan aku akan kembali menang dalam perjudian," sahut Wen Kexing ringan, diiringi tawa terkekeh.
"Apalagi yang mau kau pertaruhkan? Kau pikir wajah tampan saja sudah cukup? Jauh lebih penting dari itu, kau harus memiliki keberuntungan yang bagus."
"Jika terdesak. Aku akan pertaruhkan jiwaku, atau mereka boleh memenggal kepalaku," ucapannya semakin kacau.
Keduanya berjalan beriringan dan sama-sama terhuyung-huyung. Wen Kexing menepuk-nepuk punggung bungkuk pria itu, tertawa-tawa kering sambil sesekali meneguk anggurnya.
"Apa kau ingin menantangku berjudi?" tanyanya dengan nada meremehkan.
Pria bungkuk menyahut dengan bunyi tawa parau dan menakutkan.
"Aku tidak pandai berjudi. Tapi aku ingin bertransaksi denganmu. Aku bisa melihat masa depanmu anak muda, jiwamu seharusnya mati dalam peperangan. Tapi kau akan terus hidup dalam bahaya. Hari demi hari kau akan terus mempertaruhkan nyawamu dalam perjudian."
"Hehh, ramalan yang sangat buruk. Kau sepertinya sedang menakut-nakutiku, pak tua!"
"Kau lebih suka berjudi daripada makan tiga kali sehari," si pria tua meneruskan tanpa peduli.
Wen Kexing terbahak, suasana hatinya terlihat sangat riang meski dia kalah perjudian.
"Pintar sekali. Untuk apa terus makan tapi melewatkan waktu dalam kebosanan. Mati lapar atau mati bosan, sama-sama mati. Jika aku mati dalam perjudian, bukankah kedengarannya cukup seru?!" dia terbahak lagi, tidak merasa sungkan membuat lelucon tentang kematian.
Si pria tua geleng-geleng kepala.
"Karena itulah, aku ingin menawarkan sesuatu padamu, anak muda."
Wen Kexing menghentikan tawanya, menatap dengan lebih serius.
"Menarik. Apa ada hubungannya dengan kegemaranku berjudi?"
Si pria tua bungkuk itu mengangguk.
"Apa kau masih memiliki uang atau barang berharga untuk bisa dipakai bertransaksi?"
Ada keheningan yang lama, dan tepat ketika Wen Kexing nyaris berkata tidak, dia tiba-tiba teringat liontin giok yang terpasang di lehernya.
Liontin itu kecil, merupakan satu-satunya peninggalan sang ibunda sebelum kematiannya bertahun-tahun lalu. Saat ini dia sedang mabuk dan sama sekali tidak ingat kenangan-kenangan yang tertinggal di masa lalu. Dia bahkan tidak bisa mengingat hal hal yang terjadi seminggu sebelumnya.
Praktis, sisi nostalgia dalam dirinya nyaris terkikis dalam kemabukan. Jika dia terlalu banyak berpikir saat ini, kepalanya akan makin sakit. Maka, dengan gerakan cepat dia menarik kalung yang tergantung di lehernya.
"Ini! Liontin ini peninggalan ibuku. Cukup berharga bukan? Banyak kenangan di dalamnya, tapi asal kau bisa menawarkan sesuatu yang membuatku menang dalam perjudian. Aku akan memberikan liontin ini padamu."
Pria bungkuk memandangi Wen Kexing dengan pandangan takjub. Pemuda tampan itu tidak memiliki kesabaran yang baik, maka dia segera menjawab dengan nada dingin.
"Karena kau sungguh bertekad dan menjadikan perjudian sebagai prioritas utamamu. Maka aku akan menukar liontin giok ini dengan sebuah jimat keberuntungan."
Wen Kexing balas menatap dengan pandangan mencemooh, kehilangan minat dengan cepat, dia mendecakkan lidah.
"Jimat?" dia bertanya curiga.
"Apa benda semacam itu benar-benar bekerja?"
Pria bungkuk itu tertawa keras. Melirik sepintas pada pemuda sombong yang masih mabuk itu.
"Aku berani bertaruh, kau boleh memenggal kepalaku jika jimat itu tidak bekerja."
"Apa serunya memenggal kepalamu? Tapi kedengarannya menarik. Jadi, apakah aku akan selalu menang dalam berjudi?"
Si pria bungkuk menjentikkan jarinya.
"Kau pemuda yang cerdas."
Wen Kexing tertawa singkat, tangannya terulur, memegang kalung dengan liontin giok tergantung di rantainya. Batu giok itu mengalirkan cahaya menyilaukan yang terpantul dari sinar rembulan.
"Apa motivasimu memberikanku jimat keberuntungan?" Wen Kexing masih curiga.
Si pria bungkuk mendesah bosan.
"Sudah kubilang, aku mengasihanimu."
Wen Kexing mendesis, merasa direndahkan.
Pria bungkuk itu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah keping uang logam keemasan. Bersinar-sinar di tengah kegelapan.
"Untuk apa koin emas ini?" tanya Wen Kexing masih dengan tatapan curiga.
"Simpan baik-baik. jangan sampai hilang atau dipertaruhkan di meja judi. Kalau kau kehilangan keping keberuntungan ini, kesialanmu akan bertambah berkali-kali lipat."
"Wooww.. mengerikan sekali," Wen Kexing terkekeh geli.
Si pria bungkuk merengut. Sepertinya dia kesal dengan sikap pemuda tampan menyebalkan itu.
"Kau mau jimat keberuntungan atau tidak?" semburnya jengkel dengan gaya orang tua mengomeli cucunya yang nakal.
"Baiklah! Mari kita lihat sejauh mana jimat ini bekerja. Serahkan koinnya padaku."
Si pria bungkuk mengulurkan tangannya dan menaruh kepingan koin emas di atas telapak tangan Wen Kexing yang terbuka.
Wen Kexing tiba-tiba merasakan sesuatu yang dingin menekan telapak tangannya, lantas berubah sedetik kemudian, ada hawa hangat meluncur merembes ke dalam kulit di punggung tangannya.
Dia tidak bisa menahan gemetar.
Dengan cepat Wen Kexing menarik kembali tangannya. Kalung dengan liontin giok sudah berpindah tempat ke tangan si pria bungkuk. Tidak nyaman dengan pergantian hawa panas dingin dari tangan yang memegang koin. Dia segera memasukan kepingan koin emas itu ke balik bajunya.
Si pria bungkuk tertawa puas.
"Selama kau memegang keping koin keberuntungan ini, kau akan memenangkan setiap perjudian. Tidak peduli siapa lawanmu. Kau akan tetap menang. Baik itu manusia, peri, hantu, atau setan."
Wen Kexing menatap nanar. Ekspresinya bisa dikatakan tidak percaya, juga tidak senang atau pun muram. Dia hanya terpana. Kalimat terakhir si pria bungkuk diam-diam meninggalkan kesan yang baik dengan segala cara.
"Siapa kau sebenarnya?" Wen Kexing bergumam penuh rasa penasaran yang teredam.
"Jika kau mau, mengapa kita tidak bicara lebih jelas sambil minum-minum?"
"Seseorang yang datang dari jauh. Aku tidak datang untuk minum atau berteman. Seorang bawahan dari suku yang lebih rendah. Tidak memiliki wajah serupawan dirimu. Aku hanya ingin memuaskan rasa penasaranku padamu."
Wen Kexing mengerutkan kening, rahangnya mengeras dan wajahnya berubah sinis.
"Jadi kau hantu? Siluman?"
"Kau pikir siapa yang bisa mengendalikan keberuntungan atau kesialan seseorang. Dia pastilah mahluk yang memiliki kekuatan lebih dibanding manusia."
"Kau bilang kasihan dan juga penasaran padaku? Tapi memberikan keping emas keberuntungan bukanlah simbol dari kedua emosi itu."
"Aku tidak memberikannya. Kau menukar benda itu dengan liontin warisan ibumu. Tapi alangkah bagusnya jika kau menganggap bahwa keping koin itu bukanlah simbol rasa kasihan. Tapi ingat, jangan sampai kau kehilangan benda itu."
"Memangnya apa yang bisa terjadi padaku hanya gara-gara keping koin jelek?" Wen Kexing berdecih. Memutar bola matanya sebagai tanda mencemooh. Dia mengira pria bungkuk itu akan marah, tapi pria itu hanya berbalik dan berjalan pergi, masih dengan langkah terhuyung-huyung.
"Kau akan tahu jika waktunya tiba nanti, anak muda."
Suaranya terdengar lantang diiringi tawa parau bergema di kesunyian malam. Semakin samar saat sosoknya perlahan lenyap di telan kabut keabuan.
🌷To be continued 🌷
Please Vote
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro