Part 19 : Blue Flower
A/N : Cerita kembali ke adegan Zhang Cheng Ling bersama kakek misterius di gerbang Suzaku.
Kisah yang diceritakan si kakek tua di gerbang Suzaku berakhir menyedihkan.
Cheng Ling meletakkan tangan di atas paha saat jemarinya perlahan terasa lunglai. Dengan wajah muram ia menghembuskan nafas, seolah tarikan demi tarikan begitu berat.
"Aku sangat bersimpati pada penjudi itu," Cheng Ling bergumam, rona wajahnya serupa langit senja yang kian turun melingkupi semesta.
"Kupikir, sejak awal dia bukan seorang manusia bodoh yang rela berkorban demi cinta, bukan pula seorang malaikat yang rela menukar sayap indah dan keabadiannya dengan cinta tanpa masa depan."
Si kakek tua berjubah kelabu menggoyangkan caping di tangan, raut suram semakin menambah kesan jelek di wajahnya.
"Awalnya dia mengira memiliki masa depan dengan kekasihnya, tetapi ternyata takdir terlalu licin untuk dikelabui. Saat Wen Kexing menyadari bahwa setiap langkah yang ia buat sepanjang hidupnya adalah kebodohan semata, sudah terlambat untuk menyesalinya," si kakek bersikeras dengan kisah sedih yang dia ceritakan.
Cheng Ling mengatupkan bibir, wajahnya semakin muram.
"Apa kau bermaksud mengatakan bahwa penjudi dan pengantinnya itu adalah sepasang kekasih bodoh?" Ia menoleh pada si kakek tua.
"Sudah berakhir seburuk itu. Bisa disebut apa lagi kalau bukan bodoh?" Ada nada dengki dalam suaranya yang membuat Cheng Ling terheran-heran.
"Mungkin si penjudi menganggap itu cinta yang tulus, menganggap bahwa dengan menikahi pengantin mayat itu dia telah menemukan cinta sejati," Cheng Ling mengungkapkan isi pikirannya.
Desir angin semakin dingin kala matahari benar-benar tersungkur. Si kakek mendongak menatap langit, mendesah berat sesaat.
"Aku tidak tahu," sahutnya dengan suara serak.
"Dan Wen Kexing pun mungkin tak tahu."
Kesunyian merambati udara, mengepung kedua manusia berbeda usia dalam upaya menikmati sisa senja yang indah.
"Ada satu hal yang mengusik pikiranku. Apakah kakek yang memberikan koin keberuntungan dan kakek yang menantang berjudi adalah mahluk yang sama?" tanya Cheng Ling.
Si kakek tua menyeringai misterius.
"Berbeda. Keduanya sama-sama bukan dari dunia manusia. Satu-satunya kesamaan mereka adalah sama-sama iri dan sama-sama sudah tua bangka."
Suara tawa serak mirip ringkikan keledai memenuhi telinga Cheng Ling sampai anak itu merasa giginya berdenyut.
"Astaga, sial benar penjudi itu," Cheng Ling bergumam bingung.
"Sejenis siluman dan setan mengganggunya terus menerus. Aku tidak percaya dia bisa menahan semuanya."
"Kau benar. Kadang aku mengira seharusnya dia jadi raja dari segala hantu," si kakek menimpali diiringi suara mendecih tanda tidak suka.
"Terlalu nekad dan berani juga berbahaya. Kau dengar sendiri bagaimana kisah Wen Kexing berakhir tragis dan menyedihkan," si kakek meneruskan penuh nada puas yang tidak wajar.
Zhang Cheng Ling merenung beberapa saat lamanya, mengamati pucuk-pucuk ilalang mengayun lembut.
"Apakah kakek sering menceritakan kisah ini pada orang-orang asing yang lewat di gerbang Suzaku?" tanya Cheng Ling mengusik senyap.
Si kakek terkekeh pelan, ekspresinya misterius.
"Kadangkala, saat aku sedang bosan dan kesepian, seperti hari ini."
"Tapi ini sudah hampir gelap, aku harus pergi," ujar Cheng Ling, wajah polosnya mengungkapkan rasa tidak nyaman. Meninggalkan kakek tua sendirian dalam gelap cukup bertentangan dengan hati nuraninya. Tetapi ada bisik aneh yang samar. Dia merasa kakek ini bukanlah orang biasa. Mungkin dia tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya.
Seolah bisa membaca pikiran Cheng Ling, kakek tua itu menatap lantas tertawa ringan.
"Baiklah anak muda. Aku sangat menyukai kisah ini sehingga menahanmu terlalu lama. Apa kau masih ingat jalan pulang?"
Cheng Ling mengangguk dan tersenyum.
"Tentu. Lagipula senja masih merah. Aku tidak akan tersesat."
Cheng Ling bangkit dari duduknya, menepuk nepuk debu dari baju panjang dua lapis yang ia kenakan.
Angin kembali bertiup semilir, menghantarkan dengung serangga malam.
"Hati-hati, anak muda. Jangan sampai kau bertemu setan. Aku tidak yakin dirimu seberani Wen Kexing dalam kisahku."
Sekali lagi kakek tua itu tertawa sementara posisinya tidak berubah. Masih duduk santai di kaki gerbang dikelilingi semak-semak krisan.
Botol berisi anggur ditangannya sudah lama mengering sejak cerita belum usai.
Zhang Cheng Ling berbalik, melawan arah angin, menikmati sejuk membelai wajahnya. Seribu pikiran berkecamuk, membara dalam kepala, mengulang kembali kisah sedih yang diceritakan kakek tua.
Apakah dia tengah berbagi kenangan?
Jika harus memilih, mengapa bertahan dengan kenangan suram kala masih ada kenangan manis untuk dibagi.
Jika si kakek tua memiliki cerita, maka dirinya pun memiliki kisahnya sendiri.
Menyeret langkah menapaki jalan setapak berbatu, Cheng Ling terus mengayun maju dengan dua guci arak di tangan. Pita pengikat pinggangnya melambai-lambai seiring kelebatan kenangan muncul di heningnya senja.
Sekitar sepuluh tahun lalu, dirinya mengalami musibah yang tak terbayangkan. Rumah besar keluarga Zhang mengalami kebakaran hebat. Banyak anggota keluarga yang mati.
Kala masa suram itu, Cheng Ling bertemu dengan sepasang kekasih yang tengah berkelana dengan kereta kuda.
Salah satunya adalah pemuda sangar tetapi luar biasa tampan. Lidahnya cukup tajam, tetapi masih kalah tajam di banding pasangan hidupnya.
Seorang pemuda cantik yang memiliki kelembutan dan kekejaman dalam satu pandangan mata.
Meskipun tampak bertolak belakang dan juga sederhana, pasangan itu hidup sangat bahagia. Mereka berdebat, saling menggoda sepanjang hari dan bercinta sepanjang malam.
Keduanya memperlakukan Cheng Ling dengan sangat baik, menjadikan anak itu bagian dari kehidupan damai mereka, dunia kecil penuh kehangatan.
Demikianlah kisah singkat Cheng Ling.
Dan pasangan yang telah mengangkat nya dari kubangan trauma masa lalu bernama Wen Kexing dan Ah Xu.
Jadi, kenapa kakek tua itu menceritakan bahwa sepasang kekasih itu mati bersama di bawah bulan purnama.
Cheng Ling terhenyak oleh satu dugaan menyeramkan yang melintas di kepalanya.
Apakah kakek yang ia temui tadi adalah setan gerbang Suzaku?
Mungkin karena rasa iri yang tak berujung pada penjudi bernama Wen Kexing, dia terus menyebarkan kisah mengenaskan tentang hidup pasangan itu.
Bukankah seharusnya akhir kisah itu adalah akhir yang bahagia?
Saat Zhang Cheng Ling menoleh sekali lagi, berniat kembali untuk menanyakan hal itu.
Kakek tua di gerbang Suzaku sudah tidak ada.
Cheng Ling mempercepat langkah ingin segera sampai di rumah. Dia akan berurusan dengan ini lain hari. Mungkin sudah puluhan atau ratusan orang mendengar kisah ini dari si kakek setan yang bosan sepanjang hari.
Jika bukan karena dirinya anak angkat Wen Kexing dan Ah Xu, bagaimana akhir dari kisah itu, mungkin Cheng Ling pun tak akan pernah tahu.
~¤~¤~¤~
Gelap telah sempurna kala Cheng Ling tiba di depan sebuah rumah dikelilingi pepohonan maple jingga.
Ribuan dedaunan bergeletar, berputar, melayang, sebelum akhirnya jatuh ke tanah, menutup jalan setapak dengan warna kuning keemasan.
Cheng Ling membuka pagar kayu, seketika terhenyak menyaksikan seorang pria tinggi berpakaian dua lapis warna biru berdiri tegang mengawasinya.
Dingin menyusup ke balik pakaian, membuat kulit di sekujur tubuh Cheng Ling merinding. Terkenang kembali cerita si kakek tua misterius, benaknya diserbu ribuan tanda tanya.
Tetapi sorot mata galak si pria berpakaian biru tidak mengizinkannya banyak bertanya. Dengan menyungging senyum, Cheng Ling mendekat pada si pria berpakaian biru, rambut panjangnya melambai misterius di bawah cahaya lentera.
Sepasang mata berkilau tajam bagai bilah pedang di kegelapan.
Aura menakutkan di balik keindahan,
Siapa lagi kalau bukan Wen Kexing.
Zhang Chengling menyerahkan dua guci anggur yang dibelinya di kedai peach pada Wen Kexing.
Seribu pertanyaan masih berdengung, membara dalam benaknya.
Benarkah paman Xu -nya terbuat dari mayat?
Dan benarkah paman Wen-nya teramat sangat nekad dan pemberani sehingga berjudi dengan setan?
Untuk bisa melakukan hal senekad itu, kemungkinan besar orang harus sedikit gila.
Zhang Chengling merasakan bukan hanya dia yang menatap aneh, Wen Kexing pun balas menatap padanya dengan ekspresi sulit.
"Heh Chengling, kenapa kau menatapku seperti itu?" tanyanya lantang. Tangan terulur meraih guci berisi arak, mengayunkan benda itu di samping tubuhnya.
Chengling tergagap-gagap.
"Tidak apa-apa paman," sahutnya. Menunduk sedikit menyembunyikan segala emosi yang tersirat di matanya.
Wen Kexing mendengus, "Sejak pulang dari desa Suzaku, kau terlihat pucat dan sikapmu sangat misterius."
Zhang Cheng Ling menggeleng-geleng.
"Aku -- aku hanya kelelahan paman."
"Bohong. Tampangmu seperti baru saja melihat setan."
Cheng Ling menelan liurnya kasar. Dia sedikit terkesiap mendengar kata setan.
"Ah, seharusnya aku tidak menyuruhmu datang ke desa Suzaku. Di desa mengenaskan itu hanya ada dua jenis penghuni. Sekelompok orang gila miskin dan setan," Wen Kexing berkata ringan lantas tertawa bangga dengan leluconnya.
"Lalu aku termasuk apa Lao Wen??" sebuah suara menyela.
Sesosok pria anggun dan cantik berjalan keluar dari dalam rumah dan menuju ke arah keduanya. Baju panjangnya sewarna langit biru berkibar dihembus angin musim gugur yang kencang.
Keduanya berdiri berhadapan, sama-sama memiliki aura istimewa, anggun, tampan, dan memanjakan pandangan, bagai dua kuntum bunga biru diantara belukar suram.
Wen Kexing seketika berubah tegang seperti maling ayam tertangkap basah.
"Ah Xu, kau menguping?" dia meringis-ringis.
Ah Xu melirik tajam, lalu mengamati guci anggur di tangan Wen Kexing.
"Apa tidak terlalu berbahaya meminta Cheng Ling pergi ke kedai peach hanya demi anggur kesukaanmu? Kau bilang di sana hanya ada orang gila dan setan," cetus Ah Xu sinis.
Wen Kexing tersenyum penuh siasat.
"Ah, dengar. Aku belum selesai bicara. Seluruh penghuni desa itu orang gila dan setan, kecuali kau dan aku."
Ah Xu mengerling malas.
"Ah, Ah Xu sayang, kau lihat anggur ini? Sudah lama sekali kita tidak mencicipinya? Ayolah, jangan cemberut begitu.."
Wen Kexing menyentuh bahu Ah Xu tetapi pemuda itu menghindar.
"Ah Xu, dulu sikapmu begitu manis dan penurut. Kenapa sekarang jadi galak begini?" keluh Wen Kexing.
"Setelah dua puluh tahun menikah denganmu, sifat gila dan pemarahmu menular padaku. Sekarang, justru kau yang manis dan penurut," Ah Xu menyeringai.
Wen Kexing menggertakan gigi. Menyadari kebenaran yang terucap, harga dirinya yang tinggi telah berganti, tercampak bagai sehelai daun kering.
Di depan Ah Xu, Wen Kexing sang penjudi sinting telah berubah profesi menjadi seorang pembantu.
"Ah Xu, jangan sembarangan bicara. Kalau tidak aku akan menciummu sampai mati."
Zhang Cheng Ling menunduk seketika. Merasa kupingnya memanas. Kedua pamannya itu seringkali berdebat dan juga saling merayu sepanjang hari tanpa mempedulikan alam sekitar.
"Coba saja kalau berani membuatku mati. Aku jamin kau akan bunuh diri duluan.. " sahut Ah Xu, penuh intimidasi yang manis.
"Ah Xu, jangan membuat lelucon tentang kematian. Kau tahu aku tak bisa hidup tanpamu..." wajah tampan Wen Kexing memucat, ketakutan yang dibuat-buat seketika melapisinya bagai topeng yang dengan mudah dilepas dan dipasang.
"Sudah berapa ribu kali kau mengatakan rayuan itu tapi masih saja membuatku kesal..."
"Maaf, maafkan aku.. Jangan merajuk begitu. Aku khawatir kecantikanmu memudar."
"Cihh! Apa pedulimu? Kau bahkan sudah terangsang semenjak aku masih jadi mayat."
Nada suara Ah Xu meninggi, menggunting tajam, memerahkan telinga.
"Sssttt... Jangan keras-keras. Kau membuatku malu di depan Cheng Ling."
"Malu? Bukannya kau tidak tahu malu?"
Zhang Cheng Ling nyaris berlari masuk ke dalam rumah dan sembunyi di bawah tempat tidur. Dia merasa malu mendengar ocehan pasangan itu yang biasanya akan semakin vulgar.
Luar biasa, pikir Cheng Ling.
Anggur kedai peach itu benar-benar mukjizat mutlak. Kedua pamannya bahkan sudah mabuk sebelum minum.
To be continued
Ahh ternyata sepasang kekasih itu masih hidup.
Bagaimana bisa begitu?
See you next chapter
Wenzhou Family please vote and comment 💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro