Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14 : After Dawn

🌷Happy Reading 🌷

Setelah mengusirku dengan semena-mena, sekarang kau memohon-mohon padaku.

Lao Wen, kau pikir siapa dirimu?

Ah Xu mendorong pemuda yang masih memeluknya erat. Suaranya sedingin es dan menjanjikan satu hukuman lain saat dia berkata.

"Lepaskan aku!"

Wen Kexing melonggarkan pelukannya dengan enggan.

"Kubilang lepaskan!" Ah Xu mendorong bahu Wen Kexing, pemuda itu terpaksa mundur menjauhkan diri.

"Baiklah! Baiklah! Sekarang kau ingin aku melakukan apa?"

Ah Xu perlahan-lahan bangkit berdiri. Ketika Wen Kexing berniat melakukan hal yang sama, kedua tangan Ah Xu menekan bahunya dengan kuat, mencegahnya untuk bangkit.

"Kau harus berlutut seperti ini sampai terbit fajar," perintah Ah Xu, nada suaranya mulai galak, tiruan lemah dari gaya sombong dan urakan Wen Kexing.

Mendengar itu, si kakek setan terkekeh puas.

"Mampus kau!" dia mengejek.

"Sampai fajar?" Wen Kexing bengong.

Ah Xu melayangkan tatapan sinis.

"Jika kau bersungguh-sungguh menyesal dan ingin minta maaf, kau harus melakukannya tanpa mengeluh!"

"Ahh, baiklah! Akan kulakukan dengan senang hati," Wen Kexing menukas cepat.

Ah Xu menarik sudut bibirnya, menciptakan seringai yang cantik dan menarik. Melihat itu, Wen Kexing menggigit bibir.

"Jangan berubah posisi. Kalau kau curang, aku tidak akan memaafkanmu."

Wen Kexing mendesah pelan, tapi dia mengangguk patuh seperti anak nakal kena hukuman gurunya.

"Pria lemah," kakek setan kembali menyela.

Wen Kexing melirik galak.

"Kau ingin menemaniku berlutut di sini semalaman?"

"Ha! Tidak mungkin! Aku lebih baik pergi sekarang daripada menonton pertengkaran suami istri di sini."

Wajah Ah Xu memerah sesaat setelah mendengar ucapan itu, dia membalikkan tubuh, memunggungi Wen Kexing untuk menyembunyikannya.

"Kalau begitu cepat pergi!" sembur Wen Kexing.

Tawa parau si kakek setan menggema menusuk telinga.

"Baiklah! Selamat menikmati hukumanmu pemabuk!"

Tubuh renta dengan wajah menyeramkan itu berubah sekejap menjadi gumpalan asap sebelum hilang tersapu angin malam.

Angin malam ini sedingin air sungai. Udara panas di siang hari melebur menjadi sejuk di malam hari.

Wen Kexing berlutut di tanah berumput, kepalanya perlahan mulai tertunduk karena pusing dan mengantuk. Tidak jauh dari sisinya, dekat rumpun semak bunga, Ah Xu duduk bersandar dengan nyaman pada pilar gerbang.

Meski tidak segalak sebelumnya, tatapan Ah Xu masih dingin, jejak kemarahan dan rasa kecewa yang ditimbulkan sikap sinting Wen Kexing.

Tetapi ekspresi beku itu justru menambah aura yang mampu menambah kecantikannya.

Wen Kexing mencuri-curi pandang berkali-kali, menunggu Ah Xu lengah agar ia bisa jatuh tertidur, mengakhiri posisi berlutut yang membuat lututnya sakit serta pahanya dijalari rasa pegal dan kebas.

Tetapi Ah Xu tidak melepaskan pandangan darinya. Wen Kexing kembali menggigit bibir.

Kenapa kecantikan yang selama ini mendampinginya tidak segan-segan memberikan hukuman hina seperti ini pada dirinya?

Wen Kexing menghembuskan nafas keras. Sekali lagi ia melirik Ah Xu dengan matanya yang mulai memerah karena kantuk. Dalam kondisi begini pun, ia tidak mampu menahan dirinya untuk tidak mengagumi keindahan wajah Ah Xu.

Wen Kexing menurunkan pandangan ke rerumputan, jantungnya berpacu cepat untuk sesaat.

"Kenapa berpaling? Lao Wen, bukankah kau senang memandangiku?" Ada nada menggoda dalam suara Ah Xu, walau pun dia berusaha menyembunyikannya.

Suara itu halus dan menyendiri di keheningan malam, membangkitkan gairah siapapun yang mendengarnya.

"Sudahlah Ah Xu, kau belum puas menyulitkanku. Sekarang jangan coba menggodaku dengan memasang wajah seperti itu," Wen Kexing setengah menggerutu.

"Seperti itu bagaimana?"

Ah Xu bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat. Dia berjongkok dengan satu tangan menekan paha, menyeimbangkan tinggi badannya dengan Wen Kexing yang tengah berlutut.

Seperti itu bagaimana? Wen Kexing kesulitan menjelaskan. Dia hanya tahu bahwa ekspresi Ah Xu seolah mengundang sesuatu yang berbahaya.

Ujung hidung mereka nyaris bersentuhan satu sama lain, Ah Xu meletakkan tangannya mengelilingi pinggang Wen Kexing, kemudian mencubitnya keras.

Wen Kexing meringis. Tiba-tiba terbayang pikiran yang bukan-bukan dalam benaknya, ia tidak bisa menahan wajahnya untuk memerah.

"Ah Xu, apa yang kau lakukan?" dia mencoba untuk tidak gentar.

Ah Xu tertawa kecil melihat ekspresi panik di wajah Wen Kexing. Melihat rona putus asa sekaligus riak kerinduan terlukis di alis indahnya.

"Menghukummu. Tentu saja."

Ah Xu berbisik di telinganya, cukup dekat sehingga bibir halus itu menyentuh ujung telinga Wen Kexing.

Tidak tahan digoda, Wen Kexing mengulurkan lengannya melingkar di leher Ah Xu, mengelus dan menelusuri permukaan kulit leher yang putih, halus dan dingin.

Ah Xu terperanjat. Sebelum tangan nakal itu menggerayang turun ke dada, dia mendorong bahu Wen Kexing, menautkan alis dalam-dalam serta menggeleng kuat-kuat. Gayanya sudah seperti ibu yang memarahi anak nakal.

"Jangan sentuh aku!"

Ah Xu mundur, kembali ke posisi duduknya di pilar gerbang, melayangkan tatapan rumit.

Wen Kexing menyeringai, dia melirik Ah Xu sekali lagi dengan sudut matanya.
Sensasi halus dan dingin dari kulit Ah Xu serasa masih menempel di ujung jari.

Dia masih dingin.

Kalau hangat,

Kalau saja hangat,

Bagaimana rasanya ya..?

"Kenapa aku tidak boleh menyentuhmu? Apa kau sudah lupa, tiap malam kau menyelinap ke dalam pelukanku dan tidur dengan nyenyak," kalimat Wen Kexing pelan namun mematikan.

Ah Xu terhenyak, dirayapi rasa malu.

"Diam kau," dia menggerutu.

"Mulai sekarang aku tidak mau tidur di pelukanmu lagi."

Wen Kexing tersenyum sangat tipis.

"Benarkah?"

Ah Xu mendengus.

"Kalau begitu, biar aku saja yang datang ke tempat tidurmu," lanjut Wen Kexing tak tahu malu.

Ah Xu membuang wajah, kemudian berpura-pura memejamkan mata.

"Jangan sampai aku menambah hukuman karena kau bicara omong kosong tanpa henti."

Tawa terkekeh yang merdu lolos dari mulut Wen Kexing.

"Aku jadi ingin cepat-cepat menikah," dia melirik Ah Xu lagi, penuh emosi terpendam.

Ah Xu tidak bersuara. Percuma meladeni omongan orang yang pintar bersilat lidah. Bisa-bisa mereka berdebat sampai pagi datang.

Memutuskan untuk tidur dan berhenti menggoda Wen Kexing, Ah Xu mulai bersandar lebih santai lagi, menutup matanya yang indah menakjubkan layaknya bintang di langit malam.

Melihat itu, Wen Kexing mendesah bosan. Kepalanya semakin lama semakin berputar sementara dinginnya angin malam perlahan membuat persendiannya seakan mati rasa.

Keheningan semakin memanjang, hanya dihiasi bunyi-bunyian binatang malam.

Ini pasti sudah lewat tengah malam, Wen Kexing membatin.

Dia masih menangkap cahaya pucat bulan separuh di atasnya sebelum tubuhnya ambruk ke tanah.

Tak lama kemudian, dengkurannya terdengar ditingkahi desau angin dan gemerisik dedaunan.

~¤~¤~¤~

Cahaya terang menggenang di langit timur, aroma rumput berembun mengusik tidur Wen Kexing yang gelisah. Dia membuka mata, pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah gerbang kusam menjulang dengan wuwungan jelek yang seolah tengah mengejek.

Mengerutkan kening dalam-dalam, Wen Kexing memutar pandang seraya bangkit perlahan. Dia duduk lemas di tanah dingin, mencari sosok Ah Xu.

Pemuda cantik itu sudah pergi.

Eh, ini sudah pagi dan langit sudah terang.

Wen Kexing melihat bola keemasan mengintip dari puncak pepohonan di kejauhan.

Meski perbatasan desa itu biasanya sepi, tapi pagi ini ada beberapa orang berlalu lalang, satu dua orang menaiki kuda, melirik Wen Kexing yang duduk kebingungan seperti gembel mengenaskan.

Komat-kamit meluncurkan berbagai macam omelan, pemuda itu berdiri, berjalan terhuyung-huyung menuju tepian sungai yang berjarak hampir seratus meter dari gerbang. Sepasang kakinya gemetar menembus rerumputan setinggi betis.

Di kejauhan, diantara riak air sungai yang cukup tenang, sebuah perahu melintas menuju tepian.

Wen Kexing melambai.

Pak tua tukang perahu mendekat padanya. Dia mengawasi Wen Kexing curiga.

"Hei, apa kau melihat seorang pemuda cantik berpakaian putih menyebrangi sungai?" tanya Wen Kexing.

"Ya, aku baru saja kembali dari mengantarnya."

Pak tua itu menghentikan gerakan mendayung, berdiri di tengah badan perahu yang mengayun.

Wen Kexing menghembuskan nafas lega. Itu berarti Ah Xu baik-baik saja, dan memutuskan untuk meninggalkan dirinya sendirian di dekat gerbang.

Sungguh pemuda kejam.

Awas kau Ah Xu, Wen Kexing membatin gemas.

"Dia tidak mengatakan apapun?" Wen Kexing bertanya lagi, kakinya melangkah hati-hati menjejak lantai perahu.

"Dia hanya mengatakan bahwa aku harus mengantar seorang pemuda tampan berpakaian merah bernama Wen Kexing."

"Ya. Itu aku, bisa siapa lagi?!" Wen Kexing sedikit tersinggung mengetahui fakta bahwa tukang perahu ini tidak mengetahui siapa dirinya. Tampak seperti penghinaan terhadap popularitasnya yang dahulu pernah meningkat pesat.

Tukang perahu mengamati pemuda tampan yang kelelahan dan lusuh itu.

"Kau punya uang kan? Pemuda tadi belum bayar sewa perahu, dia mengatakan bahwa aku harus menagih padamu."

Wen Kexing berjengit kaget.

"Hahh? Apa? Astaga..."

Dia memijat batang hidung diantara kedua alisnya kuat-kuat.

Dengan kesal ia mengisyaratkan tukang perahu untuk mendayung.

"Ya sudah. Lekas antarkan aku ke desa seberang!"

Angin musim gugur bertiup lembut di atas permukaan sungai. Wen Kexing menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya. Matanya terfokus pada aliran air tapi pikirannya melayang ke satu tempat.

Saat itu naluri Wen Kexing mengatakan ada beberapa pasang mata mengawasinya. Perlahan-lahan dia menoleh ke belakang. Tepian sungai belum tertinggal jauh, dengan begitu ia masih bisa melihat dua sosok pria berpakaian sederhana tengah berjalan melintasi gerbang Suzaku. Kedua pria tak dikenal itu mengawasi dirinya dengan tatapan melekat tajam. Semakin lama semakin mengecil, namun terasa mengancam.

Dengan cepat Wen Kexing berpaling. Dia tidak berusaha menoleh lagi ke belakang, mencoba mengabaikan tatapan curiga dua orang itu.

Mungkinkah kedua orang itu salah satu saksi pembunuhan yang ia lakukan di kedai Peach?

Sungguh tindakan ceroboh saat ia menuruti dorongan kemarahan pada Ah Xu sehingga nekat membawanya kembali ke desa Suzaku. Otaknya tidak berfungsi semalam, juga tidak menyangka Ah Xu akan menyuruhnya berlutut semalaman hingga tubuhnya ambruk.

Bukankah dia melarikan diri dari desa itu untuk menghindari kemarahan para penjudi dan pemabuk di kedai.

Tolol! Bodoh!

Rentetan umpatan meluncur dari mulut Wen Kexing. Dia berkali-kali menghela nafas panjang untuk meringankan dirinya dari kegelisahan yang tak bisa dikatakan.

Bagaimana kalau dugaannya benar dan para pengejar itu menjangkau sampai paviliun Cao Weining.

Mudah-mudahan ini hanya perasaan takut yang berlebihan dan tidak berdasar...

Dia membatin lagi diantara riak air dan suara dayung membelah permukaan sungai.

Bukannya aku takut berkelahi, aku bahkan tidak takut pada setan.
Aku hanya takut mereka benar-benar datang dan menyerang

Bukan padaku, tapi pada Ah Xu...


~¤~¤~¤~

"Bukankah pemuda di atas perahu itu si penjudi Wen Kexing?" salah seorang pria yang berjalan menyusuri jalan desa Suzaku berkata pada kawannya.

"Aku yakin itu dia. Penampilannya selalu menarik perhatian. Dia bahkan akan tetap terlihat menarik meski berpakaian seperti pengemis. Tidak diragukan lagi."

Kawannya menjawab sambil mendesis.

"Dia sudah lama buron karena membunuh tuan Jin dalam satu perjudian di kedai Peach. Pemuda sinting itu tidak mau mengakui kekalahan."

"Jadi dia sembunyi di desa seberang sungai, aku akan sampaikan informasi berharga ini pada keluarga tuan Jin."

"Tapi kau benar-benar yakin? Bagaimana kalau kita salah mengenali orang?"

Si kawannya mendengus, lelah dengan kebodohan pria di sisinya.

"Kalau tidak melacak kesana, bagaimana kita bisa tahu dia Wen Kexing si buronan atau bukan?"

"Hmmm, benar juga.."

Perbincangan kedua orang itu melayang terbawa angin di udara yang tenang.

To be continued

Bagaimana nasib Wen Kexing selanjutnya?

Vote and comment please

We Love Wenzhou Family
💖💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro