Part 12 : Poison
Hari ke tujuh puluh
Di tengah hamparan ladang dan terasering yang melandai, Wen Kexing melakukan aktivitas keseharian yang menjadi profesi barunya. Ada beberapa pekerja yang menjadi rekan, hal yang paling menjengkelkan baginya adalah fakta bahwa Cao Weining yang lemah itu sekarang menjadi majikannya.
Wen Kexing berjalan menuju tepian ladang, duduk menggelosor di tanah berumput. Dia mengenakan caping lebar selama bekerja di ladang melindungi wajah tampannya dari efek buruk sinar matahari yang menyengat pada siang hari. Saat berteduh, ia membuka caping dan memfungsikannya sebagai pendingin, mengipas-ngipaskan caping itu di depan wajahnya yang berkeringat.
Siang yang panas menjelang akhir musim semi. Mungkin saat ini musim sudah berganti tanpa ia sadari. Dia menyipitkan mata memandang pucuk-pucuk pepohonan yang mulai meranggas di kejauhan.
"Ini belum waktunya istirahat," seorang pekerja melambai dan berteriak pada Wen Kexing.
"Aku hanya duduk sebentar," Wen Kexing menyahut lantang, tanpa mengubah posisi duduknya.
"Jika tuan melihatmu, dia akan marah. Bisa-bisa kau dipecat."
"Majikan lemah begitu, dia bahkan terlalu lemah untuk marah-marah," Wen Kexing menyeringai licik.
Dua orang pekerja mengawasinya lantas mengangkat bahu tidak peduli.
"Aku baru menemui seorang pekerja kasar yang berlagak seperti majikan," salah seorang pekerja berbisik pada kawannya.
"Pemuda aneh. Tapi jika dilihat sepintas, dia memang terlihat gagah dan lebih tegas dibanding majikan kita. Siapa yang akan percaya kalau si Wen ini adalah pembantunya," kawannya menanggapi disertai desahan.
"Dia memang tampan ya, dengar-dengar majikan kita memberinya tumpangan di paviliun kosong. Dia memiliki pasangan sesama pria," bisik-bisik berlanjut diselingi tawa kekehan cabul.
"Apa? Jadi dia??"
"Yah, dia menyukai pria. Itu artinya kau punya kesempatan," si kawan tergelak riang.
"Cihh.. aku masih normal. Tapi sayang juga ya, kau pernah melihat pasangannya?"
Yang ditanya menggeleng.
"Kudengar dia juga sangat menarik, kakek tua tukang kebun pernah melihatnya beberapa kali. Pemuda itu katanya cantik."
"Oi! Berhenti kasak kusuk! Lanjutkan pekerjaan kalian!" Wen Kexing berteriak dari tepi ladang, raut wajah dan gaya bicaranya sudah seperti majikan sungguhan.
"Cihh..!" Kedua pekerja itu mendesis galak.
Mereka kembali meneruskan pekerjaan di bawah cuaca panas. Beruntung, angin bertiup lumayan kencang siang ini, mengirimkan sedikit kesejukan. Suara-suara bambu ramping yang berbenturan terdengar dari hutan di perbatasan lahan, terbawa angin gunung yang lembut. Memberikan kesan damai suasana pedesaan.
"Lao Wen!"
Perhatian Wen Kexing seketika terpusat pada sosok Ah Xu yang berjalan dari satu arah di kejauhan beriringan dengan kakek tua tukang kebun.
"Ah Xu, kenapa kau kemari?" tanya Wen Kexing, nadanya memprotes.
Kedua pekerja yang sebelumnya kasak kusuk serta merta menolehkan muka ke arah Ah Xu yang menghampiri Wen Kexing.
Ada suatu kesan yang sukar dijelaskan dengan kata-kata mengenai keanggunan sosok Ah Xu. Baju panjang tradisionalnya yang berwarna putih seolah mengambang di udara.
Rambut hitam panjang yang mengalun indah dan menggeletar di ujung-ujungnya, hembusan angin membuat rambut itu membentuk gelombang hitam.
Dan wajah pucat itu, terukir sempurna, tampan, cantik, seperti biasanya.
Wen Kexing memandanginya takjub. Meski sudah sering menatap Ah Xu, tetapi dia akan selalu terpesona lagi dan lagi oleh orang yang sama.
Saat Ah Xu semakin dekat, Wen Kexing teringat sesuatu. Dia menoleh cepat pada dua orang pekerja ladang, dan seperti dugaannya. Kedua pria kasar itu tengah memandangi Ah Xu dengan ekspresi tercengang.
"Heh! Apa kalian lihat-lihat?! Teruslah bekerja!" Wen Kexing menyalak keras.
Kedua pria itu terperanjat. Mereka menatap Wen Kexing penuh rasa jengkel sekaligus iri.
"Jaga mata kalian ya! Jangan sampai mata mesum kalian mengotori Ah Xu!"
Salah satu pekerja mendecakkan lidah sebal.
"Si marga Wen itu, sombong sekali," gumamnya.
"Darimana dia dapatkan pasangan seunik itu. Pria berbaju putih itu benar-benar cantik."
"Apa kau berniat jadi penyuka sesama jenis juga?" Kawannya terkekeh sambil menyikut.
Salah satu pekerja itu menelan liur.
"Kalau pemudanya secantik itu sih, aku bisa pikir-pikir."
"Ha! Lihat dirimu, kumal begitu. Si marga Wen meskipun sangar tapi dia sangat tampan. Pemuda cantik itu mana mau denganmu."
Keduanya komat kamit lantas terkekeh parau.
"Ah Xu, kenapa kau berkeliaran?" Wen Kexing bertanya sambil melayangkan tatapan curiga pada si kakek tua tukang kebun.
"Nyonya Cao menyuruh tukang kebun memetik sayuran, aku menemaninya ke ladang karena sedang bosan."
Ah Xu duduk di rumput tepat di samping Wen Kexing.
"Lain kali tidak boleh pergi sembarangan, apalagi bersama orang asing," Wen Kexing memperingatkan dengan nada keras.
"Lalu aku harus berdiam diri seperti patung?" Ah Xu setengah menggerutu.
"Kau hanya boleh pergi keluar bersamaku," sambil mengatakan itu, Wen Kexing melingkarkan lengannya pada Ah Xu.
Pekerja ladang melihat adegan itu dan berteriak.
"Hei Wen Kexing, cepat kerja. Malah bermesraan!"
Pemuda tampan itu menyeringai, menjawab lantang acuh tak acuh.
"Kau iri !"
Ah Xu ikut tersenyum samar, dia melirik pada Wen Kexing.
"Jadi kau tidak serius membantu di sini?"
"Tentu saja aku serius. Aku hanya sedang malas dan tidak fokus karena memikirkanmu."
Ah Xu menyingkirkan lengan Wen Kexing dari bahunya dan beringsut.
"Kalau begitu aku tidak mengganggumu lagi, aku pulang ya."
"Eehh... Ah Xu, tunggu! Aku pulang sekarang!"
"Tidak! Tidak! Kau harus bekerja keras seperti kerbau, baru boleh pulang," memperdengarkan tawa merdu, Ah Xu bangun dan melesat pergi menuju si kakek tua tukang kebun.
Wen Kexing menggertakkan gigi kesal.
"Ah Xu itu, mempermainkanku saja. Awas kalau sudah jadi manusia. Aku akan mengerjaimu sampai kau minta ampun.." Wen Kexing komat kamit.
Dari tengah ladang, terdengar kekehan pekerja kasar yang sejak tadi mengawasi pergerakan keduanya.
Wen Kexing melirik jengkel.
~¤~¤~¤~
Kadangkala, mereka tidak punya makanan. Biasanya pelayan Cao Weining memberi mereka makanan dari dapur dan meskipun tidak sama dengan apa yang dimakan Cao Weining dan Gu Xiang, setidaknya itu adalah makanan yang layak.
Selepas sore tadi Cao Weining dan istrinya bertolak ke desa lain untuk sebuah acara. Praktis, Wen Kexing dan Ah Xu tidak punya makanan.
Ah Xu bersinisiatif mengambil sayuran yang dia dapatkan tadi siang di tepian ladang. Beberapa diantara sayuran itu adalah tanaman liar.
Keduanya makan malam dalam hening, hanya terdengar gemeretak bara merah di tungku.
"Sayuran yang kudapat cuma ini. Maaf ya," ujar Ah Xu, dia memainkan sayuran dengan sumpit.
"Apa boleh buat?!" Wen Kexing melahap apapun yang diberikan Ah Xu dengan rakus.
"Tidak apa-apa. Ini juga lumayan."
Sejurus kemudian, Wen Kexing tiba-tiba memuntahkan kembali makanan di mulutnya. Dia tersedak dan terbatuk-batuk kuat hingga wajahnya merah keunguan.
"Kenapa Lao Wen?" Ah Xu berhenti makan dan mengawasi Wen Kexing.
"Ini.. rasanya aneh.." Wen Kexing memegang kerongkongannya, sementara tangan satu lagi menunjuk mangkok berisi sayuran.
"Menurutku rasanya enak," Ah Xu menyahut dengan nada biasa.
Sepasang mata Wen Kexing mulai menggelap, keningnya berkerut dalam. Darahnya serasa mendidih tapi sekaligus kedinginan sehingga dia terus menerus gemetar. Bibirnya perlahan memucat, meskipun dia sudah mengeluarkan makanan itu dari dalam mulutnya, ada sebagian kecil yang tertelan.
Sejurus kemudian dia terduduk lemas, punggungnya menekan dinding yang dingin.
Ah Xu menghambur ke arah Wen Kexing, segera berlutut dengan satu tangan menekan dahi si pemuda tampan yang terengah-engah.
Wen Kexing melekatkan pandangan pada wajah di hadapannya yang diselimuti kekhawatiran.
"Lao Wen, apa yang terjadi? Kau terlihat kesakitan," Ah Xu berkata cemas.
"Makanannya," Wen Kexing menjawab tersendat.
"Apa yang kau berikan padaku?" Dia meneruskan di tengah nafas terengah.
"Hanya sayuran," Ah Xu mengerutkan kening.
"Aku memetiknya bersama pak tua tukang kebun. Kau sudah tahu itu tadi siang."
"Siapa yang memasaknya?"
"Aku sendiri. Aku memberikan sayuran itu pada pelayan Nyonya Cao dan dia memperlihatkan padaku cara memasaknya."
Wen Kexing menatap Ah Xu dengan ekspresi bingung sekaligus curiga.
"Itu rumput kabuto," dia mendesis, perutnya berontak lagi.
"Rumput beracun! Kau menyajikannya padaku. Apa rencanamu?"
Ah Xu makin terpaku bingung.
"Kau menyamarkan rumput itu bersama sayuran lainnya. Kau meracuniku Ah Xu," Wen Kexing bergumam diiringi nada tidak percaya dan marah yang teredam.
Ekspresi terkesiap Ah Xu tak bisa diungkapkan. Dia melebarkan mata, nyaris tak berkedip untuk beberapa lama.
"Untuk apa aku meracunimu? Aku memakan sayuran itu bersama denganmu. Kau lihat sendiri."
Wen Kexing meremas perutnya yang membara. Lehernya mulai terbakar, dan amarah tiba-tiba melonjak ke kepalanya.
"Tapi kau tidak mati! Kau bohong! Kau pasti melakukannya padaku. Atau mungkin kau diperintah oleh seseorang?!" suara Wen Kexing tajam dan menuduh.
Ah Xu melihat bahwa situasinya semakin memburuk, dia harus bisa meyakinkan Wen Kexing bahwa dia sama sekali tidak berniat meracuninya. Tetapi bagaimana rumput beracun itu mempengaruhi Wen Kexing tetapi dirinya baik-baik saja.
"Katakan padaku sekali lagi, apakah benar-benar kau yang memetik rumput beracun itu dan menyajikannya untukku?" Wen Kexing masih menolak untuk mencerna kenyataan yang terpampang di depan matanya. Tetapi satu anggukan dari Ah Xu membuat amarahnya benar-benar menggelegak.
Dia berdiri dengan berpegangan pada dinding, saat Ah Xu mencoba membantunya, dia menepis tangan pemuda cantik itu.
Toleransi Wen Kexing terhadap zat-zat asing yang memasuki tubuhnya cukup bagus, dan ia pun bisa dibilang seorang peminum kuat. Meski kepalanya masih berputar dan nyaris pecah, serta perut yang bergolak, dia masih bisa berjalan meski tidak setegap sebelumnya.
"Aku masih beruntung karena tidak menelan semua rumput sialan itu. Sekarang kau harus ikut aku!" Dia menggeram.
Ah Xu menatapnya terheran-heran, rasa khawatir berbalut terkejut menyergap wajahnya yang segera berubah menjadi kelegaan.
"Lao Wen, kau masih bisa berjalan. Itu artinya kau baik-baik saja," dia bergumam.
Wen Kexing mendelik marah, kecurigaannya semakin menguat.
"Kenapa? Kau kecewa karena aku belum mati?"
"Apa maksudmu?"
"Kau bermaksud membunuhku dengan rumput beracun itu bukan?"
"Aku? Untuk apa aku membunuhmu?"
"Aku tahu siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku. Semua orang iri padaku. Jadi, aku harusnya tidak terkejut atas apa yang terjadi malam ini."
Ah Xu perlahan-lahan dirayapi rasa cemas. Dia merasakan firasat buruk.
"Ayo ikut aku sekarang juga!"
Wen Kexing semakin marah saat dia melihat Ah Xu hanya termangu menampilkan ekspresi tidak bersalah.
Dia menarik lengan Ah Xu, tanpa banyak bicara dia berjalan cepat keluar dari rumah dan menembus gelap malam.
"Lao Wen, kemana kau akan membawaku?"
"Ikut saja! Jangan banyak bicara!"
Wen Kexing terus berjalan tersaruk-saruk, dia mengambil jalan pintas yang tercepat untuk tiba di tepian sungai. Karena malam belum terlalu larut, ada seorang pria setengah baya di atas perahu tua yang segera dipanggil oleh Wen Kexing.
"Antarkan kami ke desa seberang sungai! Desa Suzaku!"
Ah Xu menahan langkahnya. Dia tidak langsung menjejakkan kaki di atas lantai perahu, dan tindakan itu mengundang reaksi berlebihan dari Wen Kexing.
Penglihatan Ah Xu menjadi nanar dan dia semakin cemas. Wen Kexing mungkin saja memang marah padanya, dia bisa saja mengomel semalaman atau bahkan menyerang, jadi mengapa dia memilih untuk membawanya pergi di malam hari menuju desa Suzaku?
"Ayo naik!" perintah Wen Kexing.
Melemparkan lirikan curiga, khawatir bercampur rasa galau, Ah Xu pun melangkah kan kaki menjejak lantai perahu.
Setelah dua bulan bersama Wen Kexing, Ah Xu mulai berpikir persis seperti pemuda itu.
Kalau harus naik ya naik saja!
Aku ikuti apa maumu!
Kau pikir aku takut?
Setelah berusaha sekuat tenaga untuk -- entah bagaimana -- sampai di gerbang desa Suzaku, Wen Kexing sekarang harus mencari seseorang yang tak terlihat di tempat sepi dan gelap ini.
Ini terdengar seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Tetapi Wen Kexing masih senekad dan urakan seperti dulu. Jadi dia tidak pernah kehilangan keberaniannya.
Berdiri di depan gerbang desa yang hitam membisu dalam gelap, Wen Kexing disambut kesunyian yang mencekam.
Ada aura seram dan hawa dingin yang tak lazim. Menggigilkan tubuhnya hingga ke tulang.
Masih dalam efek keracunan makanan, dia melihat gerbang itu berbayang-bayang.
Dua ekor gagak hinggap di puncak gerbang, mengeluarkan pekik parau dan menakutkan.
Tapi tentu saja Wen Kexing tidak takut. Dia bahkan berteriak lantang seraya menatap tajam ke arah gerbang.
"Hehh! Setan! Keluar kau!!"
To be continued
Kenapa yaa Lao Wen nyari lagi setan gerbang Suzaku?
Wenzhou family masih pada baca ga?
Please vote and comment 💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro