Part 1 : Suzaku Gate
💞 Shenshen_88 💞
Proudly Present
FARAWAY WANDERER FANFICTION
~¤~
Aku bunga yang mekar di tempat salah, di semak krisan liar di dekat gerbang tua. Mekar dengan indahnya di bawah sinar purnama.
Di bawah langit malam musim semi, aku menerbangkan banyak mimpi.
Bisakah hanya dengan meminjam kekuatan setan, menemukan cinta sejati?
Seiring aliran dingin air sungai, roh yang tersesat pun perlahan menghilang.
Tetapi suara merdu itu terdengar samar bagaikan bunyi lonceng di kejauhan.
Memanggilku merdu.
Ah Xu..
~¤~The Bride At Suzaku Gate~¤~
Desa Suzaku, kaki gunung Lushan
Musim semi kali ini beberapa desa kembali bangun dari kemuraman musim dingin yang membekukan. Kehidupan mulai terlihat di mana-mana. Binatang-binatang berhamburan dari sarangnya. Bunga-bunga plum dan sakura memekarkan kuncup-kuncup yang berawarna warni, berlatar belakang langit biru yang cerah.
Siang menjelang sore yang disiram matahari, seorang pemuda berjalan di bawah bayang-bayang pepohonan.
Pemuda itu baru berusia sekitar tujuh belas tahun. Kepolosan dan keluguan dalam sorot matanya menyiratkan bahwa dia masih dalam tahap awal pengembaraan di dunia luar yang tak teramalkan.
Mengenakan pakaian putih dengan ikat pinggang abu yang menjuntai dan berkibar seperti kupu-kupu. Rambutnya diikat, beberapa helai poni menutupi dahinya. Alih-alih disebut tampan, pemuda itu lebih terkesan imut.
Beberapa kali pemuda itu meraba-raba ke balik baju, memastikan bahwa kepingan uang perak yang ditaruh dalam sebuah kantung kain kecil masih aman di balik bajunya.
Dia datang ke desa Suzaku atas intruksi pamannya yang tiba-tiba saja menginginkan minuman anggur putih terlezat yang pernah ia cicipi selama hidup, dan hanya ia temukan di salah satu kedai minum di desa Suzaku yang bernama kedai Peach.
Jalan menuju desa Suzaku melintasi medan yang tidak mudah dilalui. Jalanan menanjak yang berkelok-kelok dan tiba-tiba melandai curam.
Pemuda itu terus berjalan kaki sampai dia melihat gerbang desa suzaku yang terbuat dari kayu berwarna hitam setinggi tiga meter. Di palangnya tertulis ‘Desa Suzaku’.
Gerbang itu bisa dikatakan perbatasan desa dengan hutan, tanah pertanian, dan padang rumput liar yang mengelilingi sekitaran kaki gunung sampai ke lerengnya yang terlihat curam.
Begitu melangkahkan kaki melintasi gerbang, pemuda itu merasakan suasana desa yang tak jauh berbeda dengan suasana hutan belantara.
Sunyi.
Jalan yang terbentang di depannya cukup lebar, panjang dan penuh dengan batu kerikil.
Seratus meter ke depan, dia sama sekali tidak menemui satu orang pun. Barulah saat dia mulai memasuki jantung desa, orang-orang mulai terlihat hilir mudik. Suara-suara pedagang menawarkan barang jualannya. Kuda-kuda meringkik disela umpatan marah si pemilik, pekikan ayam-ayam dan hewan unggas lainnya, teriakan anak-anak kecil yang berlarian.
Tidak sulit menemukan kedai minum Peach. Kedai minum itu tidak begitu berbeda dengan bangunan-bangunan toko atau kedai lainnya. Mungkin yang menjadi andalannya adalah kualitas anggur yang tersedia.
Di beberapa meja yang bertebaran memenuhi kedai, para pria berkelompok dan minum-minum diiringi tawa-tawa kacau, bahkan gumaman gumaman cabul.
Pemuda itu segera menghampiri seorang pelayan.
“Dua guci anggur peach,” dia meletakkan dua keping perak.
Si pelayan mengangguk cepat dan berlalu ke dalam untuk mengambilkan pesanan tamunya.
Pemuda berwajah lugu itu dengan cepat menjadi pusat perhatian para pria bermata merah yang tengah berkumpul. Di sudut lain, beberapa diantaranya bermain kartu, diselingi teriakan penuh semangat berisi omong kosong mereka tentang memenangkan taruhan dan semacamnya yang berhubungan dengan perjudian.
Pemuda itu seketika menyadari bahwa kedai ini selain untuk tempat minum-minum, juga berfungsi sebagai tempat perjudian.
“Hai bocah tampan, mau bermain bersama kami?” seorang pria setengah baya melambai diikuti derai tawa teman-temannya.
“Dia masih sangat lugu. Jangan sampai seseorang mengirimnya kemari saat malam hari. Wanita-wanita penghibur akan berubah menjadi pihak yang dihibur,” celetuk seorang lagi.
Kembali, kekehan riang menggaung memerahkan telinga si pemuda.
Beruntung, pelayan datang membawakan dua kendi anggur. Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda itu bergegas keluar dari tempat kurang bermoral tersebut.
Sekali lagi, dia berjalan menempuh beberapa ratus meter untuk keluar dari desa Suzaku.
Sinar matahari sudah tidak seganas tadi siang saat dia memulai perjalanan. Kali ini, menempuh perjalanan pulang kembali ke rumahnya yang terpencil di balik hutan bambu yang jauhnya ratusan meter dari perbatasan gerbang desa, pemuda itu mulai tidak menikmati perjalanannya kala suasana sepi yang menyambut di perbatasan terasa janggal dan lebih sunyi dsbanding saat dia pertama lewat tadi.
Terlalu sunyi bahkan.
Tak ada kicau burung atau gemerisik dedaunan. Seolah-olah angin pun berhenti berhembus.
Berjalan semakin cepat, si pemuda memekik tertahan saat ia melihat satu sosok kelabu tengah duduk di tepi jalan, tepat di kaki tiang gerbang. Kemunculannya sangat tiba-tiba, bahkan pemuda itu tidak melihat sosok itu beberapa detik sebelumnya.
“Ahhh!!”
“Hehh!”
Sosok itu juga ternyata sama-sama terkejut.
“Maaf, kakek.. kukira aku bertemu hantu,” si pemuda berujar polos, ekpresinya masih terperangah.
Sosok yang tengah duduk itu rupanya seorang kakek tua renta berjubah kelabu, kulit wajah gelap dan berkeriput, janggut dan alis kelabu, sementara rambutnya yang juga berwarna kelabu kusam Sebagian tersembunyi di balik caping tebal.
“Apa aku terlihat seperti hantu?” gerutu kakek itu.
Si pemuda menggaruk-garuk belakang telinganya.
“Mau kemana kau?” tanya si kakek, masih tidak beranjak dari duduknya.
“Aku mau pulang, pamanku menyuruhku membeli ini.”
Pemuda itu mengangkat sebelah tangan, memperlihatkan dua kendi anggur yang dipegangnya.
“Anggur yang terkenal di desa ini.”
“Hmmm… kedai Peach?”
Si pemuda menaikkan sebelah alisnya.
“Kau tahu.”
Si kakek terkekeh. Suaranya parau dan membuat bulu kuduk berdiri.
“Siapa yang tidak mengenal kedai minum itu. Di sana tempat berkumpulnya para pemabuk dan penjudi dari seluruh penjuru desa.”
“Sepertinya kau penghuni senior di desa ini,” ujar si pemuda.
Si kakek membuka capingnya, mengipas-ngipas wajah.
“Sudah setua ini, aku sudah mengunjungi banyak tempat di penjuru negeri. Oh ya anak muda, jika kau tidak tergesa-gesa untuk pulang, maukah kau menemaniku minum di sini sebentar.”
Pemuda itu menimbang-nimbang sejenak.
Duduk di kaki gerbang bersama seorang kakek buruk rupa sama sekali bukan hal indah yang bisa diharapkan seorang anak muda. Si kakek masih duduk santai seperti pengemis. Tak ada orang lain yang melintas di jalan itu. Dalam suasana sunyi yang sedikit menakutkan, si pemuda entah kenapa dikuasai daya tarik aneh. Ketulusan dan kemurnian di dalam dirinya membuat ia tak sanggup menolak ajakan si kakek misterius di depannya.
Pemuda itu duduk di samping si kakek, di atas tanah berumput di kaki gerbang, si kakek bersandar pada tiang gerbang yang kokoh, tersenyum puas, mendongak ke langit menunggu matahari tersungkur meninggalkan puncaknya.
“Kau punya minuman?” tanya si anak muda, menoleh ke kakek buruk rupa di sampingnya.
Si kakek meraba-raba ke balik jubah abu-abu kusam, mengeluarkan sebuah guci kecil terbuat dari porselin hitam. Dia membuka tutupnya, dan meneguk isinya perlahan-lahan.
“Festival hantu sebentar lagi,” si kakek membuka percakapan.
“Hmm…” suara si pemuda mengambang dalam kebingungan.
“Oh ya nak, siapa namamu?” tanya si kakek.
“Cheng Ling. Margaku Zhang.”
“Sayang.. nama seperti bunga yang indah dari keluarga besar dan terhormat. Tapi nasibmu seperti anak srigala yang tersesat..” desah si kakek.
Pemuda itu menggosok hidungnya dan tertawa agak malu bercampur heran.
“Bagaimana kau tahu kalau aku putra dari keluarga besar?”
Si kakek meneguk minumannya lagi.
“Banyak sekali yang aku ketahui hingga terkadang beberapa kisah saling tertukar.”
“Bagaimana bisa?” Zhang Cheng Ling mengerutkan kening.
Si kakek menatap padanya untuk beberapa lama. Iris matanya gelap dan pandangannya begitu dalam. Tatapan yang memiliki efek tidak biasa dibanding orang kebanyakan.
Ketika si kakek tersenyum lagi memperlihatkan deretan gigi runcing keabuan, samar-samar tertangkap kesan bahwa dia mengetahui masa lalu dan masa depan.
“Ratusan tahun lalu di perbatasan gerbang ini terjadi peperangan yang berlangsung lama antara manusia dan suku hantu. Hutan, manusia, ladang dan binatang terbakar dalam api peperangan.”
“Kau sudah setua itu?”
“Bisa dikatakan demikian.”
“Lalu apa kau ikut berperang?”
“Tidak. Aku hanya menonton. Bagaimanapun beberapa peristiwa penting memerlukan seorang saksi.”
“…..”
Si kakek tertawa riang melihat ekpresi melongo Cheng Ling.
“Pihak mana yang menang?” tanya Cheng Ling iseng.
“Si kakek menggeleng, “Aku lupa, sudah lama sekali.”
“…..”
Cheng Ling menggaruk-garuk leher belakangnya. Nampaknya gagasan untuk menemani si kakek kesepian ini bukan keputusan baik. Siapa yang tahu kalau si kakek buruk rupa ini adalah orang gila yang melarikan diri dari pasungan.
Diam-diam Cheng Ling melirik pergelangan kaki si kakek yang duduk bersila. Tapi dia tidak bisa melihat sepasang kaki karena juba habu-abu kusam itu cukup lebar hingga menutupi rerumputan.
“Kau tidak bosan jika aku menceritakan beberapa kisah tentang gerbang Suzaku ini?”
Cheng Ling berpikir sejenak, dia tidak ingin kemalaman di tengah jalan, melihat warna langit, dia memperkirakan dua jam lagi matahari akan tenggelam.
“Aku tidak bisa berlama-lama menemani kakek di sini.”
“Ah sayang sekali,” si kakek berpura-pura sedih, dia menggelengkan kepala dengan wajah muram.
“Sudah lama sekali tak ada orang baik hati yang mau menemaniku ngobrol.”
Cheng Ling menjadi sedikit tidak enak hati, maka ia pun berinisatif.
“Baiklah. Ceritakan aku satu kisah saja, untuk mengurangi kesepianmu.”
Si kakek mennepuk-nepuk debu di jubah kusamnya.
“Terlalu banyak dongeng, legenda, dan cerita, semuanya berubah seiring berlalunya waktu, mitos dan rumor saling menjalin dan meninggalkan banyak kebohongan.”
“Kalau begitu, kisah mana yang paling berkesan yang kau ketahui, kau bisa ceritakan padaku.”
Si kakek mendongak menatap puncak gerbang di atas kepalanya.
“Gerbang ini, disebut juga gerbang kematian, karena banyak sekali mayat-mayat yang terbakar dan terkubur di dalamnya dalam sebuah peperangan antara sekelompok besar pelarian dari ibukota dengan penduduk asli desa Suzaku. Peristiwa itu terjadi dua puluh tahun lalu, dan hanya salah satu dari banyaknya perkelahian dan bentrokan yang pernah terjadi dalam kurun waktu seratus tahun.”
Cheng Ling menggigit bibir bawahnya, dengan cepat benaknya menggambarkan adegan peperangan yang mengerikan dan penuh dengan pertumpahan darah.
“Perang berlangsung sepanjang tahun dan berakhir pada musim semi menjelang festival hantu. Penduduk desa yang tersisa, kehilangan pekerjaan dan Sebagian anggota keluarga. Banyak pemuda yang menjadi pencuri, gelandangan, atau pekerja serabutan. Sisanya melewatkan waktu dengan mabuk dan berkeliaran di sepanjang jalan desa membuat keonaran. “
Si kakek tua menenggak minumannya sejenak, sebelum melanjutkan dengan mata berkilat-kilat dan seringai mengejek.
“Aku tidak akan melupakan festival hantu dua puluh tahun lalu. Saat itu, diantara para pemuda yang telah kehilangan harapan dan masa depan. Ada seorang pemuda berandalan yang sangat nekad dan gila.”
Si kakek mengumandangkan tawa aneh mengandung nada sarkas yang mengejek.
Entah pada siapa.
“Siapa dia?” tanya Cheng Ling.
“Namanya Wen Kexing,” jawab si kakek, menerawang suram.
Dia tidak tahu apakah karena cuaca sore ini cerah, dan matahari bersinar terang tanpa ada satu garis penghalang, yang membuat ingatan yang tidak jelas itu menjadi jelas dan muncul kembali.
Di belakang kepala yang menyimpan beberapa kenangan. Sekelebat warna merah dari ujung kain pakaian seseorang, berkibar dan bergeletar tertiup angin musim semi.
Dari balik selubung merah cerah itu, seraut wajah halus muncul.
Tampan, kurus dan tinggi. Matanya cemerlang bagai bintang di langit dengan sikap yang luar biasa.
Gerakannya bagai pohon pinus tertiup angin.
Dalam sekilas pandang, siapapun tidak akan mudah melupakannya.
Semakin lama, semakin terintimidasi.
Manusia, dewa, peri, hantu dan setan pun bahkan mulai iri hati.
A/N : Hallo reader semua, ini Fanfiction Wenzhou pertamaku. Karena akhir-akhir ini aku nonton drama Word Of Honor dan suka liat chemistry mereka, aku nyoba nulis ffnya buat para pembaca yang suka pair Wenzhou.
Moga-moga suka dengan cerita ini dan support terus Shenshen sampai ending.
Makasih buat yang berkenan mampir.
Please vote
See you next chapter ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro