7. Lukisan Yang Kosong
LUCAS betul-betul membuatkan mereka berdua cokelat panas dengan marshmallow.
Dua jam yang lalu--sehabis Andrea menerima titah menginap dari Georgia--cowok itu dengan murah hati meminjamkan kaus bersih dan celana training miliknya untuk dipakai Andrea lalu menyuruh gadis itu mandi air hangat duluan di kamar mandi atas. Saat itu pula pertama kalinya Andrea memasuki kamar tamu yang ditempati Lucas. Dia mendapati begitu banyak alat-alat lukis yang dibawa cowok itu. Beberapa buku gambar masih tersimpan rapi di dalam sebuah tas dan beberapa lainnya terserak di salah satu sudut kamar, sedikit mengekspos sketsa-sketsa kasar dalam goresan-goresan pensil arang yang tampaknya belum selesai.
Yang Andrea baru sadari, tidak ada satupun lukisan Lucas yang sudah jadi.
Saat ini, Andrea dan Lucas tengah duduk bersebelahan di sofa panjang ruang televisi, menyesap cokelat panas dari gelas masing-masing seraya dikelilingi pot-pot berisi tanaman. Di luar, hujan badai masih berlangsung dengan cukup mengkhawatirkan sehingga keduanya memutuskan untuk mengungsikan pot-pot tanaman dari luar ke dalam untuk sementara, sehingga bagian dalam penginapan sekarang nampak seperti hutan mini.
"Keras kepala." Lucas menggumam dari samping Andrea.
Gadis itu menghela napas pelan. Selama setengah jam terakhir, Lucas berusaha meyakinkan Andrea agar dia tidur di kamar atas sementara cowok itu tidur di ruang tamu.
"Kau menyewa penginapan ini. Kau tamu. Kau yang tidur di kamarmu. Aku nggak apa-apa tidur di sofa. Sofanya lebar, nyaman, dan hangat. Ada pemanas dan selimut pula. Kayak dunia bakal gonjang-ganjing saja kalau aku tidur di sofa."
Lucas menyesap lagi cokelatnya dengan berisik, kentara sekali jengkel.
Untuk memakai kasur tiup, Andrea membutuhkan pompa angin. Dan untuk mengambil pompa angin, dia perlu ke luar penginapan, menembus badai, dan membongkar isi garasi. Andrea terlalu malas untuk melakukan itu semua. Lucas sempat hendak mengambilkan, namun Andrea menarik lengannya dan memintanya supaya tidak usah repot-repot.
Televisi menampilkan tayangan ulang sebuah film science-fiction luar angkasa, namun keduanya tidak ada yang fokus pada jalan cerita.
"Kalau begitu aku juga tidur di sofa saja." cowok itu menggumam.
Andrea menoleh memandang Lucas keheranan. Oke, sofanya memang sofa besar berbentuk L yang mampu memuat dua orang dewasa berselonjoran, tetapi kenapa dia begitu bersikeras?
"Aku nggak takut tidur sendirian, kalau itu yang kau khawatirkan." ujar Andrea, mengira-ngira apa penyebab Lucas ngotot bersikap gentleman sedari tadi.
"Aku nggak akan bisa tidur di dalam kamar dengan kasur empuk mengetahui kau tidur di bawah sini, di sofa."
Andrea mendesah. Dia meletakkan gelas cokelatnya yang sudah kosong ke atas meja rendah di depan sofa dan memutar duduknya hingga menghadap Lucas. Dia menyipit memandangi cowok itu.
"Ternyata kau memang kepingin main perang bantal betulan." tuduh Andrea.
Lucas gagal menahan senyum, "Nggak lucu."
Mereka beradu tatap selama beberapa saat. Nampaknya Lucas tidak menunjukkan tanda-tanda kepingin menyerah. Akhirnya, Andrea mengalah.
"Terserah deh." katanya pasrah. Dia berpindah ke sisi sofa yang lain, lalu berbaring dan menutupi diri dengan selimut, "Kau bebas tidur di mana saja."
Wajah Lucas berubah cerah. Dia mematikan televisi, lalu cepat-cepat menuju kamarnya di atas. Dia kembali ke ruang tamu sambil memeluk bantal dan selimut yang kemudian diletakkannya di sisi sofa yang satunya.
Ketika Lucas sudah mematikan seluruh lampu ruangan--satu-satunya penerangan berasal dari lampu jalan dan lampu teras di luar jendela--cowok itu membaringkan dirinya dan ikut berselimut seperti Andrea.
"'Met malam, tanaman-tanaman yang budiman. Semoga malam kalian sedikit lebih tenang dibandingkan kerabat-kerabat malang kalian yang harus bertahan di luar dengan berani menghadapi badai." Andrea mendengar Lucas berbicara pada pot-pot di sekeliling mereka.
Keheningan panjang mengikuti setelahnya, dengan hanya suara angin dan suara hujan memberondong kaca jendela yang terdengar. Andrea mengira Lucas hendak langsung tidur, namun kemudian cowok itu memanggilnya pelan.
"Andy?"
"Hm?"
"Sebetulnya aku kepikiran sesuatu. Kalau kita seumuran... itu berarti kau baru saja lulus kan?" tanya Lucas. Andrea menoleh sedikit ke arahnya, cowok itu tengah berbaring menatap langit-langit dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Ya. Ini musim panas pertamaku berstatus sebagai pengangguran." Andrea terkekeh, ikut menatap langit-langit.
"Bolehkah aku bertanya lagi?"
"Tentu."
"Mengapa kau nggak menghabiskan musim panasmu di Portland dengan teman-temanmu, sebelum universitas dimulai?"
Andrea menggigiti bibirnya, mempertimbangkan bagaimana sebaiknya menjawab pertanyaan rumit itu. Dia berlama-lama memandangi balok-balok kayu penyangga langit-langit di atasnya. Beranikah dia bersikap terbuka terhadap cowok yang baru dikenalnya?
Oh, masa bodoh lah.
"Ingat nggak di hari pertama kita bertemu, kau bicara soal misimu datang ke sini?" gumam Andrea.
"Yeah...?"
"Well, Lucas. Soal itu... aku agak mirip denganmu."
Lucas terdiam sejenak.
"Jadi maksudmu, misimu ke sini adalah untuk melupakan... seseorang?" tebaknya setelah berhasil mencerna.
"Ya. Seseorang yang menjadi alasan atas keputusanku menunda berkuliah untuk sementara dan kabur ke Inggris. Dan mencari hobi baru, mungkin."
"Dia pula yang menjadi andil mengapa kau berhenti fotografi?"
Andrea menggumam mengiyakan.
"Cowok?"
"Cowok."
Hening sejenak.
"Tahu nggak Andy, kurasa 'agak mirip' itu sama sekali nggak cukup mewakili."
Andrea menolehkan kepalanya menghadap Lucas, "Apa maksudmu?"
Lucas merentangkan tiga jarinya di udara, "Misi pertama; sama-sama demi melupakan seseorang. Misi kedua; kau membuang hobimu, aku memperjuangkan hobiku. Misi ketiga; sama-sama berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa menunda berkuliah adalah keputusan yang nggak perlu disesali."
Ada banyak hal yang ingin Andrea gali dari perkataan panjang Lucas barusan, tetapi dia paling tertarik pada hal terakhir yang disebutkan cowok itu. Andrea hampir-hampir tak percaya mendengarnya, "Kau juga menunda kuliahmu?"
Lucas akhirnya menoleh untuk balas menatap Andrea, "Seru kan, mengetahui betapa luar biasanya cara dunia mempermainkan dan mempertemukan garis hidup kita?"
🌳
Keesokan paginya, Andrea terbangun di sofa--sedikit terkejut karena tidurnya sangat nyenyak--akibat mencium aroma kopi.
Dia berjalan menuju dapur dan melihat teko kopi yang mengepul-ngepul telah siap di atas kitchen island, dengan dua gelas yang salah satunya sudah terisi. Dan seluruh pot di dalam penginapan sudah dikembalikan ke luar. Andrea celingukan karena tidak melihat Lucas di mana-mana. Sambil menyelubungi seluruh tubuhnya dengan selimut seperti kepompong, Andrea melangkah ke halaman belakang.
Aroma tanah dan rumput basah menyeruak ke dalam hidungnya. Andrea menghirup dalam-dalam, lalu bergidik karena udara pagi yang dingin bekas hujan sepanjang malam. Badai meninggalkan jejak yang dapat terlihat dari begitu banyak dedaunan rontok menghujani pekarangan dan atap. Selang air yang disangkutkan Andrea di leher keran terlepas dan teronggok di tanah. Sulur-sulur wisteria yang menjuntai dari atas pergola patio tersangkut satu sama lain. Dalam hati Andrea mencatat apa-apa saja yang harus dia bereskan siang nanti.
Andrea menemukan Lucas tengah berjalan-jalan di dekat tanaman-tanaman rambat, memperhatikan mereka seolah tengah melakukan inspeksi. Dia melihat cowok itu berhenti di depan clematis yang sebagian besar bunganya rontok ke tanah, lalu menampakkan sorot bersimpati seraya berkata, "Malam yang berat, eh?"
Lucas bersikeras mengantarkan Andrea pulang ke rumah Georgia dengan kombi sewaannya. Dia beralasan mereka bisa membicarakan soal ide promosi Brierwood dengan Georgia, dan setelah Andrea selesai mengantar roti, dia bisa menyopiri Andrea kembali ke penginapan.
Ketika kembali dari Bourton-on-the-Water selepas melakukan pengantaran ke toko Lilian--dengan menggunakan mobil Georgia karena skuternya masih tertinggal di Brierwood--Andrea mendapati wanita itu tengah berdiskusi serius di meja makan sambil sarapan bersama Lucas. Andrea melepas jaketnya dan bergabung dengan mereka.
"...dan aku harus mengakui itu ide yang brilian, tapi butuh modal." Georgia berkomentar.
Pada dasarnya, ide yang berusaha mereka sampaikan adalah membuat sebuah situs web. Kalau para pengusaha lokal mau bekerja sama dan menggalang dana, mereka bisa menyewa seorang web developer untuk membuat situs web yang menyaingi milik Sawfitz, dengan konten lengkap, jelas, dan memuat daftar dari seluruh jenis usaha lokal yang terdapat di area Cotswolds. Lengkap dengan tautan menuju halaman situs atau media sosial tiap-tiap usaha--bila mereka sudah punya.
"Mungkin mengundang beberapa influencer di area sekitar untuk datang dan menginap gratis." Andrea memberi ide, "Dari situ, situsnya bisa dengan mudah mencapai lebih banyak orang."
"Bukan hanya itu. Kita harus konsisten memelihara dan mengembangkan isinya. Juga, membuat media sosial yang update sangat penting." Lucas menambahkan berapi-api, sementara Andrea tersenyum kecil menyadari bahwa cowok itu menggunakan 'kita' pada kalimatnya barusan.
"Terakhir aku aku cek Instagram Brierwood, hanya ada tiga foto di sana dan yang paling baru pun tertanda setahun yang lalu." Andrea menimpali.
Pipi Georgia merona, "Yah, kalian tahu bagaimana kami ini kumpulan orang-orang yang sudah ketuaan untuk hal-hal semacam itu..."
"Aku kenal nenek yang tinggal di dekat rumahku yang memperbarui isi Instagramnya sehari dua kali." Lucas nyengir. Georgia memutar bola mata.
"Oke-oke baiklah, aku payah soal itu dan ngomong-ngomong, aku nggak jago foto." ujar Georgia, "Kita juga nggak bisa menjamin semua pemilik usaha bisa menyediakan foto sekelas yang Sawfitz gunakan di situs mereka."
"Kau mungkin nggak jago foto, tapi rasanya aku kenal seseorang yang cukup berpengalaman..." Lucas sengaja membiarkan kalimatnya menggantung, namun Andrea tahu persis apa makna di balik semua itu.
"Oh!" Georgia menoleh pada Andrea dengan bersemangat, "Andy, bukankah kau fotografer di klub koran sekolahmu?"
Andrea terdiam, tidak tahu bagaimana sebaiknya menjelaskan masalahnya kepada wanita itu.
"Um... aku sangat senang bisa membantumu dalam proyek ini, Georgia, sungguh." Andrea meringis, "Aku tahu ini mungkin sulit dimengerti, tapi aku sedang tidak ingin melakukan apapun yang berhubungan dengan fotografi. Maaf."
"Oh..." bahu Georgia turun sedikit. Dia mengamati Andrea, jelas sekali memiliki pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Namun Andrea lega karena Georgia nampaknya paham bahwa itu adalah topik yang tidak ingin dibahasnya lebih lanjut, "Sayang sekali, tapi aku mengerti."
"Kami akan memberitahumu kalau kami bisa menemukan seseorang yang tepat." Lucas berkata pada Georgia. Wanita itu tersenyum lebar, bersandar ke kursinya sambil menatap Andrea dan Lucas bergantian.
"Terima kasih, ngomong-ngomong, karena telah menyisihkan waktu liburan kalian untuk memikirkan cara bagaimana usaha lokal kami bertahan." ujarnya tulus, "Kalian dua di antara sejuta."
"Kuncinya adalah dedikasi, disiplin, kerjasama... dan gencar promosi. Oh, dan modal." ujar Lucas panjang lebar, membuatnya kedengaran seperti politisi yang sedang rapat dengan tim suksesnya sementara Georgia terbahak-bahak.
Intinya, diskusi dengan Georgia membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Wanita itu merasa cukup optimis karena bukan hanya dirinya yang merasakan dampak penurunan tamu akibat Sawfitz, dan akan mencoba mengontak teman-teman satu lingkarannya yang memiliki usaha serupa di area Cotswolds dan meminta pendapat mereka soal ide pemasaran digital yang disampaikan Andrea dan Lucas.
Selama berkendara kembali ke Brierwood, Andrea terhanyut dalam pikirannya. Dia agak kesal pada dirinya sendiri karena kelewat sensitif dan terpaksa menghindari sesuatu yang bisa dilakukannya dan membuat dirinya berguna bagi orang lain, hanya karena seorang cowok.
Tetapi jujur saja, Matthew Venturi betul-betul memiliki pengaruh sebesar itu terhadapnya.
Lamunan Andrea terpaksa buyar karena Lucas mengerem kombinya dengan begitu mendadak hingga kepalanya nyaris terantuk dasbor.
"Apa yang--"
"Andy, lihat! Burung alap-alap!"
Lucas menunjuk ke arah luar jendela Andrea. Gadis itu mengikuti arah telunjuknya dan melihat burung berwarna abu-abu dan putih tengah melesat rendah menuju sebuah dahan pohon di tepian hutan.
Lucas menepi dan mematikan mesin kombi, lalu turun dari mobil diikuti Andrea. Cowok itu berlari kecil dan memanjat pagar kayu rendah yang membatasi ladang dengan jalan raya, kemudian dia mengulurkan satu tangannya ke arah Andrea yang menatap sekeliling dengan ngeri.
"Ini lahan pribadi!"
"Itu alap-alap kawah!"
Menyerah dengan argumen Lucas yang valid, Andrea akhirnya menerima uluran tangan Lucas dan ikut memanjat pagar kayu. Bersama-sama, keduanya berlari kecil menyeberangi ladang rumput yang luas dan berangin itu, menuju ke tepian hutan. Semakin mendekati pohon, semakin keduanya bergerak sepelan dan sesunyi mungkin, agar tidak mengagetkan burung yang tengah hinggap di puncak pohon sambil menyumputkan kepalanya ke balik salah satu sayapnya, seperti sedang membersihkan diri.
"Cantik sekali." bisik Andrea takjub, mengamati fisik burung itu yang luar biasa memukau. Paruh dan sepasang kakinya berwarna kuning cerah. Bulu yang menutupi kepala, punggung, dan bagian luar sayap-sayapnya berwarna biru kehitaman, sementara dada dan sisa bagian tubuh lainnya berwarna putih.
"Andy?" Lucas tiba-tiba memanggilnya.
"Yeah?"
"Kenapa kau berhenti melakukan hobimu?" Lucas bertanya, "Maksudku, secara spesifik?"
Andrea memandangi cowok itu setengah tak percaya. Sekarang? Saat mereka berdua sedang berdiri bersebelah-sebelahan di ladang pribadi entah milik siapa, terkagum-kagum dengan seekor alap-alap kawah?
"Kau menyesal karena aku nggak bisa mengambilkanmu foto semi-pro burung ini?" kekeh Andrea.
"Hanya salah satu alasan dari pertanyaanku." ungkapnya jujur.
Andrea menghela napas muram.
"Matthew Venturi. Itu adalah nama cowok yang kepingin kulupakan. Dan yang ironisnya membuatku jatuh cinta pada fotografi."
Lucas tampak seperti sedang berusaha menahan cengiran.
"Trista Frauss. Itu adalah nama cewek yang kepingin kulupakan. Ironisnya, adalah muse-ku sejak kecil dalam melukis."
Keduanya hanya saling menatap selama beberapa saat. Andrea dengan ekspresi syok, dan Lucas dengan ekspresi terhibur.
"Harus menggali kehidupan kita seberapa dalam lagi untuk menemukan kebetulan-kebetulan sehebat ini?" kata cowok itu, tak mampu lagi menyembunyikan cengiran lebarnya.
"Georgia benar, kita adalah dua di antara sejuta." Andrea menimpali tercengang.
Cengiran lebar Lucas memudar perlahan. Perhatiannya kembali kepada burung di puncak pohon, tetapi Andrea dapat melihat pandangan cowok itu menerawang.
"Sulit untuk melakukan sesuatu saat kau kehilangan alasan utamanya." gumamnya pelan.
"Itulah mengapa kau semalam menyebut soal 'memperjuangkan hobimu'..." Andrea akhirnya memahami, "Kau kehilangan muse-mu."
"Well..." Lucas mengangkat bahunya dan berkata ringan, "...sebetulnya nggak 'kehilangan' dalam artian harfiah. Dia masih hidup dan sehat, dan menjalani hidupnya dengan baik, barangkali. Sementara aku di sini, berkubang dalam kenangan dan pertanyaan satu-juta-dolar; mengapa aku nggak cukup baik."
Burung alap-alap di atas Andrea dan Lucas akhirnya menyadari keberadaan mereka. Dia merentangkan sayap-sayapnya yang luar biasa indah dan melesat kembali ke angkasa, kemudian menghilang dari pandangan.
"Karena itukah tidak ada satupun lukisanmu yang sudah selesai?" Andrea bertanya.
"Memangnya kapan aku pernah memperlihatkan lukisan-lukisanku padamu?"
"Memang nggak pernah. Waktu aku menumpang mandi di kamarmu semalam, aku melihat kertas-kertas gambar tercecer." jelas Andrea, "Kebanyakan berupa sketsa-sketsa kasar. Sementara yang lainnya hanya..."
"...kosong." Lucas menyetujui, "Lukisan yang kosong."
Sungguh aneh bagaimana saat ini keduanya masih memandangi dahan di puncak pohon tempat burung alap-alap tadi hinggap, seolah tak peduli dahan itu telah kosong. Setelah tersadar dari lamunan masing-masing, Andrea dan Lucas akhirnya berbalik dari pohon itu, berjalan beriringan menyeberangi ladang.
"Jadi... kau ditolak?" Andrea memecah keheningan di antara mereka.
"Kau bisa bilang begitu. Parahnya, saat itu kami sedang pacaran." ungkap Lucas.
Andrea meringis, "Ouch."
"Aku nggak berhak melarangnya untuk meraih kebahagiaannya yang sebenarnya. Dia sangat pantas mendapatkannya, lebih dari siapapun. Aku senang untuknya, tapi aku nggak senang karena berada dalam posisi yang harus berkorban. Ngerti nggak sih, maksudku?"
"Dia meninggalkanmu ke negara lain atau bagaimana?"
"Dia pacaran dengan sahabatku."
Andrea mengerem langkahnya, melongo memandangi Lucas yang berjalan mendahuluinya karena tidak langsung sadar kalau gadis itu telah berhenti berjalan akibat perkataannya barusan. Lucas berbalik dan ikut berhenti.
"Kau bercanda, kan?" Andrea bertanya, takut salah dengar.
Lucas mengangkat alisnya tinggi, "Kenapa pula aku harus bercanda soal sesuatu yang begitu bikin depresi?"
Andrea mengerjap beberapa kali, "Cowok yang sedang berusaha kulupakan juga jadian dengan sahabatku."
Lucas terperangah.
Momen itu, momen yang seharusnya menjadi ajang adu-sedih di antara keduanya, telah hancur dan malah berujung menjadi sesuatu yang komedik. Mereka tergelak-gelak di tengah ladang, tak mampu lagi menghadapi kebetulan-kebetulan yang terus menerus muncul seperti tak ada habisnya. Di penghujung tawa mereka Lucas tersenyum pada Andrea, demikian pula sebaliknya. Dan di sepanjang perjalanan kembali menuju mobil, Lucas mengulurkan satu tangannya kepada Andrea, yang balas menggenggamnya dan menjalinkan jemari mereka.
Hanya dalam beberapa hari, keduanya merasa seolah telah menjadi sahabat terbaik seolah telah saling kenal sepanjang hidup mereka.
🌳
This chapter is sooo fun to write.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro