Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

E M P A T




Setelah mobil Azka meninggalkan pelataran fakultasku. Aku segera bergegas ke ruang dosen, yang berada di gedung jurusan teknik industri, untuk mengecek keberadaan Pak Slamet.

"Siang Bu. Pak Slamet udah dateng belum ya?" Sapaku kepada Bu Dian—pegawai jurusan—sekaligus menanyakan keberadaan Pak Slamet.

"Siang Naura. Mau asistensi ya?" Mendengar pertanyaan Bu Dian, aku segera mengangguk, sebagai jawaban. Bu Dian yang tampaknya mengerti pun melanjutkan, "udah. Tapi kayaknya lagi ngajar deh. Kamu tungguin aja."

Setelah mendengar ucapan Bu Dian, aku pun segera duduk di salah satu kursi besi panjang yang ada di tiap sudut ruang jurusan. Setelah menunggu lumayan lama nampak Pak Slamet pun memasuki ruang jurusan, diikuti oleh beberapa orang mahasiswa yang membawa tumpukan kertas yang telah dijilid.

"Siang Pak." Sapaku sambil memotong jalan Pak Slamet yang akan menuju ruangannya.

"Hmm... Kenapa Naura?"

"Biasa Pak, mau asistensi hehe," jawabku atas pertanyaannya, sambil menampakkan senyum terbaikku.

"Ya udah ikut ke ruangan saya."

Tiba di ruangan Pak Slamet, setelah menunggu adik tingkatku—yang mengikuti Pak Slamet—pergi. Aku segera menyerahkan proposal penelitianku, untuk dikoreksi. Pak Slamet pun segera membuka lembaran kertas yang terdiri dari lima puluh empat lembar itu dengan saksama. Aku pun menunggu dengan cemas, tak terasa kedua tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin. Ini merupakan kebiasaanku dikala cemas. Kedua telapak tanganku pun saling bertaut untuk saling memberikan kehangatan.

Setelah lima menit yang panjang. Akhirnya Pak Slamet tiba di halaman terakhir proposalku, yang berisi lembar perbaikan. Lembar  yang masih bersih tanpa satu pun coretan dari kedua pembimbingku.

"Kamu belum pernah asistensi di Bu Devi?"

"Sudah Pak. Tapi lewat email. Kan Bu Devi lagi ke Jepang." Pak Slamet hanya mengangguk-angguk mendengar ucapanku. Karena masih tidak ada respon lebih lanjut, aku pun melanjutkan ucapanku. "Kata Bu Devi lanjutin sampai selesai dulu. Ntar ibunya koreksi lagi. Tapi sebelum itu saya disuruh asistensi ke bapak dulu."

"Ini udah bagus sih. Latar belakang sama kerangka berpikirnya udah sesuai dengan judul kamu. Ini penulisannya sudah sesuai dengan panduan dari fakultas?"

"Insya Allah sudah Pak."

"Ya udah kamu asistensi sama Bu Devi aja. Ntar kalo dia udah setuju untuk diseminarkan. Bapak ngikut aja." Ucap Pak Slamet santai. Dalam hati aku menyesali datang untuk asistensi dengan dosen satu ini. Beri masukan kek atau apa. Tapi baguslah aku hanya harus menghadapi Bu Devi, yang teganya melebihi ibu tiri.

"Ya udah Pak, makasih. Saya permisi dulu."

Saat keluar dari ruangan Pak Slamet, ternyata sudah ada Tania dan Sinta, yang menunggu di jurusan.

"Ra!" "Naura!" Sapa Tania dan Sinta dengan suara cempreng mereka, secara bersamaan. Sapaan mereka sukses mendapatkan delikan tajam dari Bu Dian.

"Maaf Bu hehe," ucap Tania cengengesan, begitu sadar dengan tatapan tajam Bu Dian. Aku hanya melihat mereka berdua hanya dapat terkik geli.

"Ra, ngemall yuk!" Ajak Tania.

"Iya Ra. Udah lamakan, kita gak jalan bareng." Sinta ikut menimpali ucapan Tania, membujukku agar ikut bersama mereka.

Setelah aku pikir-pikir tidak ada salahnya ikut bersama mereka. Sekalian menyegarkan pikiran dari proposal yang menjadi mimpi burukku, beberapa minggu terakhir.

"Ya udah yuk."

Sebelum berangkat aku mengirimkan pesan singkat melalui 'Line' salah satu aplikasi chatting yang sedang marak digunakan.

M. Rafa Azka Putra

15.21 [Hun]

15.21 [Aku udah ketemu sm P.Slamet]

[Abis ini mau jalan dulu sm Sinta]

15.22 [n Tania ya]

15.23 [Lov u]

Tanpa menunggu balasan dari Azka, kami segera berjalan menuju halte depan kampus yang lumayan jauh. Ini yang tidak kusukai dari kampus ini, fakultasku berada di bagian paling belakang kampus. Sehingga jika menggunakan kendaraan umum, kami harus berjalan lumayan jauh.

***

Tiba di mal, kami segera menelusuri segala penjuru mal, tanpa ada tujuan yang pasti. Setelah lelah berjalan keluar masuk toko. Namun tidak membeli satu pun barang. Kami akhirnya memutuskan untuk menuju lantai teratas, untuk makan di food court.

Saat sedang mengantre untuk membayar makanan di food court, pemandangan di sekitarku entah mengapa membuat perasaanku kurang nyaman. "Tan. Hari ini, hari apa sih?" Tanyaku ke Tania yang menemaniku mengantre.

"Hah! Apa Ra?" Bukannya menjawab, Tania malah balik bertanya.

Aku menghembuskan napas kasar, "ini bukan hari sabtukan ya? Kok orang-orang pada bareng pasangan sih?" Keluhku sambil , sambil menatap orang-orang di sekitarku.

Di depan kami ada sepasang remaja yang mungkin lagi dalam masa puber. Hanya dengan melihat celana dan rok yang mereka gunakan, aku dapat menebak mereka masih duduk di bangku SMA. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Si cewek tampak menunduk dengan wajah merona, lalu dengan kurang ajarnya tangan si cowok malah mengacak rambut sang gadis.

Tak jauh dari stan gado-gado ada dua pasang muda-mudi sedang bercerita dengan hebohnya, mungkin saja mereka sedang melakukan double date. Dua meja dari meja yang diduduki oleh Sinta, yang sedang menunggu kami membayar pesanan. Ada sebuah keluarga kecil, si ibu nampak menyuapi anaknya dengan telaten dan si ayah menatap keduanya dengan penuh cinta. Dan masih banyak pasangan lainnya.

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan. Tania malah tertawa, seakan mendapatkan lelucon yang sangat lucu. Beberapa orang di sekitar kami, bahkan menatapnya dengan intens. Mungkin mereka berpikir, Tania ini pasien rumah sakit jiwa yang kabur.

Karena takut salah satu dari orang-orang ini menelpon RSJ untuk mengamankan Tania, yang belum ada tanda-tanda akan berhenti tertawa. Aku pun berinisiatif untuk menegurnya, "Tan, sadar woi ini di mana! Malu-maluin tau gak."

Mendengar ucapanku, Tania seakan-akan tersadar dari kegilaannya. Ia langsung menampakkan cengengesannya, yang sama sekali tidak ada imut-imutnya.

"Lu lucu sih Ra," ucapnya yang ku respon hanya dengan roll eyes andalanku.

"Envy kan lu lihat mereka? Padahal lu sama Azka juga dulu begitu. Tau rasa kan lo..." Ucapan Tania terhenti karena sudah giliran kami membayar. Setelah membayar pesanan kami, Tania langsung mengantarkan bukti pembayaran di stan makanan tempat kami memesan sebelumnya. Sedangkan aku berjalan kembali ke meja di mana Sinta menunggu.

"Lanjutin Tan." Perintahku begitu Tania datang menyusul dan duduk di kursi sebelahku.

Sinta yang tidak tahu-menahu pembicaraan kami pun bertanya, "kalian lagi bahas apa sih?" Aku pun berbaik hati menceritakan tentang rasa iriku, melihat orang-orang di sekitar kami, yang saling berpasangan. Aku rindu dengan kebersamaanku dengan Azka, padahal dulu aku hampir sama seperti pasangan-pasangan itu.

"Buat apa sih lu envy-envy segala liat orang lain?" Tanya Tania begitu aku selesai menceritakan pembicaraan kami sebelumnya ke Sinta.

"Maybe. Teringat aja sama jaman dulu. Saat gue dan Azka selalu jalan bareng Sin, Tan."

Mendengar ucapanku kedua sahabatku itu malah tertawa. "Mampus. Sekarang lu udah rasainkan? Gimana gak enaknya liat orang lain pada PDA." Dasar si Tania bukannya menghibur malah mengejek.

"Dulu gue malah iri sama lo Ra."

"Iri? Sama gua? Kok bisa?"

"Siapa yang gak iri. Kemana-mana kalian berdua terus. Kak Azka juga baik banget. Mau aja gitu disuruh ini itu sama lo Ra. Inget gak waktu lo nyuruh dia beli pembalut. Mana ada cowok kayak gitu Ra." Mendengar ucapan Sinta mau tak mau aku membuatku bernostalgia tentang kebersamaanku dulu bersama Azka.

"Mana dulu gue naksir abis sama Kak Azka." Ya dulu saat masih menjadi mahasiswa baru, aku sempat bersitegang dengan Sinta. Bagaimana tidak dia dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya ke Azka. Padahal dia sudah tahu, jika Azka berpacaran denganku. Entah mengapa sekarang kami malah bersahabat.

"Lagian ya Ra. Lu tuh udah ngelewatin fase-fase pacaran, seperti anak SMA di depan kita tadi ataupun seperti remaja labil kayak gitu." Kali ini Tania yang angkat suara, sambil menatap beberapa pasangan muda-mudi di dekat meja kami.

"Dulu awal-awal Azka mulai jarang jemput ataupun jalan bareng lo. Gue pikir, lu bakalan segera minta putus sama doi."

"Banyak pasangan di luar sana. Kalo gak dihubungi atau gak ketemu sehari aja sama pasangannya. Bakalan ngambek, marah terus minta putus. Tapi lu malah bertahan, malah menyesuaikan diri dengan kondisi Azka." Ucap Tania dengan semangat kemerdekaan. Jika kami berada dalam anime, di belakang Tania sudah pasti ada kobaran api. Saking semangatnya.

Aku tertegun mendengar ucapan Tania. Benar juga aku dan Azka, sudah melewati fase lovey-dovey seperti pasangan kebanyakan. Kami mampu bertahan menghadapi perubahan dalam hubungan kami. Hal itu harusnya aku syukuri, bukannya malah iri dengan pasangan lain. Padahal baru tadi pagi, aku mengatakan harus mensyukuri segala hal. Termasuk hal-hal kecil. Aduh, sepertinya aku akhir-akhir ini mulai labil.

###

Akhirnya update lagi, vomen boleh gak? hihi

Ps: itu chatnya anggap aja lagi baca chat di line ya

Pinrang - 31 Juli 2016 - Andieeeeer

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro