Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 | Gulali

Gara-gara Adeeva, aku ditinggal seorang diri di rumah orang asing yang membuatku membisu selama makan malam berlangsung. Aku tak banyak bicara. Saat ditanya pun, hanya menjawab sekadarnya. Obrolan didominasi orang tua Sabas yang membicarakan seputar cabang kafe di Malang yang dikelola anak sulung mereka. Bahkan sampai makan malam selesai, aku tak banyak bicara.

Om Andre mengangsurkan sebuah bingkisan biru dengan tali ungu saat aku menunggu di ruang tamu lagi. Kupandangi bingkisan tersebut dengan sebelah alis terangkat.

"Ini hadiah buat kamu. Bukan sogokan, ya. Om cuma mau kasih ucapan terima kasih," tuturnya.

Kuterima bingkisan itu dengan senyum malu-malu tapi mau. "Makasih, Om."

"Kapan-kapan main ke sini lagi. Tante akan buat kudapan yang enak banget," kali ini Tante Dewi yang berujar.

Lagi-lagi aku tersenyum dan mengangguk. Om Andre mengangkat tangan pada Sabas yang menuruni anak tangga seraya mengenakan jaket. Duh, kenapa harus ia sih yang mengantarku?

"Jangan ngebut loh, Bas. Awas kalau sampai ketahuan ngebut." Om Andre memandang ke arahku. "Kalau anak Om ngebut, cubit aja."

Aku tertawa dan mengangguk, sedangkan Sabas mendengus. Berpamitan pulang, aku mencium punggung tangan Om Andre dan Tante Dewi, lalu mengekori Sabas keluar rumah. Kupandangi bingkisan di tanganku, bertanya-tanya kiranya apa yang diberikan Om Andre. Dahiku mengernyit selama berpikir. Sampai terdengar suara klakson motor yang membuatku tersentak.

"Buruan naik." Sabas mengangsurkan helm padaku.

"Kok nggak naik mobil?" celetukku seraya menerima helm itu.

"Nggak tahu diri banget, sih? Harusnya bilang makasih, Dek." Entah mengapa, aku benci sekali tiap ia memanggilku 'Dek'.

Bibirku mengerucut ke depan. "Pasti mau modus nih. Mau ngerem dadakan dan bikin aku spontan peluk kamu gitu?" Aku memutar mata.

Mendengar penuturan itu, Sabas membuka helm. "Anjir, mikirnya jauh amat. Jangan kebanyakan nonton sinetron mecin makanya. Udah, nggak usah banyak protes. Keburu toko bukunya tutup nih." Ditengoknya jam tangan.

Begitu aku naik di boncengan motornya, ia mengenakan helm. Aku mundur ke belakang memberi jarak agar tak terlalu mepet kena punggung. Motornya melaju meninggalkan halaman rumah. Selama perjalanan pulang, aku melempar perhatian ke gedung-gedung dan kendaraan, sembari berpegangan pada pinggiran motor.

"Mampir toko buku bentar, ya. Nanti kalau tutup, susah carinya. Besok dipake soalnya," katanya.

Aku mengangguk-angguk. Asal ia mengembalikanku sampai tujuan, aku sih tak masalah. Kami berhenti di sebuah toko buku. Begitu meninggalkan motor yang diparkir, Sabas menoleh memandangku yang masih berdiri di samping motornya. Tangannya melambai memberi kode padaku. Aku menggeleng.

"Mau digodain tukang parkir toko buku? Dia genit loh."

Bola mataku terputar kesal. Bergeruduk dalam hati, aku mengekor di belakangnya. Tampak seringai kurang ajar di bibirnya yang malah menambah kekesalanku. Kutinju bahunya pelan, membuatnya meringis hiperbolis.

"Sini aku bawain," lanjutnya seraya merebut tas bingkisan yang kupegang. Ah, dari tadi kek, Bas.

Toko buku agak lengang. Kuintip jam yang telah menunjuk angka sembilan. Biasanya, toko buku di kota ini tutup pada jam setengah sepuluh. Selama menunggu Sabas berkeliling mencari buku teori, aku menyisir rak bagian fiksi. Sudut bibirku terangkat membaca judul-judul buku yang sedang populer. Aku beralih menuju bagian bertuliskan "Sastra". Satu-satunya alasanku datang ke toko buku kalau tidak membeli buku teori, pasti novel sastra sebagai bahan tugas. Itu pun kalau ada uang. Kalau tak ada, terpaksa aku mengantre untuk meminjam teman sekelas. Melihat bandrol harga di sampul belakang, aku berdecak pelan. Bagiku, ini masih terlalu mahal. Padahal aku ingin membacanya karena tertarik dengan sinopsis singkat di belakang.

Sebelum novel di genggamanku berdiri di rak lagi, tangan lain memegang novel tersebut.

"Eh, mau ngapain?" Menoleh, aku melihat Sabas mencermati sampul belakang, seperti sedang membaca sinopsis singkatnya.

"Ya mau beli, dong," balasnya enteng. Lantas pandangannya berganti menuju ke arahku. "Suka konflik beginian, ya? Soal politik zaman Orde Baru."

Bibirku mencebik. "Tergantung, sih. Yang penting nggak ngebosenin aja."

Ia mengangguk-angguk, melangkah meninggalkan rak menuju kasir dengan membawa buku teori dan novel karangan Leila S. Chudori. Aku menunggunya membayar di kasir sambil mengedarkan perhatian ke seantero tempat. Pundakku ditepuk pelan. Sabas mengedikkan kepala mengajakku segera keluar bersamaan dengan lampu-lampu yang mulai dipadamkan.

"Kenapa beli bukunya mepet banget, sih?" tanyaku, sesampainya di tempat parkir.

"Abis sekelompok nggak ada yang mau beli. Ya udah, aku yang beli."

"Kamu udah nggak ngurusin latihan buat pementasan?"

Mendengar pertanyaan itu, ia memandangku skeptis. "Kepo amat."

"Kan udah aku bilang, kasihan anak-anak buah kamu. Kalau nggak ada sutradara, pertunjukan nggak bakal berhasil." Senyum kulebarkan di depannya. Hal itu membuat Sabas makin mengernyit bingung. Ia tertawa pendek. Rambutku diacak-acak, membuatku mendengus dan menepis tangannya.

Sabas menyodorkan helm padaku. Tak ada obrolan mewarnai perjalanan pulang. Mulutku terbungkam sejak bertolak dari tempat parkir menuju indekos. Aku memandang kendaraan, bangunan, sampai mengalihkan tatapan ke depan, pada kaca spion. Bola mataku melirik dirinya, sekilas, sebelum beralih saat ia memandangku dari spion.

Motornya berhenti di depan indekosku. Aku turun dan mengangsurkan helmnya.

"Makasih loh udah diantar sampai sini. Titip salam buat orangtua kamu, ya."

Sabas menyodorkan bingkisan padaku. "Tahu terima kasih ternyata. Yang rajin jadi astrada, ya. Biar aku semangat nyutradarain pementasan. Soalnya ada kamu yang bisa dijahili." Ia menyeringai.

Aku memberengut. "Jadi agak nyesel nyemangatin kamu." Aku memain-mainkan tali tas bingkisan Om Andre.

"Nggak ikhlas, ya?"

"Ikhlas kok."

"Muka kamu cemberut gitu kayak nggak ikhlas." Tangannya terulur, meraih kedua sudut bibirku dan menariknya, membentuk senyum. Aku menepuk tangannya, sedangkan ia terkekeh. "Ketemu di kampus, ya. Besok latihan kayak biasa." Ia mendekatkan dua jarinya di pelipis tanda berpisah, sebelum mengenakan helm dan melajukan motornya keluar kompleks.

Punggungnya ditelan kelokan. Aku menghela napas pendek. Kubuka pagar indekos dan masuk ke dalam. Lampu teras dan dalam rumah sudah dipadamkan. Anak-anak indekos lain pasti sudah tidur lelap. Sampai di kamar, kuletakkan tas bingkisan ke atas meja belajar. Pandangan mataku terperangkap menuju Carousel yang belum kukembalikan sampai saat ini. Tiap melihat novel ini, aku makin penasaran ada hubungan apa antara penulisnya dan Sabas.

Perhatianku berpindah menuju tas bingkisan itu. Aku membuka dan mengeluarkan semua isinya. Mataku terbelalak saat kukeluarkan sebuah iPad mini keluaran terbaru. Gila! Om-Om ganteng itu memberiku iPad sebagai bentuk terima kasihnya atas ulasanku di media cetak. Tak dapat kutahan senyum lebar di bibir. Seandainya aku tidak sedang di indekos selarut ini, sudah sejak tadi aku berteriak kegirangan. Kudekap kardus iPad tersebut erat-erat. Tanganku merogoh ke dalam tas lagi. Sepasang alisku bertaut bingung begitu menemukan novel Leila S. Chudori yang masih bersampul plastik. Loh, ini kan novel yang tadi ingin kubeli. Buru-buru aku merogoh ponsel untuk mengirim pesan WhatsApp ke Sabasnash.

Angkara: Bas, novel yang kamu beli tadi kayaknya kebawa, deh.

Aku mengetukkan ponsel pada dagu berkali-kali menunggu balasan Sabas. Ah, ia pasti masih dalam perjalanan pulang. Pasti tak sempat membuka pesan. Kalau begitu, aku bawakan saja besok untuknya. Beranjak berdiri, aku mengambil handuk, bergegas menuju kamar mandi. Kalau sudah selarut ini, aku tak akan berlama-lama di kamar mandi. Cukup mengusapkan sabun sekali, gosok gigi, lalu mengguyur air beberapa kali. Jadi, tak memakan waktu terlalu lama.

Keluar kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar di sepenjuru kamar, aku menengok ponselku yang nyala. Ada pesan masuk. Kubuka benda pipih tersebut dan membuka pesan di WhatsApp.

Sabas Songong: Nggak usah. Itu buat kamu. Selamat membaca.

*

Hujan sempat turun rintik-rintik saat aku berlari memasuki gedung fakultas sembari berpayung pada ransel. Aku menepuk kemeja dan rambutku yang basah. Di ujung koridor, kulihat Adeeva melambaikan tangan dan berlari kecil ke arahku.

"Ciye, Anggi. Abis kencan sama Mas Sabas mukanya seger gini."

"Ih ... siapa yang kencan sama Sabas? Kamu, sih. Harusnya nggak usah ninggalin aku di sana sendirian. Segala ngaku ada janji." Aku mencibir.

Mata Adeeva yang sepetri boneka membelalak. "Eh, aku ada janji beneran, tahu." Senyum bermain di bibir tipisnya yang hari ini dipoles gincu merah jambu. "Jalan sama Mas Pasa."

Bola mataku mendelik nyaris keluar dari rongga. "Pasa ketua BSO teater?"

"Nggak usah histeris gitu napa, sih? Jangan kencang-kencang. Nanti aku jadi bahan pembicaraan. Sefakultas udah banyak yang bicarain aku, loh. Banyak yang ngira aku sengaja nempel ke senior-senior. Kalau mereka tahu aku nempelin Mas Pasa, pasti mereka ngegosip lagi, bilang aku cewek gatel yang suka nempelin cowok-cowok penting di FIB." Ia menarik lenganku. Kami berjalan bersama menaiki anak tangga menuju kelas pertama. "Tenang aja, Gi. Mas Sabas nggak ada main mata sama aku, kok."

"Apaan, sih." Aku melepas pegangan tangannya di lenganku.

Kami memasuki kelas yang sudah dipenuhi teman-teman. Belum ada dosen masuk, sehingga keadaan kelas terlihat ricuh. Seperti biasa, aku dan Adeeva duduk di deretan terdepan. Kalau bukan karena mataku yang mulai rabun, aku sih malas duduk di deretan terdepan. Tak berselang lama, muncul Sulastri dengan muka datar. Ia memosisikan diri di bangku paling belakang.

"Lastri tuh, Div," bisikku.

"Eh iya, udah ngampus tuh anak. Ke mana aja, ya? Kok kita nggak pernah lihat dia, sih?"

"Kelakuannya juga aneh." Aku mengamati Sulastri yang bermain ponsel tanpa sedikit pun peduli pada keadaan sekitar.

"Jangan-jangan dia ikut aliran sesat, Gi."

"Hush! Jangan ngawur."

"Loh, banyak kok kasus-kasus mahasiswa yang otaknya dicuci."

Aku memutar bola mata. Kuketuk kepala Adeeva, membuatnya mengaduh pelan. "Dia keliatan nggak kayak ngikutin aliran sesat, kok."

"Eh, 'aliran sesat' yang aku maksud tuh...." Adeeva mendekat ke telingaku. "Grup aktivis garis keras."

Kedua alisku menyatu. "Ah, masa?"

"Kemarin pas jalan sama Mas Pasa, dia cerita soal anak-anak aktivis kampus yang agak nggak bener, gitu. Dulu waktu kita ospek, inget, nggak? Ada yang kasih selebaran provokatif, kan? Ngefitnah panitia BEM kalau kegiatan ospek kita bakal ada perploncoan."

Aku mengangguk mengingat kasus itu. Hari pertama ospek, kami memang mendapatkan selebaran dari orang-orang bertopi. Isinya sangat provokatif. Selebaran tersebut menganggap akan ada aksi perploncoan dalam kegiatan ospek. Hal itu menimbulkan kemarahan panitia ospek, sampai-sampai kami diminta mengumpulkan selebaran yang kami dapat. Bahkan, semua mahasiswa digeledah. Padahal ospek berjalan baik tanpa adanya tindakan kekerasan seperti yang ditulis di selebaran.

"Mas Sabas sampai minta semua mahasiswa ngeluarin barang-barang dari ransel. Dia khawatir kalau ternyata salah satu maba ikut organisasi aktivis itu dan ikut nyebarin selebaran," lanjut Adeeva.

"Dia sampai bentak aku," kataku berapi-api.

Cerita Adeeva malah mengulik ingatan saat ospek. Sabasnash dengan wajah songongnya membentakku karena tak mau mengeluarkan isi ransel. Saat itu aku lupa meninggalkan ponsel—membawa ponsel ke acara ospek masuk pelanggaran berat. Ia merebut ranselku dan menggeledah. Ia tak mendapatkan selebaran provokatif di dalam sana.

Dan aku baru ingat, ia hanya menatapku, lalu mengembalikan ranselku tanpa mengungkit ponsel yang kubawa dan meloloskanku dari hukuman. Aku yakin ia melihat ponsel itu.

Obrolan seputar Sulastri tak lagi berlanjut begitu Pak Irsyad memasuki kelas Kodikologi dan memulai kelas pagi.

*

Mentari mulai menyusup di balik awan oranye, namun tak ada seorang pun yang kulihat di lapangan latihan. Karena ponselku kehabisan baterai, aku tak dapat mengirim pesan pada Sabas dan menanyakan keberadaan anggota teater. Ah, mungkin mereka belum datang. Kuputuskan untuk menunggu di samping lapangan seraya membuka novel Pulang karya Leila S. Chudori yang dimasukkan Sabas ke tas diam-diam. Aku mendesah mengingat itu lagi.

Asyik membaca beberapa halaman, aku merasakan seseorang menyentuh puncak kepalaku. Menengadah, aku melihat Sabas berdiri memandangku.

"Tempat latihannya pindah. Kita dapat pinjaman auditorium di Kampus C. Ayo."

"Kok nggak ngasih kabar, sih?" tanyaku sengit.

"Aku udah nge-WhatsApp dan telepon. Nomor kamu nggak aktif, Dek Anggi."

Kusingkirkan tangannya dari kepalaku. Berdiri, kumasukkan novel Pulang ke ransel. "Makasih buat novelnya. Kalau aku ada duit, bakal aku ganti kok."

"Nggak usah. Anggap aja ucapan terima kasihku karena kamu mau bantuin aku nyiapin pentas." Senyumnya terukir di bibir. Aku malah ikutan tersenyum. Sadar sedang tersenyum seperti orang bodoh, aku mengubah raut wajah menjadi jutek. Aku berjalan mendahului. Baru beberapa langkah, aku berhenti dan memutar badan.

"Kamu nebengin aku, kan?" tanyaku.

Sabas membuang napas kesal, berjalan cepat dan menarik tanganku agar tak membuang waktu.

*

"Kita udahan dulu. Lanjut abis Isya."

Mendengar instruksi Sabas, para aktor bubar dari atas panggung. Beberapa di antara mereka berbondong keluar menuju masjid kampus untuk melaksanakan salat magrib. Beberapa lagi entah ke mana. Aku memasukkan buku, naskah, dan pena ke ransel sebelum menyandangnya. Sampai di pintu, Sabas berjalan mengikuti langkahku sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

"Mau ke mana, Dek Anggi?" tanyanya.

"Magriban. Biar nggak ditempelin setan kayak kamu."

Bibir Sabas mencebik. "Nyari imam, nggak? Aku mau jadi imam kamu." Spontan, aku menoleh dan mengernyit. Sebelum membuka mulut, ia melanjutkan lagi. "Oh iya lupa. Belum mukhrim, ya. Nanti aja kalau udah mukhrim." Dan terkekeh-kekeh.

"Eh-hem ... mulutnya mulai manis ke mana-mana nih macem gulali."

"Nggak semanis kamu kok."

Sudut bibirku terangkat. Kutatap ia dengan mata menyipit. Ia malah menyeringai lebar.

"Sori ya, Bas. Aku nggak sama kayak cewek-cewek yang ngejar-ngejar kamu. Nggak bakal kemakan mulut manis kamu. Bye." Kupercepat langkah, setengah berlari meninggalkan Sabasnash yang malah tertawa di belakang.

Kami tak bertemu lagi sampai jam tujuh.

Entah ke mana ia pergi sampai belum kembali ke auditorium ketika anggota teater lain sudah berkumpul dan siap melanjutkan latihan—tentu dengan gerutuan dan omelan. Aku mengecek ponsel yang sudah kuisi daya. Tak ada balasan darinya. Mencoba menghubunginya pun tak juga diangkat. Pasa yang menghadiri latihan memerintahkan aku mengatur, menggantikan Sabas sementara waktu.

"Dia ke mana?" bisikku di sela-sela latihan panggung.

"Tadi sih izinnya ada urusan sebentar," balas Pasa enteng.

"Kok nggak kasih tahu aku?"

"Nggak sempat. Tadi kita ketemu di luar pas aku lagi ngerokok. Terus dia pamit pergi dan minta kamu yang urus latihan sampai balik. Tapi kalau dia belum balik, aku diminta anterin kamu."

Bibirku mengerucut ke depan. Enak saja ia meminta orang lain mengantarku pulang! Lah, emang kamu sendiri siapa, Gi? Malaikat di pundakku mengetukkan tongkat je kepalaku. Seharusnya tak masalah kalau orang lain yang mengantarku. Namun, tetap saja rasanya tak enak kalau bukan Sabas yang mengantar. Aku tidak kenal dekat Pasa. Nah, belum lagi kalau Adeeva yang sedang dekat dengannya tahu aku diantar olehnya. Kan jadi serba tak enak.

Sampai jam sembilan pun, Sabas belum juga kembali. Ranselnya dibawa serta. Berulang kali aku memandang menuju pintu berharap ia muncul dengan muka songong atau senyum jahilnya. Aku menghela napas panjang. Latihan dibubarkan Pasa. Aku mengemasi barang dengan lunglai, antara letih dan ... entahlah apa. Kecewa? Batinku bertanya.

"Jadi bareng? Atau kamu mau ditebengi Praska aja?"

Mendengar namanya disebut, Praska menaikturunkan alisnya. Aku menggeleng cepat. Lebih baik aku jalan kaki daripada naik vespa bututnya.

"Kalau diantar Mas, Adeeva marah, nggak?"

Pasa melongo, lalu tertawa. "Nggak, dong. Ayo."

Sesampainya di indekos saja akan kukabari Adeeva kalau aku diantar pulang cowok yang sedang mendekatinya agar tak salah paham. Kuanggukkan kepala pada akhirnya. Aku mengikuti Pasa menuju tempat parkir. Keadaan kampus sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang lalu lalang keluar dari student center universitas. Ketika Pasa mengeluarkan motor dan memintaku naik, kudengar suara derum motor dari kejauhan mendekat. Aku langsung mengenali motor tersebut begitu sampai di depan kami. Sabas membuka helm dan membuang napas. Ia terlihat terengah-engah.

"Sori baru balik sekarang," ujarnya pada Pasa. "Makasih ya udah jagain Angkara." Aku melesatkan tatapan padanya. Tak membiarkanku menyahut, Sabas melempar pandangan ke arahku. "Yuk, ah. Kasihan kalau Pasa nganterin kamu. Rumahnya jauh banget loh, di perbatasan Sidoarjo."

"Alah, Bas. Modusnya bisa aja." Pasa menggeleng-geleng. "Aku duluan kalau gitu, ya. Bye, Anggi." Dan ditinggalkannya aku begitu saja dengan wajah melongo.

"Yah! Kan dia janji mau nganterin aku!" sungutku, sekaligus sedikit lega tak perlu memberi penjelasan pada Adeeva.

Masih di atas motornya, Sabas menatapku sambil memainkan alis. Ia menyodorkan helm padaku. Aku menyingkirkan poni kasar, menerima, dan memakainya. Tanpa basa-basi, aku menaiki motornya dengan wajah memberengut.

"Pasti nungguin aku balik, ya?"

"Geer. Udah buruan cabut." Aku memukul punggungnya.


*****

Wow I have busy days guys, sorry ;(

Selamat menikmati lagunya seniorku lagi unch unch

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro