Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 | Kalopsia

Wajah Angkara tak sesendu kemarin. Di pujasera, ia bisa tertawa bersama Adeeva. Aku memerhatikannya sambil membuka-buka naskah panggung. Ia tidak bicara banyak. Sampai kuantar pulang, ia diam. Setidaknya, ia baik-baik saja dan kembali seperti sebelumnya.

"Nggak makan, Bas?" Praska bertanya sambil mengunyah mie goreng telur.

Aku menghela napas panjang. Aku menyeret piring Praska, lantas melahap makanannya, membuat ia mengumpat. Kudorong lagi piringnya..

Angkara dan Adeeva beranjak pergi. Saat melewatiku, pandangan Angkara sempat tertuju padaku, kemudian mengalihkannya ke Adeeva. Aku memutuskan untuk kembali fokus pada naskah. Walau begitu, hatiku jadi gelisah. Ada hal yang terjadi padanya, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak mau terbuka padaku. Aku mengerang dan berlalu pergi, mengabaikan ceracauan Praska yang mulutnya penuh.

Keadaan di hall lantai dua ramai saat aku sampai di sana. Aku melihat kerumunan di depan majalah dinding, seperti sebelum-sebelumnya. Bedanya, mereka ramai memaki-maki Angkara yang dikerumuni. Adeeva melambai-lambai, meminta yang lain untuk tak memojokkan Angkara.

"Nggak usah sok polos jadi bocah."

"Ngapain masih setor muka di sini?"

"Nggak ada kapoknya, ya?"

Berniat maju mendekat, kakiku tertahan begitu melihat Ananta melerai. Ia berdiri di samping Angkara, meminta orang-orang untuk diam dan berhenti memojokkan Angkara. Di dekat tangga, Kirana mengamati kejadian itu dengan tangan terlipat dan ekspresi tak senang. Sedangkan tak jauh darinya, cewek yang pernah berjalan bersama Angkara dan Adeeva memerhatikan dalam diam. Ia berlalu pergi, tanpa mau menoleh ke kerumunan itu. Aku mengamati punggungnya sampai menghilang dari jangkauan.

"Kalau belum ada bukti dia yang melakukannya, jangan asal tuduh." Ananta mendekap Angkara.

Sekonyong-konyong aku melesat mendekat dan menepis telapak tangannya. Ananta memandangku kaget. Aku menggenggam tangan Angkara. Ia menengadah menatapku bingung. Tangannya berusaha dilepas, namun makin kueratkan genggamanku.

"Coba tadi yang ngomong kasar sama dia maju sini," tukasku.

"Apaan sih, Bas. Nggak usah ikut-ikutan. Sejak kapan kamu belain trouble maker ini?" Protesan mulai banjir berdatangan.

"Bukannya kamu yang dulu ngasih perintah buat jatuhin hukuman ke dia? Ngapain sekarang belain?"

"Jatuhin hukuman pas ospek sama keseharian nggak ada hubungannya, goblok. Siapa pun yang gangguin dia lagi, bakal urusan sama aku. Paham, nggak?"

Tak ada suara. Aku menggiring Angkara pergi dari kerumunan manusia bar-bar itu. Adeeva mengikuti di belakang.

"Nggak usah diantar. Ada Adeeva," katanya.

"Aku bakal ikut ke kelas kamu. Nggak usah protes."

Bibirnya mencebik masam. Walau begitu, ia tak membantah lagi. Dibiarkan aku mengikutinya memasuki kelas Kodikologi yang tidak kuikuti. Aku duduk di sampingnya, seperti bodyguard yang siap siaga menghantamkan bogem ke muka siapa saja yang mengganggunya. Teman-teman sekelasnya bahkan berbisik-bisik melihatku duduk sangat dekat di sampingnya.

"Kak Sabas ngapain ke kelas ini? Bukannya harusnya udah ngambil, ya?" Salah seorang teman Angkara mendekat, diikuti yang lain.

"Eh, sana pergi. Hush." Adeeva mengibas tangan dan memberi kode agar tak mengganggu. Mulutnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu, seperti: 'Jangan diganggu atau kalian kena semprot.' Pada akhirnya, aku ditinggalkan sendiri. Mereka tak berani bicara lagi padaku. Mungkin memahami makna ekspresi dan gestur melipat tangan di depan dada yang kutunjukkan.

"Kenapa kamu nggak ngelawan, sih?" tanyaku, kesal. "Kayak bukan Angkara yang aku tahu."

Kudengar suara helaan napas beratnya. "Kalau membela diri tapi nggak bisa ngasih bukti, percuma aja. Orang hanya percaya kalau ada bukti. Cuma sampai sekarang aku susah dapat bukti. Jangankan dapat, nyelidikin aja malah diancam." Ia menoleh, menatapku lesu. "Agak susah sih nyari pelakunya. Soalnya bukan tulis tangan. Aku belum bisa nganalisis gaya nulisnya. Jadi waktu cari tahu ke anggota majalah, susah. Siapa tahu pelakunya pernah kirim artikel ke BSO Majalah." Ia bertumpu dagu. "Tapi nggak ada yang bisa aku cari tahu." Dahinya diketuk berkali-kali. Frustrasi.

"Dulu kalian trio, kan? Yang satunya, siapa tuh, lupa namanya."

"Lastri?" Adeeva menyahut.

"Dia ke mana?"

"Tahu, tuh. Jarang banget ngampus. Suka bolos dia. Kita nggak pernah lihat dia masuk kelas. Ketemu pun, bukannya masuk kelas, malah keluyuran. Nggak jelas." Bibir Adeeva mengerucut.

Angkara mengangkat bahu. Ia mengeluarkan buku dan pena. Sementara itu, Adeeva sibuk menggeledah isi tasnya. Ia mengeluarkan sesuatu, empat lembar kertas yang terlihat seperti tiket.

"Teman Mama ngadain event Festival Film Prancis. Aku minta tiket ke Mama dan dikasih banyak. Kita pergi berempat, yuk."

"Berempat gimana?" tanya Angkara, sedikit tidak minat.

"Aku sama Kak Pasa, kamu sama Kak Sabas."

Baik Angkara maupun aku menoleh ke arahnya dengan ekspresi berbeda. Kami menjawab serempak.

"Nggak."

"Oke."

Lalu, Angkara menyikutku dan mendesis kesal.

*

Walau setengah hati, Angkara tetap mau pergi. Ia bersedia kujemput di indekos. Aku menunggu dengan bersandar di kap mobil sambil mengecek pesan-pesan masuk. Di grup, teman-teman teater merecoki. Gara-gara Pasa yang pamer kencan dengan Adeeva dan memposting tiket. Ia membawa-bawa namaku pula.

Pasa: Sabas sama Anggi. Gua sama Diva (:

Praska: Icikiwir uhuk. Sabas semangatnya bikin haru. Macem pejuang 45.

Sabasnash: Taik.

Baskara: Eh, ntar situ sama Diva jalannya agak jauhan, biar nggak gangguin yang lagi pdkt.

Eli: Eh kalian jangan gitu. Gita nanti potek wkwkwk.

Praska: Ah, parah nih. Jangan gitu, Pas. Kalau mau mamerin Sabas pdkt sama Anggi jangan di sini. Ntar Gita bikin video nangis-nangis di YouTube kayak awcikiwir.

Baskara: Ngakak, jir.

Pasa: Sori, Git. Move on Git.

Praska: Move on Git (2).

Baskara: Move on Git (3).

Danu: Move on Git (4).

Eli: Move on Git (5).

Mumun: Move on Git (6).

Sasa: Move on Git (7).

Gita meninggalkan grup.

Sabasnash mengundang Gita.

Sabasnash: Slow Git.

Gita: Bangsat semua kalian.

"Ehem."

Saking serunya membaca chat, aku tak sadar Angkara berdiri di sampingku. Buru-buru kumasukkan ponsel ke celana. Kuperhatikan penampilannya dari rambut yang dibiarkan tergerai sampai flatshoes. Ia mengenakan gaun sebatas lutut.

Anjyeng, cakep amat ini bocah.

"Apaan, sih?" tanyanya risih sambil menurunkan bawahan gaun dan menaikkan belahan dadanya.

"Tadi makan apa?" tanyaku sembari mengamati wajahnya.

"Kenapa?" Ia menyentuh bibirnya.

"Cantik banget. Bikin gemes." Aku meremas tangan, menahan diri tak mencubit pipinya sebelum tangannya melayang menabokku.

"Lebay, deh. Aku begini karena ngehargain permintaan Adeeva. Dia minta kita dandan sama."

Aku mengangguk-angguk. Terserah apa alasannya. Yang pasti buatku, ia berbeda dari biasanya. "Angkara tanpa sepatu bot rasanya kayak ngelihat Superman tanpa kolor di depan. Hambar."

Ia tertawa dan mendorong kepalaku. Kubukakan pintu mobil untuknya. Sadar dengan kendaraan yang kubawa, ia menaikkan sepasang alis skeptis.

"Tumben nggak bawa motor."

"Mau naik motor dengan baju begitu? Kalau kena angin terus kebuka dan ngelihatin paha gimana?"

Sudut bibirnya tertarik ke atas. "Otak kamu perlu dingajiin kayaknya." Aku menyengir. Ia lenyap masuk ke dalam. Aku memutari kap dan duduk di kursi kemudi. Kulajukan mobil meninggalkan komplek. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya mataku mencuri lirikan ke arahnya.

Acara sudah dimulai begitu kami sampai di gedung pemutaran film. Karena datang terlambat, kami mendapatkan kursi paling belakang. Pasa dan Adeeva tertangkap mata sedang mengobrol di barisan depan. Angkara menghela napas panjang, kelihatan tak nyaman. Terlebih diperhatikan cowok-cowok bule yang duduk di dekat kami. Aku jauh lebih tak nyaman melihat tatapan mereka.

"Hey, beautiful. Bonsoir." Cowok di samping kiri Angkara duduk semakin mepet.

Angkara menyelipkan rambut ke belakang telinga, agak terganggu.

"Dude." Aku melongok, menatap tajam bule itu. "She's mine."

Mendengar dua kata itu, si bule mengatupkan telapak tangan minta maaf. Ia pindah kursi setelah kuberi peringatan dengan lirikan ketus. Kursi di samping Angkara yang tadi kosong diisi lagi dengan orang lain.

"Kalau keluar lagi, jangan pakai baju yang kayak gini," kataku. Kulepas jaket denimku dan memakaikannya di pundak Angkara. Ia tersenyum, menggumamkan terima kasih, lantas mengenakan jaket itu. Kubantu ia mengancingkannya. Walaupun kedodoran, setidaknya ia bisa merasa nyaman.

"Emang kenapa?" tanyanya.

"Aku nggak rela aja kamu ditatap remeh sama cowok lain. Kalau jalan sama aku, tetep pakai sepatu bot kamu."

Ia menahan tawa. "Bukannya dulu waktu pakai baju begini kamu nyebut aku kayak stroopwafel, ya?" Ekor matanya melesat ke arahku. "Nggak sopan nyamain sama kue."

"Bukan nyamain, tapi ngasih filosofi." Manis, tapi nggak rela jadi kesukaan orang banyak.

Tak ada obrolan lagi di antara kami karena film mulai diputar. Kami berdiaman untuk menikmati film itu. Sepertinya, film berat. Namanya juga Festival Film Prancis. Yang diputar pasti yang berat dan membosankan. Aku sih sudah biasa menonton film berat. Apalagi yang dibuat orang luar negeri. Memandang ke samping, Angkara terlihat sangat bosan. Berulang kali ia menguap dan mengerjap-ngerjap mata. Kepalanya nyaris jatuh ke samping kiri. Sebelum menempel ke pundak orang lain, tanganku sigap menahannya, lalu memindahkannya agar bersandar di bahuku.

*

Melihat jajanan Prancis dan Indonesia yang ditata di meja-meja berbeda, Angkara kalap. Padahal tadi matanya tinggal lima watt dan berjalan sempoyongan. Namun setelah melihat deretan makanan yang menggugah selera, ia langsung segar.

"Widih, coba festivalnya nggak usah nonton film bosenin kayak tadi, tapi makan doang. Pasti nggak ngantuk!" katanya semangat, membuatku mendengus.

Pasa dan Adeeva bergabung dengan kami. Melihat jaketku yang dikenakan Angkara, Adeeva mengerjap.

"Yah, Gi. Kirain bakal samaan nih dandannya."

"Elah, ngapain samaan, sih? Kayak cabe-cabean di pasar aja."

Adeeva memonyongkan bibir kesal. Pasa memamerkan bogeman. Aku memutar bola mata dan meraih segelas minuman. Kuteguk minuman itu sekali.

"Padahal Anggi kelihatan cantik, tahu!"

"Ya kalau dia nggak nyaman, ngapain maksa? Lagian dia dandan buat siapa, sih? Aku lebih suka lihat dia kayak biasanya, kok. Nggak usah dandan aja udah cakep."

Angkara tersedak kue yang dimakan. Aku menjejalkan gelasku ke mulutnya, membantunya minum dari gelas yang kupegang. Ia menepis tanganku dan minum secara mandiri.

"Aku sama Adeeva ke sana dulu. Mau salim sama camer," kata Pasa sambil menunjuk meja yang diisi sekelompok ibu-ibu. Sepertinya, ibu Adeeva ada di sana.

Panggung mulai diisi pembawa acara. Seorang wanita bule yang menggunakan bahasa Prancis dan seorang wanita Indonesia yang menjadi menerjemah. Angkara menggeleng-geleng, tampak tak begitu tertarik dengan topik pembicaraan. Ia terlihat sangat bosan.

"Duh, sumpah, aku paling nggak suka acara kayak begini, bikin sumpek."

"Tadi aku nitip barang-barang di tasmu, kan? Hape, dong."

"Hm."

Ia merogoh tas mencari ponselku. Dikeluarkan satu per satu barangnya. Saat kulihat perangkat earphone, aku mengambilnya. Bersamaan itu pula, ia mengeluarkan ponselku dan mengangsurkannya. Earphone kusambung dengan ponsel. Aku memasangnya ke telinga kanan, lantas kabel satunya kuserahkan pada Angkara.

"Daripada dengerin mereka ngomong, mending dengerin musik aja."

Anggukan setujunya membuatku menyeringai. Ia memasang earphone ke telinga kiri. Aku mengeraskan volume dan berbagi lagu dengannya.

"Silampukau, nih."

"Asyik, kan?"

"Banget."

Kami mengikuti lirik, tak peduli dengan ucapan di atas panggung. Angkara jauh lebih senang mendengarkan lagu Puan Kelana daripada ocehan di panggung. Senyumnya merekah.

"Kalau ada program pertukaran, mau ke mana? Prancis kayak lagu ini?" tanyaku.

Ia menggeleng, lalu melepas earphone. "Pindah tempat, yuk. Berisik di sini."

Mengangguk setuju, kuajak ia menjauhi keramaian. Kami berjalan lambat menuju belakang gedung. Sepanjang jalan setapak, berdiri lampu-lampu kuning yang menjulang tinggi.

"Hm ... aku nggak yakin bisa masuk seleksi. Tapi kalau ada program pertukaran, mungkin ke Korea Selatan. Biar ketemu roti sobek Oppa."

"Dih." Aku menoyor kepalanya.

Ia tertawa cekikikan. "Bercanda. Maunya kalau nggak ke Jepang ya Belanda. Terus ambil fokus Asian Studies."

"Motivasi kamu ikut pertukaran mahasiswa masih gara-gara Ananta?"

Langkahnya terhenti. Ia memandangku tak senang. "Bisa nggak sih jangan sambung-sambungin ke Ananta mulu? Bosen, tahu."

Aku menyembunyikan senyum. Artinya, nama Ananta sudah tidak ada di hatinya. Bersih total. Kuminta ia duduk di bangku panjang pinggir jalan setapak. Kami duduk bersampingan dalam keheningan. Menengadah ke atas, kupandang awan yang mendung.

"Kok aku nggak pernah lihat ulasan kamu di koran, sih?"

"Aku udah lama berhenti. Mau fokus kuliah aja. Takutnya, nanti keteteran."

"Padahal, kangen ulasan pedes kamu di sana. Sekaligus biar kafe keluargaku makin rame."

"Ih, aku nggak sejahat itu, ya. Makanya, aku harus segera berhenti sebelum ulasanku makin nyakitin banyak orang."

Terjadi kesenyapan. Samar-samar, suara menggelegak yang berasal dari panggung acara terdengar.

"Gi," kataku. Ia membalas dengan gumaman 'hm'. "Ada seorang anak ingin menjadi astronot. Mulanya, setitik bintang yang menariknya sampai batas ilusi. Tiap malam, ia bermimpi terbang menembus galaksi. Tiap hari, ia berangan bisa bersua dengan matahari." Mendengar ocehanku, ia hanya bergeming tak mengerti. Aku menoleh ke arahnya. "Pagi itu, kabut mengantarkan seseorang datang kepadanya. Orang yang menjanjikan cita-cita layaknya Tuhan menjanjikan surga. Sang bocah dibawa terbang ke angkasa. Tidak hanya bintang, seluruh isi jagat raya menyapa riang gembira. Namun kabut petang datang di sepertiga senja. Tubuh sang bocah ditarik kuat. Entah oleh medan gravitasi, entah lubang hitam. Yang pasti, ia dihempas ke bumi. Duduk di kursi pesakitan. Ia tak pernah sadar mimpi itu hanya wujud pareidolia di pikiran. Kalopsia tak berkesudahan." Aku menatapnya lekat. "Aku sayang kamu, Gi."

Ia hanya memandangku dalam kegemingan.

*

Angkara tetap Angkara yang susah dibuat takluk. Aku curiga Ananta punya pelet. Mengapa ia yang mukanya tidak seganteng aku bisa membuat Angkara—dan Claudia—jatuh cinta? Padahal, aku sudah mengubah sikap. Kutunjukkan kesungguhanku padanya. Tidak seperti saat aku meminta cewek-cewek lain menjadi pacarku. Itu sangat gampang. Modal jabatan, tampang, dan sikap sok dingin saja mereka pasti mendekat.

Seorang Sabasnash Baladewa yang namanya sangat tenar di kampus berulang kali menyatakan cinta. Namun, Angkara bisa setenang itu? Minum es cendol di pujasera bersama Adeeva sambil tertawa cekikikan seolah tak ada apa-apa.

Apa yang tidak ia sukai dariku? Toh, aku tidak pernah songong.

Lantas terputarlah rekaman kelakuanku padanya. Aku menepuk wajah. Padahal, kulakukan itu semua sekadar mencuri perhatiannya. Heran, cewek-cewek di sekitarku suka diperlakukan seperti itu, tapi ia tidak. Aku menepuk meja, kemudian melenggang pergi. Mengabaikan Praska dan Pasa yang asyik mengobrolkan hentai terbaru.

"Mau ke mana, Cuk?" teriak Praska.

"Toilet."

"Coli ya, njeng?"

"Yoi."

Tawa mereka meledak di meja. Cewek-cewek di sebelah Praska mendorong kepalanya. Melewati meja Angkara, ia tak memandangku sedetik pun, sibuk dengan laptop dan tugas-tugas makalah.

Koridor lantai tiga agak sepi. Di depan mading umum milik BSO Majalah, aku melihat seseorang berdiri mencermati selebaran-selebaran artikel yang ditempel. Aku berdeham, membuat cewek yang membaca artikel itu terperanjat kaget. Begitu matanya bertemu dengan mataku, ia spontan menunduk.

"Eh, maaf, Mas. Mau baca, ya?"

"Lastri?"

Kepalanya terangkat. "I-iya. Kenapa, Mas?"

Aku mengusap-usap dagu. "Tahu nggak kalau Pak Edo yang jaga ruang CCTV itu kenal baik sama aku?"

Ia menelan ludah susah payah. "Maksudnya?"

Aku melangkah makin maju, sedangkan ia mundur hingga punggungnya menempel papan mading. Sebelah tanganku menekan papan untuk mengungkungnya.

Kudekatkan wajah padanya, lalu merendahkan nada, "Harusnya kalau mau nempelin artikel-artikel di mading departemen jangan sampai ketangkep CCTV. Apalagi ketahuan orang kayak aku."

*****

Tauk ah. Q lagi cakid.

Oh ya, saya mau cerita nih. Kan waktu itu lihat di instastory akun RP si Sabasnash. Nah ntuh ada orang yang nyolot, intinya dia kesel ternyata akun Sabasnash itu bukan punya Jefri Nichol. Terus pake ngatain segala, mainstream, di mana-mana muka Nichol yang dijadiin RP. YA KESEL DONG ANJAY. Padahal bukan saya yang diinbox begitu, tapi ya sebagai pencipta karakter ini, saya kesel.

Mereka tahu Nichol emang sejak ada film DN. Tapi saya waktu itu sudah iseng mampangin muka dia di sini, jauh sebelum Erisca kasih tahu ke saya yang dicasting Nathan itu Nichol.

Ini kekanak-kanakan banget sih. Tapi plis lah ya, jangan jadi orang nyebelin. Lagian ya udahlah ya, mau muka si Nichol kek, Komeng kek, siapa pun, nggak usah keleus bilang 'mainstream'. Cuma mau bilang sekali lagi, kalau bisa dibilang di dunia per roleplayeran, saya yang majang muka si Nichol duluan. JAUH SEBELUM CASTING DEAR NATHAN. Bikes deh :( T_T

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro