5 | Stroopwafel
Mendengar celotehanku sepanjang hari di kamar, Adeeva terpingkal-pingkal. Ia tak akan pernah menyangka bahwa, meskipun hobi makan, aku juga hobi mencaci makanan. Sembari menemaniku mengerjakan artikel pertama sebagai kontributor berbayar di salah satu koran kota, Adeeva mencoret-coreti salah satu bukuku.
"Kenapa kamu berpikir sejahat itu? Maksudku, kalau aku jadi kamu mah, aku bakal tinggal menghabiskan semua kudapan itu. Apalagi kalau gratisan."
Menoleh ke belakang, kulihat Adeeva tertelungkup sambil bertopang dagu. Aku memutar kursi untuk bersipandang dengannya.
"Ini bukan hanya soal cita rasa. Sebagai seorang anak baker—mantan baker—yang sangat andal, aku nggak cuma diajarin meracik rasa dan penampilan. Ibarat seorang perempuan yang nggak cuma cantik, dia juga butuh polesan lain, Div."
"And ... what is it?" Adeeva menaikkan bahu.
"Karakter." Aku tersenyum dan kembali pada laptop.
Kudengar desahan pendek Adeeva dan suara pena diempaskan ke atas buku. "Ya... oke. Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud."
Kuputar kursi sekali lagi. "Sulastri masih marah sama aku, ya? Kok dia nggak pernah WhatsApp sih? Di grup kita juga nggak nongol."
"Sibuk pacaran kali. Aku juga udah jarang lihat dia. Akhir-akhir ini dia sering bolos kelas."
Aku berdecak. Kupikir ia marah padaku karena sikapku di kantin waktu itu. Tapi melihat bahwa ia juga menjauhi Adeeva, aku rasa pokok permasalahannya bukan lagi ada padaku.
Topik pembicaraan tak lagi mengarah pada Sulastri. Adeeva membiarkan aku menyelesaikan artikel pertama untuk mengulas beberapa kudapan yang pernah kucoba di beberapa kafe. Sementara Adeeva berdendang kecil menirukan lagu yang terputar dari pemutar musik di ponselnya.
*
Novel yang pernah kupinjam dari ruang baca kubuka lagi. Sore ini, aku membacanya di gazebo. Agar tak terganggu suara berisik orang-orang sekitar, aku mengatur volume headshet-ku cukup kencang. Beberapa halaman sudah berhasil kuhabiskan. Kurasa, tak membutuhkan waktu lama bagiku menyelesaikan novel dengan tebal 200-an halaman ini. Diksi yang ditulis sangat menghanyutkan. Selama menempuh studi di sini, belum pernah aku mengenal karya sastra dengan nama pena Mega Mentari. Dosen-dosen pun tak pernah menyinggung nama itu.
"Kok bisa karya sebagus ini nggak dikenalin di kelas?" ujarku, memperhatikan sampul buku bergambar abstrak tersebut.
"Itu buku sumbangan mahasiswi sini. Terbitan indie."
Spontan, aku menoleh ke samping dan melepas headshet begitu sadar seseorang duduk tanpa permisi. Kedua alisku bertautan. Aku memasukkan novel bertajuk Carousel ke dalam tas, hendak pergi. Namun kuurungkan niatku dan duduk lagi. Sementara Sabasnash menyengir.
"Kamu kenal penulisnya?" tanyaku enggan.
"Lebih dari itu."
Mulutku terbuka, mengerti maksudnya. Seakan tak ingin aku berasumsi terlalu jauh, ia menyela cepat.
"Bukan kayak yang ada di kepalamu." Telunjuknya ditekan pada pelipisku. Aku menepis tangannya dan mendesis. "Yang pasti, semua tulisannya bagus."
Aku membuka salah satu halaman yang kutandai dan menunjukkan penggalan puisi yang tertulis di sana. "Ini kamu yang buat?" Berharap ia menggeleng, ia menjawabnya dengan senyum menyebalkan. Oh Tuhan, maafkan aku pernah mengagumi penggalan puisi si berengsek.
Detik lain, senyumnya dihapus. Buru-buru ia mengubah raut wajah begitu melihat Praska mendekati kami, duduk di samping Sabas, dan merangkulnya.
"Udah baikan nih kayaknya. Kan adem kalau ngelihat kalian duduk berduaan begini, kayak pacaran."
Aku memutar mata. Seolah sengaja membiarkan aku terkubur dalam rasa keingintahuan besar, Sabas tak lagi melanjutkan topik penulis yang 'dikenalnya' ini. Ia melenggang tanpa kata, membuat Praska berseru memanggil namanya berkali-kali seraya berlari mengekor. Kuamati langkahnya sampai lenyap di kelokan. Sial. Aku jadi penasaran penulis novel ini.
Sesampainya di kamar, kuhidupkan laptop dan memulai pencarianku terhadap nama Mega Mentari. Tak ada satu pun artikel atau laman yang membahas dirinya. Bahkan ia tak memiliki akun media sosial. Kalau begitu, benar dugaanku kalau Mega Mentari hanyalah sebuah nama pena. Siapa nama aslinya?
Di luar dugaan, aku mengetik nama akun Facebook seseorang dan berhasil menemukannya. Sabasnash Baladewa.
"Eh, tunggu. Ngapain aku ngetik namanya?!" seruku kesetanan. Saat tanganku hampir menutup laman tersebut, aku justru menggerakkan kursor, mencari deretan orang-orang yang berada di kotak 'teman'. Sampai ke bawah, tak kutemukan nama atau akun gadis yang kemungkinan adalah Mega Mentari. Kugigit jemari, berpikir lumayan panjang.
Lama-kelamaan, aku malah menyusuri postingan-postingan lamanya saking digerogoti rasa penasaran. Ia jarang memposting, kecuali hal-hal penting seperti kegiatan atau artikel yang ditulisnya sendiri. Sampailah aku pada postingannya beberapa tahun lalu. Menggerakkan kursor ke bawah, aku menemukan salah satu unggahan fotonya bersama seorang gadis. Sontak, aku memajukan badan dan mencermati foto dengan sepenggal kalimat pada keterangannya: "Cinta itu sederhana. Orang-orang yang membuatnya rumit."
Aku melamun selama beberapa saat, memperhatikan foto unggahan lama yang dikomentari beberapa akun. Inikah si "Mega Mentari" yang menulis novel seromantis dan seabsurd Carousel? Oke, kukatakan, novel itu bukanlah novel romantis sembarangan. Penyampaian ceritanya sangat absurd dengan tokoh utama 'aku' tak bernama yang menyesalkan perpisahannya dengan tokoh lain yang hanya disebut 'kau'.
Keingintahuanku sekali lagi diuji lantaran si gadis misterius tidak ditandai di foto itu. Pada kolom komentar pun tidak kutemukan akun si gadis.
"Tumben banget diem di kamar, Gi?"
Praktis, aku menutup laptop dan membelalakkan mata melihat Bening muncul di sampingku dengan kedua alis terangkat. Apakah ia melihat apa yang kulakukan? Apakah ia melihat aku sedang membuka akun Sabasnash? Apakah ia mengetahui perbuatanku ini?! Ya ampun, aku bisa menanggung malu tujuh turunan!
Senyum di wajah Bening sangat menggangguku. "Stalking siapa tadi? Kayak pernah lihat foto yang kamu buka tadi, deh."
"Nggak siapa-siapa kok." Kugeser laptop agar tak berhasil ia jangkau.
Menarik sudut bibir ke atas, Bening mengulum senyum simpul. Ia bertolak pinggang. "Oh ya, aku ke sini mau kasih undangan. Nih." Ia menyodorkan padaku secarik undangan padaku. Kuterima kertas tersebut dan membaca isinya. "Undangan welcome party dari junior. Beda dari tahun-tahun sebelumnya loh. Tahun ini juniornya pada kreatif."
Aku membolak-balik undangan itu. Tahun lalu, acara welcome party yang diadakan angkatanku berjalan sangat sederhana dan membosankan. Aku membenarkan ucapan Bening bahwa junior tahun ini memilih tema yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dan, katakanlah, sangat tak konvensional.
"Aku nggak datang." Aku melempar kertas undangan itu ke meja.
"Eh ... nggak boleh gitu. Mereka udah susah-susah loh bikin acara ini biar berkesan di depan senior. Ini pertama kalinya junior berani ngambil langkah segede ini. Datang ya. Pasti seru." Ia menepuk pundakku.
Kuamati sekali lagi undangan tersebut. Lalu, menghela napas panjang.
*
Kalau disandingkan di sebelah Adeeva, aku ibarat upik abu. Adeeva tampil begitu mempesona dengan gaun sebatas lutut, rambut ikal yang digerai sepanjang punggung, riasan sederhana namun tetap membuatnya berkali-kali lipat lebih cantik daripada aku, dan wedges yang sewarna dengan gaun merah jambunya. Berulang kali ia mengamati penampilannya di kaca jendela mobil orang atau cermin toilet kampus.
"Kamu cantik, Div. Berhenti bercermin. Sabas pasti kepincut kok," kataku kecut.
Mendengar nada sarkastisku, Adeeva yang merapikan rambutnya di depan cermin toilet sontak menoleh hingga membuat rambut indah bak model iklan sampo itu terkibas. Ia menyengir, membuatku mengernyit tak senang.
"Sensi banget, Gi. Kenapa?"
"Siapa yang sensi? Biasa aja." Aku hanya malas melihat Adeeva berdandan untuk cowok seberengsek Sabasnash. Sumpah, ia berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik.
Adeeva menarik tanganku. Ia melepas kuncir rambutku. Aku memekik.
"Eh! Kok dilepas?!"
"Sekali-kali perlihatkan kecantikan kamu. Jangan disembunyikan cantiknya." Disisirnya rambutku yang dibiarkan tergerai. Selain sisir, ia mengeluarkan lipstik, maskara, dan pemerah pipi. Aku menolak ketika tangannya bergerak hendak memulaskan lipstik pada bibirku.
"Ihh! Nggak ah! Pakai sendiri aja!" seruku menghindar.
Tak peduli pada teriakanku, Adeeva menahan pipiku dan memoles bibirku dengan sesuatu yang rasanya lebih mengerikan daripada donat hasil praktik pertama Marseille yang gagal. Aku menggeleng, berniat menghapus, tapi Adeeva menahan tanganku dan mendelikkan mata.
"Lihat deh, kamu cantik banget kalau dirias begini." Nadanya berubah jutek. "Kalau kamu nggak mau, kita nggak usah temenan lagi."
Ya ampun ... bisakah ia berhenti mengancamku dengan ancaman bocah TK seperti itu? Meski demikian, aku turuti saja kemauannya. Aku menyerahkan diri, seperti seorang tahanan yang tak memiliki jalan keluar lagi. Adeeva menyelesaikan karyanya pada wajahku. Hitungan beberapa menit saja, aku diperbolehkan membuka mata.
"Tadaaaa."
Kuamati diriku di depan cermin dan mengernyit jijik. Bibirku yang semula berwarna alami menjadi merah jambu seperti warna bibir Adeeva. Mataku lebih lentik. Pipiku juga lebih merah seperti kena tamparan seseorang. Aku mendengus pendek.
"Serius deh, Div. Jijik banget sih lihatnya."
"Ini namanya seni. Udah, ayo keluar."
Usai memasukkan peralatan tempurnya ke dalam tas, Adeeva menggandengku keluar. Aku mencoba menyembunyikan wajah dengan menundukkan kepala, menghindari bertatap muka dengan orang-orang. Memasuki aula yang sudah diterangi dengan lampu warna-warni dan dekorasi mewah, daguku ditarik Adeeva. Musik menggelegak memenuhi aula. Aku berjalan terseok-seok mendekati gerombolan teman sekelasku. Kutundukkan kepala mendengar celotehan menyebalkan kawan-kawan yang mengomentari dan menertawakan dandananku yang kelewat 'perempuan'.
"Kalau kuliah dandan begini aja deh, Gi. Bakal banyak yang kecantol tuh. Siapa tahu Prapto jadi naksir sama kamu." Suara seorang temanku, Nana, terdengar di antara gelegar musik.
Tawa mereka berderai-derai.
"Issh. Aku hapus nih make up-nya!"
"Jangan ngambek gitu dong. Nggak kasihan sama Adeeva yang bersusah payah bikin kamu kayak gini?" Iis menyenggol bahu Adeeva. Mereka berdua terkikik pelan.
Acara dimulai beberapa waktu kemudian. Bersebelahan dengan Adeeva, aku membagi pandangan antara si pembawa acara dengan keadaan di sekitar.
"Lastri ke mana, sih?" bisikku.
"Nggak tahu. Katanya nggak ikutan."
Aku menghela napas panjang. "Kamu ngerasa kalau dia sedikit berubah? Kok tiap ketemu aku nggak nyapa, ya? Jarang masuk kelas juga. Kalau masuk pasti cari kursi yang agak jauhan dari kita dan keluar gitu aja."
Adeeva mengedik. "Nanti aja deh dibicarain."
Sepakat, aku tak melanjutkan lagi topik pembicaraan kami. Pandanganku sontak beralih menuju satu arah di mana kulihat Sabas berjalan menepis pundak beberapa anak menuju barisan terdepan. Ia sempat menoleh ke belakang mencari keberadaan seseorang. Ketika mata kami bertemu, aku praktis membuang muka. Beberapa detik selanjutnya, aku melirik sedikit. Ada Praska yang sudah berdiri di sebelahnya. Oh, ia mencari keberadaan Praska.
Lah, memang siapa yang kuharapkan sedang dia cari? Aku? HAHA.
Di pertengahan acara, tamu undangan diminta menuliskan nama mereka pada secarik kertas dan memasukkannya ke kotak yang dibawa oleh panitia. Tujuan penulisan nama ini, menurut mereka, adalah untuk pengundian. Nama yang diundi dan disebut harus naik ke atas panggung untuk membacakan puisi. Membaca puisi saja, kan? Tak masalah. Aku ahlinya baca puisi dan sering menang lomba saat SD—biarpun pesertanya hanya sepuluh anak.
"Oke ... aku udah mendapatkan kotaknya nih. Kita ambil dua nama ya. Nama yang dipanggil harus mau maju ke sini. Yang terpilih harus baca puisi secara estafet." Si pembawa acara mengambil dua kertas dan membaca satu per satu. "Kertas pertama yang aku baca ini punya ... uhm...."
"Aku punya firasat buruk," kataku pada Adeeva. "Biasanya kalau lagi punya perasaan kayak begini, namaku yang bakal dipanggil."
"Angkara Devanagari!"
"Tuh, kan!" Mataku membelalak. Adeeva mendorong bahuku agar segera maju ke depan.
Dengan berat hati, kulangkahkan kaki ke depan diikuti suara tepuk tangan dan sorak-sorai teman-temanku yang menyebalkan. Aku mendesah pendek sesampainya di atas panggung.
"Masih ada satu lagi nih, Kak. Kita lihat siapa yang bakal nemenin Kak Angkara baca puisi secara estafet!" Ia mengintip kertas yang dipegangnya. "Jeng jeng jeng ... Prapto Subejo!!!"
Prapto? Belum-belum kubayangkan diriku sedang membaca puisi secara estafet bersama si komting yang aneh itu. Dahiku mengernyit tak suka. Jelas bukan imajinasi yang menggembirakan. Coba saja kalau nama yang dipanggil seindah nama Ananta Senapati. Aku akan bahagia selamanya.
Alih-alih maju, Prapto justru berlari terbirit-birit keluar aula. Tawa meledak dari seluruh tamu undangan. Dia lari gara-gara demam panggung atau nggak sudi baca puisi secara estafet bersamaku? Sehina inikah aku di matamu wahai komting? Aku menghela napas panjang.
"Wah wah ... kayaknya Mas Prapto demam panggung nih. Atau grogi ya bisa berduaan sama Kak Angkara yang cantik ini?"
HAHAHA. Jangan menjilatku seperti ini, Dek. Aku nggak bakal bagi-bagi esai tugas kuliah.
"Ya udah deh, kita undi lagi nama yang lain." Si pembawa acara mengambil satu kertas lagi dan mengintip tulisannya. Aku menunggu dengan jemu. Kakiku bergerak-gerak tak sabar, ingin segera turun dan menghindari tatapan orang-orang yang memenuhi aula. Aku tidak terlalu suka jadi pajangan. "Satu nama lagi yang akan berestafet bersama Kak Angkara adalah...."
"Buruan, dong," aku berbisik pelan.
"Sabasnash Baladewa!"
Spontan, aku merasakan cairan lambungku naik sampai kerongkongan. Mulutku terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar. Lidahku seperti dipaku. Gumaman riuh terdengar seantero aula. Aku menepuk dahi, memandang Adeeva yang menyembunyikan senyum di sebelah kawan-kawan lain.
Ketika Sabas naik ke atas panggung, tepuk tangan dan sorak sorai yang diterimanya lebih riuh dan ramai daripada aku. Bibirku mengerucut ke samping melihatnya berdiri beberapa meter dariku, dipisahkan oleh si pembawa acara.
"Jangan terlalu jauh. Sini, mendekat." Tanganku ditarik agar bisa lebih dekat dengan Sabas. Bola mataku terputar kesal. "Widih ... serasi banget nih. Serasi, nggak?"
"NGGAK!!!" serentak, seluruh tamu undangan perempuan berteriak lantang seperti orang bar-bar. Aku mendengus.
"Kalian udah tahu peraturannya, ya? Kalian boleh mengambil buku-buku puisi secara acak di atas meja dan membacanya secara estafet sebanyak empat puisi. Silakan."
Aku mengambil asal-asalan buku antalogi puisi di sana. Saat kubaca sampulnya, kudapati nama Sapardi Djoko Damono. Memandang ke arah Sabas, ia mendapatkan Sapardi pula. Sebelah alisnya terangkat seperti mencemoohku.
"Wah, mereka berdua dapat antalogi yang sama. Apakah ini artinya mereka berjodoh?"
"NGGAK!!!"
Siapa juga yang mau jodoh sama dia!
Lampu yang tadinya menyorot terang berubah menjadi redup—hanya menyoroti panggung. Instrumen musik pun terdengar sebagai pengiring.
"Ladies first," kata Sabas.
Aku menyelipkan rambut ke belakang telinga dan membuka secara acak halaman buku antalogi puisi itu. Kubacakan salah satu puisi Sapardi yang bertajuk "Yang Fana adalah Waktu".
"Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga. Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. 'Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?' tanyamu. Kita abadi."
Ia menyambung dengan puisi Sapardi yang lain, "Tajam hujanmu ini sudah telanjur mencintaimu: payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu." Aku mengamatinya selama membacakan puisi itu. Ia seperti hapal di luar kepala. Tanpa memandang teks, matanya justru terpaku padaku,"...aspal yang gemeletuk di bawah sepatu, arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan deras dinginmu. Sembilu hujanmu."
"Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan," sambungku, "—swaranya bisa dibeda-bedakan; kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu. Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan—menyihirmu agar sama sekali tak sempar mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan."
"Pandanglah yang masih sempat ada. Pandanglah aku: sebelum susut dari suasana sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara terpantul di dinding-dinding gua. Pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya. Waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia langit mengekalkan warna birunya. Bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata," tutupnya.
Aku memutus kontak mata. Baru kusadari suasana cukup hening—hanya ada suara instrumen musik yang mengiringi dan suara kami. Beberapa detik kemudian, suara tepuk tangan dan hingar bingar tamu undangan—terutama perempuan—memekakkan telinga. Buru-buru kuletakkan buku antalogi puisi itu ke atas meja dan turun panggung. Tak berselang lama, ia melakukan hal serupa. Aku berdiri di sebelah Adeeva, menerima segelas minum darinya dan mengibas-ngibaskan tangan, sementara si pembawa acara mengoceh. Suaranya seperti gaung yang tidak jelas.
"Kamu baik-baik aja kan, Gi?" tanya Adeeva.
Aku nyaris tak bisa bernapas! Sepertinya aku terkena demam panggung. Masa, sih?
Bukan. Kamu sedang terkena jerat pesona Sabasnash, si malaikat terkikik bersama si iblis. Aku mendesah panjang, menggelengkan kepala mengusir suara bodoh di otakku yang sepertinya sedang tidak sehat.
Perlahan, aku melirik ke tempat Sabas tadi berdiri di samping Praska. Ia tak ada di sana. Aku melihatnya keluar aula. Kugeleng kepala sekali lagi.
Aku yakin kamu nggak bisa tidur semalaman ini, kali ini si iblis berbisik di telinga. Udah ... senggol aja. Siapa tahu jodoh.
Diam kau, setan.
Kuputuskan untuk menyendiri di pojok, duduk menikmati nyanyian salah seorang junior di atas panggung bersama jus apel di tangan, dan menekan pelipis.
Acara belum berakhir, tapi aku sudah jenuh. Aku berpamitan pada kawan-kawan—termasuk Adeeva yang masih menikmati acara dengan ikut bernyanyi. Keluar dari gedung fakultas, kuhirup udara malam yang sejuk. Langit kelabu menggulung bintang gemintang. Hujan sepertinya akan segera mengguyur bumi. Aku mengusap lengan yang mulai diterpa angin dingin. Aku memilih duduk di anak tangga dan menyandarkan kepala pada dinding birai.
Samar-samar, kudengar suara petikan gitar. Menengadah, aku menemukan seseorang duduk di tangga lantai teratas. Penasaran, aku naik ke atas. Langkah kakiku terhenti begitu menemukan Sabas yang duduk memetik gitar menggumamkan nyanyian. Melihatku muncul di depannya, sebelah alisnya terangkat. Aku berbalik badan berniat pergi.
"Datang nggak ngucap halo, pergi nggak ngucap selamat tinggal. Begitu ya adab seorang Angkara Devanagari?"
Aku memejamkan mata menahan kesal. Memutar badan, aku bertolak pinggang. "Nggak sengaja denger suara di sini. Aku penasaran. Makanya naik ke sini."
Mulutnya terbuka mengatakan 'O' tanpa suara. Diamatinya aku dari puncak kepala sampai ujung kaki. Ia tertawa pendek.
"Kenapa ketawa?" nadaku naik tiga oktaf. Kuamati diriku sendiri. Apa yang ditertawakan olehnya? Penampilanku?!
"Tahu nggak sih, kamu jadi ngingetin aku sama stroopwafel."
"Stru—hah?"
"Stroopwafel. Nggak pernah denger?"
"Apaan tuh?"
Bola matanya terputar. "Masa nggak ngerti stroopwafel? Bukannya kamu suka nulis ulasan kudapan?" Ia berdecak mengejek. "Googling."
"Pertama, aku nggak ngerti stru bla bla. Kedua, dari mana kamu tahu aku suka nulis ulasan kudapan?"
Bibirnya tercebik dengan pandangan tertuju pada langit-langit. "Kebetulan aja pernah lihat ulasan kamu dimuat di koran kota." Ia meletakkan gitar yang dipangku tadi ke samping. "Ulasan kejam yang nggak berperasaan. Aku yakin deh kalau nggak disunting editor, pasti kata-katanya lebih jahat. Kamu bisa ngerugiin kafe-kafe di kota ini, tahu."
"Sok tahu. Semua ulasanku itu masukan yang membangun." Kulipat tangan di depan dada. "Semua penilaianku terhadap kudapan jujur dari lubuk hati dan pengalamanku selama bertahun-tahun. Dan emang aku akuin kok, dari semua kudapan yang pernah aku ulasan, nggak ada yang punya karakter."
Ia tertawa pendek. Diambilnya lagi gitar di sampingnya, lalu beranjak berdiri dan melangkah menghampiriku.
"Kamu aja yang belum nemuin," katanya, sebelum melanjutkan langkah menuruni anak tangga. Baru beberapa detik, ia berbalik lagi. "Jangan lupa googling stroopwafel." Senyum miring sekilas terlihat di bibirnya, lantas terhapus begitu melangkah lagi.
Aku mengambil ponsel di dalam tas, menerima banyak pesan dari Adeeva yang menanyakan keberadaanku. Belum kubalas pesan-pesannya, aku malah mengikuti ucapan Sabas untuk mencari tahu stru bla bla tadi. Google secara otomatis mendeteksi stroopwafel di mesin pencarian.
Apa maksudnya menyamakan aku dengan kue?! Kurang ajar.
*****
**blessing your multimedia with Sabas's look alike**
Belakangan ini saya sibuuuuuuukkkkk banget hahahahaha. Maafkan ya :D
Oh ya mau tanya ya, kalian lebih suka karakter cowok yang kayak gimana sih? Yang baik dan bikin baper kayak Ananta atau yang ngeselin kayak Sabas? Kenapa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro