5 | Matahari dan Bulan Tidak Sendiri
Pagi-pagi papan mading sudah dikerumuni beberapa mahasiswa. Penasaran, aku mempercepat langkah dan menyisir kerumunan hingga membuat mereka memberi tempat. Melihatku memblokade tempat, beberapa dari mereka berlalu pergi. Kuamati selembar artikel yang menjadi sorot utama. Mataku menyipit membaca sampai habis. Lagi-lagi provokasi. Bisik gaduh terdengar di belakang. Mendengar nama Angkara, aku menoleh cepat.
"Heh. Ngomong apa barusan?"
Dua cowok yang menyebut nama Angkara saling berpandangan. Mereka tak berani menjawab pertanyaanku baik melalui ucapan maupun pandangan. Bukan hanya dua cecunguk itu, yang lain membawa-bawa nama Angkara, membuat telingaku panas.
"Parah. Kalau begini terus ormawa kampus dibubarin, nih. Fitnahnya udah keterlaluan banget nyebut ada penggelapan dana BEM."
Kirana mendorong bahu orang-orang yang menghalangi pandangannya di depan papan pengumuman. Mulutnya menganga. Ia menyibak rambut ke belakang dan memutar badan, menghadap antek-anteknya.
"Perlu dikasih pelajaran tuh bocah," sinisnya. Baru beberapa langkah, kerah kemejanya kutarik, membuatnya memekik dan tertarik mendekat.
"Siapa yang mau kamu kasih pelajaran?"
"Apa, sih!" Kirana mencoba melepaskan tanganku di kerah belakangnya.
"Kalau belum ada bukti kalau Anggi yang nulis, jangan gegabah dan kompor. Dasar kecoa kebalik."
Lagi-lagi mulutnya menganga. "Kenapa sih, Bas? Organisasi di fakultas udah difitnah berkali-kali. Bahkan ada adu domba di antara BSO, termasuk BSO kamu. Dan kamu malah belain Anggi? The hell?"
"Jangan-jangan dia suka tuh sama Anggi." Nia mengacungkan telunjuk ke arahku.
Aku menepis tangannya. "Nggak usah nunjuk-nunjuk." Mendengar nadaku, Nia sontak menunduk. Pandanganku beralih menuju Kirana. "Awas ya kalau ada apa-apa sama Anggi. Kamu yang aku cari." Lantas, aku melenggang mengabaikan tatapan bingung Kirana.
Sepagian itu, tak kutemukan Angkara. Pesanku tidak kunjung berbalas, kendati ia sudah membacanya. Maka, aku langsung mencari-cari keberadaannya.
*
Sudah kuduga kalau perpustakaan menjadi tempat menyendiri Angkara. Dari pintu masuk ruang baca umum, aku melihat sosoknya yang paling mencolok—dari kucir kuda dan sepatunya—, tengah membenamkan wajah di meja. Aku menghampirinya. Saat kutelengkan kepala, kulihat ia tertidur pulas. Sudut bibirku terangkat membentuk seringai simpul. Hati-hati agar tidak membangunkannya, aku menarik kursi terdekat dan duduk di sampingnya. Bersendang dagu, kuperhatikan ia. Beberapa helai rambutnya lari dari ikatan, menempel di dahi dan pipi. Perlahan, aku menyingkirkannya agar tak terlalu mengganggu. Kuamati ia dalam diam.
Kangenku terobati.
Bagaikan deja vu yang dipecut dalam kepala, aku teringat beberapa waktu lalu saat memergokinya tertidur di depan laptop. Tugas-tugasnya belum selesai dikerjakan. Aku yang menyelesaikan makalahnya dibantu buku-buku yang kuambil dari rak Filsafat. Tak membutuhkan waktu lama, sebab aku pernah mendapatkan tugas seperti itu dan mengingat buku apa yang ia butuhkan.
Perhatianku beralih menuju buntalan kertas di genggamannya. Hati-hati, kuambil kertas tersebut dan membaca barisan kalimat yang ditulis tangan.
Nggak usah ikut campur kalau nggak mau celaka!
Dahiku mengernyit. Bajingan mana yang menulis ancaman seperti itu untuknya?! Aku meremas kertas tersebut. Marah. Detik lain, Angkara menggerakkan kepala. Ia mengangkat kepala dan mengusap wajah. Mendapatkan kesadarannya, ia menoleh ke samping. Matanya membulat kaget.
"Sabas, ngagetin aja!" pekiknya sembari memukul bahuku. "Sejak kapan kamu di sini?"
Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku menunjukkan kertas ancaman yang kuremas tadi. "Siapa yang berani ngancam kamu?"
Ia diam. Wajahnya dipalingkan. Meski demikian, aku dapat melihat ketakutan di matanya.
"Jawab, Gi," tuntutku tak main-main. "Ini ancaman yang nggak main-main."
"Paling orang iseng," bisiknya.
"Orang iseng? Kalau kamu celaka, itu disebut iseng juga?" Aku tertawa pendek. "Kamu ngapain emang? Kenapa sampai diancam?" Belum ada jawaban. Bibirnya seperti terkunci rapat. Aku memerhatikan keadaan di sekeliling. Memastikan tidak ada orang mencurigakan, aku mendekatkan kursi ke arahnya. "Kamu nyoba cari tahu penulis artikel itu sendiri sebagai pembelaan?"
Barulah ia mengangguk pelan. Aku menghela napas panjang. Bajingan itu harus segera ditemukan. Tidak hanya mengkambinghitamkan Angkara, dia juga mengancamnya. Awas saja kalau ketemu, bakal mampus di tanganku.
*
Sepanjang mata kuliah Bahasa Belanda, pikiranku terpecah dan gagal fokus. Penjelasan dosen tak ada satu pun yang masuk kepala. Sejak tadi yang kulakukan hanya mengamati Angkara yang duduk di sebelah Adeeva. Beberapa kali Adeeva menoleh ke belakang, mendapatiku mengamati teman sebelahnya. Gadis itu mencolek bahu Angkara, berbisik sesuatu hingga membuatnya menoleh. Aku mengangkat tangan, melambai samar.
"Ya, Sabasnash?" Mendengar suara Bu Renjani sontak membuatku memalingkan perhatian ke depan. Mukaku sudah setengah membloon. Sadar kalau aku menjadi pusat perhatian, buru-buru kuturunkan tangan. "Kamu mau bertanya?"
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Kupandang buku Prapto yang terbuka, mengintip catatannya.
"Tolong dijelaskan lagi soal Niet dan Geen. Sepertinya Prapto belum paham, Bu."
Prapto spontan memandangku dan menunjuk dirinya bingung.
"Hm. Prapto, kalau kamu nggak ngerti, langsung bilang. Jangan nyuruh orang lain." Bu Renjani menggelengkan kepala.
Aku mencebikkan bibir dan menggeser kursi menjauhi Prapto. Bu Renjani menjelaskan ulang penggunaan Niet dan Geen dalam kalimat. Selama itu, aku mencoret-coret buku catatanku.
Matahari tidak benar-benar sendiri
Bulan tidak benar-benar menyepi
Mereka hanya korban kesalahan konklusi
Pagi dan malam dianggap tak sehati
Padahal di belakang, mereka sedang ngerumpi
Membicarakan aku dan kamu, dan progres yang entah berapa persen lagi
Ketika Bu Renjani menulis di papan, aku melemparkan kertas tersebut ke bangku Angkara. Gadis itu menyadari ada kertas yang dilempar dan jatuh di bawah bangkunya. Ia membaca, kemudian menoleh ke arahku. Aku memberi gestur bertanya. Rupanya, ia memilih membalas coretanku tadi. Kertas darinya digiring teman-teman dari depan ke belakang.
51%
"Jahat amat cuma satu persen."
"Apanya yang satu persen?"
Aku terperanjat mendengar suara Bu Renjani yang ternyata sudah berdiri di sebelahku, melipat tangan di depan dada.
*
Latihan rutin untuk pementasan baru saja dibubarkan. Tidak seperti biasa, kami tak melanjutkannya sampai malam. Pasa yang memberi kebijakan tersebut demi menjaga stamina aktor. Aku sih sependapat. Sebab dengan begitu, aku punya banyak waktu luang. Misalnya, berlari menghampiri Angkara yang berjalan di trotoar kampus, lantas mencolek punggungnya. Saat ia berhenti dan memutar badan, aku bergerak gesit bersembunyi di belakangnya. Ia memutar badan lagi, memekik kaget mendapati aku sudah berdiri di depannya.
"Ya ampun! Bisa nggak sih nggak usah ngagetin orang?! Untung jantung buatan Tuhan. Coba kalau barang KW, udah jebol duluan kali." Ia menyentuh dada hiperbolis.
"Gitu aja marah." Puncak kepalanya kutepuk. "Eh, Mama sama Papa lagi survei tempat baru. Adikku sendirian di rumah. Mau nemenin dia, nggak?"
"Modusnya kenceng banget." Ia menghela napas pendek.
"Kalau nggak kenceng nggak ada perubahan, Gi." Aku tertawa melihat ekspresi gelinya. "Aku punya perpustakaan pribadi di rumah."
"Nggak tertarik."
"Masa? Ulysses Moore? R. L Stine? Jason Goodwin? Nggak tertarik baca koleksi mereka?"
Mendengar barisan nama itu disebut, Angkara menoleh cepat. Wajahnya berubah berseri-seri. Aku tahu kalau sejak kecil ia mencintai penulis-penulis itu. Kapan-kapan aku ingin mengucapkan terima kasih pada Adeeva dengan mengirimkan dua tiket nonton gratis bersama Pasa.
"Nggak usah banyak mikir. Yuk." Aku meraih telapak tangannya dan menggandengnya. Ia mencoba melepaskan genggaman itu. Terlebih karena diamati cewek-cewek yang kebetulan lewat. Tanpa memedulikan rontaannya, kubawa ia menuju tempat parkir.
Rumahku sepi. Sepertinya Aruna belum pulang sekolah. Hanya ada Mbok yang bersih-bersih pelataran rumah. Melihat motorku datang, Mbok menyambutku seperti biasa.
"Sudah pulang, Mas? Bawa cewek mana lagi, Mas?"
Mataku memelotot. "Baru ini!"
"Hah, biasanya bawa beda-beda, Mas."
Bibirku terselip membentuk garis lurus.
Angkara mencibir. Tangannya terlipat di depan dada. "Gitu kok ngarepin lima puluh persen lagi."
"Nggak usah didengerin. Si Mbok mah udah pikun. Temen-temen Aruna dikira temen-temenku. Masuk, masuk." Punggungnya kudorong agar segera masuk rumah sebelum mendengar celotehan pembantuku yang suka usil.
Tampaknya, Angkara sudah tidak sabar ingin melihat koleksi buku dari penulis-penulis favoritnya. Aku membawanya menuju ke bawah. Menuruni anak tangga dari kayu, terdengar suara berisik.
"Kamu kan penakut. Tempat begini nggak bikin takut?" tanya Angkara, setengah meledek.
"Aku bukan penakut. Cuma kagetan."
"Alasan."
Pintu perpustakaan kubuka. Begitu masuk ke dalam, Angkara menganga takjub. Pandangannya diedarkan ke sepenjuru arah. Rak-rak tinggi dan lebar yang dipenuhi deretan buku koleksi keluargaku secara turun-menurun membuatnya berbinar. Saking senangnya, ia berlari seperti kelereng yang baru dilempar. Diperiksanya rak-rak di sekelilingnya, satu per satu, sampai membuatnya kebingungan.
"Duh, banyak banget koleksimu."
"Itu buku-buku peninggalan keluarga besarku. Ada yang koleksi keluarga Papa, ada juga koleksi keluarga Mama."
"Papa sama mama kamu suka baca?" Ia mengambil acak salah satu buku bersampul kulit yang ada di depannya.
"Nggak, sih. Mereka lebih suka ngabisin waktu di dapur buat eksperimen."
"Terus, kok kamu suka baca dan malah bisa bikin puisi?"
"Kakek buyutku dari pihak Papa dulu jurnalis, tahu. Terus kakekku—anak kakek buyutku—kritikus sekaligus penyair. Kalau kakek buyutku dari pihak Mama penulis repertoire sandiwara. Beliau jadi kesayangan pejabat Hindia Belanda. Terus kalau anaknya kakek buyut dari Mama—nenekku—cendekiawan. Mereka semua hobi baca, makanya koleksinya banyak dan diwariskan."
"Sayang banget kalau orangtua kamu nggak hobi baca."
"Tapi anak-anaknya hobi. Aneh, kan?" Aku tertawa kecil. "Kakak sama adikku yang suka ngabisin waktu di sini. Dulu kalau Papa sama Mama pergi ke luar kota, kita bertiga baca bareng-bareng di sini."
"Asyiknya. Kalau aku jadi kamu waktu kecil mah bakal bayangin ini sebagai markas besar seorang detektif." Angkara menggerakkan tangannya, menunjuk ke sepenjuru arah.
"Literatur asing ada di sebelah sana." Aku menunjuk rak paling pojok.
Mengantar Angkara menghampiri rak khusus literatur asing, aku tak berhenti memandangnya. Sebelum nekat naik sendiri, aku yang mengambil tempat lebih dulu. Kunaiki tangga khusus untuk meraih buku di barisan teratas. Aku mengambil Jason Goodwin terlebih dulu, lantas menyerahkan pada Angkara.
"Cek dulu."
Angkara membawa buku tersebut ke sofa lengan pendek dan membukanya. Ia menghirup udara dalam-dalam.
"Aku paling suka mencium aroma buku. Kalau buku baru aromanya membahagiakan, buku tua mendamaikan banget. Aku jadi iri sama kamu." Bibirnya mencebik.
"Kalau mau baca di sini, baca aja. Rumahku selalu terbuka buat kamu."
Ia menyengir. Ekspresinya berubah begitu membaca halaman pertama. "Kok bahasa Inggris??"
"Ya iyalah, itu kan belinya di luar negeri." Mengambil bertumpukan buku yang sudah kupilih, aku melangkah mendekatinya. Kuletakkan buku-buku penulis luar yang didapatkan langsung di luar negeri.
"Jadi mikir ekstra buat terjemahin juga, deh."
"Lebih asyik kalau bahasa Inggris, kali. Sekalian belajar. Katanya mau student exchange ke luar negeri?"
Ia membalas dengan bibir mengerucut menggemaskan. Kubiarkan ia membaca salah satu tulisan Goodwin, sedangkan aku memilah-milah buku mana yang akan kubaca. Aku duduk di sofa sebelah.
"Rumah kamu bikin betah." Kudengar suara lirih di sebelah, membuatku memalingkan wajah. Tanpa memandangku, Angkara melanjutkan, "Dulu aku selalu berimajinasi bisa punya perpustakaan pribadi kayak begini. Terus, Papa ngajakin baca bareng. Boro-boro baca bareng. Setiap hari aja dia ngunci diri di lab kodikologi rumah. Katanya masih banyak naskah yang belum selesai diteliti."
"Papa kamu meninggal?"
Ia menggeleng. Seakan tak ingin memberi celah bagiku untuk bertanya lebih jauh, ia menunjuk kalimat yang tak dipahaminya. "Ini maksudnya gimana, sih?"
Mencondongkan badan di sebelahnya, aku membaca kalimat yang ia tunjuk, lantas menjelaskan maksudnya. Angkara mengangguk-angguk saja, entah mengerti atau tidak. Ia kembali membaca dan tidak lagi bicara. Selama fokus membaca, aku memerhatikannya lagi. Ia mengaitkan rambutnya yang lolos dari ikatan ke belakang telinga. Setiap gerak-geriknya kuamati. Tangannya yang diletakkan di atas buku membuatku tergelitik dan merayu untuk digenggam. Selama tak ada tangan yang menggenggamnya, boleh, kan?
Tanganku terangkat. Aku meremas-remas telapak tangan.
"Kalau yang ini? Maksud ucapan Yashim apa?" tanyanya lagi.
Aku merangsek lebih mendekat sehingga jarak di antara kami bagaikan sehelai kertas. "Kapan kamu ngasih seluruh hati kamu buat aku?"
"Ah, masa itu terjemahannya—"
Aku menutup buku yang dibaca Angkara. Angkara mengedip bingung. Ia membalas tatapanku.
"Berapa persen lagi?" tuntutku. Ia bergeming. Aku lebih mendekat untuk berbisik di telinganya. "Aku masih sabar nunggu, kok. Stok puisiku buat kamu masih banyak."
Aku mendaratkan kecupan pada sudut bibirnya.
*****
Gas pol, Bas. Ojo lali blayer wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro