Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 | Untuk Bidadari

Acara api unggun malam terakhir terasa hambar. Kupandang gerombolan mahasiswa baru yang melingkari api yang membumbung tinggi. Di barisan belakang bersama alumni dan senior, aku mengamati jalannya acara. Mataku terpaku pada satu sosok di antara panitia yang lalu lalang. Pada Angkara yang sedang menggenggam HT. Mata kami sempat bertemu, namun ia segera mengalihkannya dengan mengajak Adeeva mengobrol. Ia tak lagi memandangku dan memilih memerhatikan pentas seni sederhana yang sedang ditampilkan maba.

Sampai sekarang, masih jelas di kepala dan pendengaranku momen, ekspresi, dan ucapannya sepulang jaga pos.

Bahuku disenggol Praska. "Kenapa lu? Dari kemarin kayaknya murung banget," bisiknya sambil mengusap-usap telapak tangan.

Tanpa mengubah arah perhatianku, aku menjawab pelan, "Abis ditolak cewek."

Spontan, Praska menoleh dan menyembur, "HAH?" yang membuat Pasa menoyor kepalanya. Praska mengatupkan telapak tangan meminta maaf. Ia bergeser ke arahku, berbisik lagi, "Siapa yang abis lu tembak?"

Masih dengan nada datar aku menjawab, "Angkara."

"HAH?!"

Lagi-lagi Pasa menoyor kepala Praska, kali ini lebih keras. "Menengo, bangsat!" Ia berbisik lebih keras. Panitia dari tingkat junior berbisik memberi peringatan. Praska diminta pergi bila masih menimbulkan keributan.

Aku menyetujuinya dengan menyeret Praska pergi. Sementara Pasa masih di sana, sedang berbalasan pandangan dan senyum kasmaran dengan Adeeva di seberang. Begitu kembali ke ground panitia, aku berbaring di tikar berbantal lengan, memandangi bintang di langit yang mulai tertutup kabut tipis. Praska menghela napas panjang, duduk di sampingku.

"Ahelah, Bas. Cewek yang suka sama lu kan banyak. Cari yang lain. Lagian, Anggi kayak begitu aja sampe bikin lu begini. This is not you, Man."

"Karena 'kayak begitu aja' itu makanya gua jadi begini."

"Apa sih yang lu suka dari dia? Dulu aja kita ceng-in nggak mau. Sok jual mahal lu."

"Tengsin, Njing. Apa yang bakal dipikirin orang lain kalau seorang Sabasnash bisa dibikin keki sama cewek 'kayak begitu aja'?" Aku mendesah pendek. Bayangan wajahnya mendadak muncul di kepala. "Dia itu..., gemesin. Rasanya kayak pengen jitak kepalanya mulu saking gemesnya." Aku menggerakkan tangan seperti ingin mencengkeram sesuatu. Praska berdecak panjang. "Kenapa sih gua nggak bisa dapetin cewek yang gua suka? Kenapa mereka nyantolnya malah ke Ananta? Gua kurang ganteng?" Aku menengadah memandang Praska. "Perasaan masih gantengan gua. Kata nyokap, sih."

"Lu kasar sama cewek. Ananta kan kalem-kalem tai ayam gitu. Cewek mah sukanya sama yang manis, Bas. Kayak gua, misalnya. Hehe." Ia menyengir kuda.

Napas kuhela berat di udara yang makin dingin. "Gua akuin, Pras, gua nggak pinter bikin cewek yang gua suka bisa nyaman sama gua. Gua nggak ngerti caranya narik hati mereka. Itu yang bikin gua suka, karena penasaran dan tertantang."

Terdengar samar-samar suara nyanyian dari ground malam puncak. Nyanyian tersebut mengantarku pada ingatan tahun lalu, sewaktu masih bertanggung jawab sebagai ketua HMD. Hari terakhir malam keakraban, maba diminta untuk mengikuti kegiatan outbond. Angkara yang baru keluar tenda medis kulihat berbaris bersama teman sekelompoknya. Sampai di pos yang kujaga, ia menundukkan kepala, sengaja tak ingin bertatap muka denganku.

"Sssh," panggilku, membuatnya melirik. "Kamu yang kemarin pingsan, ya?" Ia menoleh. "Dasar lemah."

Bibirnya mengerucut ke samping. Mungkin karena tidak mau mencari masalah, ia tak membalas dan hanya manyun. Aku berbisik ke panitia di pos tersebut. Mengangguk, panitia itu mendekati Angkara.

"Dek, kamu nggak usah ikut, ya."

"Loh, kenapa?"

"Kemarin kan habis sakit. Udah, duduk aja."

"Tapi, Kak, aku nggak mau manja-manjaan. Kasihan temen-temen yang lain. Kan nggak adil."

"Udah. Nanti kalau kamu pingsan lagi, temen-temen kamu dan panitia juga kerepotan." Lantas, panitia itu memberikan cokelat dan susu kotak padanya. Angkara mengernyit heran diperlakukan istimewa di pos yang kujaga. Detik lain, aku beranjak berdiri, melenggang pergi sekadar menyembunyikan senyum.

*

Panitia mulai membongkar tenda-tenda. Demikian pula dengan alumni dan anggota timdis lainnya yang bersiap meninggalkan lokasi. Sebelum bertolak dari lokasi, aku dan teman-teman timdis menyusuri sungai mencari air terjun. Awalnya, Pasa yang mengajak, sedangkan aku memilih berbaring saja di dalam tenda. Namun begitu mendengar nama "Anggi" disebut, spontan aku keluar dari tenda.

"Adeeva lagi di air terjun sama Anggi, sih. Gua pengen nyamperin," katanya waktu itu.

Nama itu yang akhirnya membawaku menyisir jalan setapak, naik ke dataran yang lebih tinggi, dan akhirnya berhasil menemukan lokasi air terjun yang dimaksud. Dari atas bebatuan, aku melihat Angkara bersama teman-temannya tengah berfoto. Pasa bersemangat menghampiri Adeeva diikuti Praska yang bersorak melambai pada teman Angkara yang lain. Teman-teman perempuan Angkara menyingkir menghindar, namun Praska malah mengejar mereka. Aku berjongkok mengamati Angkara yang tampak terganggu melihat kebersamaan Pasa dan Adeeva yang semakin dekat. Sudut-sudut bibirku tertarik menyunggingkan senyum lebar, seperti cengiran. Usai memfoto Pasa dan Adeeva, ia berjalan sedikit menjauh, menuju titik lain. Dikeluarkan ponselnya. Kuamati setiap gerak-geriknya dari atas. Sepertinya ia sedang membuat video untuk Instagram Story.

Segera, aku mengeluarkan kertas dan pena dari tas jelajah kecil yang kubawa. Sembari sesekali memerhatikannya, aku menulis di sana.

Untuk bidadari yang sedang duduk di tepi air mata nirwana

Sadarkah suara cericit beburung pagi ini berbeda dari biasanya?

Mereka menyanyi bagaikan berpesta di balai riung istana

Bila kau sadar, coba tengok ke angkasa

Ada aku di sana, menunggu untuk disapa

Lantas, kertas tersebut kubentuk menjadi pesawat. Aku menutup sebelah mata, mengamati objek yang akan menjadi landasan. Kuterbangkan pesawat kertas tersebut, melayang diterpa angin, lalu mendarat di samping batu tempat Angkara duduk. Gadis itu menoleh. Diambilnya kertas tersebut dan dibaca. Ia menoleh ke atas, berputar, lalu mendesah begitu melihatku melambai.

"Angkara Devanagari, aku nggak main-main soal ucapanku waktu itu," kataku, sebelum beranjak mendekatinya.

Ketika melihatku hampir mendekat, nyaris ia membuang kertas tersebut. Namun, aku menyerobot cepat.

"Dilarang buang sampah sembarangan. Kan kamu yang bilang itu."

Ia menyodorkan kertas itu padaku. "Ya udah, bawa."

Aku menggeleng. "Barang yang udah dikasih nggak boleh dikembalikan." Angkara mendesis jengkel. Ia menyurukkan kertas itu ke dalam ransel jelajahnya, setengah hati. "Aku nggak main-main sama ucapanku."

Bola matanya bergerak ke arahku. "Ucapan yang mana?"

"Aku nggak bakal berhenti kirimin kamu puisi sampai bikin kamu jatuh cinta sama aku."

Ia menghela napas panjang, kemudian beranjak. Sebelum melangkah, kutarik lengannya, membuatnya spontan berbalik menghadapku.

"Satu sampai seratus persen, berapa peluangku buat mendapatkan kamu?"

Peganganku pada lengannya dilepas. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Matanya terpejam beberapa saat, lalu terbuka.

"Lima puluh. Good luck." Ia melenggang pergi, mengabaikan raut mukaku yang sontak berubah.

Begitu kulihat ia lenyap di balik pepohonan, aku berbalik mengamati air terjun. Aku menggigit kepalan tangan sekadar menghalau sorakan senangku. Oke, Angkara Devanagari. Akan kukirim beribu-ribu puisi untuk lima puluh persen lagi. Oh, dan makanan. Karena ia suka makan gratis.

*

Truk yang mengangkut maba dan panitia sudah disiapkan. Lapangan utama sudah dipenuhi mahasiswa yang menggerombol menunggu diabsen. Aku menunggu Angkara di depan kap mobil. Sosoknya belum tampak. Sudah berulang kali aku mengirim pesan, tapi tak kunjung berbalas.

Beberapa menit selanjutnya, Angkara terlihat berjalan membawa barang-barangnya, menuju mobil seseorang. Aku melipat tangan di depan dada. Jadi, ia tidak ingin pulang semobil denganku? Apa karena Adeeva pulang bersama Pasa, sehingga ia tak punya teman dan enggan pulang berdua denganku? Ini tidak bisa dibiarkan.

Berlari kecil, aku mendekati Angkara sebelum ia membuka pintu mobil. Pundaknya kutepuk, membuatnya sontak berpaling.

"Pulang sama aku."

Ia menggeleng. "Nggak, ah."

"Kenapa? Siapa yang punya mobil ini, hah, hah, hah?" Aku bertolak pinggang, lalu menendang ban dan menepuk atapnya keras. "Siapa yang berani ngajak Angkara pulang bareng? Sini, keluar."

"Hush, Bas!" Angkara mencoba menarik tanganku dari atap mobil. "Jangan!"

"Kenapa?" Aku menepuk lagi, lebih keras.

Pintu mobil akhirnya dibuka. Begitu melihat Bu Yeti keluar, aku sontak mengubah gestur tubuh. Salah satu dosenku tersebut menurunkan kacamata melihatku. Aku menunduk hormat.

"Selamat pagi, Bu. Saya baru melihat Bu Yeti. Kapan sampainya?" Kukembangkan senyum sopan.

"Kamu ya yang tadi nepuk-nepuk atap mobil saya?"

Aku memandang Angkara yang memutar bola mata. Duh, sial sekali. "Oh.... Tadi ada burung di atas atap, Bu. Saya khawatir buang kotoran di sana. Jadi, saya usir." Lagi-lagi aku menyengir dengan mata mendelik ke arah Angkara, meminta bantuan.

Bibir Angkara terlipat. Aku mendelik ke arahnya. Ia menggeleng-geleng.

"Ayo, Anggi, masuk ke dalam." Bu Yeti kembali ke mobil.

"Aku mau pulang sama Bu Yeti."

"Yah, Gi, masa aku nyetir sendirian?"

"Cari temen, dong. Inisiatif dikit, kek."

"Aku nggak mau kalau temen pulangku bukan kamu."

"Bodo amat. Dadah, Sabas."

Aku memandang Angkara yang melambaikan tangan. Mobil Bu Yeti melaju meninggalkan lapangan. Kupandang merana kepergian mobil tersebut. Seseorang menyapaku dari belakang.

"Sabas! Boleh nebeng, nggak? Kata temen-temen mobil kamu kosong. Boleh, ya?" Salah seorang teman sekelasku merajuk. Ia mengatupkan tangan penuh harap.

"Ogah."

Aku melenggang mengabaikannya.

*

Sabasnash: Udah sampai rumah?

Pesan itu sudah aku kirim sejak tiga jam lalu. Aku menunggu balasannya seperti orang tolol. Belum ada tanda bahwa pesan tersebut dibaca. Terakhir, ia membaca pesanku yang menanyakan keberadaannya di lokasi malam keakraban. Aku mengamati layar ponsel dengan jemu. Kirim pesan lagi nggak, ya? Jangan, ah. Nanti makin besar kepala ngira gua khawatir. Lah, tujuannya kirim pesan kan emang khawatirin dia, gimana sih? Lima puluh persen lagi, nih. Benakku berperang. Aku mengacak-acak rambut kesal.

Sabasnash: Kalau udah sampai, kabari ya.

"Kasih emoticon nggak, ya?" Aku menimbang-nimbang.

Sabasnash: :)

"Emoticon senyum kayaknya udah cukup manis. Ananta biasanya ngasih emot jijik kayak gitu soalnya."

Kugeletakkan ponsel di sebelah laptop. Sambil membaca-baca artikel di situs blog para mahasiswa, mataku tak berhenti melirik ponsel. Jemariku menyuruk helaian rambut. Lama-lama aku bisa gila kalau tak kunjung dibalas. Mungkin ia tidur karena kelelahan. Aku harus menahan diri untuk tak menyampahi notifikasinya dengan pesan-pesan lain. Ia pasti tidur. Ia pasti tidur. Ia pasti tidur.

Namun ketika melihat status dari Facebook bernama Angkara Devanagari yang dikirim dua menit lalu, aku sontak menyambar ponsel dan langsung meneleponnya.

Tak ada jawaban. Kupanggil ia berkali-kali, pantang menyerah. Sampai akhirnya, terdengar suara seseorang di seberang.

"Apa, sih? Ganggu aja!"

"Abis kamu di-WA nggak jawab-jawab. Ngapain aja?"

"Lagi istirahat. Capek, tahu."

"Kok masih bisa update status di Facebook?" sinisku.

Angkara mendesah panjang. "Abis update aku mau tidur! Udah, biarin aku tidur. Dah."

Mulutku terbuka untuk membalas, namun panggilanku langsung diputus. Kuhela napas pendek. "Selamat istirahat."

Kuletakkan ponsel ke samping laptop lagi. Aku melipat tangan di belakang kepala, mengamati layar laptop dengan pikiran melalang buana. Aku menyengir seperti orang sinting. Jatuh cinta memang lucu. Semakin yang disuka menolak, semakin bersemangat pula mendapatkan hatinya. Lima puluh persen lagi. Atau mungkin sudah naik? Hanya ia yang tahu.

"Ah, berengsek. Kenapa gua gini amat ya suka sama cewek? Anggi..., Anggi. Kamu tuh ngangenin." Aku bahkan tak pernah bersikap segoblok ini saat menghadapi Claudia.

Aku mencoba mengalihkan perhatian dari Angkara dengan mencermati artikel-artikel mahasiswa. Mataku menyipit menemukan satu artikel. Penasaran dengan judulnya, aku membaca artikel tersebut sampai habis. Sebelah alisku tertarik ke atas. Aku memandang langit-langit, kemudian kembali ke depan. Setelah beberapa saat berpikir, kututup laptop. Aku bersendang dagu. Ada selenting ingatan yang menampar kepala. Menggeleng kepala, aku memutuskan untuk menyingkirkan sebentar pikiran itu.

Kupandang layar ponsel. Jam di layar menunjukkan pukul 21.15. Aku membuka Whatsapp dan mengirim pesan lagi.

Sabasnash: Besok kita ketemu. Aku nggak bakat nahan kangen lama-lama.

*****

Aku juga, Bas. Nggak bakat nunggu doi peka.

Eh, gaes, aku mau tanya nih. Kalau seumpama aku jual merchandise dengan gambar chibi karakter Sabas sama Angkara, kira-kira ada yang tertarik nggak? Kalau banyak yang tertarik, aku mau lanjutin kerja sama sama freak_drawer (yang suka bikin chibi unyu goblin itu loh) buat bikinin chibinya hehehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro