Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 | Puisi di Halaman Novel

Mama mondar-mandir di dapur bersama baker lain. Di ujung tangga, aku duduk mengamati kegiatan Mama dan pekerjanya yang sedang membuat kue pesanan untuk hajatan. Ia memotong tipis rainbow cake yang sengaja disisihkan untukku. Melenggang mendekat, ia membungkuk. Disodorkan kue tersebut padaku.

"Kamu lihat kue ini?" Aku mengangguk. "Bagus, nggak?" Lagi, aku mengangguk. "Kalau udah besar, kamu akan belajar banyak hal. Percayalah bahwa kehidupan yang akan kamu jalankan nanti nggak akan diisi hanya dengan warna hitam dan putih."

Dan ucapannya kembali terngiang dalam telinga beberapa saat setelah mendengar kabar dari Marseille bahwa Mama masuk rumah sakit—ia bilang Mama melarangku datang membesuk. Aku memandang kosong pada layar ponsel. Semua penjelasan dosen tak masuk dalam kepala. Selama dua jam aku duduk termangu dengan pikiran semerawut. Bahkan aku tak sadar ketika Bu Sinta menutup pertemuan dengan pemberitahuan tugas kelompok baru. Ia menenteng tas, lalu melenggang meninggalkan kelas yang mulai gaduh.

Sadar aku lebih banyak diam dan melamun, Adeeva melambaikan tangan di depan wajahku.

"Kamu nggak apa?" tanyanya khawatir.

Aku menggeleng. "Nggak apa."

Tampaknya, Adeeva tidak mempercayai jawabanku. Ia menyenggol lengan Lastri yang mengangkat bahu. Aku berpamitan pada kedua gadis itu untuk ke toilet dan meminta mereka makan siang lebih dulu tanpa menungguku. Kulenggangkan kaki keluar, memasuki toilet yang berada tak jauh dari ruang kelas. Di depan cermin, kuamati wajahku yang terlihat menyedihkan. Kantung mataku makin hitam. Semalam aku baru bisa tidur jam dua dini hari setelah mengerjakan tugas laporan baca dan artikel untuk mading. Belum lagi berselancar di internet sekadar mencari lowongan pekerjaan yang cocok untuk mahasiswa yang malas menggunakan tenaga sepertiku. Aku lebih senang bekerja menggunakan otak daripada tenaga karena beranggapan akan lebih mudah. Nah, setelah memasuki dunia perkuliahan dan mengikuti BSO mading yang menguras otak daripada tenaga, aku mulai menghapus pikiran bodoh itu. Semua pekerjaan, apa pun bentuknya, sudah pasti sangat melelahkan.

Aku sudah mengirim pesan pada Adeeva, tapi belum ada balasan darinya. Terpaksa, kujarah kantin dari ujung selatan sampai ke utara. Di pojok utara berdekatan dengan basecamp BSO, baru kulihat rambut berkilau Adeeva yang bergoyangan di punggung saat ia tertawa. Aku menghampirinya. Baru beberapa langkah, muka songong Sabas tampak di mataku, sedang duduk berhadapan dengan Adeeva. Aduh, selera makanku langsung lenyap.

"Anggi! Gabung yuk!" Lastri melambai padaku.

Amit-amit. Lebih baik aku duduk bersama Prapto daripada semeja dengan mereka. Aku enggan bergerak, sementara Adeeva menggerakkan mulut memintaku ikut.

"Ngapain berdiri di situ? Ayo!" Adeeva melambai. "Aku lagi minta bantuan kakak-kakak ini buat ngerjain tugas kelompok kita loh."

Aku hanya mengamati sembari berpikir. Si malaikat berbisik di telinga, memintaku berdamai dengan permusuhan yang sebetulnya tak ada gunanya. Sedangkan si iblis menggeleng dan berkata bahwa Sabas sengaja mendekati teman sekelasku untuk membalasku lebih jauh. Di antara perang batin, tiba-tiba pinggangku dicubit perlahan oleh seseorang.

"Aduh!"

"Jangan dekat-dekat sama anak-anak teater!" bisik Nabila yang mendadak berdiri di sebelahku.

"Enggak, Mbak. Siapa yang dekat-dekat sama mereka? Aku nggak suka."

"Haram hukumnya anak mading dekat sama mereka. Paham, kan?" Matanya yang diberi lensa kontak abu-abu mendelik. Aku mengangguk patuh, membuat Nabila menyengir senang. "Ya udah. Gabung sama anak mading di sana." Telunjuknya teracung menuju salah satu meja yang telah diisi anggota mading.

Kupandang sekali lagi Adeeva dan Lastri yang menunggu kedatanganku. Melengos, aku memilih mengikuti Nabila. Sempat kutangkap ekspresi kecewa Adeeva melihatku berjalan pergi. Samar-samar aku mendengar celetukan sinis di meja itu.

"Kalau teman kalian nolak diajak makan barengan semeja, tandanya dia nggak mau berteman akrab. Percaya deh."

"Bener loh. Artinya, Anggi nggak mau temenan akrab sama kalian."

"Atau gara-gara ada Sabas nih."

"Ah elu sih, Bas."

"Apaan sih."

Tatapan kulesatkan menuju meja yang ramai membicarakan aku. Bibirku tercebik. Aku tak lagi menoleh ke sana dan membiarkan para senior membicarakan aku di meja tersebut. Adeeva dan Lastri enggan berkomentar. Mereka memilih diam mendengarkan dan berusaha mencari celah untuk keluar dari obrolan yang tak mengenakkan itu.

Di meja anak mading, aku tak banyak bicara dan menimpali obrolan ringan mereka. Perhatianku justru tertuju pada coretan-coretan puisi di dinding—yang tentu saja pelakunya adalah anak-anak sastra.

*

Pergantian mading. Aku hanya mengirimkan esai pendek seputar kebersihan fakultas—berkenaan dengan coretan-coretan di dinding yang sangat mengganggu kenyamanan pengunjung pujasera. Biarpun menjadi bagian dari departemen sastra, aku tidak mendukung aksi coret-coret dinding. Selama ada media yang lebih baik untuk menyalurkan bakat, aku tak mendukung coret-coret puitis tersebut. Selain mading milik BSO, toh masih ada mading departemen yang dikelola anak-anak HMD. Ada sebagian anak sastra yang menulis puisi di mading HMD, ada pula yang tetap mencoreti dinding pujasera—bahkan toilet!

"Esai baru lagi? Nggak kontroversi kayak dulu, kan?" Dari belakang, aku mendengar suara seseorang diikuti aroma surgawinya. Tanpa menoleh pun aku bisa menebak bahwa suara tersebut berasal dari Ananta.

"Hai, Mas. Kontroversi atau nggaknya sebuah esai kan tergantung yang baca."

Ananta tersenyum. "Tulisan kamu bagus loh. Kenapa nggak nyoba masukin ke surat kabar regional atau nasional?"

"Aku nggak pede."

"Kalau nggak pede kapan majunya? Yang berani dong. Udah banyak loh anak-anak sini yang tulisannya bisa dibaca di tingkat regional bahkan sampai nasional."

Entah mengapa ucapan Ananta bagaikan sabda yang wajib diikuti. Aku jadi termotivasi untuk menulis di surat kabar. Menulis di mading kampus pun semata-mata demi membuat Ananta terkesan.

"Aku coba deh."

"Good luck ya. Aku yakin kamu bisa." Ia menepuk puncak kepalaku sebelum melangkah pergi.

Aku tersenyum menahan gemas, sampai akhirnya Viola datang.

"Gi, udah tahu berita yang baru aja aku denger?"

"Mana aku tahu." Bola mataku berputar.

"SK dari wakil dekan udah turun. Jam operasional kampus bakal dipotong. Gara-gara esai kamu, wakil dekan setuju nutup kampus sampai jam sembilan!" Viola bertepuk tangan bangga.

Mendadak saja aku merasa sangsi pada tindakan yang kulakukan. Aku menggigit bibir.

"Esaiku bener atau salah, sih?" tanyaku mulai bimbang.

"Ya benerlah! Anak-anak nggak seharusnya nongkrong di kampus sampai larut malam. Banyak kejadian motor hilang loh. Daripada ngambil banyak risiko, ya ... wadek ngasih kebijakan baru. Suratnya udah disebar ke semua BSO." Ia terkikik bahagia.

Tapi, mengapa perasaanku mendadak tak enak ya?

*

"Ulah siapa nih?!"

Baru saja aku berjalan di lorong student center, teriakan Nabila meledak penuh amarah. Aku mempercepat langkah mendekat. Mataku membelalak melihat pintu basecamp BSO mading dipaku dengan kayu. Aku ternganga.

"Pasti anak sebelah nih! Nggak ada habisnya ya cari gara-gara!" Nabila mencak-mencak lagi.

"Eh, Mbak. Aku aja deh yang ngomong sama mereka. Kan semua ini gara-gara aku," kataku.

Nabila yang wajahnya memerah mengangguk setuju. Bersama temannya, Nabila beranjak pergi, tak berhenti menggerutu menyumpah-serapah. Sepertinya ia berniat mengadu ke anggota BEM fakultas untuk menindaklanjuti kejadian pemakuan pintu ruangan.

Menghela napas panjang, aku melangkah menuju basecamp sebelah, tapi hanya terdapat satu orang tak kukenal yang sedang berhadapan dengan laptop, mengangkat kepala melihatku berdiri di ambang pintu.

"Eh, dek Anggi. Nyari siapa?"

"Aku mau ketemu sama ketua BSO ini."

Cowok itu celingukan. Lalu menunjuk dirinya. "Aku."

"Oh ... kamu. Kebetulan dong." Menyilang tangan di depan dada, aku mengubah raut wajah. "Aku minta pertanggungjawaban kamu."

"Pertanggungjawaban apaan, nih? Emang aku hamilin kamu?"

Aku menghela napas panjang. "Soal pemakuan pintu BSO mading! Siapa lagi pelakunya kalau bukan kalian?!" Teriakanku yang menggelegar sontak menyita perhatian orang-orang di sekitar pujasera yang kebetulan lewat.

"Tunggu dulu, santai dong. Masuk sini. Ngobrol baik-baik."

"Kalian nggak bakal bisa diajak ngobrol baik-baik! Aku—" Mulutku dibekap dari belakang. Aku terpekik dan meronta. Dapat kucium aroma musk saat seseorang berbisik di samping wajahku.

"Ngomongnya jangan kencang-kencang. Berisik."

Aku meronta dan akhirnya dilepaskan. Segera, aku berbalik badan dan langsung berhadapan dengan Sabas.

"Nah ini dia biang keroknya. Kalau kamu punya masalah sama aku, nggak usah bawa-bawa komunitas. Yang bikin esai aku. Yang punya inisiatif buat bikin esai juga aku. Kenapa kamu balas BSO mading juga?"

Tak ada balasan. Sabas melirik si ketua di dalam ruangan yang malah menahan tawa. Aku yakin tak ada yang lucu dari perkataanku. Sepasang alisku bertaut kesal. Apa aku adalah lelucon bagi mereka?

"Dek Anggi kayaknya salah paham, Bas. Kasih penjelasan gih. Tapi yang lembut, jangan kasar."

"Nggak usah panggil Dek!" teriakku.

"Terus apa? Sayang?" Si ketua tertawa lagi.

"Kamu kenapa sih marah-marah nggak jelas?" tanya Sabas.

Lenganku ditarik agar menjauh dari lorong dan tak mengganggu pejalan kaki lain. Aku menarik tangannya, tetap mempertahankan ekspresi memberengut. Kubuang muka agar tidak bersipandang dengannya. Bisa-bisa hasrat membunuhku bangkit hanya karena bertatap muka dengannya.

"Jangan asal tuduh dong. Kita emang sering punya masalah sama BSO sebelah, tapi nggak pernah ngelakuin hal nggak penting kayak gitu," katanya.

"Terus yang memaku pintu ruang BEM juga siapa?"

"Kita emang yang dulu maku ruang BEM. Soalnya BEM cuma diisi sama orang-orang yang sok politis tapi otaknya kosong. Birokrasinya sampah. Tapi yang maku ruangan kalian bukan kita. Nggak guna."

Diam-diam, mataku bergerak ke arahnya. Kuperhatikan raut wajahnya sekadar menerka apakah ia berbohong atau justru mengatakan yang sebenarnya. Meskipun tak pernah menyukai tatapannya yang sangat mengganggu, aku tak melihat dusta di sana.

Sabas menunjukkan secarik surat di depan mukaku. "Ini SK yang baru turun. Gara-gara kamu, ormawa nggak bisa gunain kampus buat tempat diskusi. Emang bener sih, harusnya kita paku aja pintu BSO kalian. Kalau aja Pasa nggak ngelarang, udah sejak kemarin kita paku." Ia mengedik, lalu menggumam, "Untung sih ada yang maku lebih dulu."

Kalau bukan anak-anak teater, lalu siapa yang memaku pintu BSO mading? Padahal BSO mading tidak memiliki musuh selain BSO teater. Aku mengulum bibir sekadar berpikir. Jika kukatakan hal ini pada Nabila, aku sangsi ia mempercayaiku dan malah menuduhku mulai menaruh hati pada salah satu anggota teater. Aku mengernyitkan hidung. Amit-amit.

"Amarahnya udah reda, Dek?" Dari arah jendela, si ketua—yang mungkin bernama Pasa—melongokkan kepala, menyengir lebar membuat bibirku mengerucut ke depan.

"Udah nggak ada yang mau kamu omelin, kan?" Sabas mencecar. "Oh, nih kasih ke Adeeva. Jatuh di rumahku." Ia menyodorkan sebuah anting. Kuterima benda tersebut dengan sebelah alis terangkat. Sebelum banyak bertanya, Sabas melangkah pergi, membiarkan aku tenggelam dalam kubangan tanda tanya.

*

Di dalam kelas, aku memperhatikan anting Adeeva yang kugeletakkan di atas meja. Beberapa hari ini aku tak bertegur sapa dengan Adeeva dan Lastri sejak kejadian di pujasera. Tampaknya, mereka berdua marah dan kecewa padaku lantaran enggan ikut bergabung semeja. Baru saja nama mereka mampir di kepala, keduanya muncul, langsung duduk di kursi terdepan mengabaikanku. Aku mengetuk jemari, menimbang, dan akhirnya beranjak menghampiri mereka dengan menggenggam anting Adeeva.

"Nih." Tanpa tedeng aling-aling, aku menyerahkan anting tersebut pada si pemilik yang mengangkat kepala. "Titipan Sabas."

Adeeva berbinaran dipertemukan lagi dengan antingnya. Ia menerima benda tersebut, meneliti, dan tersenyum senang.

"Oh ... jatuh di rumah Mas Sabas ternyata. Udah dicariin ke mana-mana padahal," gumamnya. "Terima kasih, Gi."

"Sejak kapan kamu dan dia deket?" tanyaku, agak sentimen. Err, bukan apa-apa. Aku hanya tidak suka Sabas yang berengsek itu mendekati Adeeva hanya berdasarkan 'penasaran'.

"Ngg ... itu."

"Sejak di kelas Bahasa Belanda," Lastri menimpali. "Makanya kita jadi lebih sering ngobrol sama mereka. Kalau kamu ngerasa terganggu, ya udah. Kita nggak maksa kamu buat terus-menerus jalan sama kita kok."

Adeeva mencubit paha Lastri dan mendelik memperingatkan.

"Sulastri kok ngomong kayak gitu sih...," bisik Adeeva kalem, lantas menoleh ke arahku. "Salah paham, Gi. Yang diomongin Sulastri ngelantur, nih."

"Nggak apa. Aku nggak masalah. Justru aku minta maaf, kesannya aku parasit banget di kehidupan kalian." Aku tersenyum kecut dan kembali ke kursiku di belakang.

Adeeva menoleh, menampilkan raut muka penyesalan. Sementara Lastri memutar paksa kepalanya agar tak memandang lagi ke arahku. Kupandang keduanya dalam kebisuan. Aku sudah terbiasa hidup tanpa teman. Bahkan sejak awal memasuki bangku kuliah, aku mendedikasikan diri agar tidak terlalu akrab dengan teman mana pun karena bagiku pertemanan hanyalah nama lain dari kebutuhan. Namun ... kali ini aku justru merasa kesepian. Sepertinya, aku terlalu terbiasa pergi bersama mereka.

*

Indekos ramai membicarakan episode terbaru sinetron Uttaran. Kawan-kawan yang berkumpul di depan televisi berulang kali berteriak memaki-maki Tapasha. Suara mereka terdengar sampai balkon. Aku memperhatikan ponsel yang mati. Padahal sebelum ini, ponsel diramaikan oleh Adeeva dan Lastri. Duh, inilah yang tak kusuka jika sudah berteman terlalu akrab. Aku tidak suka memendam perasaan bersalah dan kehilangan.

Aku duduk di sofa sembari menikmati udara malam, berhadapan dengan laptop untuk mengerjakan tugas individu dan rencana kegiatan malam keakraban yang juga dibebankan padaku karena statusku sebagai anggota seksi acara sekaligus penanggung jawab jelajah malam. Sesekali aku mengecek media sosial sekadar berbalas chat dengan teman-teman semasa sekolah yang sudah melalang buana ke kota-kota lain. Saat mengecek beranda, aku melihat salah satu foto yang diunggah Ananta yang tersambung dengan Instagram. Mataku memelotot.

Ananta berswafoto mesra dengan Kirana.

Hatiku sukses pecah dan jatuh berantakan. Ananta si mantan presbem yang kutaksir sejak semester satu rupanya sudah pacaran dengan Kirana. Bahkan, tulisan yang menyertai begitu intens dan puitis, menandakan ia sangat menyayanginya. Aku mengerucutkan bibir kecewa.

Ah ... jatuh cinta memang menyakitkan. Kalau tidak menyakitkan, namanya bangun cinta, Gi.

Aku membenamkan wajah di meja, menangis hiperbolis. Di waktu bersamaan, ponselku berbunyi tanda pesan masuk. Masih dengan mata berkaca-kaca dan kepala di meja, aku meraih benda tersebut. Kubaca pesan masuk dari Adeeva.

amu di mana? Aku mau main nih. Bosen.

Tidak. Jangan sekarang. Aku sedang terkena broken heart disease level kronis setelah melihat unggahan foto mesra sang senior pujaan. Kuketik balasan untuknya.


Adeeva: Kenapa?

Papaku kabur bersama wanita lain. Mamaku baru saja masuk rumah sakit. Kakakku terancam tidak melanjutkan kuliah master. Usaha toko kue keluargaku bangkrut. Orang yang kusuka ternyata sudah punya pacar. Aku tidak punya teman karena keegoisanku.

Angkara: Nggak apa :D

Seandainya mengucapkan yang sebenarnya semudah itu. Ah dasar manusia paradoksal. Ingin diperhatikan, tetapi setiap ditanya selalu menjawab 'tidak apa-apa'.

Adeeva: Tapi aku ngerasa kamu lagi kenapa-kenapa. Aku ke sana ya. Bodo deh kamu mau nemuin atau nggak. Yang penting aku ke sana.

Ah, Adeeva. Tampaknya, aku tidak pantas bersahabat—bahkan berteman pun tidak—denganmu. Aku tidak membalas pesan tersebut.

Adeeva benar-benar datang berkunjung mengabaikan pesanku. Tak berselang lama, ia muncul di balkon dan duduk di depanku, meneliti wajahku yang murung dengan saksama.

"Tuh kan. Gini bilangnya baik-baik aja." Adeeva mendesah. "Untung aku lagi di dekat indekos kamu. Nih aku bawain martabak telur."

Disodorkan padaku sebuah bungkusan. Aku melirik tak tertarik, biarpun perutku keroncongan sejak tadi tak kemasukan makanan. Kalau gratis begini, sangat sulit untuk menolak.

"Patah hati gara-gara postingan Mas Ananta, ya?" Ia tersenyum menggoda.

"Ih ... apaan, sih." Aku mengangkat wajah dan mengusapnya.

"Bener tuh kata Lastri. Naksir presbem hukumnya haram. Saingannya terlalu banyak, Gi. Apalagi yang kayak Mas Ananta. Udah kalem, pinter, baik, bertanggung jawab. Siapa coba yang nggak baper?" Menanggapi ekspresi memberengutku, Adeeva terkikik. "Padahal selain Mas Ananta, ada yang patut dilirik juga loh." Kedua alisnya dinaik-turunkan. Aku mendesah pendek.

"Aduh ... udah deh. Nggak usah muji-muji Sabasnash di depan mukaku. Bosen."

"Siapa yang mau muji Mas Sabas. Hayo...." Telunjuknya mengacung di depanku. "Biasanya itu reaksi spontan dan tanda kalau otak kamu lagi mikirin dia tuh. Secara nggak sadar. Padahal aku nggak nyebut nama dia."

Aku menutup telinga dan memutar bola mata ke atas. "Ya ampun, Div. Jangan bikin nafsu makanku hilang, deh. Kalau kamu emang suka sama dia, nggak usah ngomongin dia di depanku. Malesin."

Alisnya berkerut. "Dia sebenernya baik banget loh."

"Kalau dari awal sikapnya nggak songong dan nggak pernah gangguin aku, bakal aku bilang baik sih."

"Yang nolongin kamu waktu malam keakraban siapa hayo?"

Itu lagi. Aku menengadah dan mendesah. Kubuka kardus martabak dari Adeeva dan mengambil sepotong.

Adeeva tersenyum simpul. "Eh, iya. Kamu suka nulis ulasan kudapan di blog kamu, kan? Ada temanku dari surat kabar lokal yang tertarik loh. Dia kebetulan baca blog kamu. Katanya sadis banget ulasannya. Dia mau ketemu sama kamu buat bahas ajakan gabung jadi kontributor lepas di surat kabarnya."

Mataku yang semula sembab berubah berbinar. "Serius? Digaji, nggak?"

"Digaji dong. Lumayan loh."

Seketika, mendung yang tadinya singgah di atas kepala sirna. Aku menggenggam tangan Adeeva dan mengucap terima kasih berkali-kali. Ia menyengir, mengelap tangannya yang kotor pada atasan bajuku. Tawa kami pecah di balkon.

*

Sekali lagi, esaiku mendapatkan apresiasi. Sejak esai tersebut kutempel di mading, wakil dekan meminta tukang untuk mengecat ulang dinding fakultas yang telah dicoreti warga kampus dengan kata-kata puitis. Banyak yang protes atas tindakan tersebut. Bahkan namaku kembali dibicarakan sefakultas. Setiap berjalan melintasi gerombolan anak-anak sastra yang kemungkinan pelaku pencoretan dinding itu, aku selalu dihujani tatapan tajam dan dahaman. Beberapa di antara mereka juga melemparkan sindiran.

"Sejak ada polisi kampus, hidup kita nggak tenteram," celetuk salah satu mahasiswa ketika aku berjalan melewati mading departemen.

Aku menoleh, melihat segerombolan mahasiswa yang tertawa cekikikan.

"Heran, deh. Padahal dianya sendiri suka bikin masalah selama ospek, kan? Sekarang belagak sok jadi penegak hukum kampus pakai esai-esai sampah."

"Nggak punya pacar dan teman kali ya, makanya kurang kerjaan."

Kurang ajar. Tanganku terkepal. Aku sih mau-mau saja menghantamkan tinju ke muka-muka mereka, tapi masih ada hal lain yang bisa kulakukan selain dengan kekerasan. Malaikat di atas pundakku berkata agar aku tak usah menggubris mereka, sedangkan si iblis berbisik memintaku meninju mereka.

Aku memilih melengos pergi, masuk ke dalam ruang baca.

Duduk di salah satu bangku, aku memusatkan konsentrasi membaca salah satu karya sastra yang kupinjam. Kubuka halaman demi halaman. Sampai di halaman tengah, aku menemukan secarik kertas yang terselip di sana. Kupungut dan kubaca tulisan yang sudah agak memudar di kertas kekuningan itu.

Pada bintang aku bertanya

Berapa malam lagi aku bersua denganmu?

Pada mentari aku bertanya

Berapa tetes embun lagi kudengar bisik rindumu?

Tanpa sepengetahuanku, bintang dan mentari berbisik bersekutu

Enggan memberi jawab pada tanya yang asa

Aw. Aku tersentuh. Padahal puisi tersebut ditulis orang asing dan terselip pada buku yang tak sengaja kupinjam. Aku jadi merasa seakan-akan puisi tersebut ditujukan padaku. Haha.

Bibirku terkatup membentuk garis lurus. Kusimpan saja kertas itu. Sayang, kata-kata manis seperti itu hanya terselip di antara halaman novel yang jarang dipinjam orang—terbukti dari catatan di halaman belakang. Lantaran belum selesai membaca, aku memutuskan untuk meminjamnya.

Belum sempat tanganku menyentuh kenop pintu, seseorang membukanya secara tak hati-hati dari arah berlawanan, sontak menghantam dahiku. Aku mengaduh, mengusap-usap dahi dan ditertawakan perlahan pengunjung ruang baca.

"Eh, sori." Sabas mengangkat tangan.

"Benjol, nih." Aku menunjuk dahi yang cenat-cenut.

"Lebay. Nggak kenapa-kenapa tuh." Ia mengusap dan mendorong dahiku.

Aku menepis tangannya. Ekspresinya sedikit berubah saat matanya menangkap novel yang kubawa. Sebelah alisnya terangkat diikuti kepala meneleng. Tak mau terlibat banyak obrolan dengannya, aku memilih pergi. Kutepis pundaknya, melenggang gusar menjauh.




*****

Duh yang pada tanyak muka songong si Sabas gimana sih. Kemarin saat aku tanya enakan yang cocok buat interpretasi Sabas siapa, banyak yang setuju muka si Jef Nichol. Wakakakak

BTW soal esai BSO mading yang mengkritik hobi nongkrong anak teater sampai tengah malam itu emang beneran loh :D Temanku yang nulis dan langsung ditindak sama wakil dekan :D

Dan kalau di sini, BSO teater emang pernah maku pintu ruang BEM FIB gegara jengkel sama kepengurusan mereka HAHAHAHA

BSO = ekstrakulikuler di fakultas. kalau tingkat universitas namanya UKM

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro