Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 | Tangga

Menurut Albert Einstein, gravitasi tidak berlaku bagi orang yang jatuh cinta. Aku membenarkan ilmuwan botak tengah itu lantaran tiap kali berada di dekat Ananta, jantungku mendadak berdebar dan tubuhku menjadi ringan. Aku seakan hendak dibawa melayang oleh kekuatan asing. Dunia terfokus pada sosoknya. Hanya dirinya. Seperti ketika ia berjalan di sepanjang lorong, mengobrol bersama seorang dosen, mendadak semua syaraf di tubuhku tak bekerja. Aku berdiri terbengong-bengong bagai keledai. Matanya sempat bertubrukan sejenak denganku. Senyum terulas manis di bibirnya. Secara instingtif, aku melambai.

Dug!

Dari arah belakang, tubuhku disenggol cukup kasar sampai membuatku terjengkang ke depan, nyaris jatuh. "Aduh!" Menoleh, aku mendapati Sabas mengangkat kedua tangan.

"Sori. Makanya, jangan suka ngelamun di tengah jalan."

"Kamu sengaja ya!" Suaraku meninggi sampai-sampai beberapa mahasiswa dan dosen yang lewat menoleh dan menghujani kami dengan tatapan penasaran.

"Dek Anggi, maaf ya. Tadi aku nggak sengaja. Nggak ada yang sakit, kan?" nadanya dibuat-buat semanis mungkin. Aku mengernyit jijik. Hal itu memicu reaksi berlebihan mahasiswi-mahasiswi di sekitar kami dengan gumaman dan gigit jari.

"Ya ampun ... cute banget sih. Aku mau digituin."

Bola mataku berputar. Sebelum perang meletus makin dahsyat, Bu Renjani datang bagai penengah kami. Ia menyentuh pundakku. Dalam waktu singkat, ekspresi Sabas berubah menjadi semanis malaikat.

"Selamat pagi, Bu. Boleh saya bantu bawa tas dan buku-bukunya?"

"Oh, boleh-boleh. Kamu kemarin yang mengajukan kuota tambahan di kelas saya, ya?"

"Benar. Semester lalu, saya tidak mengambil kelas Anda. Saya memutuskan mengambil semester ini."

"Oh, ya sudah. Ayo ke atas."

Mereka baru saja membicarakan apa? Tak diberi waktu berasumsi dan memprotes dalam hati, Bu Renjani memberi kode padaku agar segera memasuki kelasnya. Seketika, aku merasa atap fakultas ini runtuh tepat di kepalaku. Apa yang baru saja ia katakan?!

Seperti janjinya, Sabas membawakan tas dan buku-buku Bu Renjani. Keduanya berjalan beriringan bagai dosen dengan asistennya. Memutar kepala, sudut bibir si berengsek terangkat membentuk senyum miring.

Bedebah. Aku yakin ia sengaja memasuki kelasku agar bisa lebih sering menjahili dan menggangguku.

Kelas dalam keadaan riuh sewaktu kami memasuki kelas. Seperti biasa, aku duduk di sebelah Adeeva—di sebelahnya ada Sulastri yang sibuk membenahi poninya.

"Kok cemberut, Gi?" tanya Adeeva, menyadari suasana hatiku yang hancur.

Tanpa perlu menjawab pertanyaannya melalui ucapan, Adeeva telah mendapatkan jawaban begitu Sabas melintasi bangku kami, duduk tepat di belakang, di sebelah Prapto. Dua orang menyebalkan duduk bersebelahan. Seharusnya mereka membuat debut sebagai pasangan capres dan cawapres. Lalu aku akan membuat akun bodong, menulis kebencian dan fitnahan untuk kepentingan black campaign.

Adeeva mengulum senyum. Kami memusatkan perhatian pada Bu Renjani yang memulai mata kuliah Bahasa Belanda, melanjutkan pertemuan minggu sebelumnya. Ia menulis contoh percakapan di whiteboard dan mempraktikkannya di depan kami.

"Saya tinggal dulu ya. Kalian praktikkan dengan teman-teman kalian." Bu Renjani berlalu pergi, meninggalkan kelas yang berubah menjadi ramai.

"Ini bacaannya apa, sih? Aku bingung." Adeeva menyenggol sikuku.

"Mana aku tahu. Aku nggak pernah hidup di zaman penjajahan, Div."

Bibir Adeeva mengerucut. "Ik—ik kom yu—"

"Ik kom uit Indonesia. Ik spreek Indonesisch."

Serentak, baik aku maupun Adeeva menoleh ke belakang. Lain halnya dengan Adeeva yang tersenyum senang merasa terbantu, aku mengangkat sebelah alis. Sabas memajukan kursi, merapat di belakang Adeeva.

"Mas Sabas bisa Bahasa Belanda?" tanya Adeeva antusias.

"Sedikit. Dulu waktu Papa kerja di KBRI Belanda, aku sekolah di sana selama tiga tahun."

Sudut bibirku tertarik mencemooh. "Sok."

"Terus kenapa ikut kelas ini kalau udah bisa?" Adeeva makin penasaran.

"Buat menuh-menuhin SKS."

"Bokis amat," aku mencericit.

Tak peduli pada gumamanku, ia maju satu langkah, mencari peluang agar bisa mengobrol banyak dengan Adeeva. Makin lama, aku merasa seperti kambing congek yang sangat terganggu dengan obrolan keduanya. Berhenti berbasa-basi menceritakan keindahan Belanda pada Adeeva, Sabas mulai maju menyerang.

"Nanti malam kosong, nggak? Kalau kamu nggak sibuk, aku mau ajakin kamu nyobain poffertjes, nenek moyangnya kue cubit."

"Ah, mau!"

Ya Tuhan, tolong selamatkan Adeeva dari jeratan iblis seperti Sabas. Ia tak boleh seperti gadis-gadis pemuja Sabas yang tak kalah alay seperti pemuja Ananta. Bukan Angkara Devanagari namanya kalau tak bisa menyelamatkan teman sekelasnya dari lingkaran iblis.

"Nanti malam kan kita janjian nonton bareng sama Lastri," aku menginterupsi.

Adeeva yang tak memahami kode dari kedipan mataku memasang tampang bloon. "Kayaknya kita nggak punya jadwal nonton bareng deh."

Dahiku membentur meja cukup keras.

*

Di basecamp majalah fakultas, aku melihat Nabila sibuk mengutak-atik laptop sembari memeriksa beberapa lembar kertas di dekatnya. Perhatiannya sempat tertuju padaku, sebelum beralih lagi ke laptop. Ia memintaku masuk dan duduk. Aku menyerahkan flashdisk padanya.

"Apa, nih?" tanyanya bingung.

"Artikel pertamaku buat mading dan majalah mingguan yang diedar ke tiap-tiap BSO dan kantor departemen."

"Rajin banget. Tentang apa?"

"Baca aja, deh."

Ia memeriksa tulisanku di laptop. Aku menunggu sembari memeriksa tumpukan majalah dari berbagai edisi di rak. "Astaga, Anggi! Ini seriusan?"

Memutar badan, aku mengedik tak mengerti. "Emang kenapa?"

"Ini terlalu frontal, tahu. Dan bakalan jadi masalah kalau diterbitkan."

Aku duduk lagi di depannya. "Loh, malah bagus." Cengiran lebar terpasang di wajah semringahku. Namun tidak untuk Nabila yang ternganga. "Udah. Berani maju dong. Masa nggak punya nyali buat ngelawan BSO sebelah?"

Nabila mengetuk jemari pada laptop, berpikir berulang kali akan menerbitkan artikel tersebut atau tidak. Pada akhirnya, ia setuju untuk segera menerbitkannya berkat dorongan dariku. Aku mengepalkan tangan bahagia. Artikel pertamaku akan terbit di mading dan majalah mingguan fakultas!

Membayangkan orang-orang membaca tulisanku, perutku bergolak aneh. Jika Ananta ikut membaca, apakah ia bangga padaku? Aku berani unjuk gigi demi mencari perhatiannya. Jika kalian jadi aku, pasti melakukan hal serupa, kan? Orang yang jatuh cinta akan berlomba-lomba mencari perhatian orang yang disukai dengan menunjukkan kelebihannya. Aku sering melakukan hal itu. Walaupun berakhir pahit.

Keluar dari basecamp, aku bersipapas dengan Sabas di lorong student center. "Eh, bison."

Ia praktis berhenti, lalu menoleh ke belakang.

"Aku manggil kamu," kataku.

"Sejak kapan aku ganti nama jadi bison?" Dahinya mengernyit tidak terima. Ia sering memanggilku babi, kuda, biawak, gorila, seharusnya ia tak protes jika kupanggil bison. Aku bertolak pinggang. Ia mengibas memintaku menyingkir dari hadapannya. "Minggir."

"Mau kamu apa sih?"

"Lewat lah."

Aku memejamkan mata. "Maksud aku, mau kamu apa ikutan kelas Bahasa Belanda, hah?"

"Suka-suka dong. Aku kuliah di sini juga bayar."

"Bilang aja kamu punya tujuan tertentu." Kalau bukan untuk menggangguku, artinya ia berniat mendekati Adeeva. "Kamu mau deketin Adeeva, kan? Ngaku, deh." Aku tertawa mengejek. "Nggak usah sok kecakepan."

Ia menyengir. "Maaf ya, emang dari lahir udah cakep."

Astaga, aku ingin meninju tepat di wajahnya. Bibirku terpilin kesal. "Kamu kan udah punya pacar. Nggak usah cari mangsa lain. Apalagi yang polos kayak Adeeva."

"Pacar yang mana?" Sepasang alisnya menyatu. "Sori ya, Dek. Aku masih single. Emang cewek-cewek aja yang suka baper dan deket-deket."

"Mereka baper ya karena kamu yang mulai duluan goda sana goda sini. Jangan pernah godain temenku ya. Urusannya bakal panjang." Telunjukku teracung di depan wajahnya.

"Godain siapa? Adeeva? Aku cuma penasaran."

Penasaran ia bilang? PENASARAN? Tanpa basa-basi, aku bergerak impulsif menendang kemaluannya hingga membuatnya berjengit dan membungkuk.

"Jancuk!!"

"Penasaran ya? Rasain tuh penasaran."

Melangkah gusar, kutinggalkan ia mengumpat dan menyumpah-serapah. Ia salah kalau sudah berhadapan denganku. Tanggung sendiri akibatnya.

*

Indekos dalam keadaan ramai begitu aku pulang dari kampus. Teman-teman berseru girang memberi kejutan pada Vera yang berulang tahun. Kedatanganku disambut teman-teman dengan sorakan pula. Mereka memintaku bergabung ke dalam pesta kecil tersebut.

"Selamat bertambah usia ya." Aku menyalami Vera yang notabene satu tahun lebih muda dariku. Ia junior di Fakultas Hukum.

Kawan-kawan mengambil foto bersama sebelum membagikan kue ulang tahun yang dibeli dengan patungan—aku memang ikut patungan, tapi tak ikut memberi kejutan. Bening menyodorkan sepotong kue di piring kecil untukku. Aku melambaikan tangan mengucapkan terima kasih, lantas menaiki anak tangga menuju kamar. Kuletakkan kue tersebut di atas meja, mencicipi sedikit. Aku menggeleng-geleng. Rasanya aneh. Untung saja aku sudah memisahkan diri. Seandainya masih di sana, aku makin tak enak hati.

Membuka lemari, aku memungut baju ganti. Ponsel yang kugeletakkan di meja berdering. Kuintip nama yang tertera di layar. Rupanya Mama. Segera, aku mengangkat panggilan itu.

"Halo, Ma."

Ada suara serak di seberang. "Kara, halo, kamu lagi di mana?"

"Di indekos. Baru pulang kuliah. Kenapa?"

Terjadi keheningan. Aku duduk di tepi ranjang menunggunya melanjutkan kalimat. Ia terbatuk sebentar, lantas berkata, "Begini, Mama nggak mau bikin kamu nggak konsen belajar. Tapi...."

"Tapi kenapa?"

"Mama mau minta maaf belum bisa kirim uang buat kamu. Kamu fokus belajar dulu ya. Mama usahakan. Mungkin kakakmu bentar lagi kirim buat uang saku. Nggak apa ya kalau dikit?"

Aku menggigit buku-buku jari. "Nggak usah juga nggak apa kok, Ma."

"Jangan bilang begitu! Pokoknya, Mama usahakan segera kirim ya. Baik-baik kamu di sana."

Sambungan terputus. Kupandang ponsel datar. Aku terdiam selama beberapa saat. Tanpa menunggu waktu berputar sia-sia, segera aku beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Langit berganti menjadi merah pertanda hujan akan turun. Aku mempercepat jalan menuju kafe sesuai permintaan Adeeva dan Lastri—kami ada tugas kelompok dan mereka memilih kafe sebagai tempat nebeng Wi-Fi.

Di kafe, aku menghela napas panjang, mencari makanan dan minuman semurah mungkin. Sejak Mama menelepon, aku jadi agak pelit uang. Padahal, dulu aku hobi keluar-masuk kafe sekadar mencari kudapan terenak. Namun sayang, sampai sekarang aku belum menemukannya. Rasa semua kudapan di kafe yang kudatangi selama di Surabaya tidak ada yang memuaskan hasratku. Sebagai putri seorang baker, aku menuntut dan terus mencari cita rasa sempurna.

Sekarang, karena ekonomi keluargaku makin buruk, sepertinya aku berhenti melakukan pencarian dan mulai menghemat.

"Aku traktir!" seru Adeeva padaku dan Lastri.

Rezeki anak baik nggak ke mana. Aku dan Lastri bertepuk tangan dan mencubit pipi Adeeva. Kami menunggu pesanan datang sambil mengerjakan tugas. Aku membaca buku, Adeeva mencari referensi di internet, sedangkan Lastri sibuk main ponsel.

Pesanan datang tak lama kemudian. Kami mengobrol di sela-sela mencicipi pesanan sekadar mengistirahatkan pikiran. Aku memandang wafel cokelat. Bibirku mengerucut.

"Kenapa, Gi?" tanya Adeeva.

"Rasanya aneh," bisikku.

"Enak begini kok aneh?"

"Aku punya lidah yang sensitif, tahu. Ini mah persentase kemanisannya kelebihan."

"Ya elah, tinggal makan aja pake komentar," tukas Lastri, lantas melahap pancake-nya.

Aku mengedikkan bahu. Sepulang dari sana, aku tak lupa meninggalkan catatan kecil di meja, mengomentari presentasi dan rasa wafel tadi agar menjadi perbaikan.

*

Mading FOKUS dikerumuni mahasiswa-mahasiswi sefakultas. Aku mengintip dari celah-celah kerumunan. Salah satu artikelku terpampang di sana. Aku mengulum senyum puas. Tidak hanya di mading, artikelku terpampang pula di majalah mingguan. Kupastikan bahwa Nabila memasang artikel itu di salah satu halaman majalah. Maka, aku berlari menuju student center, masuk ke basecamp yang telah dipenuhi anggota majalah.

"Angkara tuh."

"Hai! Gimana antusias pembaca?"

"Gila. Rame banget," sahut Viola sembari berdecak.

Aku meraih salah satu contoh majalah itu dan membaca tulisanku. puas dengan tulisan yang kubuat. Terlebih jika banyak yang setuju dan mendukungku untuk mendorong wakil dekan mengeluarkan surat kebijakan.

Pintu basecamp kami dibuka secara tak sopan, membuat seluruh anggota majalah berjengit kaget. Nabila menyatukan alis melihat beberapa orang memberondong masuk.

"Kalian punya sopan santun nggak, sih?" sengalnya.

Menepis pundak teman-temannya, Sabas maju ke depan, memamerkan secari kertas dengan bekas sobekan di ujungnya. Aku berasumsi ia mencomot kertas itu dari mading.

"Tulisan siapa, nih?" tanyanya. Nadanya yang tegas dan sarat akan kemurkaan membuat semua anggota mading terbungkam. "Siapa yang nulis ini? Nggak mungkin setan, kan? Berani nulis, berani tanggung jawab juga dong."

"Aku." Maju beberapa langkah, kuakui perbuatanku.

"Kenapa kamu menulis seperti ini?"

"Fakultas lain punya aturan ketat untuk jam malam. Kenapa di sini enggak?" Aku sadar bahwa ia dan teman-teman BSO-nya tidak terima dengan tulisanku yang menentang keras pembebasan jam malam yang bisa disalahgunakan oleh anak-anak teater. Apalagi jika sampai menggunakan student center sebagai tempat bermalam. Dengan keberanian luar biasa—dan nekat—aku mengambil studi kasus BSO teater.

"Sadar nggak sih yang kamu tulis ini apa?"

"Sadar. Kritikan dan masukan."

"Kritikan dan masukan?" nadanya naik sentimen. Ia maju makin mendekat hingga tak menyisakan jarak di depanku. Matanya tak berpindah sedetik pun dariku. "Bukan begini caranya." Di depan wajahku, kertas artikelku disobek hingga menjadi potongan kecil, lantas dilempar di udara. Ia berbalik dan memberi kode pada teman-temannya untuk pergi.

Kupandang sobekan artikelku di lantai. Aku memungutnya jadi satu seperti memungut harga diri yang tercecer.

Aku berdiri, memutar badan. Anggota mading yang lain saling melempar tatapan dengan berbagai emosi. Ada yang takut dan ada yang biasa saja seolah hal tersebut sudah sering terjadi. Aku salah satu yang menampilkan raut wajah 'biasa saja'. Bahuku terangkat. Kubuang sobekan tersebut ke tempat sampah.

*

"Kamu itu ... unexpected, ya." Sore hari di gazebo fakultas, Ananta memuji keberanianku—nekat, katanya—usai membaca artikel yang kutulis. "Dulu waktu aku menjabat jadi presbem, aku mikir dua kali loh buat ngelakuin hal itu."

"Kenapa?"

Ia tertawa pendek. "Hmm ... gimana ya ngomongnya. Dulu ada yang memaku pintu ruang BEM sampai nggak bisa dibuka. Aku berasumsi itu kerjaan mereka."

"Kok gitu?" Aku mengernyit.

"Gara-gara Sabas keluar dari BEM kali."

"Itu mah keterlaluan!"

Ananta mengedik. "It's a bonding, Dev. Brotherhood. Emang begitu sejak dulu. Kalau salah satu dari mereka ada masalah, yang lain ikut bertindak. Ingat waktu ospek? Aku dan Sabas berseberang pendapat. Aku nggak setuju kamu dijatuhi hukuman karena kamu punya pita merah. Bagiku, pantang menghukum mahasiswa berpita merah. Dia nggak sependapat. Katanya, mental rebel kamu bakal menjadi-jadi kalau nggak dihentikan sejak awal."

Membuat dua orang yang berseberang pendapat bertengkar sampai-sampai salah satu dari mereka memutuskan keluar dari BEM memang bukan prestasi. Aku tidak boleh tertawa.

Baru beberapa waktu kami mengobrol berdua, si nenek lampir Kirana muncul dengan wajah juteknya. Aku memberengut.

"Udah selesai jamnya?" Ananta menengadah memandang Kirana. Perempuan itu mengangguk. "Jadi minta anter?" Ia mengangguk lagi. Helo ... kalau aku jadi ia, pasti kujawab pertanyaan Ananta dengan kalimat, bukan hanya mengangguk-angguk seperti boneka di dalam mobil. Ananta mengalihkan pandangan ke arahku. "Dev, aku balik dulu ya."

"Oke."

Mereka berdua berjalan beriringan, makin jauh, lalu tak tampak di penglihatanku setelah berbelok ke tikungan. Bibirku mengerucut. Kalau memang benar mereka pacara, sepertinya aku bisa menyerobot. Kata iblis di pundakku tidak apa selama janur kuning belum melengkung.

Astaga, Anggi. Dosa kamu! Si malaikat mengetukkan tongkat ke kepalaku. Daripada pikiranku ternoda dengan hal-hal buruk, lebih baik aku bergegas menuju musala memenuhi kelas mengaji yang wajib diikuti mahasiswa semester tiga. Kukeluarkan kerudung dari dalam tas, mengenakannya, lantas berjalan tergesa-gesa sebelum tutor mengajiku menjatuhi hukuman dengan hafalan surah pendek yang belum kuhafal.

*

Keluar dari musala, teman-teman sekelompokku berpamitan pulang. Aku melambaikan tangan pada mereka. Aku menunduk mencari-cari sepatuku. Dari barat sampai timur, tak kutemukan sepatu bot pendek sebatas mata kaki itu. Bertolak pinggang, aku mengamati keadaan sekitar. Kugigit jari, berpikir, lantas mencari lagi.

"Nyari apaan, Gi?" Tutor mengajiku, Mbak Nia, keluar.

"Sepatuku nggak ada. Di mana ya?"

"Kayak gimana?"

"Bot pendek warna cokelat."

"Itu?" Telunjuk Mbak Nia teracung pada salah satu cabang pohon.

Menengadah, aku menemukan sepasang botku tergantung di cabang berbeda. Mulutku ternganga lebar. Kuedarkan perhatian ke seantero tempat, mencari si pelaku. Di salah satu bangku pujasera yang berseberangan dengan musala, aku melihat Sabas menoleh sebentar sebelum mengalihkan pandangan ke arah kawan-kawannya.

Kurang ajar! Pasti bocah itu yang menggantung sepatuku di sana. Aku menghela napas panjang. Kumasukkan kerundung ke dalam tas, menyingsing celana dan kemeja, lalu memanjat pohon.

"Anggi, kamu ngapain!" Dari arah pujasera, Lastri berlarian kecil bersama Adeeva.

Tak kujawab pertanyaan Lastri. Aku memanjat dan sampai di salah satu cabang pohon. Dalam sekejap, aku menyita perhatian seluruh warga kampus. Mereka melongok ke atas, menyaksikan aku beratraksi mengambil sepatu-sepatuku yang terikat, seperti seorang pemain sirkus.

Pada akhirnya, aku berhasil melepas ikatan sepatuku dan menjatuhkannya ke bawah. "Woy, kalian berdua ngapain dah berdiri doang kayak renternir. Ambil tuh."

Adeeva memungut sepasang sepatuku yang kujatuhkan.

"Turun, Gi. Mau magrib juga nih, bahaya. Kalau jatuh gimana?" Adeeva berteriak.

Aku berniat turun, tapi teringat bahwa aku tak terbiasa turun tanpa tangga. Kutepuk dahi berkali-kali, mengutuk kebodohan. Kupandang keadaan di bawah, memikirkan cara untuk turun.

"Bisa turun nggak?" Lastri berteriak.

Aku menggigit jari. "Kalian cari tangga dong. Aku nggak bisa turun nih."

"Ya elah, Gi. Kalau nggak bisa turun mah nggak usah manjat pohon." Memutar mata, Lastri melenggang mencari tangga. Sementara Adeeva terus menengadah.

Aku sendiri berharap ada Goku dan awan kintonnya yang terbang dan membawaku turun secara ajaib. Lastri berlari mendekati pohon dengan tangan kosong. "Nggak ada, Gi. Kata OB, dipakai tukang buat renovasi lantai tiga."

"Hah? Terus aku turunnya gimana??"

"Kita tunggu tukangnya selesai, deh."

What the hell! Meski tak mengharapkan hal seperti ini terjadi, Lastri dan Adeeva menunggu di bawah pohon. Aku mendesah putus asa, memilih duduk di salah satu cabang pohon. Mau tak mau, kutunggu tukang menyelesaikan pekerjaan dan membawakan tangga untukku.

Sampai azan magrib selesai, aku masih tersangkut di atas pohon, menjadi tontonan warga fakultas yang lalu lalang menahan tawa. Bibir kukerucutkan ke depan.

"Kita ada kelas pengganti jam tujuh malem, kan?" tanyaku. Adeeva dan Lastri mengangguk bebarengan. "Ikut kelas aja sana. Nanti kalau udah kelar, kalian bawain tangga buat aku, ya."

"Kita nggak ikut kelas kalau kamu masih nyangkut di sana." Adeeva memainkan jari-jemarinya.

"Aku nggak apa. Udah, kalian buruan masuk kelas. Dosen galak tuh."

Baik Lastri maupun Adeeva saling melempar pandangan. Mereka tampak tak sependapat dengan keputusanku. Sekali lagi, aku meminta mereka segera pergi. Dengan berat hati, keduanya berlalu pergi.

"Kita bakal secepatnya balik!" teriak Lastri.

Dan tinggallah aku di sini. Seorang diri. Di atas pohon. Kurang sial apa lagi hidupku? Aku memandang keadaan kampus yang makin lama makin sunyi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang menetap di pujasera, bermain game. Sabas dan teman-temannya pun sudah tak ada. Aku mendesah pendek, bersandar pada batang pohon. Menatap ke atas. Dari balik dedaunan, kulihat bintang gemintang tampak terang di awan cerah. Tumben? Padahal hari-hari sebelumnya, langit mencurahkan air cukup deras.

"Enak nggak di sana? Nyaman?"

Mendengar suara yang sangat sensitif di telinga, aku melongok ke bawah. Di sana, Sabas berdiri melipat tangan di depan dada.

"Jahat banget sih kamu!"

"Ah, buat Angkara Devanagari sang pemberontak nomor wahid di FIB, masa begini doang dianggap jahat, sih?"

Bibirku terpilin. "Yang kamu lakukan udah keterlaluan."

"Lihat aja nanti, siapa yang sebenernya udah keterlaluan. Hati-hati ya." Ia memberi salam penghormatan sebelum berlalu pergi.

Berengsek! Aku akan mengutuk namanya seumur hidup!

Aku menghela napas panjang. Memandang kosong pada langit berbintang dan mendengar sayup-sayup suara dedaunan disenggol angin. Aku memejamkan mata rapat, mensugesti diri agar tidak panik dan berhenti memikirkan hal buruk. Berulang kali aku menarik dan membuang napas.

Menengok jam yang melilit di pergelangan tangan, jarum pendek sudah menunjuk angka tujuh, sedangkan yang panjang menunjuk angka tiga. Aku memejamkan mata kesal. Aku nyaris putus asa, sampai kutengok ke bawah dan menemukan tangga sudah berdiri tegak. Kukucek mata memastikan bahwa tangga itu benar-benar ada di sana.

"AKHIRNYA YA TUHAN!" Aku berteriak kegirangan.

Tanpa menunggu lama, aku turun dari atas pohon secara hati-hati, menapaki anak tangga sampai menjejak di atas tanah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, mencari siapa kiranya yang berbaik hati memosisikan tangga tersebut sehingga memberiku kesempatan turun tanpa menunggu kedatangan Lastri dan Adeeva. Namun, tidak ada seorang pun yang kutemukan. Keadaan fakultas sangat sepi dan remang-remang. Ah, yang penting aku sudah turun dengan selamat.

2selamat.

*****

Minggu lalu saya diminta buat jadi bagian timdis malam keakraban. Pas jaga pos jelajah malam, ada maba yang nama panggilannya "ANGKA". And suddenly I asked her: "Nama kamu beneran Angka??" Si maba ngangguk.

LMFAO I thought she was Angkara Devanagari xD

Dan ternyata, banyak dari maba-mabakoe yang penghuni wattpad. Cuma nganu, mereka kaga kenal saya. cri

Ini yang baca siapa aja sih? absen dong di komentar ._.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro