Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 | Musim Semi

Dari balik dinding, aku bisa melihat Lastri yang berdiri di trotoar. Berulang kali aku mengecek jam tangan. Sekitar limabelas menit aku menunggu jemu, mengamatinya dari jauh. Selama itu pula aku tak mencurahkan perhatian pada ponsel. Kalau Pasa dan Praska tahu aku melakukan ini sendirian lagi, mereka pasti marah.

Tak berselang lama, motor Dimas berhenti di depan Lastri. Tanpa melepas helm, Dimas memberikan gestur seperti meminta Lastri segera mengikutinya. Kuamati mereka, belum menentukan langkah yang akan kuambil. Mereka terlibat percekcokan sebentar. Dari tempatku, terdengar samar-samar keributan yang terjadi. Aku pasang telinga lebih intens.

"Aku nggak mau lagi. Kalau Dekan tahu, aku yang di-DO."

"Berengsek. Lo diancam apaan sama bocah itu?"

Lastri menunduk. "Aku ngerasa bersalah banget sama Anggi. Dia itu temenku."

"Alah, taik. Di dunia ini nggak ada yang namanya temen."

Aku berdecak muak. Bocah keparat ini memang perlu diberi pelajaran. Celingukan, aku mencari-cari keberadaan kawanan Dimas yang barangkali mengamati dari jauh, berjaga-jaga.

"Tapi...."

"Yang lo lakuin itu sederhana. Cuma nempelin artikel yang gua tulis, kok. Lo nggak bakal di-DO kalau cuma begitu. Paham?" Dimas menoleh ke sekeliling. Aku spontan bersembunyi lagi. Saat melongokkan kepala, Dimas sudah mengeluarkan pisau dan mendekatkan ujungnya ke cewek itu.

"Lo bikin gue kesel ya lama-lama."

Aku tertawa mengejek. Kulihat sampai mana keberanian bocah tengik itu. Pada akhirnya, Lastri mengangguk. Dimas menyerahkan secarik kertas padanya, lantas memasukkan pisau ke balik jaket. Ia melajukan motornya kencang meninggalkan Lastri. Tak beberapa lama, motor lain membuntutinya. Seperti dugaanku, mereka tak akan membiarkan Dimas melakukannya sendirian tanpa pengawasan. Terlebih setelah tertangkap basah olehku.

Lastri masih berdiri dengan tangan gemetar. Saat kuhampiri, ia meloncat kaget, menjatuhkan kertas tersebut. Sebelum tangannya meraih kertas itu, aku mendahului. Wajahnya pucat pasi.

"Ckck. Masih berani juga itu bocah." Aku membaca artikel yang ditulis. Sama seperti sebelumnya, artikel provokasi, masih mengungkit-ungkit keuangan BEM yang dikatakan telah dikorupsi pengurus BEM tahun ini. Kupandang Lastri yang menunduk tak berani menatapku. "Heh, lihat mata gua kalau diajak ngomong." Dagunya kutarik. Ia sontak memandang ke arahku, ketakutan. Aku mendesah. Keringat menganak sungai membasahi wajah dan lehernya. Ia benar-benar ketakutan saat ini. "Lo nggak mau diancam terus sama mereka, kan?" Ia menggeleng. "Kalau gitu, lo harus ngelakuin ini buat gua." Aku mendekat ke telinganya untuk berbisik.

*

Angkara sibuk dengan kamera di tangannya. Ia berdiri di tepi dinding pembatas nok gedung mal, memotret pemandangan kota sore hari menjelang malam. Matahari mengintip dari balik langit jingga, mengantar burung-burung pulang. Aku tersenyum melihatnya bersenang-senang dengan kamera yang kupinjamkan. Ia menyandarkan pinggul ke dinding pembatas, membelakangi gedung-gedung pencakar langit, melihat-lihat hasil fotonya. Lantas, dipandangnya aku dengan wajah semringah.

"Aku jadi ngerasa kayak fotografer profesional," katanya. "Sini, deh." Ia melambai memintaku mendekat. Begitu sampai di tempatnya, ia menunjukkan hasil potretannya. "Tuh, kan? Aku punya bakat fotografi kayaknya."

Aku menyengir, membuat senyumnya sontak lenyap. Wajahnya memberengut kesal. Kurebut kamera mirrorless tersebut dari tangannya.

"Kalau mau ambil foto bagus, angle-nya harus tepat. Kayak begini." Aku membidik objek, lantas mengabadikannya dalam kamera. Kutunjukkan hasil bidikanku padanya. Ia berseru histeris, memuji kecakapanku dalam mengambil gambar.

Kuajarkan padanya teknik mengambil gambar yang bagus. Ia mempraktikkan ajaranku dengan mengambil objek di sekitar. Tak terkecuali aku yang mendadak dipotret olehnya tanpa permisi.

"Nah, bagus, kan? Aku bakat jadi fotografer."

"Karena objek kamu udah cakep, jadi mau gimana aja bagus."

Sudut bibirnya terangkat mencemooh. Ia menyibukkan diri mengambil gambar lagi. Kupandangi ia dari samping. Tanpa berkedip. Rambutnya yang dibiarkan terurai tertiup angin. Beberapa helai menyentuh wajah, mengganggunya. Kusingkirkan rambut mengganggu itu dari wajahnya. Lalu, aku memeluknya dari belakang.

"Eh, eh." Ia bergerak panik.

"Udah. Diem."

Menuruti perintahku, Angkara berhenti memberontak. Ia membiarkan tanganku melingkar di tubuhnya. Membiarkan aku meletakkan dagu di atas pundaknya.

"Nunggu sampai seratus persen itu nggak enak banget, tahu," bisikku.

"Salah sendiri ngapain nunggu."

"Hm... gitu ya." Aku menghela napas panjang. "Dulu pertama lihat kamu, jujur ya, aku sebel banget." Aku selalu mengingat-ingat awal ospek. Angkara yang paling bandel di antara yang lain. Suka membantah demi mempertahankan hal yang dianggapnya benar. Setiap mengingat itu, aku meringis. Rasanya, ingin kujitak kepalanya. "Mahasiswi baru yang nggak punya rasa takut sama senior dan mempertahankan harga diri. Itu yang buat pengurus BEM nggak suka sama kamu karena nganggep kamu sok. Makanya, tim disiplin berencana ngerjain kamu dan nambah hukuman lebih berat. Niat timdis cuma pengen disiplinin kamu, loh."

"Kamu yang nyuruh, kan?" nadanya menyengal tak terima.

Aku menyeringai. "Yang kamu lakukan itu terlalu berani, Gi. Sekaligus, ngerjain kamu itu asyik."

"Ih... jahat." Ia memberontak.

Kueratkan pelukanku, membuatnya tak bisa bergerak. "Dengerin dulu. Belum kelar. Emang aku yang ngasih perintah buat nandain kamu."

"Terus Ananta yang belain."

Aku tak akan menyangkal hal itu. Kami sering berdebat saat ospek hanya karena Angkara dan pita merah di lengannya yang menandakan ia harus diperlakukan khusus.

"Dia bakal selalu belain orang yang dianggap lemah." Aku menghela napas pendek. "Sebaliknya, aku mau kamu jadi kuat."

Angkara tertawa pendek. Aku menganggapnya sebagai pembenaran. "Dunia kampus itu nggak kayak SMA, Gi. Persaingannya lebih berat. Itulah gunanya ospek. Orang-orang pasti menganggap ospek sebagai ajang balas dendam. Padahal, ospek bisa melatih mahasiswa baru yang kaget budaya. Oke, sebagian anak BEM pasti gunain kesempatan itu buat ajang cari muka. Tapi sebagian lagi emang bener-bener pengen bantuin anak-anak baru beradaptasi sama kampus. Makanya, kamu harus banyak berterima kasih sama panitia ospek." Aku mencubit pipinya, membuatnya meringis kesakitan.

"Tetep aja sikap kamu itu ngeselin."

"Tapi akhirnya juga suka."

Ia mendesis dan meronta. Aku terkekeh, tak membiarkannya lolos dari pelukan eratku. Menyerah, Angkara hanya bisa mengembuskan napas panjang.

"Jangan dilepas dulu. Aku mau peluk kamu lebih lama," kataku.

Bisa kulihat senyumnya yang terkembang dari samping. Ia mengulurkan tangan ke depan, lalu berswafoto menggunakan kameraku. Ia mengambil beberapa kali foto.

"Eh, apa yang bikin kamu akhirnya mau sama aku?" tanyaku.

Angkara berhenti melihat-lihat hasil foto. Ia memandang lurus ke depan. "Nggak tahu. Pas ngelihat kamu kesakitan kayak waktu itu, rasanya aku ikutan sakit."

"Bukan gara-gara puisi, ya? Yah, kecewa deh."

"Sori, ya. Seorang Angkara Devanagari nggak bisa segampang itu digombalin pake puisi. Nggak bakal mempan."

"Oh ya? Ini kayak nantangin, nih." Aku menggelitikinya. Ia meronta dan berhasil lepas dari pelukanku, berlari menghindar, mengelilingi nok dengan suaranya yang bergemerincing indah.

Yang mungkin tak pernah kamu sadari, angin selalu menerbangkan salam rinduku melalui jendela kamarmu. Langit mencurahkan hujan mewakili perasaanku kala menatap matamu yang basah. Dedaunan berguguran sebagai tanda kesedihan tak terungkap. Tanah kering yang kupijak seperti retakan di jantung. Namun kini, surya merangkak naik, cerah, seperti senyum yang tak lelah singgah di wajahmu. Mendung menyingkir, berganti warna menjadi biru. Kebun bunga bermekaran layaknya diberkati dewi alam. Tirai yang selama ini menutup telah disibak, menampakkan cahaya silau yang dulunya temaram. Karena ada kamu. Berlarian dan tertawa. Seperti musim semi yang membuatku jatuh cinta.

*

"Oke. Latihan selesai." Aku bertepuk tangan mengakhiri latihan terakhir.

Pasa memerintahkan semua kru berkumpul membicarakan kekurakangan. Aku mendengarkannya sambil bermain ponsel, membalas pesan-pesan yang dikirim Angkara. Melihat balasan terakhirnya, aku terkekeh. Praska yang menyadari sontak menyikutku, memintaku fokus pada rapat. Kulihat Pasa yang melesatkan tatapan tajam. Aku mengatupkan telapak tangan.

Beberapa saat kemudian, Pasa membubarkan yang lain. Praska berjalan di sebelahku. Ia mengalungkan tangan di leherku.

"Ke rumah gua, yuk. Ada koleksi CD ikeh-ikeh kimochi baru, nih. Mantep."

Sudut bibirku terangkat. "Gua ada janji."

"Elah, janji mulu kayak anggota DPR aja. Lo sama Pasa udah nggak asyik nih."

"Makanya cari cewek."

Praska mendesah kesal. Ia masih mengalungkan tangan di leherku sampai di depan kampus. Langkahku terhenti begitu melihat seorang gadis berdiri di dekat motor yang diparkir depan fakultas. Sebelah alisku terangkat. Ia melambaikan tangan.

"Sabas!"

"Eleh eleh, ayu tenan. Siapa itu, Bas?" Praska menyikutku berkali-kali.

"Hai." Aku mengangkat tangan membalas lambaian tangannya. Gadis itu, Mira, berlari menghampiri kami. Ia memasang cengiran lebar. "Ngapain di sini, Mir?"

"Oh, tadi aku rencananya mau nemuin Reno. Tapi, dia nggak ada di kampus. Hapenya juga nggak aktif. Ya udah, aku mampir ke fakultas kamu. Masa jauh-jauh datang langsung pulang, sih."

Praska mencebikkan bibir. Begitu namanya dipanggil Eli, Praska berpamitan pulang—katanya harus mengantar Eli. Tinggallah aku bersama Mira. Kampus sudah agak sepi. Malam juga bertambah dingin.

"Kemarin pesanku nggak dibales. Sombong banget."

"Kemarin aku udah ngantuk. Ini mau balik. Ada janji sama orang...."

Bersamaan itu pula, ponselku berbunyi. Aku membuka WhatsApp yang dikirim Angkara.

Angkara: eh nggak jadi deh. aku sama temen-temen kosan, mereka juga mau cari buku.

Aku mendesah pendek. Kubalas pesan itu dengan raut wajah kecewa. "Ck. Kenapa nggak nunggu dulu, sih. Anggi, Anggi." Mira berdeham, membuatku menoleh.

"Janjinya jadi?"

"Nggak." Aku memasukkan ponsel ke saku celana.

"Kalau gitu, temenin aku buat cari hadiah dong. Mau? Yah, yah, plis...."

Sebelah alisku terangkat, menimbang. Ia mengatupkan telapak tangan memohon-mohon. Kuanggukkan kepala. Lagi pula ini hanya ajakan teman. Ia mengucap terima kasih dan mengikutiku ke parkiran mobil.

*

Sudah hampir sejam Mira memutari toko demi toko. Namun, ia mengaku belum menemukan hadiah yang cocok. Aku menunggunya memilih jam tangan. Sesekali kuintip ponsel. Angkara tidak membalasnya lagi. Mungkin ia bersenang-senang dengan teman-temannya. Kuputuskan untuk tak mengganggunya. Pandanganku beralih menuju Mira yang mengangkat tangan, memintaku mendekat. Aku menghampirinya. Ia memintaku memilihkan jam tangan yang bagus. Membantunya memilihkan jam, ia memintaku mencobanya.

"Waw, bagus," katanya seraya mengangkat tanganku dan memerhatikannya. "Cocok buat kamu." Ia menyunggingkan senyum.

"Buat pacar kamu, ya?" tebakku.

"Ah, enggak. Buat kakakku. Besok dia ulang tahun, makanya aku minta Reno buat temenin cari hadiah. Eh, dia malah nggak bisa dihubungin. Untung ada kamu." Ia menubruk lenganku.

"Oh, kirain buat pacar." Aku menyerahkan jam tangan itu untuk dimasukkan kotak oleh penjaga toko.

"Aku nggak punya pacar." Mira memandangku, tersenyum lebar. "Kalau kamu mau jadi pacarku boleh tuh."

Mendengar ucapan ngelanturnya, aku menyeringai. Ia terbahak, mengatakan bercanda. Aku menggeleng-geleng. Kutunggu Mira menyelesaikan transaksinya. Setelah itu, menarik lenganku keluar dari toko. Aku memandang tangannya yang masih mencengkeram lenganku. Hati-hati, aku mencoba melepasnya. Sebelum kulakukan, ia melepas lenganku, lantas berlari ke toko boneka. Tangannya melambai memintaku mengikutinya.

Mira melihat-lihat boneka di toko itu. Ia mengambil salah satu boneka, yang terbesar, kemudian menunjukkannya padaku.

"Lucu, ya?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Lucu." Aku kepikiran membelinya untuk Angkara.

Mira memandangi boneka itu, memeluk dan membenamkan wajahnya ke wajah boneka itu. Seorang penjaga toko mendekati kami.

"Mau beliin pacarnya, Mas?" tanyanya padaku.

"Ah... boleh," jawabku.

"Aku ambil ini!" Mira menceletuk dan menyerahkan boneka tersebut ke penjaga toko. Si penjaga membawa boneka tersebut ke kasir. Aku mendengus pendek. Padahal, aku berniat menghadiahkannya untuk Angkara.

Kami menuju kasir untuk membayar boneka itu. Mira mengeluarkan dompet. Ia menunduk, mengerutkan dahi. Kudengar desisan kesal keluar dari bibirnya. "Duit cash-ku abis. Aku coba pakai debit, deh." Mira mengeluarkan kartu debit. Saat digesek, kasir mengabarkan kalau kartu tersebut tidak dapat dipakai. Wajah Mira memerah malu. "Pasti Papa nih yang blokir." Ia berdecak kesal.

Aku mengeluarkan kartuku. Kuserahkan kartu kredit ke kasir. "Pakai itu aja."

Mira menoleh dengan ekspresi terkejut. Ia ingin mengucapkan sesuatu, namun tanganku terangkat memintanya diam dulu. Boneka itu akhirnya bisa dibawa pulang.

"Kalian serasi banget. Kayak pasangan di drama-drama. Yang satu cantik, satunya ganteng," goda si kasir, membuat Mira tertawa cekikikan. Aku menyeringai dan memutar bola mata. "Langgeng sampai nikah, ya."

"Amin."

Aku memandang Mira yang tak membalas tatapanku.

Begitu Mira mendekap bonekanya yang sudah dimasukkan plastik, kami keluar dari toko. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali karena menolongnya dari rasa malu. Aku menanggapi dengan anggukan. Mira meletakkan boneka itu di jok belakang. Kulajukan mobil mengantarnya pulang.

"Nanti uangnya aku ganti, ya."

"Udah, nggak usah."

"Eh, jangan gitu. Ini mahal loh."

"Nggak apa."

Ia tersenyum dan menggelengkan kepala. Aku merasakan leherku yang kaku karena ditatap lekat olehnya. Kusingkirkan kesunyian dengan memutar musik. Ponselku berdering. Melihat nama Angkara, aku mengangkatnya.

"Udah tidur?" tanyaku.

"Belum. Aku nggak bisa tidur."

"Nanti aku telepon lagi, ya. Aku nyanyiin biar kamu bisa tidur."

"Emang kamu lagi di mana?"

"Di jalan." Kupandang Mira yang tersenyum tipis. "Nganter temen pulang."

"Ya udah. Hati-hati. Kalau udah sampai rumah kabari aku ya."

"Turun dan buat cokelat panas. Kali bisa bantu kamu buat tidur. Daripada nunggu aku lama."

"Nggak mau. Maunya kamu yang bikin aku bisa tidur."

Aku meringis mendengarnya. Tumben sekali ia bertingkah seperti ini. Aku iyakan permintaannya. Ia memutus sambungan. Selang beberapa detik, mobilku memasuki komplek perumahan dan akhirnya sampai di depan rumah Mira. Aku membantunya mengambilkan boneka di jok belakang.

Mira menenteng ujung plastik. Ia mengulurkan tas kardus jam tangan yang dibelinya. "Gantinya boneka ini."

"Ini kan hadiah buat kakak kamu."

Gadis itu menggeleng. "Buat kamu kayaknya lebih cocok. Aku sangsi ngasih kakakku beginian. Mungkin, besok aku ajak dia makan bareng aja. Nih, terima, ya." Ia memberikan tatapan mengiba. Kuambil tas tersebut dan mengucap terima kasih.

Mira mengangkat bonekanya, berpamitan masuk setelah gerbang dibuka satpam. Baru beberapa detik melangkah, ia berbalik, dan melangkah menghampiriku lagi. Aku hendak bertanya apa yang ia tinggalkan, namun ucapanku terbungkam saat tiba-tiba saja ia maju.

Mengecup sudut bibirku.

*****

Tahan ya. Lagi puasa. Jangan marah. Wkwkwkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro