10 | Mega Mentari
"Angkara Devanagari."
Awan yang kuperhatikan di luar tampak kelabu, seperti tak tahan untuk menumpahkan air ke bumi. Sepanjang jam mata kuliah Bahasa Sansekerta, yang kulakukan hanya bertopang dagu, mengetuk pulpen ke atas buku, dan melamun memandangi potongan awan gelap.
"Angkara Devanagari? Nggak masuk?"
Aku mendengking kesakitan merasakan cubitan di paha. Menoleh, kulihat Adeeva mendelik dan mengedikkan kepala menuju Bu Desi. Dosen berwajah kalem itu celingukan. Begitu tanganku terangkat, ia melemparkan pandangan ke arahku.
"Angkara Devanagari?" tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk. "Tolong baca aksara devanagari di latihan tugas nomor dua dan terjemahkan."
Aku memandang kertas latihan tugas, menghadapi barisan aksara devanagari yang rapi dan belum kucoret—padahal seharusnya hari ini sudah kucoret dengan cara baca dan terjemahan bahasa Indonesianya. Kendati namaku devanagari, aku tak memahami sama sekali aksara ini.
Adeeva menyodorkan kertasnya padaku diikuti senyum. Aku menghela napas lega dan mulai membaca ejaan Sansekerta beserta terjemahannya. Bu Desi meminta temanku yang lain untuk melanjutkan. Aku mendekatkan dahi pada meja dan mengumpat ketololanku karena tak bisa fokus.
"Kenapa, sih?" bisik Adeeva.
Enggan mengangkat kepala, aku menggeleng dan menggumam. "Cuma capek."
Terdengar helaan napas panjang Adeeva, menyiratkan ketidakpercayaan. Meski begitu, ia tak memaksaku untuk menjawab. Dibiarkan aku meletakkan pipi di atas lipatan tangan sembari mengamati awan untuk kesekian kali.
Aku hanya memikirkan obrolan malam lalu dengan kakakku....
"Dek, kamu tahu kan kalau Kakak nggak bisa bantuin kamu buat bayar keperluan kuliah lagi? Kamu bisa bantu Kakak cari duit sendiri?"
"Udah coba kok, Kak. Aku nyoba jadi kontributor koran kota buat ngisi kolom kuliner. Jadi Kakak nggak usah kirim uang jajan buat aku, ya. Aku pakai uang itu aja."
"Bener? Kalau ada duit, Kakak sisahin buat kamu. Rajin nabung juga loh. Siapa tahu waktu bayar SOP, Kakak lagi nggak ada duit. Biar kamu nanti bisa bayar sendiri."
Ah, seharusnya aku bisa bekerja lebih giat sekadar menjadi kontributor koran yang tak terlalu menghasilkan banyak uang. Aku mendesah putus asa. Terpikirkan olehku untuk cuti kuliah. Haruskah?
*
Aku mencoba membangung fokus, setidaknya ketika membantu Sabasnash mengamati latihan hari ini. Naskah drama yang kupegang penuh dengan coretan gambar abstrak. Aku tak begitu memerhatikan latihan dan membiarkan Sabas berteriak memaki-maki para aktor. Hanya sekali atau dua kali kulihat dirinya membentak para aktor, lalu tak kupedulikan walau tebersit perasaan kasihan pada anak buahnya itu. Padahal aku yakin mereka sudah terbiasa mendapatkan bentakan Sabas. Ya... bagi yang sudah mengenal kepribadiannya, seharusnya tak kaget lagi dibentak dan dimaki. Aku yang sejak ospek fakultas hari pertama kena bentakan dan makian darinya saja sudah biasa.
Biasa karena dia udah jarang bentak atau maki kamu, bisik si malaikat sambil terkikik.
"Shut up," desisku.
"Siapa yang nyuruh diam?"
Aku mengangkat kepala, melihat Sabas menoleh ke belakang. Celingukan, seluruh anggota teater memandang ke arahku.
"Anggi tadi yang gumam." Gita menunjukku.
"Hah?" Aku menunjuk diri sendiri. Ada senyum miring tampak di bibir Gita. Tampaknya ia akan senang jika Sabas ikut memarahiku habis-habisan seperti para aktor—termasuk Gita. Kupandang Sabas yang masih memandangku.
"Kamu yang minta aku tutup mulut?" ulangnya tajam.
Aku menggeleng cepat. "Bukan buat kamu kok. Suer. Tadi cuma gumam aja ... sama pikiran."
"Berarti kamu lagi nggak fokus," Gita menyeletuk lagi. "Asisten sutradara macam apa nih, saat yang lain lagi fokus latihan malah sibuk sama pikiran." Gadis berambut panjang yang hari ini dikucir kuda itu menatap Sabas tak terima. "Harusnya kamu bisa fair dong. Jangan cuma kita yang kena marah."
"Ssstttt," suara desisan Pasa terdengar di seberang. Telunjuknya menempel bibir. Di antara yang lain, Pasa memang terlihat lebih tenang. "Ngomong tanpa teriak bisa nggak, Git?"
Gita mencibir.
"Kenapa kamu nggak fokus?" tanya Sabas lebih serius, membuatku mati kutu. Bukan karena mendengar nada tajamnya, melainkan tatapan semua anggota teater yang mengintimidasi. Sabas mendekatiku dan merebut naskah yang sudah kucoret-coret. Ia melirikku. "Aku kan minta kamu mencatat koreksian, bukan nyoret-nyoret nggak jelas."
"Sori!" suaraku naik.
Ia melempar naskah drama ke mejaku. "Biar kamu fokus, keluar dari auditorium, lari di lapangan sambil teriakin vokal. Putarin lapangan sepuluh kali."
"Malam-malam begini?" Mataku mendelik. "Nggak mau ah. Aku capek. Kamu tahu sendiri tadi jadwal kuliahku banyak, belum lagi rapat kepanitiaan Malam Keakraban, terus kamu suruh lari sepuluh kali sambil teriakin vokal? Aku nggak mau." Aku bertolak pinggang menantang.
Sabas masih memandangku tajam, sedangkan Gita mencerocos di belakang.
"Yang tegas dong, Bas! Mana wibawa kamu sebagai sutradara?"
"Diem!" teriaknya pada Gita yang sukses membuat jantungku melompat. Pandangannya dialihkan ke arahku lagi. "Kamu sendiri yang setuju melakukan tugas ini sampai hari pentas. Artinya, kamu masih terikat denganku sebagai asisten sutradara yang harus patuh selama berproses."
...harus patuh selama berproses. Berengsek banget.
"Denger nggak kupingmu?" tanyanya lagi, dengan nada tinggi.
Bola mataku berputar. Mulai lagi, deh. Aku berdecak dalam hati. "Iya. Puas?" Aku berlari keluar auditorium.
Di lapangan samping auditorium, aku berlari mengitari lapangan sambil meneriakkan huruf vokal selantang-lantangnya. Sabas sialan. Kalau ada kuntilanak yang memprotes teriakanku, akan kusebut nama Sabas terang-terangan biar ia yang dihantui semalaman dan ketakutan setengah mampus.
Lima putaran, aku sudah ngos-ngosan. Sesekali aku berhenti untuk mengatur napas dan melanjutkan lari dengan suara yang tak lagi selantang tadi. Kulambatkan lariku. Masa bodoh. Yang penting sepuluh putaran, kan?
Sepuluh putaran, aku berhenti dan berbaring di rumput dengan napas memburu. Kupejamkan mata, merasakan denyut jantung berdebar dan napas bersahut-sahutan. Suara riuh samar-samar kudengar. Mataku masih terpejam sekadar mengembalikan fokus usai sepuluh putaran yang membuat kepala pening dan pegal-pegal. Perlahan membuka mata, langit berbintang berubah menjadi wajah Sabas. Aku mendengus melihatnya mengulurkan tangan. Kutepis tangannya dan bangkit duduk, sedangkan ia masih berdiri sambil menenteng ranselku.
Kutatap ia tajam. "Ngapain nyusul ke sini?"
"Latihannya udah selesai," jawabnya enteng. Ranselku dilempar ke arahku. Kalau tak kutangkap sigap, pasti sudah menghantam wajahku. "Sori. Kalau lagi latihan, posisi kamu masih asisten sutradara yang harus mendengar perintah sutradara. Terima atau nggak. Aku harus jaga wibawa di depan yang lain. Kan kamu sendiri yang bilang kalau aku ini ibarat otak yang mengatur semua anggota tubuh."
Bibirku mengerucut ke depan. "Tapi bisa diringanin, kan?! Pengen aku maki, ya?"
"Silakan maki."
Aku membuang napas. "Sialan, curut, kadal, monyet, semua isi kebun binatang!!!"
Alih-alih marah, ia malah tertawa. Telapak tangannya diletakkan di puncak kepalaku. Lalu menepuknya perlahan. "Berdiri." Ia menyentil hidungku, membuatku mengernyit. Aku berdiri secara mandiri dan menepuk bokong, menyingkirkan potongan rumput yang menempel di sana.
"Gara-gara kamu, kakiku pegel semua. Besok aku ada jadwal bersihin indekos, kudu bangun pagi-pagi. Kalau bangun kesiangan dan dimarahi ibu kosan gimana?"
"Mau aku bangunin?"
"Nggak perlu."
"Serba salah." Ia mendengus. Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir motor. "Biar kamu nggak cemberut terus-terusan, aku traktir martabak manis, deh."
Ditraktir? Asyik! Aku melipat tangan di depan dada, pura-pura menimbang.
"Hm ... gimana, ya."
"Mau ditambahin? Mau apa? Bebek Sinjay? Rawon Setan? Sebutin aja semuanya."
Aku memandangnya, lalu tersenyum hiperbolis.
*
Meja yang kami tempati telah dipenuhi berpiring-piring makanan yang kupesan dari stand berbeda di Food Festival Pakuwon. Sabas membenamkan wajah pada telapak tangan melihat semua makanan dan minuman yang wajib ia bayar sesuai kesepakatan. Salah sendiri. Ia yang menawarkan diri mentraktir semua yang aku mau.
"Mau?" tawarku pada Sabas yang memandangku dengan raut wajah seperti orang depresi. Aku menyodorkan satu tusuk satai. "Nih, makan." Ia hanya menggigit ujung dan mengunyah tak berselera. Aku menghabiskan sisanya seraya tertawa. "Martabak manisnya jangan lupa, ya. Nanti pulang bungkus buat aku makan di indekos sambil nonton drama Korea sama temen-temen."
"Gila. Perut kamu dalamnya apaan? Black Hole?" Ia menggeleng-geleng. Ia membiarkan aku melahap semua makanan yang tersaji.
Keheningan merambat bagai tanaman ivy di rumah yang sunyi. Hanya ada suara hiruk pikuk orang dan nyanyian dari band indie di panggung. Waktu meliriknya, aku memergokinya sedang memerhatikanku. Aku paling tak senang diperhatikan orang lain saat makan. Maka, kutundukkan kepala dan mendekatkan wajah di atas piring. Bahkan ketika aku meraih minuman, pandangannya tetap terpenjara ke arahku, membuatku melemparkan perhatian ke sepenjuru arah. Voila! Aku malah menemukan sosok Ananta di antara jubelan pengunjung. Tadinya aku hendak memanggilnya, tapi melihat Kirana yang menggamit lengannya, aku memalingkan muka. Sial. Kenapa harus ada mak lampir itu, sih?
Mereka kan pacaran. Sadar diri, dong, si malaikat menyinyir. Udah, nggak usah ngarepin cowok orang, Gi. Tuh ada cowok ganteng lain di depan kamu.
Dih, lebih baik aku jomblo sampai lulus daripada dimodusin cowok macam Sabas yang mulutnya manis ke mana-mana.
"Nggak jadi nyapa Ananta?" tanya Sabas, sontak membuatku mengangkat dagu. "Kenapa? Ada Kirana? Jealous?"
"Hah? Siapa yang jealous?"
"Jadi kamu suka sama Ananta, ya?"
"Enggak!" Aku berteriak kesetanan, membuat pengunjung di meja terdekat serempak menoleh ke arahku. Kukatupkan bibir rapat.
Sabas mencebik dan mengangguk-angguk. Ia berdeham, lalu tiba-tiba berseru. "Ananta!"
BOCAH BERENGSEK!
Aku nyaris tersedak es jeruk. Mataku memelotot ke arah Sabas yang melambai memanggil Ananta. Aku merapatkan bibir dan pejaman mata menahan jengkel. Terdengar sapaan Ananta di belakangku.
"Bas, di sini sama Devana rupanya."
Jantungku berdebar cukup keras. Ah, Ananta sialan. Kenapa harus datang di saat hatiku belum sembuh total, sih? Kan aku masih patah hati karenamu. Aku memaksakan senyum dan memandangnya. Di samping, Kirana mengamatiku lekat.
"Iya, ngasih makan Angkara."
Aku mengerucutkan bibir. Berdoa agar Ananta segera pergi, Sabas malah memintanya bergabung dengan kami. Aku membiarkan Ananta duduk di samping Sabas, sedangkan Kirana di sebelahku—lengkap dengan gestur menyibak rambut panjang hingga tercium aroma parfumnya yang wangi.
"Kirain sama Nyonya udah putus. Abis, santer gosip kalian putus," lanjut Sabas. Aku hanya diam, sibuk bermain ponsel.
"Sejak kapan kamu ngikutin gosip kampus?"
"Anak-anak teater yang cewek kerjaannya gosipin kamu selama latihan, sampe bosen."
"Kita baik-baik aja kok," Kirana menyahut. "Malah, kita udah bicarain soal rencana setelah lulus."
"Ran, nggak usah diomongin di sini."
"Rencana apaan?"
Aku menatap Sabas yang makin kepo. Bocah ini kenapa, sih? Kalau mau melihatku kepanasan sekalian dorong aku ke wajan penjual tahu bulat sana!
"Rencana merit."
Aku tersedak es degan yang kuminum. Tidak keras, pelan, tapi menyita perhatian Sabas yang melirikku. Aku mengusap mulut dan mendengar penjelasan Kirana soal rencana menikah begitu Ananta lulus dan diterima di perusahaan tempat ayah Kirana bekerja. Sabas berengsek, jangan diteruskan pembicaraan ini. Suasana hatiku mendadak buruk.
"Sukses buat kalian, deh. Jangan lupa undang-undang."
"Tumben kamu santai kayak gini? Biasanya tiap ngomong sama aku sensi banget," ujar Ananta skeptis.
"Mood lagi bagus soalnya." Sabas menyunggingkan senyum lebar. "Eh, kita balik dulu. Kayaknya udah kemalaman. Nggak enak kalau nganter Angkara kemalaman."
Ananta tersenyum manis madu. Aku memandang senyumnya yang selalu membuatku bahagia. "Hati-hati, ya. Jaga Devana baik-baik."
Ucapan itu malah membuat dadaku sesak. Aku terlalu baper. Sikapnya padaku selama ini selalu menimbulkan salah paham. Kuselipkan senyum dan ucapan selamat tinggal sebelum beranjak berdiri. Tiga langkah menjauhi meja, mendadak Sabas mendekap bahuku. Aku memandang tangannya, lalu dirinya.
"Biar nggak menyedihkan banget di depan mereka," katanya. "Jangan pasang muka gini. Harusnya begini." Sudut-sudut bibirku digerakkan membentuk senyum. Karena suasana hatiku yang kacau, aku tak berminat memberikan senyum. Wajahku tetap tertekuk masam. Ia berdecak pelan.
Sampai di tengah perjalanan pun aku masih memberengut memikirkan ucapan Kirana tadi. Aku tak menyangka mereka akan menikah secepat ini. Aku mulai berasumsi kalau gosip mereka sudah dekat sejak Ananta masih jadi presbem itu benar.
Motor Sabas berhenti di depan van penjual martabak manis. Aku tak mendengarnya bicara, malah sibuk dengan pikiran.
"Woy, malah bengong." Bahuku disenggol.
"Kenapa?" tanyaku.
"Mau toping apa, Dek Anggi?" tanyanya, tampaknya mengulang pertanyaan.
"Terserah."
Sabas menghela napas pendek. "Toping kacang—"
"Aku nggak suka kacang."
"Tadi katanya terserah?" sengalnya.
"Tapi jangan kacang."
"Ya udah. Toping keju."
"Jangan keju. Eneg kalau dimakan."
Sabas mengatupkan bibir rapat, menahan jengkel. "Greentea—"
"Pahit, Bas," mendadak nadaku bergetar hiperbolis. Mendengar suara rengekanku, Sabas menoleh dan mengernyit. "Pahit banget. Haruskah berakhir sepahit ini? Kenapa nggak kayak di drama Korea, sih? Kenapa harus sepahit greentea? Kamu tahu kenapa?" Rengekku makin menjadi-jadi. Lalu, menangis keras seperti anak kecil.
"Apaan, sih." Sabas makin mengernyit. Ia memandang penjual martabak manis yang menunggu dengan sabar. "Cokelat aja deh, Mbak."
"Cokelat kalau nggak dikasih gula juga pahit." Aku menggigit bibir bawah. Bola mata Sabas berputar, sedangkan kepalanya menengadah memandang langit. Pada akhirnya, ia memilih red velvet. Aku tak menanggapi dan terus terisak-isak menyedihkan. Kupukul lengannya, membuat ia memekik dan mendelik. "Gara-gara kamu, sih! Coba kamu nggak panggil Ananta! Apa sih yang kamu mau?"
"Berarti bener kan kamu suka sama dia?"
"Kalau iya, kenapa?!" Aku bertolak pinggang. Terjadi keheningan di antara kami. Aku membuang muka. Tak kudengar suaranya sedikit pun. Bola mataku meliriknya, penasaran. Ia tetap mengamatiku dengan tatapan sama.
"Seharusnya kamu suka sama cowok yang nggak bikin kamu nangis kayak gini," katanya.
"Terus, siapa yang harus aku suka? Kamu? Kamu malah nyusahin aku sejak ospek hari pertama, sedangkan dia yang selalu belain. Kamu yang suka bentak-bentak nggak jelas, dia lagi yang belain. Waktu Malam Keakraban pun, kamu tetap nyusahin aku dan bikin aku kena hukuman dari senior. Malah waktu Mas Ananta datang berkunjung atas perwakilan BEM, dia datang ke tendaku pas aku sakit!"
"Yang ngasih napas buatan pas kamu nggak napas dan tim medis nggak bawa oksigen sama inhaler, itu juga Ananta?"
Aku praktis bungkam. Mulutku terbuka tanpa melemparkan sepatah kata pun. Duh, kenapa ia malah mengungkit masalah itu.Wajahku terasa panas membara. Aku mengalihkan perhatian ke tempat lain, menghindari kontak mata.
Sabas berdecak panjang. "Udah, ah. Lupain. Nih." Ia menyodorkan bungkusan martabak manis ke arahku. Aku meraihnya tanpa memandangnya.
Kami terlibat perang bisu sepanjang perjalanan pulang. Hati dan pikiranku masih kacau. Sabas mengerem motor di lintasan lampu merah, membuatku merosot ke depan, makin merapat di punggungnya. Sedekat ini, aku dapat mencium aroma parfum di jaketnya. Aroma yang tak terlalu mencolok seperti parfum pria kebanyakan. Kalem, tapi menenangkan. Seperti kerja aromaterapi. Hal itu membantu pikiranku yang semula ruwet kembali tenang. Sampai lampu berubah hijau, aku memilih untuk tetap merapat di punggungnya sekadar mencium aroma itu.
Tiba di indekos, aku mengucapkan terima kasih sambil lalu dan segera masuk ke dalam. Ia pun tak mengatakan apa-apa, langsung pergi. Kamar Dea yang menjadi tempat nonton bareng drama Korea sudah ramai. Teman-teman indekos berkerumun jadi satu. Aku masuk ke kamar dan menyerahkan martabak manis itu ke mereka.
"Nih, makan rame-rame."
"Anggi datang-datang bawa martabak manis. Abis dari mana?" tanya Bening.
"Pacaran dong. Wong sampai malam begini," celetuk Dea.
"PACARAN SAMA SABAS TEMEN ANGKATANKU, YA?!" Bening berteriak heboh.
"NGGAK!" Aku tak kalah heboh. Aku mengerucutkan bibir dan melambai, tak jadi ikut nonton bareng daripada tak selamat dari ciye-ciye-an.
"Loh, Gi, kamu ke mana? Katanya nobar drakor?" teriak Inggit.
"Nggak ah. Aku mau tidur..."
Mereka membiarkanku pergi dan mulai membuka kardus martabak manis tersebut untuk dimakan ramai-ramai. Sementara di kamar, aku melempar ransel, mandi, kemudian membuka laptop. Menonton sendiri.
Maka, sepanjang malam itu kuhabiskan untuk menertawai adegan lucu, mengumpati adegan menyebalkan, dan menangisi adegan sedih. Seorang diri biar perasaanku lega!
*
Gara-gara Ananta, akhir pekanku jadi hancur. Aku tak mau keluar kamar dan malah menghabiskan semua episode drama Korea sampai mataku bengkak. Adeeva yang ingin main ke indekosku pun terpaksa 'kuusir'. Kukatakan padanya kalau aku diajak pergi teman-teman indekos. Ia sempat kecewa. Lebih baik begitu daripada membuatnya khawatir saat melihat mataku yang lebam dan hitam. Aku juga izin tidak ikut rapat hari Minggu dengan alasan sedang tak enak badan—gara-gara bangun kesiangan. Pokoknya, akhir pekan ini adalah masa berkabungku! Sejak obrolan Ananta dan Kirana, hatiku sangat kacau, seperti balon hijau yang meletus. Instagram Ananta yang aku stalk pun mulai dipenuhi foto Kirana. Aku perlu menggigit bantal melihat postingan-postingan itu. Sampai-sampai aku menyampah di Path dengan lagu-lagu galau.
Sabas Songong: Berisik banget sih nyepam di Path?
Pesan di Whatsapp itu kuterima ketika aku berbaring memandang langit-langit kamar usai memposting lagu galau terakhir dari Adele – Someone Like You.
Angkara: Bodo! Salah sendiri ngapain nge-add?
Sabas Songong: Ya udah aku delete.
Hapus aja sana! Aku kan tidak meminta ia menambahkanku sebagai teman di Path. Bahkan aku sedikit menyesal bertukar nomor dengannya. Kalau bukan karena taruhan tolol itu, pasti kejadiannya tak akan sampai sejauh ini.
Sabas Songong: Nggak jadi, deh. Aku pengen SS status-status kamu dan kasih ke Ananta hehehe.
Aku melonjak duduk.
Angkara: BERENGSEK!
Sabas Songong: Kasar amat, pantesan nggak dilirik Ananta. Ananta tuh suka cewek kalem dan manis kayak Kirana. Dia nggak banyak tingkah kayak kamu. Mulutnya juga manis.
Aku mengetik makin menjadi-jadi.
Angkara: RESE BAMGET SOH. JABGAN BIKIN MAKIB KESWL.
Sabas Songong: Nulis yang bener, kadal!
Angkara: TYPO MONYWT!
Sabas Songong: Daripada marah-marah, mending keluar.
Angkara: Nggak.
Sabas Songong: Maksudnya, keluar dari indekos kamu. Aku di depan nih.
Angkara: NGAPAIN, BGST.
Sabas Songong: BUKAIN PINTU BURUAN. KEPANASAN!
Aku berlari menuju balkon kamar, lalu mengintip ke bawah. Sabas menunggu di motornya. Menengadah, ia melambai padaku. Aku mendengus kesal.
*
Karena tak mau status-status galauku di Path dikirim ke Ananta, terpaksa aku menyanggupi permintaan Sabas yang ingin ditemani pergi ke mal mencari kado untuk ulang tahun Tante Dewi. Selain itu, aku ingin membantunya sebagai bentuk terima kasih pada orang tuanya. Bagaimana juga, Tante Dewi sangat baik.
"Kenapa kamu nggak ikut rapat MK?" tanyanya.
"Kesiangan."
"Cuma gara-gara Ananta aja sampai begini." Sabas menggeleng-geleng.
"Kayak kamu nggak pernah patah hati aja!"
Mencebikkan bibir, Sabas berjalan mendahuluiku untuk memasuki toko perhiasan. Aku mengekor saja seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
"Pernah," jawabnya sembari melihat-lihat cincin. Aku menoleh ke arahnya menunggu bicara. Aku tak percaya. Kan ia yang sering membuat cewek-cewek patah hati. "Tapi aku nggak sealay kamu."
Alay? Kurang ajar.
Sabas menanyakan berbagai cincin berlian dan meminta pendapatku. Aku tak mengerti apa pun, jadi kukatakan saja kalau semuanya bagus.
"Pilih dong, jangan semua kamu bilang bagus. Emang aku mau beli semua cincin di sini?" Ia menyentil hidungku. Aku paling benci hal ini. Kutepuk tangannya kesal.
"Yang itu." Tunjukku asal-asalan. Meski demikian, ia mengambil cincin yang kupilih dan membayarnya. "Oh ... patah hati sama penulisnya Carousel yang waktu itu, ya?" Kami melangkah keluar toko.
"Kepo." Langkah kakinya terhenti di toko pernak-pernik perempuan. Ia memandangi satu jepit rambut dan memasangkannya ke rambutku. Aku menghindar, berniat melepas, namun tanganku ditahan. "Jangan dilepas. Bagus tuh buat kamu. Pakai, ya. Aku yang bayar."
"Aku nggak suka pakai beginian."
"Sekali-kali." Tak memedulikanku, dibayarnya jepit rambut dengan tempelan kupu-kupu kecil yang masih tersemat di rambutku. "Kamu pakai jepit itu, nanti aku kasih tahu siapa penulis Carousel."
Kalau tak dibuat penasaran setengah mati, aku malas mengangguk. Ia menggandeng tanganku, setengah menyeret, mengajakku mampir ke Starbuck dan duduk di kursi paling pojok yang sepi. Ia memesankan frappuccino untukku dan espresso untuk dirinya sendiri.
"Jadi, cewek yang nulis Carousel itu siapa?" tanyaku sudah tak sabar.
Sabas sibuk bermain dengan ponselnya, membuatku naik pitam. Sebelum berhasil kurebut, ia mengangkat ponselnya dan terdengar bunyi cekrek. Aku memelotot kaget.
"Ngapain moto-moto?!" teriakku histeris.
Ia terbahak-bahak dan memasukkan ponsel ke kantong. "Santai, kelihatan cantik kok." Rasanya, aku ingin menjitak kepalanya sampai ia pingsan. Tidak memedulikan raut muka memberengutku, Sabas menyeruput espresso tanpa rasa bersalah.
"Jadi, siapa Mega Mentari itu? Ada hubungan apa kamu sama dia?"
"Pertanyaannya gitu amat. Kayak pacar yang cemburuin cewek lain." Ia menyengir melihat mukaku yang sudah merah. "Iya, iya dijawab. Kamu ngapain tanya-tanya, sih? Kalau baca sampai selesai, udah bisa nebak sendiri, kan? Kecuali kalau kamu bacanya lompat-lompat dan langsung ke halaman akhir."
"Aku baca sampai selesai kok!"
"Iya? Intinya gimana hayo?"
"Intinya? Si tokoh 'aku' ini suka sama tokoh 'kamu', tapi dia nggak bisa sama tokoh 'kamu' karena alasan yang rumit. Dia baru mengakui kalau dia suka sama tokoh 'kamu' dan merindukan dia, tepat saat si 'aku' ingin pergi...." Aku berhenti. Sabas menaikkan sebelah alis menunggu. "Jadi benar kalau Mega Mentari yang bikin kamu patah hati? Emang dia ke mana?"
Ia mencebikkan bibir, tampak tak ingin membahas. Baru saja aku ingin membuka mulut memintanya tak usah menjelaskan, tapi ia menjawab, "Dia junior di bawahku satu tahun. Waktu ospek fakultas, dia satu-satunya cewek yang berani nampar aku."
Mulutku ternganga. Tak kusangka, aku malah tertawa histeris.
"Ketawa aja sepuasnya. Emang bener kok dia nampar aku. Gara-gara bikin temen satu kelompoknya nangis. Abis jadi cewek menye banget, ya udah aku bikin sampe nangis. Eh dia nggak terima temennya dibikin nangis, langsung nampar. Kacau." Ia tertawa kecil dan menggeleng-geleng, seperti sedang menikmati kilas balik itu. "Sejak dia gabung di BEM, kita jadi deket."
"Jadi, kamu suka sama dia tapi dianya nolak? Bagus."
Sabas mendengus. "Soalnya dia pacaran sama Ananta."
Aku yang hendak menyedot frappuccino spontan mengangkat kepala. Mega Mentari? Pacaran dengan Ananta? DEMI APA?!
"Iya. Dia pacaran sama cowok pujaanmu. Tapi aku nggak pernah nyerah buat dapetin dia. Mau sama siapa pun, biar itu Ananta atau sekalian anak rektor, bakal aku kejar sampai dapat."
"Tapi nggak dapat!"
"Dia mutusin Ananta." Kalimat tersebut membuatku terbungkam. "Dia mutusin Ananta, bilang nggak bisa LDR-an. Dia mau pindah kuliah, ngikutin bapaknya yang kerja di Los Angeles. Dan ninggalin novel itu buat kenang-kenangan Ruang Baca Fakultas."
"Terus kamu kepedean gitu kalau Carousel bentuk penyampaian perasaan dia ke kamu? Bukan ke Ananta?" Aku mencibir.
"Soalnya, cuma aku satu-satunya cowok yang pernah ngajakin dia naik komidi putar. Senggaknya, aku tahu perasaan dia sebelum pergi." Sabas mengeluarkan ponsel dan memutus cerita. Aku menggigit bawah bibir. Duh, aku malah kasihan padanya.
"Zaman makin modern, Bas. Kalau kangen hubungi lewat media sosial kan bisa?"
"Kalau Tuhan punya media sosial, pasti aku titip pesan, Gi."
"Eh?"
Ia masih sibuk dengan ponsel, tak ingin membalas tatapanku. "Enam bulan lalu dia meninggal. Kecelakaan mobil."
Aku terdiam. Suasana mendadak kaku dan beku. Kuperhatikan Sabas yang masih menunduk memandang ponsel. Ia menunjukkan ponselnya padaku, menunjukkan foto seorang perempuan yang sama dengan perempuan di Facebook-nya waktu itu.
"Nama asilnya Claudia Suryatama."
Memindahkan pandangan dari foto tersebut menuju wajah Sabas, aku melihat ke dalam matanya yang sendu.
Kok dadaku jadi ikutan sesak, ya?
*****
Unch unch tayang tayang Sabas. Sini ibu peri peluk. Tapi nanti ditikam pake piso ya :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro