EPILOG
Tekadnya untuk melepaskan diri dari Dora setelah kasus itu selesai mulai mengendur. Mulai terasa berat. Menggoyahkan hati, membuat Thea bingung mengambil sikap saat bertemu tatap dengan tetanggannya itu. Dora yang makin mendekat, maka makin gencar pula tekad itu melorot. Hatinya pelan-pelan membuka dan menyambut Dora, tapi si empu hati masih menimbang-nimbang, membiarkan Dora berdiri di ambang pintu hati. Pintu hati pertemanan.
Thea berjalan di tengah hatinya yang limbung. Dia menyeberangi halaman rumah sembari ditahannya mati-matian agar pandangannya tidak lancang lagi menatap halaman rumah Dora, yang berpotensi besar tekad itu akan menguat. Netranya terjurus fokus ke binar manik mata Dora. Senyum Dora tidak memudar, malah melebar menujukan gigi gingsulnya, menulari Thea yang ikut melengkingkan bibir. Mendapat balasan senyuman dari Thea di pagi hari menyuntikan semangat untuk terus unjuk gigi bahwa dirinya tidak akan mengalah lagi pada Thea yang selalu menghindar. Kali ini Dora akan menuntut jawaban dari sikap 'jahat' tetanggannya selama ini.
"Sorry, The...kemarin gue belum sempat bilang terima kasih," ucap Dora setelah sampai di ambang pagar rumah Thea. "Dan sekarang...gue mau bilang terima kasih buat semuanya. Semuanya. Segalanya. Gue bingung nyebutinnya karena saking banyaknya waktu yang lo habiskan untuk gue."
Masih mengganjal di dada pertanyaan apakah dia bisa menerima Dora setelah nyaris dua tahun ini terus menyumpahi dan mencaci Dora dalam diam. Kedekatan mereka seminggu ini menimbulkan dampak yang luar biasa menyiksa bagi Thea. Semalam harusnya dia bisa tidur tenang, tapi pertanyaan itu muncul dengan gamblang dan mengusik tidurnya. Pagi menjelang, pertanyaan itu masih menggelayut meminta jawaban.
Dora ragu. Takut. Biasanya diamnya Thea bukan pertanda baik. Dia harus menelan lagi pertanyaan tentang kebencian cewek itu terhadapnya. Dora melembarkan senyum, mengerling jahil. "Lo cocok lho jadi detektif."
Hanya sunggingan kecil di ujung bibir yang bisa Thea berikan selagi benaknya sibuk berdebat. Masih diam, Dora melangkah duluan sambil mengayungkan tangan, mengajak Thea segera beranjak.
"The, menurut lo, Panji dapat dari mana dokumen-dokumen itu?" Dora membuka obrolan. Hanya ini topik yan bisa merekatkan mereka.
"Dia menyelidikinya, mungkin. Biasa, kan, lagaknya anak-anak jurnalistik suka menginvestigasi gitu. Atau kemungkinan besar dia dapat dari Brama, berdasarkan rekaman di penyadap itu dia pura-pura gabung sama bisnis mereka, kan." Pengalihan topik ini setidaknya mengangkat sesaat beban di dada. "Gue sekarang baru ngerti arti dari cuman wajah dia satu-satunya yang dirusak."
"Apa?" tanya Dora girang. Dia juga merasa aneh dengan foto itu saat mengetahui hanya segelintir anggota The Bookish Club yang menggeluti bisnis kotor itu. Melenceng dari dugaan mereka selama ini.
"Dia ingin orang yang menemukan dokumen itu mencarinya."
"Hah?"
"Gini." Thea melambatkan langkahnya agar Dora bisa memahaminya dengan cepat. "Saat lo nemu foto seperti itu, apa hal yang bakal lo tanyakan pertama kali?"
Dora menggaruk hidungnya. Mode berpikir. "'Siapa orang di foto itu?'"
"Yap! Tepat. Karena ada lambang jurnalistik di sana, mereka coba nanya ke Bondi tentang foto itu. Bondi ngasih tahu itu Kakaknya, tapi dia nggak mau melibatkan lagi Kakaknya ke urusan ekskul itu. Makanya Ramos bertindak."
"Ribet, kenapa nggak langsung aja nyantumin nama dia sih. Sertakan nomor HP sekalian."
"Tebakan gue adalah: masih ada keraguan dalam diri Panji. Bisnis itu bakal mencoreng citra The Bookish Club juga bila terbongkar. Mereka berlima yang banyak ngobrol sama Panji, coba lo tanya mereka."
Dora manggut-manggut setuju. Thea begitu peka dan cepat tanggap membaca hal seperti ini. "Kalau misalnya dari Brama, kenapa dia nggak ngasih juga foto-foto itu, bukti terkuat yang bisa ngehancurin bisnis itu."
"Brama terlalu sayang sama anggotanya."
Dora mengernyit. "Maksudnya dia nggak pernah sungguh-sungguh menyebarkan bukti itu?"
"Mungkin. Sampai sekarang bukti langsung yang mengarah ke mereka berempat, nggak ada. Nggak ada juga di laci ruangan itu. Kita nggak bisa tanya-tanya di kuburannya, paling ntar tanya aja Panji kalau udah sadar." Thea menggeleng pelan. "Tapi...kalau dia punya bukti itu, harusnya udah dikasih ke lima cowok itu."
Dora terkekeh geli. "Lo bisa bercanda juga, ya." Dia menggerutu pelan mengingat aksi lima cowok itu. "Ya...andai aja Panji punya bukti itu, mereka berlima nggak perlu ribet sengaja diculik segala. Aneh kan mereka? Nyusahin diri sendiri."
"Bodoh memang," cibir Thea sesuka hati. Dora hanya terenyak di sampingnya karena sang pacar juga termasuk orang yang dianggap bodoh. Namun, tak lama Dora mengiyakan dan sepemikiran. "Mereka gimana keadaannya?"
"Setelah dimintai keterangan dari polisi, mereka boleh pulang."
"Kak Naya sama antek-anteknya itu?"
"Mereka masih di kantor polisi. Masih dalam penyelidikan." Mata Dora membulat, teringat sesuatu mengenai pertanyaan sore kemarin yang masih menggantung. "Maksudnya Kepala Sekolah dijebak apa?"
"Kak Naya memang mau nyelakai mereka. Bondi bilang vila itu dipesan atas nama Kepala Sekolah. Jadi orang berpotensi besar dicurigai kalau mereka berlima dihabisi di sana adalah pasti Kepala Sekolah."
Dora mendengus tak percaya. "Kak Naya nggak kalah jeli ngerencanain ini semua. Gue masih nggak nyangka setiap ingat muka ademnya itu."
"Dia nggak mampu nanggung beban keluarganya. Keadaan yang ngedesek dia jadi kayak gitu." Thea pun sama belum bisa menerima fakta itu. "Semoga rekaman itu banyak membantu."
Dora mengamini. "Ko lo tahu dengan gampang sih mereka cuman pura-pura diculik."
Thea berdecak. Bukannya sudah sangat jelas, ya?
"Penyadap itu membuka rahasia mereka."
"Selain itu?" tanya Dora tak sabar.
"Paket buku itu dikirim seminggu sebelum mereka hilang. Dari jauh-jauh hari. Salah kita nggak lihat jadwal pengirimannya. Mereka nempel ulang foto itu, triplek di ruangan itu, naburin banyak debu di rak itu, melibatkan Wati. Mereka mempersiapkan itu semua agar sulit dilacak. Petunjuk-petunjuk itu disiapkan rapi banget."
"Tapi kita berhasil ngelacak mereka." Dora menyenggol pundak Thea. Tak lupa memberikan kedipan sebelah mata. "Tepatnya lo, The. You did it. Keren banget."
Thea buru-buru menggulungkan bibirnya. Jangan sampai senyum malu karena dipuji itu tertoreh di wajahnya. Rona merah yang dijamin muncul langsung disembunyikan dengan palingan wajah.
"Gak tahu tuh gimana rencana kabur mereka setelah dapat cerita itu. Gila emang!"
Thea mengedikkan bahu. "Kita nggak pernah tahu. Yang kita tahu, kita ditakdirkan nyelamatin mereka."
Hening mengisi perjalanan mereka menuju gerbang kompleks. Obrolan soal kasus itu menguap begitu saja saat Dora menyadari takdir itu telah merekatkannya dengan Thea secara perlahan. Seketika, dia mendapatkan lagi kekuatan untuk mengulik soal 'kebencian' Thea terhadapnya.
Jarak yang terbentang tinggal 200 meter lagi sebelum mereka naik angkot, dan akan semakin sulit membahas hal ini di transportasi umum yang dipadati telinga orang asing.
"Thea, apa gue bisa berteman dengan lo? Gue pengen tahu alasan di balik sikap lo itu."
Sesuatu bergetar di dalam dada. Bergemuruh kencang. Menghempaskan sesak, digantikan dengan udara segar yang menenangkan jiwa. Thea kira akan ada guncangan besar yang membuatnya menghindar dari pertanyaan itu. Namun, getaran yang dirasakannya justru membuka jalan bagi Dora memasuki hatinya. Perkataan tulus dan penuh pengharapan itu menyentil sisi hati Thea yang membeku karena kebencian. Dora begitu menantinya, membuat Thea tak bisa membiarkan penantian itu berlanjut panjang.
"Gue minta maaf, Ra." Gemuruh itu berasal dari tekadnya yang runtuh. Tak ada lagi dinding samar yang membatasi mereka. "Gue terlalu sensitif. Rumah itu dulu rumah bekas sahabat gue. Dia meninggal dua minggu setelah Papa-Mama kecelakaan. Lo tahu kan di halaman rumah itu ada ayunan?" Thea menunggu Dora menganggukkan kepala. "Gue sering main sama dia di sana. Hari-hari setelah Papa-Mama meninggal, gue habiskan bareng dia di sana. Satu-satunya tempat yang menenangkan hati gue cuman di sana bareng dia. Dan tiba-tiba dia juga ninggalin gue karena penyakitnya terus tempat itu juga hilang karena lo...Waktu dengar lo ngejek ayunan karatan itu dan ngusulin ayunan itu dicabut aja buat dijadiin lahan jemur pakaian, gue—"
Dora tak ingin mendengar kelanjutannya. Dibawanya Thea dalam dekapannya sambil menggumamkan maaf. Terserah bila dikatakan egois, dia tidak ingin mendengar kata 'benci' dari mulut Thea. Dora sudah cukup kenyang sampai mual dihadiahi sikap kebencian dari tetangganya itu. "Maafin gue, Thea. Maaf. Gue nggak tahu. Gue nggak tahu."
Thea merapatkan kelopak matanya, mencegah air mata meluncur lebih deras. Kehadiran Dora mewarnai kehidupan suramnya. Mengenalkan Thea pada dunia yang pada mulanya enggan untuk disinggung lebih jauh. Mempertemukannya pada Tiar, Cecil, Citra, Wati, Bondi, Ramos dan anak buahnya.
"The, kita buka biro detektif aja yuk." Masih sempatnya Dora mengusulkan ide itu di tengah isak tangisnya. Rengkuhannya sudah terlepas, tangannya sibuk mengusir linangan air mata di pelupuk. "Kayak siapa itu yang detektif dari Inggris."
Thea tak ragu lagi melebarkan senyum. Tawanya yang begitu lepas dan renyah menular ke Dora yang di detik berikutnya malah menangis kencang. Menangis bahagia bisa menaklukan hati batu tetangganya.
"Siapa itu namanya, The?"
"Sherlock sama Watson."
"Iya...iya..itu mereka..."
***
-THE END-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro