Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAGIAN 9

Jawaban Bang Rengga cukup menunjukkan bahwa dia tahu banyak. Dia melipat bibirnya lalu mengigitnya, kelepasan berbicara seperti ini yang membuat dua cewek di depannya tidak akan berhenti menyemprotkan ini itu.

"Sampai sekarang Bian nggak bisa dihubungi, Bang." Dora kali ini memohon, yang rupanya cukup ampuh mengubah raut Bang Rengga menjadi pasrah.

"Berarti Danish benar." Thea masih berusaha menekan Bang Rengga karena meskipun rautnya berkata menyerah, mulutnya masih tidak mau membuka. "Lan Cester melakukan plagiat. Novel The Houses itu dikarang oleh orang yang dikenal Bang Rengga, dan orang itu udah meninggal. Lan Cester khawatir sesuatu terungkap, sesuatu yang lain bukan tentang The Houses, lalu dia meminta Danish dan yang lain ketemuan." Thea menutup sementara analisisnya dengan menyuapkan potongan cheese cake di sendoknya. "Aku nggak percaya hantu. Jadi itu dugaanku."

"Kenapa aku bilang Lan Cester mengkhawatirkan yang lain bukan novel The Houses?" Thea melanjutkan, menantang Bang Rengga bahwa kini dirinya tahu sesuatu yang sedang disembunyikan seniornya itu. "Karena Lan Cester lebih mengkhawatirkan Danish yang sudah tahu tentang The Bookish Club. Sama seperti Bondi yang melarang keras Kinan menyebarkan info tentang The Bookish Club, sama seperti Bang Rengga yang sampai sekarang masih menutup mulut, padahal di luar sana adik kelas Bang Rengga entah bagaimana keadaannya. Tiar saja sampai memohon-mohon agar Bang Rengga mau bertemu kami, agar mau membantu kami."

Dora menatap Thea takjub. Mereka bahkan belum mendapatkan kalimat dari Bang Rengga, tapi Thea berhasil merangkai cerita yang terdengar masuk akal. Thea menyadari Dora sedang menatapnya, meminta penjelasan dari dugaannya itu.

"Itu gampang, Ra. Ini tentang buku. Perpustakaan, The Bookish Club, Novel The Houses." Thea menyesap teh. Rangkaian dugaan itu sudah terjalin di benaknya dari semalam. Pertama kalinya, Thea tidak bisa tidur karena memikirkan masalah orang lain. "Dimulai dari sering pergi perpustakaan, entah gimana ceritanya mereka mendirikan The Bookish Club—yang menurut gue, ekskul itu udah lama ada dari dulu lalu mereka mau mendirikannya kembali—dan saat itu mereka menemukan novel The Houses yang gue duga karangan salah satu anggota The Bookish Club yang dulu. Mereka mencari novel itu di goodreads agar bisa diulas, tapi yang ditemukan adalah novel The Houses dengan pengarang yang berbeda. Mereka coba membeli novel The Houses yang lain itu, rupanya isinya persis banget dengan novel yang mereka punya dari The Bookish Club, tapi dengan pengarang yang berbeda. " Thea mengeluarkan ponselnya, kemudian disodorkan ke hadapan Bang Rengga. "Itu profil Lan Cester yang udah nulis lima buku, termasuk The Houses. Profil yang cuman bisa didapatkan dari akun goodreadsnya. Dia nggak terekspos besar kayaknya, cuman beberapa orang yang ngereview bukunya di goodreads. Semua bukunya terbit secara self publishing. Awalnya gue nggak percaya yang dibilang Danish, Ra." Thea menoleh ke Dora. "Penulis seperti Lan Cester kayaknya nggak mungkin melakukan plagiat karena dia terus bikin karya meskipun dugaan gue nggak banyak yang minat sama bukunya. Tapi setelah Bang Rengga bilang penulis The Houses udah lama meninggal, maka bisa jadi dugaan Danish benar. Mungkin si Lan Cester mulai putus asa dan nerbitin novel The Houses yang lebih oke." Thea kembali menyesap teh, lama-lama gemas melihat Bang Rengga makin mengatupkan mulutnya. Tampangnya malah menantangnya untuk bercerita lebih banyak lagi.

"Di kolom komentar goodreads, Lan Cester nggak protes atau nyanggah karyanya itu plagiat. Dia justru nanyain sekolah Danish dan ngajak mereka ketemuan. Bukan meluruskan tentang plagiat itu, tapi menanyakan dari mana mereka menemukan buku itu dan apa yang mereka lakukan di sekolah. Mereka menjawab tentang The Bookish Club. Maka itulah yang dikhawatirkan Lan Cester. Setelah bertemu Lan Cester, mereka jadi aneh, maka dugaan gue adalah Lan Cester menceritakan sesuatu tentang The Bookish Club, yang ngubah sikap kelima cowok itu." Thea memajukan kepalanya, menjawab tantangan Bang Rengga. "Ada sesuatu di perpustakaan, ada sesuatu di balik The Bookis Club, ada sesuatu tentang novel itu."'

Bang Rengga menyeringai lalu tertawa kecil. Menertawakan dirinya yang berhasil ditekan begitu kuat untuk membuka mulut tentang The Bookish Club. Abian mengancamnya akan menjauhi Tiar bila dia tidak mau bercerita tentang The Bookish Club. Kini, treatment berbeda dilakukan si juara umum.

"Kami udah tahu garis besarnya. Sekarang yang kami butuhkan informasi tentang The Bookish Club." Dora menarik napas pelan, lalu raut memohon itu lenyap digantikan dengan rahangnya yang mengeras, minta dijawab permintaannya. "Lima murid Kencana hilang, dan Bang Rengga masih diam, tidak mau memberi kami petunjuk?!" Dora agak menggertak. Walaupun tidak kencang tapi kepalan tangannya mampu menggoyangkan tiga cangkir di atas meja bundar itu.

"Mereka pasti akan kembali beberapa hari lagi. Seperti dulu," jawab Bang Rengga berusaha menenangkan diri. Dia sedikit melemaskan tubuhnya, pundaknya agak menurun.

Entah sudah berapa kali Bang Rengga membenarkan posisi duduknya. Kali ini mulutnya benar-benar terbuka, menyalurkan cerita, "Sekitar tiga tahun lalu, enam petugas perpustakaan mendirikan The Bookish Club, diketuai oleh temen sekelasku. Brama namanya. Mereka berusaha keras bikin ekskul baru walaupun tahu itu bakal sulit, apalagi anggaran tiap ekskul itu dikit, dan pasti makin kecil kalau ada ekskul baru. Waktu itu aku baru menjabat tiga bulan jadi Ketua OSIS, Brama memohon-mohon dan terus memberi penguatan alasannya ngediriin The Bookish Club. Intinya buat ningkatin fungsi perpustakaan. Kalian tahu sendirilah, perpustakaan jadi tempat paling sepi di Kencana. Rame itu kalau ada tugas dari guru aja. Selain itu katanya mereka punya program agar anak-anak Kencana rajin baca buku. Aku coba baca proposal mereka dan isinya memang bagus, punya visi misi jelas, apalagi mereka bilang nggak masalah kalau nggak dapat anggaran dari sekolah. Tentu, aku harus adil ke setiap ekskul di Kencana soal anggaran. Beruntung, Kepala Sekolah setuju, tapi mau lihat dulu kinerja mereka satu bulan itu."

Bang Rengga mengacungkan tangannya, meminta tambahan kopi. "Mereka berhasil, malah dalam satu bulan bisa nambah jadi sebelas anggota. Awalnya cuman acara bedah buku yang narasumbernya guru Bahasa Indonesia atau anggota jurnalistik, dengan minim peserta. Program mereka selanjutnya semacam mendata buku-buku favorit para murid dan berjanji akan menyediakannya di perpustakaan, dengan syarat buku-buku yang mereka mau cuman bisa dibaca di perpustakaan. Kebanyakan sih minta majalah. Majalah otomotif, majalah remaja, majalah fashion, dan The Bookish nyanggupin hal itu. Mereka juga mengadakan challenge, one chapter a day...kalau nggak salah namanya. Murid yang berhasil nyelesaiin buku paling cepat, dia dapat hadiah. Estafet read antar anggota sukses ditularkan ke para murid yang malas baca buku atau novel berchapter-chapter. Jadi mereka baca tiga sampai empat chapter aja, sisanya temannya yang membaca lalu didengar. Para guru pun terutama guru Bahasa Indonesia selalu memanfaatkan The Bookish Club setiap mereka memberi tugas. Seperti tugas resensi maka bisa datang dan berlatih di klub itu, cara bikin cerpen, puisi atau tuga-tugas yang berhubungan dengan buku. Mereka berhasil waktu itu, berhasil mengubah image bahwa buku bukan buat orang nerd aja, bukan buat orang berkacamata aja, bukan buat orang pinter aja. Tapi buat semua orang."

Kedatangan pelayan memotong cerita Bang Rengga. Setelah menyesap kopinya dan menghela napas sejenak, cerita kembali mengisi meja itu. "Mereka sering pergi ke seminar-seminar, acara bedah buku di manapun, lalu berbagi pengalaman dan ilmu yang mereka dapat ke murid-murid lewat majalah sekolah. Ya..,ekskul jurnalistik dan The Bookish Club menjalin hubungan erat. Lewat The Bookish Club, anak-anak Kencana selalu menanti-nanti majalah sekolah yang awalnya terbit tiga bulan sekali atau bahkan nggak pernah terbit karena minim pembaca, dan kemudian jadi dua bulan sekali secara teratur. The Bookish Club juga sering me-review majalah jurnalistik, membahas bareng para murid tentang isi majalah. Klub jurnalistik yang merasa terbantu, dalam setiap majalahnya pasti selalu ada edisi The Bookish Club dan mau menyediakan kolom untuk puisi atau cerpen karangan anggota The Bookish Club. Bahkan, hal luar biasa adalah ekskul jurnalistik mau mencetak novel karangan Brama. The Houses. Dicetak dengan biaya patungan para anggota dua ekskul itu, dengan jumlah terbatas. Cuman empat puluh buku. Murid-murid antusias banget, apalagi novel itu genre thriller yang waktu itu lagi digandrungi. Mereka rela nyisaiin uang jajan buat beli novel itu, yang harganya setengah dari novel-novel di toko buku. Mereka bergantian baca novel itu dan perpustakaan selalu ramai waktu itu. Walaupun nggak bisa merangkul seluruh murid, tapi The Bookish Club sukses mengubah sebagian besar murid untuk cinta sama buku."

"Apa yang terjadi?" tanya Thea tercetus tak sadar dan begitu cepat, bahkan sebelum Bang Rengga mengatur napasnya.

"Sekitar di akhir semester Brama menjaga jarak, terutama dengan anak-anak OSIS. Dia menyembunyikan sesuatu. The Bookish Club tidak seaktif dulu. Mereka tidak sekompak dulu. Kemudian, mereka menghilang. Bukan benar-benar hilang, maksudnya mereka tidak masuk sekolah selama seminggu. Menurut isi surat izin, mereka bilang sakit dan tidak bisa bisa masuk sekolah beberapa hari, disertai pula surat dokter. Setelah tiga hari, aku dan..." Mata Bang Rengga meredup, lebih redup dari sebelumnya. Tatapannya melemah, hingga dia memilih agak menundukkan kepala. "Aku dan temanku coba mendatangi rumah Brama dan beberapa anggota lain yang rumahnya dekat dari sekolah, mereka memang benar sakit tapi mereka tidak mau menemui kami. Mereka kompak juga dalam hal ini. Lalu di hari keempat, perasaanku semakin tidak enak karena ini bukan hanya satu dua orang, tapi sebelas anggota klub kompak tidak mau datang ke sekolah. Pasti ada sesuatu terjadi. Maka aku dan temanku datang lagi ke rumah Brama, niatnya aku akan memaksa Brama saja dan tidak akan pergi sebelum Brama mau bertemu. Tapi saat itu orang tuanya bilang Brama sedang ada kegiatan klub dan akan menginap beberapa hari di rumah Alan. Kami datangi rumah Alan, tapi justru orang tuanya bilang dia menginap di rumah anggota lain, saat kami datangi rumah yang dimaksud, orang tuanya bilang mereka menginap di sebuah vila di Lembang." Bang Rengga ingin menggapai cangkir kopinya, tapi energinya hilang setiap mengingat hari itu. Keegoisannya. Keambisiannya. Membuatnya kehilangan gadis yang dicintainya.

"Bang Rengga pergi ke sana?" tanya Thea agak mendesak Bang Rengga meneruskan kalimatnya.

"Waktu itu sore hari, hujan cukup deras, aku dan temanku—tepatnya aku memaksa temanku agar kita mendatangi mereka hari itu juga..." Bibir Bang Rengga bergetar, tampak kesulitan meneruskan kalimatnya yang semakin menurun saja nada suaranya. Dia masih agak menunduk, mengedip-ngedipkan matanya lalu menekan matanya cukup lama. Setelah dua menit berlalu yang rasanya begitu lama hanya menatap Bang Rengga yang seperti sedang terpuruk, tangannya menggenggam cangkir kopi, menekannya kuat-kuat seperti bernafsu ingin memecahkannya. "Keesokan harinya kita kehilangan satu murid, kali ini benar-benar hilang. Pergi. Kami mengalami kecelakaan waktu itu."

Genggamannya kian kuat saat kilasan tubuh gadisnya terlempar, menghantam pembatas jalan lalu darah mengucur deras dari kepalanya. Jeritan orang-orang di sekitar membahana bercampur dalam derasnya hujan. Mereka berlarian menuju sosok berdarah di sampingnya. Bang Rengga terkapar dalam genangan air hujan bercampur darah gadisnya yang menembus seragamnya lalu menyentuh kulitnya. Yang terakhir dilihatnya yaitu kubangan darah membasahi kepala Anata.

"Cukup Bang, nggak sudah diteruskan." Pinta Dora yang duluan mengerti tentang kecelakaan itu. Sedangkan Thea masih termenung, kemudian tangannya disentuh Dora yang menatapnya minta pengertian untuk tidak mendesak Bang Rengga kembali. Thea masih tak mengerti, maka yang dilakukannya hanyalah memainkan mata dan alis agar Dora mau menjelaskan. Dora hanya menggelengkan kepala sambil menampilkan raut memohon.

Thea kembali terpaku pada tubuh Bang Rengga yang semakin menciut saja, hingga akhirnya dia mengerti dengan keadaan seniornya itu. Perkataan Dora di kantin terngiang, tentang Kakaknya Abian yang mengalami kecelakaan saat dibonceng Bang Rengga. Hening beberapa saat. Thea bahkan tidak menyadari mengangkat cangkir kosong yang telah habis saat menyimak cerita Bang Rengga. Hanya setetes yang bisa menyentuh lidahnya.

Bang Rengga menatap air kopi beriak, bergerak-gerak setelah dia meminumnya. Hatinya masih menjerit-jerit setiap mengingat kejadian itu. Mendengar The Bookish Club tidak hanya mengingatkannya pada kisah mereka yang menggantung sampai sekarang, ada cerita lain juga yang menyusup. Cerita cintanya, saat dia malah "membunuh" gadisnya.

"Kita dalam masa berkabung, nggak ada waktu untuk mengurus ekskul itu. Aku sempat marah ke Brama, tapi aku sadar itu bukan salah Brama. Ini murni salahku yang nggak berhati-hati. Setelah tiga hari katanya sakit, dan empat hari entah ke mana—mungkin mereka di vila—mereka akhirnya balik lagi ke sekolah. Lalu dua hari kemudian.." Bang Rengga menggantungkan lagi ceritanya. Dia menyambar cangkir kopi itu, menuntaskannya seperti minum air putih. Tak sanggup mengelurkan kalimat yang sudah siap di ujung lidah. Sakit diingat. Sakit diucapkan. Sakit diobrolkan, lagi.

"Terjadi sesuatu? lagi?" Thea menilik, perlahan mendorong Bang Rengga membuka mulutnya, lagi.

Bang Rengga mendengus. Cewek pintar ini memang pintar memancing orang.

"Brama bunuh diri."

Dora langsung berdiri, melenggang tergesa ke kamar mandi. Kekhawatirannya yang memupuk lama menimbulkan ketakutan yang semakin menjadi-jadi. Ketakutan akan Abian-nya yang terluka. Abian-nya yang kelaparan. Abian-nya yang sedang meringis kesakitan. Dora berusaha meredam semua ketakutan-ketakutan itu. Bahkan dia ingin mempercayai yang Thea katakan kemarin malam. Mungkin saja mereka hanya bolos. Namun, hatinya langsung menentang keras. Abian-nya tidak pernah bolos. Abian-nya hidup terlalu teratur. Dora menekan-nekan matanya agar tidak terlalu banyak mengeluarkan tangis. Cukup tiga sampai lima aliran mata saja yang membasahi matanya. Terus-menerus dia membasuh wajahnya, menghilangkan jejak air mata.

"Apa yang terjadi?" Pertanyan Thea tepat dilayangkan saat Dora sudah duduk kembali. Thea sempat melirik Dora beberapa kali. Tebakannya benar karena upaya menghapus jejak air mata tidak berhasil dilakukan Dora.

"Aku nggak tahu," jawab Bang Rengga lemas sambil menatap Dora. "Aku benar-benar nggak tahu." Dia meyakinkan, kali ini tak ada maksud untuk tidak membantu. "Aku nggak tahu pastinya karena mereka benar-benar menghindari aku, menghindari anak-anak OSIS."

"Gimana reaksi sekolah, Bang? Dan terutama saat itu apakah sekolah nggak merasa aneh seluruh anggota klub kompak tidak masuk sekolah?" Dora bergetar saat membuka mulutnya.

"Sekolah kita menyadari hal itu? Bila itu terjadi, itu adalah pencapaian luar biasa. Aku bertaruh, sekarang ini sekolah kita nggak nyadar mereka berlima hilang. Yang sebelas orang saja mereka tidak menyadari apalagi ini hanya berlima." Bang Rengga menggelengkan kepala, mengingat SMA Kencana yang acuh tak acuh terhadap muridnya. "Saat Brama bunuh diri, kepala sekolah cuman bilang Brama terlalu lelah dengan kegiatan sekolah, nila-nilai anjlok dan anggota The Bookish Club menjauhinya, tepatnya dua hari sebelum kematiannya, enam anggota klub mengundurkan diri."

Bang Rengga mengusap wajahnya, menceritakan The Bookish Club dan Brama bukanlah perkara mudah, terlalu banyak rahasia di balik klub itu yang hingga sekarang belum terungkap. Kisah itu selalu berakhir menggantung. "Makanya, saat itu kami melakukan demo. Tidak saja menuntut kepala sekolah untuk meningkatkan fasilitas, menghentikan pungutan liar di sekolah yang dilakukan beberapa oknum guru, tapi juga tuntutan agar lebih transaparan, terbuka kepada kami para murid terutama untuk kasus kematian Brama."

"Dan itu tidak berhasil?" tanya Thea.

"Kepala sekolah menegaskan akan memenuhi tuntutan kita. Tapi nyatanya tidak sepenuhnya, kematian Brama sampai sekarang masih tanda tanya. Maka sejak itu The Bookish Club resmi dibubarkan. Nggak ada lagi yang membahas klub itu, para anggotanya tutup mulut, menjaga jarak dengan yang lain. Malah empat anggota milih pindah sekolah."

Sejenak, mereka bertiga memilih menikmati hidangan gratis yang diantarkan sukarela oleh Mama Asri, dengan rasa hampa. Seharusnya kue buatan Mama Asri bisa memanjakan lidah, seharusnya Dora sedang melahap sajian di depannya, tapi cerita itu berhasil menarik nafsu makan.

"Bian juga nanya tentang Lan Cester itu?" tanya Dora menghidupkan lagi obrolan di meja itu.

"Nggak, aku baru tahu dari kalian kalau mereka ketemu penulis itu." Dia menatap sekilas ponsel Thea yang tadi menghimpun profil Lan Cester dalam dunia kepenulisan. "Dia Alan Cesterino. Salah satu anggota The Bookish Club yang paling dekat dengan Brama. Kita nggak pernah berhubungan lagi sejak kejadian itu, terakhir aku tahu dari kalian."

"Novel itu terbit tiga bulan lalu, apa Bang Rengga nggak denger sesuatu dari teman-teman Bang Rengga? Pasti nggak semua murid nggak peduli, kan? Pasti—"

Bang Rengga cepat memotong omongan Thea, "Aku nggak bohong. Baru sekarang, hari ini, di sini aku mendengar judul novel itu lagi. Kalau Abian punya satu buku itu, rasanya nggak mungkin karena empat puluh novel itu ditarik lagi oleh The Bookish Club. Brama sendiri sehari sebelum kematiannya mendatangi setiap murid yang membeli novel itu, mengembalikan uangnya lalu mengambil buku itu. Pada hari kematiannya dia membakar empat puluh buku itu lalu memutuskan mengakhiri hidup. Abu buku itu ada di samping tubuhnya." Tangan Bang Rengga terkepal di atas meja, menonjolkan urat-urat yang menjalar berwarna hijau kebiruan. Darah yang mengalir deras dari pergelangan tangan, menggenang di atas tubuh Brama yang sudah membiru dan pucat, dilanjutkan jeritan, teriakan anggota The Bookish Club. Kilasan kejadian itu menusuk-nusuk benaknya.

"Bagaimana bisa tahu yang dibakar itu berjumlah empat puluh? Sudah jadi abu, mana bisa dihitung," selidik Dora.

"Itu yang aku dengar dari ketua jurnalistik. Mereka juga mencari novel itu, berharap ada yang tersisa untuk mengenang Brama, tapi nihil. Maka waktu itu disimpulkan kalau empat puluh novel itu terbakar semua." Ekspresi Bang Rengga mulai ganjil, tidak seyakin sebelumnya. Dia memilih mengambil lagi cangkir kopinya, tapi lantas diurungkan karena baru ingat kopinya sudah ditandaskan.

"Mereka berlima punya buku itu, Bang." Thea mendorong Bang Rengga agar tidak ragu meyakini sesuatu yang ganjil dalam benaknya. "Mungkin satu buku itu nggak sengaja tertinggal atau mungkin Brama sengaja meninggalkannya."

Bang Rengga tergugau. Dia berusaha lepas dari tatapan Thea yang kian giat mempengaruhi benaknya. Yang dikatakan Thea memang langsung terlintas di benaknya saat mengetahui Abian mempunyai buku itu.

Dora mengangguk-ngangguk yakin dengan pemikiran Thea. "Kalian nggak pernah menyelidiki alasan Brama bunuh diri?" Dora meminta kembali kepastian.

Bang Rengga dengan sabar menggeleng tegas. "Buntu. Kami dari OSIS nggak dapat informasi berarti, anak-anak The Bookish Club tutup mulut. Apalagi sekolah waktu itu benar-benar ketat."

"Pantas aja kami baru tahu salah satu murid Kencana bunuh diri," ujar Dora.

"Mereka diminta sekolah untuk melupakan kejadian itu, jangan ada yang menyebarkan, jangan ada yang menceritakannya."

"Apa itu artinya sekolah menyembunyikan sesuatu?" Thea bertanya-tanya sambil menatap ke arah lain, tidak bertujuan mengajukan pertanyaan untuk Bang Rengga. Kepalanya sedang disibukkan merajut kisah yang baru didengarnya lalu dihubungkan dengan hilangnya lima orang itu. "Mereka berlima mencoba mencari tahu penyebab dibubarkannya The Bookish Club dan penyebab Brama bunuh diri. Lalu ada seseorang yang berusaha mencegah mereka?" Thea tidak sadar dua orang di dekatnya sedang mendengarkan dan mengamatinya. Dia terhanyut dalam analisisnya dan menyetuskannya tanpa sadar. "Mereka bersikap aneh akhir-akhir ini, tidak berinteraksi dengan yang lain karena tidak ingin membahayakan oraang-orang di sekitarnya."

"Jadi menurut lo mereka lagi nyelidikin hal berbahaya?"

"Maksudnya sesuatu yang berbahaya itu adalah tentang The Bookish Club?"

Dora dan Bang Rengga melayangkan pertanyaan bergantian masih dalam posisi mengamati Thea yang tiba-tiba bercerocos sendiri. Bukannya menjawab, Thea terpikir hal lain yang harus dipastikan. Kembali, dia menatap Bang Rengga. "Sebenarnya di mana ruangan The Bookish Club?"

"Di perpustakaan," jawab Bang Rengga. Terlihat dia agak bingung untuk mengatakannya. "Tapi waktu itu Alan pernah ngomong sesuatu saat pemakaman Brama, aku dengar agak samar karena dia nangis sesenggukan. Dia bilang 'Brama, lo menodai ruangan kita'. Aku coba nanya maksudnya apa, dia cuman bilang 'Itu adalah ruangan kebersamaan.' Jadi, waktu itu aku menyimpulkan maksudnya adalah perpustakaan karena di sana lah di antara rak-rak buku Brama bunuh diri. "

Dora memekik tanpa sadar, menutup kedua mulutnya saat merasa pekikannya mengganggu pengunjung lain. "Di perpustakaan?"

Perpustakaan sumpek yang selalu tampak redup itu pernah menjadi tempat seseorang mengakhiri hidup. Gosip yang beredar tentang kengerian perpustakaan bukan hanya sekadar gosip lagi.

Kebingungan Bang Rengga kentara sekali hingga Thea tahu ada yang menjanggal diucapannya itu.

"Ada yang aneh, Bang?"

"Abian. Dia bilang, sebenarnya Brama bunuh diri di suatu ruangan di perpustakaan. Dia nggak mau ngasih tahu spesifiknya, atau apa maksudnya."

Thea mulai bisa menangkap arti kebingungan raut itu, "Jadi Bang Rengga merasa ada hubungannya antara ruang kebersamaan dan ruang yang dimaksud Abian?"

"Itu dia. Tapi aku nggak berhasil ngulik lebih lagi. Dia buru-buru pergi gitu aja."

"Jadi maksudnya ada sebuah ruangan di perpustakaan?" Dora menekan setiap kata sambil mendelik perlahan ke arah Thea, berharap dapat mengingatkan Thea tentang dugannya yang pernah ditolak mentah-mentah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro