BAGIAN 6
"Kamu...kamu...siapanya Kak Tiar?" Pertanyaan itu langsung melayang, menyentak Thea hingga tanpa sadar dia mundur selangkah.
Thea tak ingin menggubrisnya. Malas. Biarlah Tiar yang menjelaskan. Dia tak mau terlibat dalam urusan percintaan mereka. Thea menarik-narik lengan Dora, memintanya segera hengkang dari hadapan cewek yang sudah buta karena cinta itu.
Mata cewek itu melayang ke badge name-nya Thea. Sedetik kemudian dia tertunduk, memainkan jemarinya lalu kembali menatap Thea. "Ya, Kak Tiar pasti lebih suka cewek pintar." Simpulnya begitu saat melihat sosok di depannya.
Dia pernah mendengar dan membacanya sekilas di majalah sekolah tentang Odithea Wastari, tapi tidak pernah berhadapan langsung sehingga butuh waktu lama untuk mengenali Thea saat melihatnya lewat ambang pintu tadi. Odithea Wastari juga jarang berkeliaran di sekolah, tempat yang paling mungkin ditemukan adalah di perpustakaan, dan Citra jarang ke tempat itu. Meskipun pernah dalam hitungan jari ke perpustakaan, dia tidak perlu tahu siapa si penjaga perpustakaan yang bertugas.
Cewek itu terpuruk. Dia menganggukkan kepala lesuh, bermaksud untuk pamit.
"Citra, tunggu!" Dora mencegahnya saat cewek itu hendak berbalik. "Kamu yakin nggak ada yang aneh? Coba ingat lagi, hal kecil juga nggak masalah." Dora tampak kelimpungan saat raut Citra merah padam menahan emosi. "Oke, maksudnya hal beda dari Cakra akhir-akhir ini. Yang nggak biasanya"
Citra sedang terpuruk. Tak ada celah di benaknya untuk memikirkan kakaknya yang memang aneh. "Kak Cakra itu emang aneh. Dia aneh banget. Hidupnya aneh," tandas Citra sebagai finalitas atas ucapannya dan Dora tidak bisa lagi mengulangi pertanyaan itu.
"Dia adiknya Cakra? Masa nggak khawatir Kakaknya yang nggak pulang?" Thea memandangi Citra yang bergabung dengan kerumunan murid lalu menghilang ke belokan kiri sana. Bahunya kian merosost sejalan dengan langkah yang semakin jauh.
Menyedihkan, pikir Thea. Dia harus memberitahu Tiar bahwa dia berhasil meluruhkan semangat cewek itu. Eh...dia mengernyit heran. Kenapa tiba-tiba sok peduli dengan cewek bernama Citra itu? Biarlah. Biar itu menjadi urusan Tiar. Dia tak punya andil mengurusi keterpurukan Citra.
Dora membuka notes kecilnya yang telah terisi coretan-coretan yang hanya dimengerti dirinya. "Mereka emang nggak deket. Orang tua mereka cerai saat mereka masih kecil. Citra bareng Papanya. Cakra milih bareng neneknya yang tiga bulan lalu meninggal. Nggak tahu apa yang terjadi sampe Citra nggak deket, bahkan lihat sekarang, dia nggak peduli sama sekali kakaknya belum balik-balik." Itulah yang didapatkan dari hasil mencegat Citra agar tidak menerkam Thea.
"Selain itu?" Harap Thea yang didengarnya bukan hanya persoalan keluarga Cakra.
Dora mengangkat kedua bahunya. "Cuman bilang terakhir lihat kakaknya emang tiga hari lalu di perpustakaan. Dia langsung keluar perpustakaan pas kakaknya masuk ke dalam, malas katanya ketemu Cakra."
Fokus Thea tertuju ke hal lain. Waist bag Dora yang setengah terbuka dan notes kecil di tangan Dora. "Mesti ya lo bawa dua benda itu?"
"Mesti! Otak gue nggak secanggih otak lo yang bisa inget lama, makanya gue butuh notes. Gue juga sering lupa nyimpen benda kecil kayak notes gini, nah ini nih fungsi waist bag."
Thea melangkah pelan duluan, harusnya dia tak perlu menanyakan itu. Dora mengikuti sambil mengalirkan ceritanya, "Katanya Cakra emang aneh. Uang jajannya habis buat beli buku. Banyak tumpukan buku di kamarnya—tepatnya di rumah neneknya. Di akhir minggu pasti ngirim paket yang isinya buku ke Citra, kado ulangan tahun Citra selalu buku. Dari kecil dia sering marah-marah nggak jelas kalau Citra ngelipat bukunya." Dora mendengus. Heran. "Kakaknya fanatik buku. Dia ngoleksi segala jenis buku. Tapi nggak tahu dibaca apa nggak. Dia juga sering maksa Citra menyukai buku, dengan cara yang bikin Citra risi, nah sejak itu Citra makin jaga jarak. Dia bahkan..." Dora berdecak sambil menggelengkan kepala. "Bilang kakaknya itu orang nyaris gila. Nambahin kata nyaris, tapi kedengarannya kayak dia bilang 'kakakku adalah orang gila'".
"Iya. Dia emang begitu." Thea merenungkan sesuatu. Pemaparan Dora mengingatkannya pada seorang pengunjung yang pernah mendumel kesal karena buku-buku baru di perputakaan sudah rusak, penuh dengan lipatan. Bahkan dia pernah mengomeli Kak Naya sebagai koordinator perpustakaan yang katanya tidak bisa mengontrol buku-buku. Puti dan petugas perpustakaan yang lain pun pernah kena semprot, kecuali Thea yang memang sangat berhati-hati dalam menata buku. Namun, bukan berarti dia luput dari pandangan Cakra. Pernah dia mendapat delikan, kemudian setelah itu Thea mengabaikan, tidak peduli dengan kehadiran Cakra yang memang setiap hari berkumpul dengan buku-buku di perpustakaan.
"Gila...maksud lo?"
Thea menggeleng pelan, masih dalam mode berpikir, mengingat keanehan Carka dan sikap agresifnya terhadap buku. "Dia cerewet banget. Sering ngomelin petugas perpustakaan dan nggak jarang juga ngomelin para murid."
"Gue aneh." Dora menghentikan langkahnya. "Lo kan sering ngejaga perpustakaan. Pasti ingat dong pengunjung setia dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Kayak Cakra, Danish, Ervin. Tapi lo nggak langsung menyadarinya. Seperti sekarang, lo baru ingat tentang Cakra. Terus baru ingat orang-orang yang hilang itu sering ngunjungi perpustakaan setelah gue nunjukin catatan pengunjung."
"Rasanya gue pernah bilang." Thea menaikkan tali tasnya. "Kerjaan gue di sana bukan buat merhatiin pengunjung. Gue nggak tertarik sama kehidupan mereka, apa yang mereka baca, apa tujuan mereka. Lagian, gue nggak terlalu betah juga di sana. Sesekali gue keluar, sebatas sampe depan perpustakaan, ngehirup udara segara biar ada semangat lagi ngejaga perpustakaan."
Dora membelalakan mata. Thea sangat serius membicarakan itu sehingga tak ada keraguan untuk tidak mempercayainya.
"Orang yang lo sebut pintar atau hobi baca buku nggak mesti tempat favoritnya adalah perpustakaan. Jangan selalu jadikan itu acuan." Thea ragu untuk melanjutkan, tapi kalimatnya sudah diujung lidah, "Sebenarnya gue....gue milih ini karena nggak ada yang menarik di sekolah ini." Thea berbicara sambil lalu.
"Lo kesepian, The."
Thea terpaku. Ada yang menggelitik hatinya, membenarkan cetusan Dora. Ada yang mengusik hatinya, menentang keras perkataan itu. Sejauh ini dia menikmati kesendiriannya. Tanpa hambatan melakukan apapun yang dia mau. Kesendiriannya memudahkan segalanya. Membuatnya nyaman dan tentram.
Tunggu....
Apa sekarang seperti itu?
Rasanya tidak sejak Dora mendatanginya kemarin.
Dora merangkul Thea melalui pundaknya, menariknya sedikit lebih dekat, "Nah, sekarang lo nggak bosan atau kesepian lagi. Mulai sekarang, lo bakal sibuk di perpustakaan nyari orang-orang hilang itu. Mulai sekarang di jam istirahat dan sepulang sekolah lo bakal sibuk nyari petunjuk sana-sini. Dan mulai sekarang bakalan ada orang lain di samping lo."
Ya, mulai sekarang berbeda.
Ada penolakan dari hatinya. Namun, rangkulan Dora menghangatkan dan perlahan meluruhkan dinding penolakan itu.
Ah, iya...ini pertama kalinya dia pulang terlambat.
Senyum Dora merekah. Begitu lebar hingga menampilkan gigi gingsulnya. Biasanya Thea langsung membuang muka, matanya tak nyaman berlama-lama menatap wajah yang selalu dihiasi binar kebahagiaan itu. Biasanya kekesalannya, kebenciannya berkali-kali lipat meningkat.
Kali ini berbeda. Hari ini berbeda. Dari jam istirahat yang dihabiskan di kantin. Pemaparan Pak Leo yang tidak masuk ke benaknya. Berinteraksi cukup intens dengan teman sekelasnya, Tiar. Tiba-tiba terlibat dalam konflik percintaan. Terlambat pulang ke rumah, serta rangkulan erat dan hangat dari lengan Dora.
Thea masih tak bisa mempercayainya. Dia langsung pergi, membawa tubuhnya keluar dari rangkulan Dora. Bahunya tegang. Bahkan terlihat telalu tegak. Dora yang di belakangnya cekikikan sendiri sambil mengejar Thea.
***
Sepanjang jalan menapaki koridor menuju ruang klub jurnalistik, Dora tak henti-hentinya menyumpahi Tiar yang memanfaatkan sosok Thea. Sosok Thea yang minim sekali pengetahuannya tentang update terbaru. Tentang murid-murid di sekitarnya, terutama tentang Citra yang selalu terdepan mendekati Tiar dan paling ganas menghadapi cewek-cewek pemuja Tiar. Beruntung, Citra tidak menerkamnya tadi. Dia kelewat minder dengan sosok yang dianggapnya tengah dekat dengan Tiar. Dengan segenap hati, Dora berjanji akan mengecam Tiar agar tidak gegabah lagi seperti tadi. Thea hanya mengangguk, melengos lebih cepat karena ruang klub jurnalistik sudah terjangkau mata.
Thea menunggu Dora yang masih tiga langkah di belakangnya, bermaksud memanfaatkan kesupelan Dora untuk menerobos ruangan yang sedang riuh obrolan itu. Mendadak, pintu terbuka menampilkan cowok botak yang langsung tersenyum mekar kelewat lebar mendapati seorang Odithea Wastari berdiri di depan ruang ekskulnya. Semester lalu sangat sulit untuk bertemu Odithea Wastari yang kegemarannya langsung pulang setelah bel berdering tiga kali. Membuat sesi wawancara dengan Odithea Wastari tidak semudah yang mereka bayangkan. Banyak persyaratan yang diajukan. Jangan bertanya soal kehidupan pribadi, hobinya, lagu favorit, makanan favorit, apapun yang berbau pribadi. Hanya sebatas kegiatan akademiknya saja, dan bonus tips belajar ala Odithea Wastari. Tentu, Bondi—cowok berkepala botak yang mengepalai ekskul jurnalistik—harus memutar otak agar artikel mereka tetap menarik dengan bahasan yang sedikit. Kali ini, orang paling sulit diajak kerja sama itu mendatangi markasnya setelah semester lalu Odithea Wastari hanya ingin ditanya ini itu di ruang kelas dalam waktu 20 menit saja.
"Bondi!" Dora menyapa akrab dan heboh.
Thea diam-diam memundurkan langkahnya, membiarkan dua orang itu bercakap karena Bondi menyambut Dora sama hebohnya. "Itu tas nempel terus di badan lo." Tunjuk Bondi ke waist bag Dora.
"Harus, selalu."
Bondi menyadari Thea sedikit memanjangkan jarak. Dia pun meluruskan tangannya menggapai Thea untuk masuk, lalu mempersilakan Dora. "Kita kedatangan si pintar dan si atlet nih!" teriaknya ke anggota jurnalistik.
Tiga anggota jurnalistik yang sedang sibuk menatap layar laptop langsung mendongakkan kepala. Dua orang tampak tertarik, melemparkan senyum lebar menyambut kedatangan mereka. Satu orang lagi—Kinan—hanya sedetik menatap mereka berdua lalu tekun menggerakan jemarinya di touch pad. Tiga anggota lain yang sedang berdiskusi heboh tentang majalah yang mereka pegang tengah duduk santai di sofa lalu berdiri menyambut mereka. Rupanya obrolan mereka yang meriuhkan ruangan ini.
"Hai, Dora! Rasanya baru kemarin gue wawancara klub renang lo." Mitha menghampiri, menularkan senyuman ke Dora dan Thea. "Thea! Artikel tentang lo banyak dikerumuni murid di mading sekolah."
Thea hanya mengangguk sambil menekan senyumnya yang sama sekali tak terlihat. Mitha menanggapi dengan senyum maklum. Dia lalu beralih ke Dora. "Bulan depan kita bakal ngeliput pertandingan renang lo!"
Dora memekik girang. Obrolan mereka berlanjut ke rencana ekskul jurnalistik yang telah mempersiapkan segalanya, termasuk meminta tambahan dana ke kepala sekolah yang sulit diajak kerja sama itu.
Thea baru tahu. Baru menyadari. Dora adalah anggota klub renang. Klub yang sering memboyong piala. Prestasi itulah satu-satunya yang dibanggakan SMA Kencana.
"Gue harap bisa wawancara lo lagi, Thea." Mitha memutus lamunan Thea. Tak lama Bondi mengambil alih menanyakan maksud mereka.
"Kita mau ketemu Kinan." Dora yang berbicara dan orang yang dituju langsung mendongakkan kepala heran.
"Wah, lo punya proyek rahasia bareng mereka?" Dimas yang duduk di sofa bertanya selidik.
Kinan mendeliknya lalu menatap mereka berdua bergantian dengan tanda tanya di rautnya.
"Oke, oke..silakan. Kinan tunggu. Wajib kasih tahu gue kalo ada proyek ya." Bondi tersenyum jail lalu mempersilakan mereka bertiga menduduki salah satu sofa di dekat ambang pintu.
Kinan tak menanggapi ocehan Bondi. Apalagi tentang proyek apapun yang dikarang Dimas. Dia bergerak malas sambil menghela napas kesal, tak rela berdiri dari kursinya. Dia beralih duduk menunggu mereka berdua yang masih bergeming. Melihat Thea duduk di ruangan selain di kelas terasa agak aneh. Malah sekarang sikapnya canggung. Bagaimana harus berinteraksi dengan cewek jutek itu di luar kepentingan kelas?
"Gue mau nanya sesuatu." Thea yang pertama menghidupkan obrolan.
"Tentang?" tanya Kinan terdengar tak minat. Ada deadline tiga artikel yang menantinya.
Thea mendapat sinyal ketidaktertarikan Kinan. Dia menegakkan tubuhnya, menajamkan tatapannya. "Setidaknya lo bantuin gue setelah gue ngorbanin waktu buat ngajarin lo fisika." Diucapkan begitu dingin dan cukup terjangkau oleh telinga-telinga di ruangan itu.
Kikikan Dimas berakhir saat teman diskusinya menolehken kepala ke bagian depan ruangan. Begitu pula dengan dua orang yang sibuk dengan laptopnya. Dora di sampingnya yang sedang mengambil notes dari tempat biasanya bersorak ria dalam hati, senang melihat wajah malas Kinan menjadi menegang. Melihat Kinan yang berwajah malas disertai dengusannya tadi memang sangat menyebalkan. Sempat Dora akan menyindirnya, menyemprotnya atau semacamnya, tapi tarikan tangan Thea menuju sofa mencegahnya.
Thea masih betah menunggu hingga Kinan membuka mulutnya. Matanya masih menghunjamkan kengerian.
"Oke..mau nanya apa?" Kini nadanya lebih tenang, mencoba untuk tertarik. Namun, itu tak mengubah tatapan penuh kekesalan yang dilayangkan Thea.
"Lo yang terakhir kali lihat tas Abian?" tanya Thea saat ruangan jurnalistik kembali dihidupkan oleh diskusi di sofa sudut ruangan itu.
"Tas Abian?" Kinan berpikir sejenak, dan wajah kagetnya yang tampak natural mulai meluruhkan kekesalan Thea. "Oh ya, pas hari Senin itu ya?" Tangan Kinan terangkat, hinggap sesuatu di benaknya, "Hari Senin yang cukup bikin kelas stres karena kalian berdua nggak ada di kelas. Gue sama Tiar deh yang kena pertanyaan tentang sistem percernaan dari Pak Tisna. Kalau ada lo sama Bian, kan kelas jadi aman." Kinan nyengir, bermaksud membawa suasana lebih nyaman. Namun, akalnya belum mampu mengubah raut kesal Thea.
Rupanya penderitaan Tiar tak hanya gagal remedial Kimia, pertanyaan yang harusnya dibabat habis Abian atau Thea justru terpantul kepadanya.
"Ah iya..soal tas Abian." Melihat Thea yang tak tertarik menanggapi, bergegas dia kembali ke topik semula, "Waktu itu gue kebagian piket, tas Abian sama tas Barry masih di kelas—"
Dora dan Thea berpandangan. Mereka lupa tentang Barry yang kali ini tentu hilang bukan karena bolos. Kinan yang sempat terpotong ucapannya, bergeming sejenak membiarkan mereka saling berbicara melalui raut, lalu setelah terasa siap mendengarkan, cerita mulai mengalir, "Karena tas mereka, gue sama Ucok nggak berhenti berantem. Oke, jadi gini. Gue ngusulin tas Bian disimpan aja di mejanya Barry, di paling belakang, karena nggak aman kalo tas Bian disimpan di mejanya yang paling depan itu. Takutnya ada orang yang notice ada tas nganggur di kelas kosong, terus hilang, nanti yang piket ikut disalahin juga. Akhirnya usul gue diterima murid piket yang lain, dan gue minta Ucok buat ngehubungin Bian ngasih tahu tasnya."
"Dapat balasan dari Bian?" tanya Dora cepat. Secepat tangannya yang menulis setiap keterangan di notesnya.
"Nggak ada. Malah ceklis satu." Kinan kembali siap meneruskan ceritanya, "Sampai selesai piket nggak ada Bian atau Barry yang datang. Kita ninggalin kelas gitu aja, terus nggak lama gue balik lagi karena charger ketinggalan. Nah.." Kinan mengusap tengkuknya, "Agak ngeri sih...pas gue balik dua tas itu pindah ke meja guru. Gue sempet mikir yang aneh-aneh sih, tapi gue berusaha ngeyakinin diri kalau Barry sama Bian sempet datang ke kelas dan mereka..mungkin...keluar lagi sebentar..makanya tasnya ditinggalin di situ." Kinan berusaha meyakinkan dirinya lagi, tapi suaranya malah terdengar ragu.
Dora menggeleng pelan. Tak setuju. Abian tidak seceroboh itu. Bila memang dia sempat pergi ke kelas, pasti tas gendongnya tak akan lupa dibawa. Mereka berdua berpandangan lagi. Saling melemparkan tatapan bahwa interogasi ini tak membuahkan hasil berarti. Hanya persoalan dua tas berpindah saja yang bisa jadi petunjuk, itu pun sulit untuk menelusuri lagi. Tak ada jejak Abian.
"Emang dia ke mana sih?" tanya Kinan yang lebih tertuju kepada Dora. "Akhir-akhir ini susah banget diajak ngomong. Gue rencananya mau ngomelin dia habis-habisan." Tak menunggu jawaban dari Dora, Kinan agak memajukan tubuhnya bermaksud untuk membisikkan sesuatu. "Gara-gara dia, gue kena semprot Bondi."
"Emang Abian kenapa?" Thea ikut-ikutan memajukan kepalanya, berbisik.
"Dia nanyain terus tentang ekskul itu...apa tuh namanya...hmmm...The Bookish Club. Ya itu dia mohon-mohon gue buat nyari data tentang ekskul itu dan ujungnya gue kena semprot Bondi," jawab Kinan rendah.
"The Bookish Club? Itu ekskul di Kencana?" Pertanyaan Dora lagi-lagi menghentikan aktivitas di ruangan itu.
Kinan memelototinya. Dora langsung menutup rapat mulutnya, tapi pertanyaan itu tak bisa balik lagi.
"Kalian lagi ngomongin apa?" Bondi sudah berdiri di antara mereka. "Lo cerita apa ke mereka?" tuntutnnya pada Kinan agar dijawab jujur.
"Mereka lagi nyariin Bian. Ya..gue bilang ...." jawab Kinan lemas. Dia langsung membayangkan mendapat semprotan dan yang paling mengerikan tidak diacuhkan oleh anggota jurnalistik.
"Jangan percaya apapun yang dia bilang tentang klub itu." Bondi berkata tegas pada Thea dan Dora yang kebingungan.
"Lagian gue nggak tahu apa-apa ko, Bon!" Kinan berdiri. Dia harus membela diri. Kesal diperlakukan salah padahal dirinya tidak mengucapkan satu kalimat pun tentang klub itu. "The Bookish Club atau apalah itu gue nggak tahu tentang klub itu. Lo sendiri yang nyegah gue sebelum gue tahu isi data itu."
"Apa..kenapa...The Bookish Club itu?" Thea mencoba menyelinap ke tengah perdebatan mereka.
"Itu bukan urusan kalian. Itu juga bukan urusan kita. Kita nggak tahu apapun," jawab Bondi lebih tegas. Nada dan sikap ramahnya langsung terkikis.
"Justru dengan sikap kalian kayak gini, nandain kalian tahu sesuatu," timpal Dora.
"Oke, kita cuman pengen tahu apa itu The Bookish Club? Salah satu ekskul di sini?" tanya Thea.
Bondi mengatur napasnya agar lebih tenang. "Ada hal yang nggak bisa kita bicarakan ke kalian. Seperti sikap lo ke kita juga, Odithea. Ada hal yang nggak bisa lo ceritakan ke kita juga kan? Nah kali ini sama. Tentang The Bookish Club adalah ranah pribadi kita."
Semenit kemudian. Thea dan Dora memutuskan pergi dari ruangan yang memanas itu. Bondi, Mitha dan anggota yang lain langsung membuang muka. Tak ada lagi ruangan untuk mengajukan pertanyaan.
"The Bookish Club," gumam Dora dan Thea bersamaan di tengah perjalanan pulang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro