BAGIAN 27
Satu jam sebelumnya.
"Lo udah baca buku terbaru gue?"
"Bukunya Brama."
"Idenya dari gue."
Rengga sempat mencecap kekhawatiran saat kemunculan Alan yang tidak menimbulkan gemerisik dedaunan kering di sekitar mobilnya bersembunyi. Fokusnya terlalu tumpah ke deduksi seorang anak SMA lalu membandingkannya dengan kasar dan samar ke fakta yang baru dilihatnya. Dan kali ini pembandinganya tidak kasar dan samar lagi, justru sangat jelas, sangat realistis. Alan dan tiga anggota The Bookish Club yang seingat Rengga bernama Gaga, Farhan dan Yona dengan sukarela menampilkan ketidaksukaan akan sosok Rengga di sekitar villa ini. Mereka tidak sehangat yang dipandang Rengga dulu. Dulu. Ya, itu dulu. Segalanya berubah. Atau memang dulu mereka menyembunyikan wajah itu?
Aliran tidak mengenakan itu terputus oleh pertanyaan Alan barusan, yang malah menimbulkan kedutan amarah di rahang Rengga. Klaim terhadap novel Brama yang ditulis sang ketua dengan mengorbankan waktu istirahatnya, waktu belajarnya diucapkan begitu enteng dan mudah, tidak mengenal rasa takut terhadap tuduhan plagiat. Tunggu, anggota yang lain terutama tiga orang ini tidak melakukan aksi protes?
"Kalian?" Rengga memandangi mereka bertiga bergantian, meminta dukungan bahwa tindakan Alan tidak semestinya dilakukan oleh seorang yang pernah melabeli diri sebagai anggota 'The Bookish Club'.
"Kalian ngebiarin ini?" Rengga memperjelas dan jawabannya juga sudah jelas tidak harus disuarakan. Hanya dengan membuang muka, mencari titik fokus lain, mereka menutup mata dan telinga terhadap aksi Alan.
"Yaa..nggak heran," cecar Rengga. Mengingat pekerjaan kotor mereka di balik nama The Bookish Club, di dalam ruangan rahasia perpustakaan. Sudah kotor, tanggung. Lebih baik semakin kotor saja karena tidak ada jalan untuk dibersihkan.
"Maksud lo?" Alan begitu tertarik dengan gumaman cecaran itu. Tubuhnya yang terduduk di seberang Rengga, di samping Gaga yang masih membuang muka, terjulur ke depan ingin mendengar lebih jelas lagi. Disertai seringaian dari wajah yang biasanya minim ekspresi itu. Farhan dan Yona menempati sofa di samping Rengga. Saling melemparkan tatap dan sedetik kemudian beralih ke Alan, mengharapkan cowok itu bisa membungkam Rengga.
Seingat Rengga, Alan tidak semenakutkan ini. Tampangnya memang datar, dingin, pelit mengulas senyum, sehingga Rengga sulit mendekatkan diri. Lebih mudah menguarkan canda dengan Brama dan anggota lain. Mengenal Alan yang begitu ramah dan pekerja keras hanya didapatkan dari sanjungan Brama saat mereka suatu waktu menunggu hujan reda setelah rapat bersama jajaran ketua ekskul.
Sanjungan Brama itu lenyap, pupus berbarengan dengan kematian Brama. "Lo nggak menghormati Brama sama sekali."
"Dia juga." Alan mendegus. "Dia juga nggak menghormati gue. Setelah dia dengar ide itu, tanpa persetujuan gue, dengan seenaknya dia mengklaim buku itu."
"Dia yang nulis itu." Rengga menegaskan. "Dan lo sekarang yang nggak nulis sekata pun di buku itu, tiba-tiba nerbitin naskah curian itu pakai nama lo." Tubuhnya balas dijulurkan, membalas seringaian itu. "Sebenarnya lo cuman nggak mampu nulis sehebat Brama, terus ngelimpahin semua ketidakmampuan itu karena salah Brama. Karena Brama mampu lebih baik merangkai kata dari ide itu."
Tanda-tanda penyerangan sudah terendus, tapi Alan memilih merapatkan jari, menggigit bibirnya, mengeraskan rahangnya lalu menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. "Lo cuman mantan ketua OSIS yang sok sok perhatian ke setiap ekskul dan banyak omong. Jabatan tinggi lo itu nggak berhak menilai gue."
"Jadi siapa yang berhak ngenilai perbuatan lo? Plagiat..." desis Rengga dan kali ini nyaris menarik Alan menerjangnya bila lengan Gaga tidak mendorongnya kuat kembali terbenam ke sandaran sofa.
"Lo ngapain di sini?" tanya Gaga.
Kedua alis Rengga berdempet, keningnya mengerut. "Dia..." Kelima jarinya menunjuk Alan dengan tegas. "Dia yang ngundang gue ke sini." Rengga masih menimbang apakah waktu dan suasana ini tepat untuk mulai menyerang, menyodorkan, dan mengacungkan senjata. Jarum jam menunjukkan tiga bocah itu akan keluar dari sekolah setengah jam lagi, lalu ditambah sekitar satu jam menempuh villa dan itu harus dengan tangan yang menggenggam senjata mematikan. Bukti perbuatan mereka. Senjata yang dimiliki Rengga hanyalah ingatan deduksi Thea, yang terlalu lemah dan mudah disanggah dengan pertanyaan: "mana buktinya?"
Tentu, Rengga tidak bisa menjawab adik dan dua temannya sedang diperjalanan mengantarkan bukti.
Sangat riskan.
Rengga mengeluarkan ponselnya dan langsung mengarah ke gambar brosur yang beberapa jam lalu dikirim Tiar. "Gue lagi nyari villa dari brosur ini." Rengga menurunkan cepat ponselnya menjauhkan ruang dan waktu lebih lama untuk mereka memandangi brosur itu.
"Yakin? Bukan buat ngebuntutin anak-anak The Bookish Club?" Yona menaikkan dagunya. Merasa bangga dan yakin ucapannya mampu membongkar kebenaran dari alasan Rengga. Namun, Rengga sudah bersiap diri dan menimbang dengan matang tentang mengacungkan senjata.
"Waw, gue hebat banget dong berhasil nemuin kalian di sini yang susah banget dihubungi." Rengga membenahi posisi duduknya untuk menghilangkan gugup yang mulai melanda. "Yona, sesekali lo harus percaya kebetulan."
"Soal itu.." Farhan mengambil alih. "Soal lo ngehubungin anak-anak The Bookish Club, ada perlu apa?"
"Tiba-tiba gue kepikiran soal Brama." Rengga mengalihkan tatapan ke Alan yang mulai tenang, dan kembali ke ekspresi aslinya. Datar. "Gue mau minta dukungan dari kalian buat ngungkap kematiannya."
"Itu bunuh diri." Yona mengerlingkan mata.
"Lo sesantai itu ngomongnya, Yona?" Rengga mencecar Yona yang mulai tampak kikuk dengan jemari memainkan rambut panjangnya yang dikuncir.
"Apa lagi yang mau lo ungkap? Semuanya udah jelas. Atau jangan-jangan lo mau demo lagi kayak waktu itu, tanpa ngomong ke kita dulu, tanpa ada persetujuan dari kita. Dan sekarang lo mau minta izin ke kita buat nuntut sekolah itu atas kematian Brama?" Yona balas mencecar. Menimpali dengan kecepatan yang mampu membuat napasnya tersengal-sengal. Matanya enggan menatap Rengga seakan melihat Rengga adalah perbuatan terlarang.
"Lo peduli? Kalian peduli?" Rengga gemas sekali. Dia ingin menembakkan senjata itu, tepat menyumpal mulut mereka. Sial! Apakah sekolah itu bisa dibubarkan sekarang saja?
"YA! GUE PEDULI!" Yona memekik. Akhirnya berani menancapkan pandangan ke Rengga. Gumpalan air mata yang sudah sampai di pinggir kelopak matanya langsung dienyahkan dengan gerakan kilat telapak tangannya.
"Maksud lo apa? Mau lo apa?" Alan langsung menyambung detik berikutnya. Menantang dan mendorong Rengga mengatakan yang sebenarnya karena menyembunyikan mobil di balik semak-semak itu tidak cocok untuk sekedar alasan mencari villa.
"Kalian penyebab Brama bunuh diri. Kalian yang ngotorin karyanya."
"Lo tahu apa?" sambar Gaga cepat, mendahului Alan yang sudang berancang-ancang menyerang.
"Tahu yang kalian lakukan ke Brama dan..." Rengga sudah memustuskan hasil pertimbangannya. "Panji. Sial! Kalian memang munafik."
"Terus sekarang lo mau apa? Lo bisa apa?" Tepat, pertanyaan Alan mengarah ke bukti yang dapat menjatuhkan mereka. Lalu setitik kelegaan, kepercayaan diri empat wajah itu makin melebar sejalan dengan gemingan lama Rengga. Yang membuat Rengga leluasa memancing mulut mereka yang dikira dirasa aman bahwa tidak ada bukti langsung yang mengarah ke mereka.
"Ya, gue cuman punya cerita. Bukan cerita karangan, ini nyata tentang kebusukan kalian." Rengga menimpali dengan tenang, berlagak sudah tahu keseluruhan ceritanya.
"Tapi...." Alan memancing kekalahan Rengga untuk diucapkan saat ini juga. Bahwa ceritanya hanya sekedar cerita. Bila memang cerita itu tertuang seperti dalam laporan keuangan itu, screen shoot website itu—itu hanya setitik bukti yang tidak bisa menegaskan keterlibatan mereka. "Ada kata 'tapi'-nya kan?" ejeknya.
"Gue pernah ikut seminar kecil kalian di perpustakaan sekolah, ngebahas proses menulis, buku, penerbitan dan bahasan terakhir di seminar itu adalah tentang menghormati penulis, jerih payah mereka, seluruh waktu yang mereka relakan untuk membuat satu buah buku demi pembacanya. Gue masih ingat, lo moderatornya waktu itu dan membaca kesimpulan lalu diakhir kalimat lo bilang kalau The Bookish Club menyediakan berbagai macam bahan bacaan, berbagai buku." Rengga tersenyum tipis di ujung bibir. "Apa itu artinya 'kami menjual ebook-ebook dari berbagai judul novel dengan harga sangat murah'? sedangkan telinga lo terpasang di samping narasumber yang ngomongin tentang pembajakan buku, beratnya hukuman bagi mereka yang nyebarin buku tanpa izin penulis dan penerbit. Lo benar-benar gila. Nggak! Bukan lo aja! Lo,Gaga! Lo, Farhan! Dan Lo, Yona!" Rengga menarik ujung jaketnya dan meremasnya. "Kalian semua kecuali Brama dan Panji tentunya. Kalian bahkan nyebarin ebook The Houses? Karangan Brama, teman kalian sendiri, orang yang...." Rengga tahu bahwa mencecar mereka, mendiktekan perbuatan kotor mereka, membawa nama Brama tidak akan pernah menyentuh hati mereka dan membangunkan mereka setidaknya untuk mengatakan penyesalan. Tampang mereka hanya berkata bahwa itu bukan masalah besar. Kematian Brama adalah takdirnya. Rengga harus menarik kalimat pengakuan dari mulut mereka.
"Brama. Dia tahu. Dia diam saja. Artinya dia setuju." Yona berkata di tengah kesibukan mendorong air matanya.
"Kalau dia setuju, dia nggak akan bunuh diri. Lo memang nggak tahu tentang Brama, nggak, kalian memang nggak tahu tentang Brama. Dia bakal ngelakuin apapun untuk ngelindungi klubnya, termasuk anggota di dalamnya."
"Lo memang selalu terdengar sok tahu, Rengga." Timpal Alan.
"Brama memang sangat hati-hati. Tapi dia udah berlebihan," sambar Farhan.
"Dia bahkan nguntit kita, dan lo bilang dia peduli dengan kita?!" Gaga mulai kehilangan kendali.
"Kalian semua diam!" Bentakan Alan dalam hitungan setengah detik merapatkan mulut mereka.
"Kalian yang ngebunuhnya setelah seminggu ngilang."
"Lo nggak tahu apa-apa, Rengga." Alan mencegah lebih tegas lagi Yona yang hendak menyambar, begitupula Gaga dan Farhan yang gatal membalas.
"Kalian menekan mereka berdua, menegaskan bahwa perbuatan kalian demi kemajuan klub itu. Bahkan, Brama bisa mencetak novel dengan uang itu, bahkan kalian bisa bikin banyak program. Itu pembelaan kalian, kan? Tapi alasan kalian tak cukup membuat Brama memaafkan, justru mengotori hidup Brama dan dia memilih mati saja."
"Ini bukan novel, Rengga. Ini bukan cerita yang bebas lo karang."
Rengga meremas dan menarik ujung jaketnya. Dia harus dapatkan bagian ini. "Jadi gimana cerita aslinya, Alan?"
"Cerita aslinya punya plot twist yang waw, Ga. Brama dan Panji yang ngejual ebook ilegal itu." Alan berdiri, melintasi meja yang menengahi mereka. "Mereka membawa kita bersembilan ke villa ini, menekan, memeras kita, bahkan sebelumnya pun meneror kita. Dan seperti cerita lo tadi, nyaris benar tapi hanya beda subjeknya aja. Dia membuat pembelaan tentang penjualan itu." Alan sudah berdiri di hadapan Rengga. Lengannya menuju bagian ujung jaket Rengga yang diremas dengan tangan bergetar. Dalam sekejap, sampai Rengga perlu beberapa detik menyadari adegan berikutnya. Tangan Alan merogoh saku dalam jaketnya, mengeluarkan ponsel yang sedang menampilkan fitur rekaman lalu dalam sekali lemparan ke sudut ruangan, retakan menghiasi layar ponsel itu.
Gaga merasa perlu berlari mendapatkan ponsel Rengga, khawatir Rengga akan merebutnya lebih dulu. Ponsel itu memihak mereka. Mati. Bisa dipulihkan, tapi tidak akan terjadi bila sudah berada di tangan mereka. Atau memang tetap bisa dipulihkan dan isi rekaman itu malah akan menjerumuskan Brama dan Panji.
"Sorry, Rengga. Cerita aslinya terlalu berbahaya diumbar. Lagian, akting lo terlalu bodoh. Gue saranin buat nanti kalau lo berniat ngerekam pembicaraan ini, harusnya sikap lo biasa aja, jangan terlalu tegang gitu."
"Lo banyak omong juga, Lan." Rengga tidak beranjak, tidak menerjang walaupun kakinya ingin menendang dada kurus Alan dan menjatuhkannya ke meja kaca di belakang cowok itu. Dia masih berharap senjata mematikan yang akan diantarkan tiga bocah itu datang secepatnya.
"Ya...gue jadi terlalu banyak omong setelah Brama tahu tentang penjualan itu. Lo pengen tahu kan?" Alan kembali ke tempatnya. Yakin segala sesuatu tentang perekaman sudah bersih. "Apa yang terjadi antara Brama dan Panji dengan kita, seminggu itu, dan lima bocah sok pemberani itu?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro