BAGIAN 26
Thea ketar-ketir sendiri menerka aksi Ramos selanjutnya karena mereka diapit oleh motor di samping kanan, kiri dan depan, berada cukup jauh dari buntut mobil butut yang masih dapat terdeteksi. Jantungnya masih menjerit-jerit, cengkramannya di pinggang Ramos pada jaket abu seniornya itu semakin erat meskipun mereka sedang menanti lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Saking terlalu cepat tubuhnya dibawa terbang dalam motor butut Ramos yang sepertinya sudah masuk bengkel puluhan kali, membuat traumanya tidak mampu menguasai benaknya. Dirinya terlalu heboh mengatasi degup jantung dan sibuk meneriaki Ramos yang malah tertawa-tawa. Balas dendam Ramos dilancarkan dengan ekstrim. Saat tepat memejamkan matanya, Ramos mulai melaju, meliuk-liuk, menyalip dan saat Thea sedikit membuka kelopaknya, jarak dengan mobil butut itu hanya dihalangi oleh satu mobil. Di perjalanan mengundang maut ini, Thea tak habis pikir benaknya malah mencetuskan sisi positif karena berhasil menghapus jarak dengan mobil itu.
Mereka sudah melalui dua kali lampu lalu lintas, menghabiskan waktu tiga puluh menit membututi mobil itu yang belum jelas di mana melambatkan laju bannya. Dua puluh menit lalu, Thea masih melihat motor yang ditumpangi Tiar melaju di depannya yang tak kalah ngebut, tapi kali ini hanya sekelebat tubuh Dora yang terlihat di antara motor dan mobil di depannya. Di belakangnya dua motor yang ditumpangi masing-masing dua anak buah Ramos, mengikuti dan tetap memantau mobil itu.
Ketika berbelok melewati kios besar berwarna mencolok, ingatan Thea langsung tertarik ke tempat servis printer bermasalah itu. Belakangan ini Handi yang rela membawa printer penyakitan itu, tanpa keluhan seperti anggota lain termasuk Thea yang hanya sekali waktu bertemu si tukang servis berwajah masam. Bayangan akan tempat kecil, serakan benda-benda berbau elektronik dengan tukang mi ayam yang mangkal di depannya, terputus oleh pemandangan nyata dari benaknya. Mobil butut itu berhenti di samping tukang mi ayam yang sedang sibuk di balik gerobaknya, disusul oleh penumpangnya turun dari sana. Ramos yang sudah merasa mobil itu akan melambat, ikut melambat juga dan menyembunyikan diri bersama motor dan juniornya di balik mobil yang jaraknya terhalang oleh dua mobil dari tukang mi ayam. Motor Dora melintasinya, melewati mobil itu lalu berhenti di ujung jalan. Sedangkan salah satu motor anak buah Ramos sengaja parkir di samping gerobak mi ayam. Randi memakai jaket hitam yang menutupi badge sekolah, membuatnya leluasa bergerak dan santai saat dia masuk ke tempat servis itu berpura-pura mengambil laptop yang seharusnya sudah selesai diservis. Dia menjelaskan ciri-ciri laptopnya, tanggal masuk ke tempat ini sambil mencuri dengar obrolan yang mulai mengarah ke perdebatan di sisi lain ruangan. Lalu langsung membuat alasan struk pembayarannya ketinggalan saat satu dari tiga karyawan di area sempit itu menagih.
Dia terus mengungkap berbagai alasan, berbagai kesedihan atas laptopnya yang menyimpan banyak tugas sekolah. Meskipun si karyawan tampak enggan mendengarkan, Randi terus memepetnya agar tetap punya alasan berdiri di sini. Kemudian, saat Kak Naya mengambil paksa sebuah laptop yang terbungkus dalam tas laptop berwarna coklat pekat dari tangan si karyawan masam, lalu melewati Randi, cowok itu masih melimpahkan berbagai cerita dan keluhan tentang televisi, mesin cuci dan benda elektronik lainnya sambil mengirimkan pesan ke Ramos. Deru mobil yang mulai terdengar samar, dia langsung kembali ke teman boncengannya yang sudah menenteng satu bungkus mi ayam. Diurungkan kakinya yang hendak melangkahi jok motor bertepatan dengan motor sang bos besar yang malah menempati tempat parkir di sampingnya.
"Kalian terus buntuti mobil itu. Gue ada urusana di sini," titahnya lalu menunjuk ke Thea yang sudah berlari rendah memasuki tempat servis itu. Meskipun ingin mendemo atas sikap bosnya yang terlalu baik mengangkut juniornya dan kini rela menunggu—karena menunggu adalah kegiatan menyebalkan untuk seorang Ramos yang keinginannya selalu harus dipenuhi tanpa banyak makan waktu—Randi langsung menurut saja apalagi Ramos mengingatkannya tentang tujuan mereka. "Kita butuh si Barry. Tangan gue udah gatal."
"Nih, bayar tagihannya dulu." Si tukang servis menyodorkan secarik kertas.Tiga jari kecil kurusnya yang masih menempel di atas kertas mengarah ke total pembayaran yang ditagihnya dari Thea.Menyeleweng dari nama pembayar sebenarnya. Danish Norman. "Oke, tempat ini memang langganan printer rusak kalian, langganan sekolah lain, tapi jangan sampai dipake tempat ngutang." Dia mengetuk-ngetuk nominal seratus lima puluh ribu. "Dan tempat nyari alat-alat berbahaya. Tempat usaha ini nyaris aja mati."
Thea bahkan belum mengutarakan niatnya, tapi hanya dengan melihat badge SMA Kencana, si tukang servis menyambutnya dengan cerocosan mengejutkan, ditambah kata 'berbahaya'. Melihat Thea yang termenung, tak menanggapi, si tukang servis mendadak kikuk dan baru menyadari akan kehilangan konsumen atas sikap menuduhnya tadi. "Em...ada yang mau diservis?" tanya pria ceking berkulit pucat itu, masih dalam balutan percaya diri, mencoba mengaburkan kekhawatiran mungkin saja anak SMA ini tidak ada hubungannya dengan si pelanggan yang hilang itu.
"Maaf, tapi saya nggak tahu soal tagihan itu." Thea memilih bergerak langsung ke intinya saja mengingat kata 'berbahaya' itu dan juga mulai mual harus berlama-lama melihat tatapan masam dari mata kumal dan rambut berminyak yang sedang digaruk-garuk itu. Oh, tidak! Sudah cukup dengan rambut Ramos saja.
"Yaaa...guru kamu itu yang baru aja ke sini nggak tahu soal tagihan ini. Dia malah maksa ngambil laptop itu karena isinya penting. Padahal nggak ada isinya."
"Maksudnya?"
Pria itu mulai tak berminat meladeni Thea yang dari gerak-geriknya tidak akan mengeluarkan uang ataupun mempercayakan benda elektroniknya yang diharapkan pulih di sni.
"Kapan.." Thea bergerak di luar etalase yang dipasang seperti huruf L, membatasi area kerja tiga karyawan dengan pelanggan.Mengikuti si tukang servis yang berkutat dengan barang-barang di balik etalase. "Kapan Danish ke sini?"
"Yang mana?"
"Hah?"
"Dia ke sini berkali-kali. Buat ngebenerin laptop yang kayaknya sengaja dirusak atau buat mohon-mohon nyari benda berbahaya itu?"
Bila ini tidak menyangkut kata 'berbahaya' itu Thea akan segera pergi dan merekomendasikan tempat servis lain ke Kak Naya eh—tepatnya ke petugas perpustakaan bila printer itu kumat lagi. Pria itu memang berhak marah, tapi dirinya bukan sasaran untuk meluapkan amarah yang diakibatkan lima murid hilang itu.
"Nih, gue kasih lebih biar mulut lo lebih ada gunanya." Sodoran dua lembar uang berwarna merah menengahi obrolan tak sehat itu. Perawakan Ramos yang tinggi besar menjulang di hadapan si pria ceking. Sikunya menekan kuat kaca etalase yang harap-harap cemas dipandangi si pria. "Ngomong. Jawab pertanyaan dia. Atau gue pecahin nih kaca," gertak Ramos yang sudah memulai ancamannya.
"Oke, oke, oke." Si tukang servis gelagapan. Dua temannya yang sibuk di balik printer dan laptop langsung meneruskan pekerjaannya. Angkat tangan bila berurusan dengan ancaman dari raksasa yang tak pantas disebut anak SMA.
"Yang mana?" tanyanya lagi.
"Ceritain aja semuanya!" Giliran Thea yang menggertak didukung oleh geraman Ramos.
"Sekitar bulan lalu, dia nyervis laptopnya ke sini sambil nanya-nanya soal..." Si tukang servis berdehem pelan lalu sedikit memajukan tubuhnya dan berkata dengan volume lebih kecil dari dehemannya. "Penyadap. Mereka nanya-nanya soal itu."
"Buat apa?" tanya Thea ikut memelankan suara. Menyadari pertanyaan begitu bodoh, segera dia mengoreksi. "Maksudnya, mereka bilang untuk keperluan apa, nyadap siapa?"
"Saya udah coba tanya-tanya karena nggak mau asal ngasih barang itu. Buat saya barang itu berbahaya karena ngelanggar privasi orang, tapi mereka ngeyakinin saya kalau ini buat kebaikan. Saya cuman dapat jawaban, mereka lagi dalam masalah dan mau ngebuktiin sesuatu. Katanya beli di online berkali-kali kena tipu." Si tukang servis kembali meluruskan punggung dan melanjutkan dengan volume biasa. "Mereka setiap hari ke sini, menawarkan sejumlah uang yang setiap harinya makin besar jumlahnya dan akhirnya saya menyerah karena harus bayar tempat sewa ini." Kedua tangannya terangkat mengarah ke bangunan mungilnya yang sangat berharga. "Saya nggak perlu cerita asal benda itu, kan?" Mendapat respon anggukan kepala yang mengandung titahan untuk terus bercerita, si tukang servis rela menyibukkan mulutnya di tengah banyaknya orderan pemulihan barang. "Saat saya udah dapat barang itu, mereka belum datang ngabari lagi. Nah, sekitar satu minggu lalu ada anak SMA dari sekolah kalian juga ngedatangin saya dan mau ngambil benda itu."
"Bukan salah satu dari lima cowok itu?" Thea menyerobot cepat.
"Bukan. Saya nggak akan lupa muka mereka. Yang ngambil barang itu kepalanya botak."
"Lo nggak curiga kenapa malah orang lain yang ngambil benda itu?" Ramos ikut mengajukan pertanyaan.
Mereka udah bilang sebelumnya ke saya kalau nanti barang itu akan diambil sama orang lain."
Alur kasus yang mulai terjalin rapi di benak Thea malah carut marut dengan fakta mengejutkan ini, meruntuhkan rentetan deduksi Thea hanya dengan satu kali jentikan jari. Kinerja sel otaknya mulai mengendus sesuatu bahwa ini bukan sekedar penculikan biasa. Membuatnya tersadar dengan petunjuk-petunjuk yang diterbakan terlalu rapi dan terstruktur seolah mereka telah menjelajahi mesin waktu dan mengetahui di masa depan bahwa mereka akan diculik. Dan hanya dengan mengetahui keterlibatan alat penyadap itu mengarahkannya ke sebuah kesimpulan baru: mereka sengaja memasuki medan berduri.
"Teman saya yang ngasih barang ini nyaris ketahuan soal penyebaran benda itu, beruntung pihak berwajib nggak mampu membuktikan teman saya terlibat. Saya nyari saja mati."
"Mereka mampu bayar benda itu, tapi nggak mampu buat bayar servis laptop yang jauh lebih murah," racau Thea mulai sibuk dengan analisisnya, menjauhkan diri dari segala keluhan si tukang servis.
"Sebenarnya..." Si tukang servis mulai menggerakan jarinya di balik rambut berminyaknya. Ragu dan bingung menjadi penghambatnya untuk melanjutkan, kemudian dengan geraman Ramos yang mulai mengintimidasi, memaksanya untuk mengungkapkan saja keanehan selama ini. "Mereka sengaja nunda pembayaran itu. Katanya ada orang lain yang bakal bayar itu, orang itu bakal nyari-nyari laptop itu dan saya harus nagih uang dari dia. Saya sudah malas berurusan dengan mereka, jadi mengiyakan saja lah. Dan tadi ada orang yang nyari laptop itu, saya minta bayaran tapi dia malah nolak bayar. Di mana sih mereka?" Kalimat terakhir mengandung nafsu yang ingin disalurkan saat ini juga.
"Kita lagi nyari mereka—"
"Halo? Citra...ini gue Thea...Iya, iya. Gue mau tanya sesuatu." Suara Thea yang menyelanya masih dalam jangkauan telinga Ramos meskipun juniornya itu sudah berdiri di samping gerobak mi ayam. Nada suaranya yang resah dengan bumbu paksaan membuatnya menghampiri Thea, dan menyingkir dari si tukang servis yang sekarang sudah menghela napas lega.
"Coba lo inget-inget lagi kapan paket itu datang...hmm..oke deh, kabarin gue secepatnya, ya. Iya, iya...nanti gue ajarin." Thea menurunkan ponselnya, beralih ditempelkan ke dagunya. Setelah meyakinkan sesuatu yang menggelayuti pikirannya, tanpa merespon pertanyaan Ramos, dia menuju motor yang tak kalah butut dari mobil itu. Thea sempat terpikir tentang uang dua ratus ribu yang disodorkan Ramos dengan kepercayaan diri tinggi menilik keadaan motor Ramos.
"Udah beres?" Ramos mengulangi pertanyaannya dan menekan dua kata itu. "Gimana? Jadi tahu di mana si Barry." Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang sarat akan sindiran. Ramos menahan bahkan sampai merelakan diri meloloskan uang sakunya yang sangat terbatas, dan Thea membalasnya dengan ketidakpedulian.
"Aku tahu dia di mana," jawabnya enteng sambil memakai helm. Terlalu enteng yang menimbulkan kecurigaan.
"Dari percakapan itu lo langsung tahu? Emang dia sembunyi di sini." Lagi, Ramos menyerang dengan sindiran. "Gue hubungi dulu si Randy buat—"
"Nggak usah. Aku tahu ko."
"Dari mana?"
"Emang udah tahu." Thea menepuk-nepuk jok motor yang secara tidak langsung meminta tepatnya menyuruh si supir melanjutkan tugasnya. Ramos tahu menampilkan wajah beringas hanya meningkatkan kepercayaan diri cewek ini, maka dia memutuskan mengambil helm yang dikaitkan di spion dengan kasar hingga motornya hampir ambruk.
"Tapi kita nggak ke sana. Biar teman-teman Kakak aja yang ke sana."
"Mau ke mana lagi sih." Ramos menggerutu kesal. "Ogah. Kita langsung ke sana."
"Nggak bisa. Aku bakal kasih tahu alamatnya kalau Kakak setuju nganter aku." Thea mengulum senyum, bangga bahwa dirinya punya sesuatu yang memaksa Ramos membuat pilihan yang sangat tidak diinginkan cowok itu. "Kalau punya alamatnya lebih dulu, teman-teman Kakak bisa sampai lebih cepat."
"Iya deh iya. Terus lo mau pergi ke mana?"
"Ke sekolah."
***
Haii...terima kasih yang sejauh ini mengikuti penyelidikan Thea dan Dora. Cerita ini akan berakhir di minggu depan nih (rencananya seperti itu, hehe). Tapi sebelumnya aku pengen tahu kesan, saran dan kritik kalian para pembaca The Bookish Club nih, silakan curahkan di kolom komentar ya.
Makasih banyak ya :))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro