BAGIAN 25
Rengga duduk termenung di jok mobil. Kemudi tercengkram kuat dalam telapak tangannya. Dia tidak ingin mempercayai ini walaupun Odithea Wastari membeberkan penemuannya, analisisnya, deduksinya lalu berakhir pada satu kesimpulan yang memang terdengar masuk akal dan sangat jelas. Sempat tadi pagi dengan setengah hati dia mengikuti rencana tiga bocah SMA itu. Dan kali ini rangkaian rencana itu akan kacau jika masih dilakukan setengah hati karena pemaparan Odithea Wastari semalam bukan hanya dugaan semata, tapi telah menjelma menjadi fakta. Rengga melihat sendiri tiga anggota klub The Bookish Club datang dengan sangat hati-hati, memasuki villa itu yang disambut dingin oleh Alan.
Rengga tak kuasa mengatakan pada dirinya sendiri bahwa di dalam sana mereka sedang merencanakan sesuatu yang buruk. Mereka yang dikenalnya dulu adalah gerombolan murid yang tak kenal lelah menyuarakan semangat membaca. Mereka yang dikenalnya dulu adalah gerombolan murid yang selalu menebarkan hal positif. Mereka benar-benar melakukan itu? Penjualan ebook ilegal? Rengga nyaris memekik kencang setiap memikirkan itu. Kejahatan itu jelas mencoreng kerja keras anggota klub itu selama ini. Kini sudah jelas alasan Brama memilih tak lagi bersinggungan hidup dengan mereka.
Kepalanya didaratkan cukup kencang ke sandaran kepala jok. Deduksi Thea semalam sukses menahan kantuknya, dan sekarang benaknya dengan lancang menghadirkan kembali diskusi mereka semalam.
"Lo tahu pelakunya, The?" tanya Dora terkesiap. Dia memajukan tubuhnya, mendesak Thea tidak lagi memainkan teka-teki seperti di markas baca tadi.
"Seseorang di Kencana?" Rengga mencondongkan tubuh.
Thea mengangguk. Menahan dirinya sejenak untuk memastikan semuanya terjalin dengan benar, lalu mulai memaparkan hasil dari kerja otaknya. "Sebelumnya aku mau minta maaf ke Bang Rengga yang begitu menyanjung The Bookish Club. Tapi mereka telah melakukan tindakan ilegal selama ini dan itu penyebab Brama memilih mengakhiri hidupnya."
Rengga enggan menyela meskipun Thea memberinya kesempatan. Dia hanya menggerakan dagu, meminta Thea meneruskan dan menjelaskan maksud perkataannya. "Mereka, kecuali Panji melakukan penjualan ebook ilegal." Thea mengeluarkan novel The Houses yang langsung terbuka ke sebuah halaman. Kertas terpajang di atas halaman itu. Semburan kenangan akan pencapaian novel itu menerjang benak Rengga, menumbuhkan ketidaksetujuan yang mendalam atas tuduhan Thea. "Ini adalah screenshot dari website penjualan ebook yang dikelola mereka. Lihat, sudah banyak iklan seperti ini pasti pengunjungnya banyak dan penghasilannya besar. Mereka menjual lima ribu rupiah untuk satu novel ebook yang dibuat susah payah oleh para penulis. Jelas, sama saja mereka melecehkan kerja keras para penulis. Termasuk kerja keras Brama."
"Kenapa muka Brama nggak dirusak dalam foto itu? Gue yakin dia nggak akan mungkin ngelakuin perbuatan itu." Dora berkomentar, mengingatkan Thea dengan nasib akhir Brama. Rusaknya muka Panji di foto itu sudah jelas mengantarkan mereka ke kesimpulan bahwa Panji adalah sumber masalah The Bookish Club selama ini. Bukannya itu yang dikatakan Thea beberapa jam lalu? Meskipun ada cerita lain tentang Panji yang terluka, hal itu tidak mengurangi tingkat kecurigaan Dora terhadapnya. Langkah nekat Barry meminta bantuan Ramos demi mendapat informasi tentang Panji, tingkah Bondi yang berapi-api setiap telinganya bersinggungan dengan The Bookish Club menjadi dasar Dora untuk mendakwa Panji.
Merasakan tatapan tak mengerti dari kakak-adik itu, Dora menjelaskan penemuan mereka di ruang tersembunyi di balik rak. Kakak-Adik itu memang sudah melihat foto itu, tapi belum mendapat penjelasan lanjut. Respon Rengga yang paling kentara, hingga dia menganga beberapa detik mendengar sebuah ruangan rahasia di perpustakaan itu. The Bookish Club benar-benar menyembunyikannya dengan rapi selama mereka beraktivitas di sana.
Namun, Thea mempunyai kesimpulan lain. Terlukanya Panji cukup gampang diartikan. Ada hal lain juga yang terlupakan, satu dari lima SMS yang mengarah ke tersangka. Thea gatal menyinggung itu, tapi dia harus mengurutkan analisisnya agar mudah dimengerti oleh pendengarnya yang memuntahkan seluruh perhatian kepadanya. "Dugaan gue, Panji yang ngerusak sendiri foto itu. Dia merasa nggak pantas masuk ke klub itu yang telah mencoreng dunia literasi. Penjualan ebook ilegal, memperbanyak buku tanpa izin sama saja merusak nama penulis yang berarti mencoreng dunia literasi. Maka dia memutuskan bahwa dia bukan bagian dari The Bookish Club. Dan masalah Brama, gue menduga mungkin dia terlibat juga di dalamnya, tapi kemudian tersadar akan perbuatannya. Dan merasa yang dilakukan di sekolahnya penuh kemunafikan maka dia memilih mengakhirinya sendiri. Untuk memastikan hal itu kita harus tanya ke Panji."
"Jangan asal bicara." Rengga menolak keras pernyataan Thea. "Bukti di novel The Houses itu nggak menunjukkan keterlibatan mereka. Mereka apalagi Brama melakukan perbuatan sekotor itu? Aku mau kamu bicara dengan bukti, bukan hanya hasil pemikiran kalian."
Thea membalas dengan sodoran kedua. Laporan keuangan Novel The Houses. "Lihat, dari mana mereka dapat uang sebanyak itu? Dari mana mereka yang anak SMA dari SMA yang kepala sekolahnya pelit banget bisa nyetak empat puluh eksemplar buku? Hilangnya lima murid yang mencoba mendirikan The Bookish Club dan celakanya Panji, nggak mencurigakan buat Bang Rengga? Tentu mengelola bisnis kotor itu dengan penghasilan selangit untuk kalangan SMA tidak mudah dilakukan seorang, dua orang."
Rengga termenung. Tentu dengan menceritakan masa-masa SMA-nya bersama The Bookish Club yang selalu menguarkan aura positif tidak bisa dijadikan jawaban.
"Lo cuman takut, Bang. Takut mengakui kalau mereka melakukan tindakan salah. Padahal lo tahu sendiri mereka berlima tiba-tiba hilang dan malah Bang Rengga mencoba mencari informasi ke anggota The Bookish Club yang dulu." Tiar melirik Kakaknya, menantangnya untuk mendebat. Semenjak kematian sang pacar, menerima kenyataan pahit membuat Kakaknya kehilangan logika. Perasaannya ikut bermain terlalu dalam.
"Mereka menemukan profil The Bookish Club." Tanpa menunggu Bang Rengga bersuara dan menurut Thea sudah cukup pembukaanya, langsung dilanjutkan inti deduksi hasil dari kolaborasi penyelidikannya dengan Dora. Thea menyodorkan kertas lain yang berisi profil The Bookish Club dan foto itu. "Mereka menemukan foto ini, laporan keuangan dan novel The Houses. Bukti dari screenshot halaman website itu mungkin awalnya nggak dipedulikan." Thea melirik ke Dora sesaat, setuju dengan pemikiran Dora waktu di markasa baca. "Mereka memang sudah tahu tentang skandal lewat screeshoot itu yang disembunyikan di novel The Houses, lalu mencoba mencari informasi tentang novel itu dan yang didapatkan adalah tentang Lan Cester. Mereka sengaja mencari dia, mencoba memancingnya dan akhirnya ketemu."
Bang Rengga hendak menyela. Menyadari raut aneh itu, Thea langsung meneruskan setelah meneguk orange juice-nya. "Ya, mereka memang sengaja nyari Lan Cester. Bukan kebetulan seperti dugaan awal kita. Mereka sempat ketemu dan memancing Lan Cester mengakui perbuatan The Bookish Club. Lan Cester tentu menolak, tidak mau mengaku. Tapi aksi mereka terus berlanjut menyelidiki keterlibatan semua anggota dan mencari tahu siapa orang yang dirusak mukanya itu. Lalu pencarian mereka berakhir di Panji. Aku jamin mereka sempat ketemu Kak Panji, bahkan berkali-kali, dan profil anggota The Bookish Club itu pun didapatkan dari Panji." Thea menyodorkan kertas lain yang memuat profil sepuluh anggota The Bookish Club dari komputer di markas baca.
"Jadi, orang yang mereka temui di café itu adalah Panji? Bukan Lan Cester?" tanya Dora.
"Yap. Coba aja kita tunjukin foto Lan Cester, gue yakin nyokap lo nggak setuju kalau cowok itu yang dilihatnya itu si Lan Cester. Mereka selama ini bekerja sama mengumpulkan setiap bukti. Panji yang akhirnya menceritakan skandal itu. Panji terluka, dia kecelakaan. Itu udah jadi bukti kalau dia memang nggak terlibat dalam skandal itu, justru dia yang mengungkap skandal itu bareng mereka berlima."
"Berarti Lan Cester? Dia juga yang nyulik mereka berlima? Tapi gimana caranya?" Dora beruntun bertanya, masih belum mau menelan semua analisa Thea. Imajinasi liar yang lancang mendatanginya lagi tentang Abiannya yang terluka, segera dienyahkan.
"SMS Danish. SMS itu terlalu jelas tapi kita malah nggak bisa nangkep lebih cepat. Yang terdekat, Yang menyakiti, Yang berbahaya. Orang terdekat dengan perpustakaan berarti orang terdekat dengan The Bookish Club. Orang terdekat dengan Danish. Dia berbahaya. Dia juga menyakitinya karena Danish mungkin menaruh perasaan atau minat ke orang itu. Kak Naya."
Thea menyandarkan punggungnya sembari melipat kedua tangannya. "Danish mulai mengendus keterlibatan Kak Naya saat dia berhasil masuk ke mobil butut itu."
Bagai tersengat, Dora buru-buru menanggapi. "Maksud lo yang kata si ibu tetangga itu..."
"Ya, entah gimana caranya, mungkin dia mencegatnya, dan akhirnya berhasil mergoki Kak Naya di balik mobil butut itu."
Dora menggelan pelan. Ada yang tidak sesuai. "Tapi kata si ibu itu, pengendara mobil itu cowok."
"Lan Cester dan Kak Naya bergantian mantau mereka. Beruntungnya saat Danish mencegat mobilnya, yang dia temui adalah Kak Naya."
"Kak Naya koordinator perpustakaan itu? Dia yang..." Tiar tertahan untuk melanjutkannya saat teringat bagaimana hangatnya senyuman perempuan itu. "Dia yang menculik mereka? Gimana caranya?"
Sementara Bang Rengga semakin membeku. Matanya tak berkedip, terus terjurus ke tetesan embun di luar gelas jus jeruknya. Rasanya bagai ditampar berkali-kali lipat. Kak Naya sosok yang begitu hangat sekaligus energik membangun semangat para anggota The Bookish Club. Rengga sendiri menjadi saksi perjuangan The Bookish Club yang dituntun perlahan oleh sosok perempuan itu.
"Bondi."
Tiar dan Dora kompak melotot, dan belakangan Rengga akhirnya mengangkat kepalanya.
"Mereka menggunakan Bondi dengan mengancam keselamatan Kakaknya untuk melancarkan aksi ini, termasuk menyuruh Bondi tutup mulut tentang The Bookish Club." Thea menambahkan dengan kehadiran Bondi di perpustakaan di hari lima murid itu hilang. "Gue bakal minta ke Kinan buat mastiin alibi Bondi di hari itu."
"Tapi Panji malah terluka, apa Bondi nggak melakukan yang diperintahkan mereka?" tanya Tiar.
"Ada alasan lain Panji terluka. Bisa jadi dia tetap bersikeras membeberkan fakta dan bukti skandal itu. Dia nggak takut ancaman mereka."
"Semua analisis itu nggak akan berguna kalau nggak ada bukti pasti yang mengarah langsung ke mereka." Di balik suaranya, Rengga sedikit menggeram. Meskipun di depannya adalah manusia terpintar di SMA Kencana, dia tak bisa menyetujui itu kalau hanya sekedar dugaan, apalagi ini menyangkut orang-orang baik yang pernah dikenalnya. "Kertas-kertas itu nggak menunjuk langsung ke mereka. Kita perlu yang lebih jelas." Rengga mengepalkan tangannya seraya memanjangkan lehernya demi mengunci mata Thea. "Kita perlu yang lebih jelas kalau memang bukti itu ada."
Thea tak masalah mendapat perlawanan dari Rengga yang memang pernah berbagai masa SMA dengan anggota The Bookish Club. Keterlibatan Rengga memberi keseimbangan karena Thea bisa meredam gejolak-gejolak liar bila bertindak tanpa bukti jelas. Berkali-kali Rengga menekankan harus adanya bukti langsung yang menyatut nama mereka bersepuluh.
"Tentu mereka berlima dan juga Kak Panji yang punya bukti langsung itu," ungkap Dora yang mulai condong dengan deduksi Thea.
Maka, bagai mesin super canggih tercetuslah rencana itu yang begitu mulus keluar dari benak Thea, yang ditambali oleh Dora dan Tiar, sedangkan Rengga berusaha mengikuti saja. Lalu sekarang dengan sepenuh hati dia yang paling bersemangat beraksi di rencana ini saat melihat mobil butut yang pernah disinggung Thea, berserta Alan dan tiga anggota The Bookish Club. Beberapa menit lalu, dia langsung meminta teman OSIS yang kemarin membantu menemukan Panji untuk berjaga di rumah sakit sekaligus melaporkan bila ada yang mencurigakan.
Mobil Rengga tersembunyi di balik semak dan pepohonan yang tepat berseberangan dengan villa dua lantai itu. Bangunan itu berdiri di tanah yang lebih tinggi dari jalanan, sementara halamannya agak landai dan rendah sehingga pengamatan Rengga yang lebih jelas hanya sebatas halaman berumput itu saja. Namun, hal itu juga memberi keuntungan karena mereka dari dalam villa sana tidak bisa mendeteksi kehadirannya, kecuali bila mereka berdiri di halaman dan sengaja menajamkan mata. Dan sejauh ini tidak ada yang berdiri di sana.
Rengga menurunkan kameranya setelah belasan kali memotret daerah sekitar villa itu, termasuk kedatangan tiga anggota terdahulu The Bookish Club. Pesan WhatsApp-nya belum dibalas Tiar. Menilik jam yang sudah memasuki waktu kegiatan belajar, Rengga menunggu dengan sabar, dan juga menahan diri untuk tidak loncat ke dalam sana. Sekarang dia sedang meyakinkan hatinya yang mulai condong kepada Thea.
Memasuki kesembilan atau kesepuluh kalinya mengecek ponsel untuk memastikan adanya pesan masuk dan sekedar melihat jam yang terasa lambat sekali, terdengar ketukan pelan di jendela mobil seberangnya. Rengga otomatis mengikuti suaranya dan seringaian senyuman menyambutnya.
"Hai, Rengga. Lama nggak ketemu." Kedua tangan Alan menopang ke bingkai jendela setelah Rengga menurunkan kaca. Bukan kehangatan yang menyambutnya, tapi atmosfer mencekam disodorkan Alan dengan kelembutan senyumannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro