BAGIAN 24
Brosur itu masih betah bergelayut di benak Thea saat dia melewati ambang pintu kantor, lalu bergabung dengan lorong yang kanan kirinya dipadati murid, di tengah bisingnya koridor membahas klub rahasia itu. Sebagian bertanya heboh ke Jehan—itu pendukung-pendukungnya—ada juga yang berkumpul mengitari Pandu—sebagian besar anak-anak populer lainnya, yang minta diwakili saja oleh Pandu. Anak buah Ramos menunggu di paling pangkal kerumunan, dengan gaya cool tapi tetap bringas. Ramos menyamai langkahnya dengan Thea dalam keadaan pikuk seperti ini demi memberikan seulas senyuman samar. Thea hanya menanggapi dengan gemingan, tak tertarik, tak berminat membalas Ramos, terlebih fokusnya masih berkutat soal brosur itu. Namun, sosok lain yang tiba-tiba muncul di depannya berhasil menyita perhatiannya.
Kak Naya memandang Thea gelisah. "Kamu nggak kenapa-kenapa, The? Tadi aku kaget banget lho kamu mendadak pergi ke ruangan Kepala Sekolah. Kamu nggak kena masalah, kan?"
Thea mencoba tenang karena senyuman hangat Kak Naya bagai sihir. "Nggak, Kak. Tadi aku cuman bantuin temanku aja bicara sama Kepala Sekolah."
"Katanya soal klub rahasia itu, ya?"
"Iya, mereka yang lapor ke kepala sekolah pengen sekolah nyelidiki klub rahasia itu. Tapi ada opsi lain, nanti bakal bicara damai dulu."
Meskipun samar hanya dalam sepersekian detik, Thea menangkap sekilas kelegaan di wajah cantik itu. Kak Naya mengelus pundak Thea. "Ya, lebih baik dibicarakan dulu."
"Kakak mau ke mana?" tanya Thea saat melihat Kak Naya hendak beranjak.
Lagi, senyuman itu menghangatkan. "Ketemu Kepala Sekolah, mau nagih persetujuan dana waktu itu biar kita beli tambahan buku bulan depan."
Thea mengangguk mengerti, agak mengeyampingkan tubuhnya untuk memberi jalan karena lorong masih dipadati walaupun tidak separah tadi. Dia langsung merogoh ponsel dari saku saat dirasakannya getaran dan benar saja Dora memilih bergerak ke rencana awal karena target cukup dikuntit oleh Tiar. Hasil penggeledahan data penjualan ebook ilegal di komputer klub Jurnalistik muncul dalam bentuk belasan gambar, lalu ditutup oleh informasi alibi Bondi di hari lima cowok itu hilang.
"Thea." Tiar menghadang jalannya. Dia muncul dari belokan kamar mandi. Mendapat respon penuh ketidakpedulian dan Thea hanya melongos pergi melewati jalur lain di sampingnya, Tiar langsung berbalik dan berhasil menjajarkan langkah saat menuruni tangga.
"Meleset. Dia malah ngedatangin ruangan Kepala Sekolah."
"Iya." Thea mengangguk. "Malah sekarang dia ngedatangi Kepala Sekolah."
"Kebetulan? Apa sengaja? Dia benar-benar nyembunyiin bukti di sana?"
Mereka sudah sampai menginjak lantai satu, lalu berbelok ke koridor arah perpustakaan. "Gue nggak nemu sesuatu yang menguatkan. Cuman ada yang aneh aja, tapi gue belum nangkap hal itu berhubungan dengan The Bookish Club. Rasanya sia-sia bikin heboh satu sekolah."
Tiar berdecak. "Baru kali ini gue denger seorang Odithea Wastari ngeluh dan pesimis gini. Rasanya aneh didenger." Tiar mendapatkan delikan kesal. "Setidaknya awalnya berhasil. Gue dapat rekaman percakapan dia. Ya...walaupun nggak ada omongan langsung tentang ke ekskul itu dan lima cowok itu sih. Tapi yang kita lakuin sekarang memang ada hasilnya. Jangan bilang sia-sia sebelum kita selesain ini semua. Oke?"
Thea melambatkan langkahnya. Ngantuk, lemas, pesimis, menyerangnya dalam satu pukulan. Sejauh ini belum ada bukti konkrit keterlibatan orang itu. Masih samar-samar, masih menjanggal dan Thea belum bisa mengeluarkannya. Namun, perkataan Tiar mulai menyentuh semangatnya. Setidaknya dia belum benar-benar jatuh dalam keputusasaan.
"Dia tadi cukup lama sih di luar ruangan Kepala Sekolah, tapi beberapa menit sebelum lo keluar, dia balik ke perpustakaan lagi."
Thea melambatkan langkahnya tepat di tengah perempatan. "Balik lagi? Lo lihat dia ngapain di dalam?"
"Dia cuman buka komputer. Udah gitu aja, terus balik ke atas dan ketemu sama lo deh."
Sentilan kedua mengenai otaknya, secepat kilat Thea berlari menuju perpustakaan, menutup telinganya dari panggilan Tiar yang menuntut penjelasan sembari berlari di tengah kebingungan atas tingkah Thea.
Cewek itu sudah duduk menghadap komputer. Telapak tangannya yang melingkupi dan mengerakan mouse bergetar. Dadanya naik turun resah. Kemudian, Thea menyandar lemas ke kursi. Dia tahu pasti petunjuk itu sudah terhapus, tapi kekesalan terhadap dirinya sendiri yang abai semakin melemaskan dirinya. Dia mengelurkan ponselnya, meyakinkan hati bahwa ini memang cocok.
"Gue tahu." Thea menoleh ke Tiar yang termenung berdiri di sampingnya. "Gue tahu di mana mereka." Thea menyodorkan layar ponselnya yang memuat brosur penyewaan villa.
***
"Bang Rengga gimana?" Todong Dora saat berjanjian di perempatan koridor. Tiar yang datang lebih awal dan menunggu di sana langsung menjawab dengan rendah sambil melirik ke belakang ke area perpustakaan. "Aman. Bang Rengga udah di tempat. Dia berhasil nemu villa itu dan sesuai dugaan Thea, mobil butut itu, Alan dan beberapa anggota The Bookish Club ada di sana. Mereka benar-benar kepancing, pada langsung ngumpul. Nanti dia update lagi kalau ada yang bergerak," terang Tiar sembari mereka berjalan. Informasi dari Bang Rengga belum sempat dia sampaikan karena mereka memiliki kewajiban mengikuti pelajaran di kelas, kecuali Thea yang terpaksa menanam diri di perpustakaan dengan perasaan kalut. Tiar pun baru membaca pesan itu setelah kegiatan belajar usai.
"Udah ada kabar lagi?" tanya Thea
"Belum. Gue chat malah ceklis satu. Apa di sana nggak ada sinyal ya?"
"Tapi kan tadi kata lo Kak Naya nelpon komplotannya," timpal Thea.
"Benar juga." Tiar mendadak resah. Namun, cepat dia mengenyahkan imajinasi liarnya. "Mungkin HP-nya lowbat. Atau tempat dia nguntit sinyalnya jelek."
"Kak Naya masih di perpustakaan, kan? Kita sebaiknya pelan-pelan aja dulu sambil pesen ojek online kalau kita sengaja ngerumun di depan gerbang takutnya dia curiga. Kita tetap pasang mata." Dora tiba-tiba mengernyit. "Lo baik-baik aja, Thea?"
"Gue cuman kesel aja. Kenapa gue nggak jeli pas lihat riwayat pencarian di google chrome seminggu ini terus tiba-tiba di folder download ada gambar villa. Dan pas gue mau cocokin sama brosur di ruangan Kepala Sekolah, yang di komputer itu malah hilang."
Dora meremas jemari Thea, mencoba membangkitkan semangat seorang Odithea Wastari. Thea terlihat pucat hari ini, ditambah dengan kantong matanya yang menghitam. "Kita belum terlambat ko."
"Kenapa dia nggak buang aja brosur itu?" tanya Tiar mencoba mengalihkan pembicaraan dari penyesalan Thea.
"Dia ingin menjebak," balas Thea lirih
"Menjebak Kepala Sekolah?" Dora bertanya tak yakin.
Thea mengangguk. Inilah yang membuatnya resah.
"Tapi percuma dong, mereka berlima udah tahu soal..." Tiar mulai menangkap keresahan Thea sepanjang hari ini. Obrolan di laboratorium itu menyentaknya. "Mereka..."
Thea hanya mengangguk. Tak berani menyetuskannya di depan Dora. Dia sudah menonton rekaman itu dan walaupun suaranya cukup kecil, tapi earphone membantunya. Titahan Kak Naya untuk 'menghabisi' lima cowok itu membuat Thea terus menyumpahi dirinya. Mendengar fakta orang-orang yang berhubungan dengan The Bookish Club terluka saja Dora tak bisa membendung ketakutan, bagaimana bila mengetahui isi rekaman itu.
"Ada apa?" Dora menahan dengan mengacungkan lengannya di hadapan mereka. "Gue nggak ngerti." Kemudian, dia berkacak pinggang. Namun, usahanya tak bertahan lama saat matanya tiba-tiba membulat, menangkap kehadiran target mereka. "Kak Naya datang."
Dora duluan melangkah diikuti Tiar dan Thea. Tiar masih berkutat dengan ponselnya, masih belum mendapatkan sopir yang mau mengangkut mereka. "Sial! Kenapa malah di-cancel gini sih!"
"Gue coba juga." Dora sudah melupakan tuntutannya lalu disibukkan dengan aplikasi ojek online itu. Sementara Thea terus memendam tatapannya ke Kak Naya yang muncul hilang di antara lalu lalang para murid.
"Ko tiba-tiba macet," semprot Dora ke ponselnya sendiri. Thea berganti memimpin jalan dengan tetap menjaga jarak terhadap buruannya lalu sampai di gerbang sekolah dia hanya bisa memandangi Kak Naya yang terus berjalan melalui trotoar jalan dan berhenti di depan sebuah warung kecil. Dari tempatnya mengawasi, masih tampak Kak Naya yang memakai cardigan abu dipadukan dengan rok hitam selutut.
"Gimana?" tanya Thea bergetar karena sampai sekarang kedua temannya belum memberi kabar baik.
"Kacau. Lagi error kayaknya," balas Dora resah.
"Lo awasin dulu di sini. Gue bakal minta bantuan ke teman-teman klub," usul Tiar lalu diikuti Dora yang juga mencoba meminta tebengan ke teman ekskul renangnya yang baru muncul dari belokan parkiran.
Waktu memasuki menit ke tiga, sedan jadul biru gelap berhenti di dengan warung itu, memberi tumpangan untuk Kak Naya yang langsung duduk di samping pengemudi. Thea gatal menggerakan kakinya untuk berlari atau sekaligus terbang seperti para superhero. Dia menahan dirinya untuk tidak berteriak ke belakang, memperingatkan Dora dan Tiar yang rasanya lama banget meminta bantuan. Dia harus memastikan ke mana arah mobil itu melaju saat memasuki area pertigaan, meskipun kemungkinan besar menuju villa itu.
Bang Rengga. Thea tersentak. Kenapa Bang Rengga tidak memperingatkan Tiar bila mobil itu mulai bergerak?
"Ayo naik." Bagai sulap, Ramos muncul begitu saja di samping Thea dengan motor bututnya yang tak kalah butut dengan mobil itu. "Cepet! Kalian mau ke tempat Barry, kan? Gatal banget gue pengen nonjok dia."
Thea menoleh ke belakang dan saat melihat Dora dan Tiar sudah dibonceng masing-masing oleh anak buah Ramos sambil menganggukan kepala tanda ini adalah ide bagus, dia pun langsung naik ke motor itu.
"Ke mana mereka?"
"Belok kanan di pertigaan itu."
Ramos melesat, meliuk di antara motor para murid. Refleks,Thea mencengkram samping badan dari jaket Ramos. Sangat ingin meneriaki, Ramos tapi mulut Thea bagai tersumpal angin.
"Kak Ramos, jangan ngebut-ngebut, Thea....." Itu suara Dora saat motor yang dinaikinya melewati Ramos lalu dengan sama ngebutnya mendahului Ramos, mengaburkan omelan pertama Dora untuk senior yang paling ditakuti.
"Tenang. Asal lo percaya, jangan jerit-jerit, gue bisa handle," ucap Ramos sekencang mungkin, sebelum memacu lebih gila lagi memecah jalanan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro