Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAGIAN 23

Tentu, ruangan Kepala Sekolah jauh, sangat jauh, tidak cocok, sangat tidak cocok, tidak pantas, sangat tidak pantas untuk dibandingkan dengan suatu tempat kotor yang selalu didatangi para murid di jam istirahat. Kantin bagaikan sebuah gubuk dan kantor kepala sekolah adalah istana berlapiskan emas.

Karpet tebal berwarna merah mencolok-Thea sampai menyipitkan mata, tak tahan dengan warnanya-melapisi lantai ruangan berukuran 6 x 6 meter itu. Meja besar nan gagah berdiri menghadap pintu, orang awam saja bisa menebak harga meja-- yang sepertinya jarang dipakai Kepala sekolah itu-berlipat-lipat dari SPP sekolah. Ruangan ini pengap, jelas jarang dibuka artinya jarang disanggahi Kepala Sekolah. Dari keadaan ini saja, sudah bisa dipastikan megahnya ruangan ini dengan guci besar di pojok ruangan, pot yang sama besarnya berisi tanaman plastik cantik, sofa coklat empuk dan ketika diduduki berterbanganlah debu serta meja kaca yang ditopang oleh empat pilar yang ujungnya merupakan kepala kuda-hanyalah untuk memuaskan hasrat Kepala Sekolah membeli barang-barang mewah dan memakai alasan sebagai pendukungnya saat bekerja dengan tumpukan dokumen dalam map di atas meja itu. Memang, dokumen itu seakan menjadi saksi bisu bahwa Kepala Sekolah benar-benar bekerja, tapi debu yang mengumpul di atasnya berkata lain. Rak yang penuh dengan buku-buku berbau pendidikan menyuarakan hal yang sama. Lembab dan berdebu. Laci di samping kursi kepala sekolah yang tak kalah gagah, satu-satunya yang jarang ditempeli debu. Artinya Kepala Sekolah hobi menyimpan sesuatu yang maha rahasia di laci berkunci ganda itu.

Thea menggali benaknya, memastikan ingatan tampang Kepala Sekolah yang sesekali dilihatnya di upacara sekolah, terutama saat penyerahan sertifikat untuk dirinya si juara umum. Memang benar, pria berumur limah puluh tahun an itu dengan kumis tipis, pipi tembam berlapiskan jambang serta perut gempal adalah sosok yang cocok dengan ingatannya. Tubuhnya menjulang tinggi saat dia bangkit dari kursi kebanggannya, menyambut Thea yang datang diiringi suara berisik di belakangnya.

Kepala Sekolah termenung sejenak, mengamati Thea yang seperti tak asing di ingatannya. Nama unik murid itu pun sayup-sayup pernah didengarnya. "Odethea? Ayo duduk," seru Kepala sekolah ramah disertai senyuman lebar dari bibir tebalnya, yang terasa kurang nyaman dipandang bagi Thea. Menurutnya lebih baik dia melihat senyuman lebar Dora walaupun menyebalkan. Dan, apa katanya tadi? Susunan huruf namanya salah disebut setelah tiga kali berturut-turut namanya dipanggil oleh Kepala Sekolah sebagai Juara Umum.

Thea mengambil posisi di samping Wati, tepat di depan Ramos yang sedang memancarkan laser pencincang daging. Ramos berhasil kali ini, Thea bergidik sedikit tapi ampuh ditutupinya dengan tetap santai dan dagu semakin dinaikkan. Senior sok kuasa itu diapit oleh Pandu dan Jehan, yang kemudian kompak memandangi Thea penuh nafsu. Berdasarkan cerita Dora, dua senior itu tak kalah populer dengan Ramos. Pandu adalah atlet renang kebanggan SMA Kencana, satu-satunya anak anggota Dewan di sekolah ini-tampaknya satu-satunya murid yang dikenal, diingat, ditanam baik-baik dalam benak Kepala Sekolah adalah Pandu, tentu bukan karena prestasinya, tapi asal-usul keluarganya-sekaligus penyumbang terbesar ke sekolah ini. Nilai akademiknya memuaskan, terlalu memuaskan di kelasnya walaupun tingkat bolosnya nyaris menyamai Ramos dan Barry. Entah, apa alasannya memilih SMA Kencana padahal dengan 'prestasinya' bisa masuk dengan mudah ke sekolah mana pun, ada yang bisa menebak?

Jehan merupakan bagian terpenting dari klub Paduan Suara. Suaranya adalah emas. Harta yang sangat dijaga dan diagung-agungkannya. Kabarnya, Ibunya penyanyi solo lawas yang sangat terkenal pada masanya. Ketenarannya merambah ke luar sekolah karena dia eksis sebagai selebgram yang setiap menit Insta Story-nya selalu sibuk. Beberapa menit lalu dia membagikan kekacauan di sekolahnya ke followers. Dia irit berbicara demi menjaga pita suaranya, hanya membalas obrolan penting dan dari orang penting saja. Lagak diamnya itu dibumbui dengan tingkah sok paling penting di klubnya. Setiap harinya tak pernah lepas dari tumbler satu liter mahalnya yang berisi air mineral atau minuman herbal penjaga kerongkongan dan tenggorokannya.

Thea hanya sekilas menatap mereka, ada hal lebih penting di ruangan ini yang harus dicarinya. Diam di tempat, duduk manis dan matanya menggeledah sesuatu yang terlihat janggal di ruangan ini. Deheman Kepala Sekolah yang duduk di sofa single di tengah-tengah mereka mulai mengganggu pencarian Thea. Cewek itu harus mulai bekerja lebih tenang lagi agar tetap bisa memindai di tengah ceramah Kepala Sekolah tentang betapa pentingnya hidup rukun di lingkungan sekolah.

"Jadi, klub rahasia itu benar-benar ada? Apa tujuan didirikannya? Tentu mendirikan klub tanpa izin sekolah akan terkena sanksi tegas." Kepala Sekolah mulai ke inti masalah setelah wejangan membosankan yang masih dilatar belakangi suara kepo para murid dari luar sana.

Wati duduk paling tegak, begitu anggun, memaksakan senyuma manis, berharap cara itu dapat menanamkan wajahnya di ingatan Kepala Sekolah. "Iya, Pak. Saya dengar pembicaraan mereka. Klub itu bertujuan membongkar kejahatan-kejahatan para murid populer di SMA Kencana."

"Kejahatan? Kejahatan macam apa?" Jehan bersuara dengan lengkingan suara tinggi karena kaget. Menyadari terlalu banyak bicara, segera dia berdeham lembut.

"Memangnya kalian punya kejahatan?" Pertanyaan Thea menjadikan mereka kompak bergerak gelisah. Dari ujung ekor matanya terlihat Kepala Sekolah tercengang, yang sedetik kemudian disamarkan dengan berdiri lalu menuju dispenser yang sejajar dengan kursi kerjanya.

Kesempatan besar datang, Thea ikut berdiri berbalik menuju Kepala Sekolah yang sedang menyiapkan lima cangkir. "Biar saya bantu, Pak."

Wati menaikkan kedua bahunya. "Nggak tahu maksudnya kejahatan apa, mungkin kayak menyakiti para murid, beli jawaban ulangan, ngendorsin barang ilegal, yang intinya menghalalkan segala cara buat terus makin terkenal di sini." Lancar. Mengalir. Tepat sasaran. Wati begitu sempurna siang ini. Tidak mengacuhkan tekanan, delikan, dan ancaman dari tiga tampang mendidih itu. "Mereka cuman mau mengungkap sesuatu yang busuk di sekolah ini. Nggak salah, kan? Justru mereka berjuang di jalan kebenaran. Udah waktunya hal buruk di sekolah ini dibuang jauh-jauh. Bukan begitu, Pak?"

Wati melemparkan tatapan permohonan persetujuan atas ucapannya ke Kepala Sekolah yang sedang menuju kembali ke sofanya. Senyum sinis Wati terhadap tiga senior di depannya langsung digantikan lengkungan bibir manis dan malu-malu. "Bahkan, demi menjalankan misi rahasia itu, yang tentu sekarang tidak jadi rahasia lagi, mereka kena imbas, Pak. Mereka nggak sekolah beberapa hari ini."

"Jangan-jangan lo ikutan juga klub rahasia itu?" Pandu yang bertanya. Kini, mereka sudah lupa duduk di sofa mewah ruangan Kepala Sekolah. Bahkan, berani memotong Kepala Sekolah yang tampak hendak berbicara lalu duduk di tempatnya. Obrolan yang mulai memicu nada tinggi membuatnya cepat bergerak, melupakan Thea yang menurutnya sedang sibuk membuat teh manis, padahal mata muridnya itu sedang menggeledah setiap sudut meja kerja Kepala Sekolah. Di atas sana hanya ada tumpukan map, tumpukan kertas awut-awutan, buku-buku tebal, bolpoin mewah yang berdiri di alasnya, serta secangkir kopi dingin.

"Kalau aku ikut-ikutan, aku juga harusnya hilang. Harusnya kalian terima kasih ke aku yang ngungkap klub itu."

"Ya! Lo emang ngebantu banget." Ramos nyaris bangkit dan menerkam Wati. "Tapi lo terlalu banyak bacot di grup chat itu. Lo pikir gue nggak tahu isi grup angkatan lo? Lo nyebut-nyebut rencana mereka terlalu mendetail bagi orang yang cuman nguping aja. Nggak salah dong kalau kita nuduh lo juga termasuk ke dalam klub rahasia." Mereka bertiga langsung bersekutu setelah sehari-harinya saling berebut posisi menjadi yang terpopuler.

"Lo malah bikin sekolah kita terpecah belah." Jehan menjaga suaranya tetap datar di balik emosinya yang sudah di ubun-ubun. Sebelum bicara tangannya selalu mengelus-ngelus pelan dulu lehernya. "Pendukung-pendukung gue biasanya tetap akrab dengan anak-anak yang lain, tapi see sekarang..." Merasa ini kalimat terpanjang dalam hidupnya selain digunakan untuk menyanyi, Jehan hanya mendelik kesal sambil memijit keningnya.

"Lo malah bikin sekolah ada dua kubu. Pendukung klub rahasia itu dan pendukung kita yang populer." Pandu mengatakan kata terakhir dengan penekanan, menegaskan bahwa dirinya bisa bertindak lebih ganas lagi daripada membawa masalah ke ruang kepala Sekolah secara langsung.

"Dengar Kakak-Kakaku tersayang." Wati mengibaskan rambutnya ke belakang dan Ramos sudah siap menerkam mukanya. Dengan anggun, Jehan memanjangkan lengannya ke samping, mencegah Ramos.

"Tahan." Hanya itu yang ingin diucapkannya, kemudian Pandu menambahkan lebih jelas.

"Kalau lo pake kekerasan, bakal tambah ricuh."

Di tengah perseturuan tiga lawan satu itu, Thea menggambil kesempatan, memanjangkan lehernya demi melihat secarik kerta berwarna biru hijau di atas tumpukan kertas. Gambar di kertas menyentil benaknya. Dia melirik sesaat ke tengah ruangan yang mulai diriuhkan oleh Wati, yang masih kuat walaupun kalah jumlah. Kepala Sekolah hanya melongo ke kanan-kiri, tak bisa menahan mereka. Thea lebih mendekat, dengan tetap waspada, dia melewati kursi besar itu dan berhasil menangkap seluruh informasi dari brosur penyewaan villa itu. Thea memaku dirinya di tempat, ada sesuatu yang mendorong-dorong ingatannya, sesuatu yang menyengatnya tapi tidak tahu sumbernya dari mana.

"Sudah. Sudah. Kita dengar dulu apa yang mau dikatakan..."Kepala Sekolah melirik badge name Wati. "Andiniwati. Kemudian saya akan putuskan penyelesaian masalah ini selanjutnya." Kepala Sekolah kehabisan tenaga. Mendengar anak didiknya beradu mulut di depannya malah membuat kepalanya pening. Dia baru pulang berlibur subuh tadi, dan terpaksa pergi ke sekolah untuk menandatangi dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Rencana pergi lebih awal malah dihadang kerumunan murid yang dipimpin tiga murid populer itu. Demi menjaga image pemimpinnya, dengan wibawa, syukur-syukur mendapat pujian dari kalangan siswa bahwa pintu ruangan Kepala Sekolah terbuka lebar untuk siapa pun-maka dia menelan kuat-kuat rasa kantuknya lalu menerima mereka. Mendengar sejauh ini, dia mulai mencium sesuatu yang berhubungan di masa lalu, tapi tetap berusaha dienyahkannya bahwa ini hanyalah kebetulan.

"Jadi gini, Pak. Saya pernah dengar pembicaraan mereka, saya juga pernah dengar Danish-salah satu anggota klub rahasia-membicarakan tentang hal itu. Entahlan Pak, selalu kebetulan saya memergoki mereka membicarakan klub itu. Mungkin itu sudah menjadi takdir Tuhan, bahwa saya akan menjadi jembatan untuk membongkar rencana mereka. Saya sebenarnya dilanda kegundahan. Di satu sisi hati saya tergerak untuk mendukung upaya mereka karena bagi saya, mereka tidak melakukan hal buruk, mereka hanya ingin mengungkap keadilan dan kebenaran. Di satu sisi, saya juga ingin berontak, ada cara lain untuk membalas mereka yang melakukan kejahatan."

Uwek. Thea saja mau muntah mendengarnya. Bagaimana dengan tiga senior itu yang jelas sedang memusuhi Wati? Pandu mendelik Wati, Ramos mengepal tangannya, Jehan mengusap-ngusap dadanya.

Fokus, Odithea, waktu dan keadaanmu sangat riskan.

Thea membalikan brosur itu, menampilkan detail harga dan peta, fasilitas-fasilitas pendukung yang disertai berbagai foto. Dalam sekali gerakan ponselnya sudah masuk ke fitur kamera, lalu bergerak cepat memotret semua bagian dari brosur itu. Brosur itu menimbulkan kejanggalan di dada Thea, walaupun belum bisa mengulik keterakaitan brosur itu, sesuatu dalam hatinya menyuruhnya bergerak menganalisis kehadiran brosur itu di meja Kepala Sekolah. Dia urung mengambil saja brosur itu, bila memang itu berkaitan dengan kasus ini maka orang itu akan menyadari ada sesuatu yang hilang di sini. Rencana pun akan mulai terendus.

"Odethea? Mana teh nya?" Kepala Sekolah menolehkan kepala ke belakang, sudah tak sabar meneguk teh manis yang semoga bisa menjernihkan pikirannya. Thea yang baru saja kembali dari meja besar itu langsung berpura-pura sedang mengaduk, lalu mengantarkan lima cangkir di atas nampan, menyimpannya di hadapan mereka yang sedang berperang.

"Oke, silakan minum dulu. Kita rehat dulu, meredakan emosi sejenak."

Semuanya, kecuali Jehan hanya memandangi cangkir air teh manis itu. Dia memilih menelan ludahnya saja daripada minum teh sembarangan dari air yang tak sesuai standarnya. Dia tahu ini adalah ruangan kepala sekolah yang pasti terjamin segala hal di dalamnya, tapi tetap saja dia tak mau ambil risiko. Hanya air dari rumahnya lah yang paling aman.

"Singkat cerita, Odithea yang mencari saya ke kelas, katanya mencari Danish. Danish berteman baik dengan Barry yang sedang dicari Kak Ramos. Lalu saya yang tidak tahan menyembunyikan kegundahan ini, maka saya memutuskan menceritakan itu. Saya meminta saran kepada Odithea, dan menurutnya lebih baik diungkapkan saja. Mungkin saja dengan cara itu lima murid itu bisa kembali. Maka, semuanya terbongkar sampai seperti sekarang." Wati menyesap teh sebentar, tak kalah anggun dengan gaya duduk Jehan. "Saya nggak ada tujuan sama sekali buat memecah belah para murid. Saya hanya menyampaikan yang saya tahu karena muird-murid pada kepo, Pak. Ups maaf maksudnya pada ingin tahu. Jelas, saya harus mengungkap semuanya, saya tidak ingin menutup-nutupi ini." Wati bergaya seolah menyucurkan air mata sederas hujan besar. Dia mengambil tisu dari kotak tisu di atas meja, lalu menyekanya dalam-dalam. "Oleh karena itu saya meminta Odithea datang juga untuk menguatkan ucapan-ucapan saya."

"Tunggu." Pandu menghunuskan pedang tajam melalui tatapannya. "Maksud lo, di antara kita-kita yang populer ini penyebab mereka tiba-tiba nggak masuk sekolah? Gitu?! Lo itu udah menggiring opini, tahu!"

Kepala Sekolah beraksi lebih tegas. Dia berdeham lebih kuat. "Cukup! Kalian ada di ruangan saya, ada saya di sini, jangan terus mendahului saya."

Thea mulai sedikit takjub. Kepala Sekolah membungkam langsung mulut Pandu dan Pandu tampaknya sudah siap melapor ke Ayahnya.

"Bagaimana Odithea tentang cerita Andiniwati? Katanya, kamu juga sedang berusaha mencari mereka dan menemukan kecocokan dengan klub itu." Kepala Sekolah memegang kendali.

"Ya, saya memang sedang mencari mereka. Saya menemukan sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas mereka akhir-akhir ini, yang mengarahkan saya pada suatu kesimpulan bahwa mereka sedang mendirikan klub. Saya belum mengetahui klub apa, tapi mendengar cerita Wati saya yakin itu klub yang dimaksud. Karena saya menemukan bahwa mereka mencoba berhubungan kembali dengan para murid populer yang dikenal banyak murid di sini dua tahun lalu. Katanya ada suatu kejadian waktu itu, dan mereka mencoba mencari tahu. Sesuai dengan cerita Wati." Thea ingin menikmati sebentar wajah Kepala Sekolah yang mendadak menegang. "Intinya, seharusnya murid-murid terkenal di sekolah ini harus memberi contoh yang baik, tidak bertindak sewenang-wenang, menghalalkan segala cara demi kepuasan mereka sendiri." Setiap kata diberi penekanan sembari menatap tiga senior itu satu per satu.

"Pak." Pandu menanggapi, lebih kalem, mencoba tenang. Setelah Kepala Sekolah mengizinkan, dia hendak menggerakan mulut, tapi Ramos dengan santainya menyela.

"Udahlah Pandu. Percuma. Kalau lo minta Kepala Sekolah menyelidiki klub itu dan mengatakan mereka melanggar privasi kita, justru mereka bakal nyerang balik kita." Ramos melipat tangannya di dada. "Kelakuan lo-lo berdua sama bejatnya sama kelakukaan gue. Kita bisa nentang, tapi mereka bakal nyerang dengan rahasia-rahasia itu. Lebih baik kita cari aman aja."

Pandu dan Jehan kompak membelakakan mata. Mereka tak khawatir dengan pemikiran Kepala Sekolah, hanya dengan segepok uang pria tua itu akan menutup mulut dan melupakan perilaku mereka.

"Lo ko aneh, sih?" Jehan mengernyit. Dia ancang-ancang menyiapkan tenggorokannya. "Tadi lo desak kita biar ngomong ke Kepala Sekolah, sampai mancing anak-anak segala."

"Tadi gue emosi berat. Kesal lihat dua cewek ini." Ramos langsung membuang muka, cepat dialihkan pembicaraan ke topik semula. "Jadi bagaimana keputusan Bapak?"

"Saya setuju dengan Ramos. Kita bicarakan baik-baik saja. Kedua belah pihak harus bersikap lebih baik. Saya tidak ingin ada kubu-kubuan di sekolah ini," ucapnya penuh wibawa. "Maka saya akan minta kalian berdamai saja dengan mereka. Saya tidak akan menghukum salah satu dari mereka dan juga kalian. Saya akan mengirim surat peringatan langsung ke orang tua mereka, untuk mendesak anaknya kembali sekolah. Kalau perlu saya yang menjemput mereka agar kalian berdamai dan dapat menghentikan kericuhan di luar."

Thea menyandarkan punggungnya, perasaannya bercampur aduk antara lega dan resah. Sesuatu yang semakin terkuak menimbulkan aroma busuk dari ruangan ini.

Sesuai prediksi, batin Thea.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro