BAGIAN 20
"Seberapa tenar, lo?"
Nyelekit juga didengarnya, tapi Wati masih bertahan menempelkan ponselnya ke telinga. Kalau menilik ketenarannya tentu dia akan merenung sejenak, menelurusi jejak-jejaknya di sekolah, dan itu tidak sebanyak yang selalu dikoarkannya. Wati mengakui infromasi baru yang dibawanya tidak banyak dilirik oleh teman-temannya. Padahal informasinya lebih banyak valid daripada gosip semata. Dia percaya diri oleh sepak terjangnya itu.
"Yaaa...tentu di bawah Kak Ramos," balasnya menyembunyikan nada keraguan. "Tapi gue—"
Ucapannya langsung dipotong Dora, menjabarkan sesuatu yang langsung membungkam mulutnya, lalu tersenyum begitu lebar. Melambung tinggi. Penuh percaya diri. Penantian menjadi orang populer akhirnya berakhir. Di depan mata. Malam itu Wati menutup telepon dari Dora dengan hangat dan lembut. Dia akan membuktikan dan memberi jawaban 'seberapa tenar, lo?' itu.
Langkahnya percaya diri melewati gerbang kaku persegi yang di atasnya tercantum dengan jenis font kaku juga. SMA KENCANA. Dari gerbangnya saja sudah membosankan dengan cat putih bercampur coklat, gerbang karatan yang digerakan menimbulkan suara ngilu di telinga. Gerbang itu menatap para murid penuh intimidasi, tidak menyambut dengan gairah semangat belajar di sekolah. Pantas saja para orang tua baru menyadari keberadaan sekolah itu bila secara sengaja mencarinya di internet setelah anak-anaknya tidak lolos SMA Negeri atau SMA Swasta berbobot.
Murid yang mengendarai motor langsung berbelok ke kiri setelah melewati gerbang, menuju parkiran belakang, sedangkan di sebelah kanan disediakan untuk parkiran depan khusus mobil alias khusus kepala sekolah. Karena hanya kepala sekolah yang mempunyai mobil. Koridor utama yang cukup panjang dan lebar di bagian depan sekolah merupakan jalur pertama untuk masuk lebih dalam menelusuri koridor lantai satu di kanan dan kiri, lalu terus menanjak ke lantai tiga. Mading sekolah yang rajin ditata rapi oleh klub jurnalistik terpampang di sepanjang koridor utama, di balik kaca yang dapat dibuka, digeser hanya oleh klub Jurnalistik. Hanya beberapa yang mematung sejenak di sana, berharap ada informasi menarik. Namun sayangnya, pencapaian ramainya mading terakhir kali terjadi di semester lalu yang memuat Odithea Wastari Si Juara Umum berturut-turut dari kelas X. Banyak yang penasaran, banyak yang kepo terhadap sosok Odithea yang jarang terlihat oleh kebanyakan warga sekolah dan sekalinya menampakan diri di lapangan upacara setiap akhir semester saat Kepala Sekolah mengumumkan juara umum. Dengan senyuman tipis yang bertahan kurang dari sepuluh detik, uluran tangan menyambut ucapan selamat dari Kepala Sekolah lalu bergegas pergi kembali ke barisan.
Kali ini berbeda. Seluruh warga sekolah bisa melihat sisi lain Odithea Wastari lebih lama. Pemandangan mengerikan kemarin terulang. Hanya berbeda latar saja. Odithea Wastari mengambil peran utama sebagai pahlawan perempuan, sedangkan villain-nya diduduki oleh Ramos Hadiksono. Mereka menghambat lalu lintas korido utama, menyedot perhatian para murid yang buru-buru ke kelas untuk mengerjakan PR atau belajar untuk ulangan. Mereka yang mengelilingi Odithea Wastari dan Ramos Hadiksono saling berbisik, melemparkan taruhan memihak Thea, ada juga yang tetap menjunjung Ramos sebagai pemenangnya. Pertandingan kali ini akan dicatat dalam sejarah karir Ramos merisak para murid. Biasanya lawannya menunduk dalam, penuh kepatuhan, pasrah saja, kali ini Odithea Wastari semakin menaikkan dagu.
Thea ngantuk berat. Terpaksa dia minum kopi pagi tadi dengan gaya seolah minum air putih. Diteguk habis setelah dingin. Bisa dihitung jari selama hidupnya menyeruput minuman yang sedang beken di kalangan anak muda itu. Itu pun terpaksa bila memang sedang ingin melek, seperti saat dirinya ketagihan dengan seri Lockwood & Co yang dipinjam dari Kakak Sepupunya. Meskipun ngeri dengan hantu-hantunya, tapi Thea terlalu sayang untuk meletakkan petulangan Lockwood, Lucy dan George. Maka malam minggu itu, dia putuskan menyeduh kopi dan sukses mendistraksi kantuknya.
Thea menahan mulutnya menguap lebar, kalau dia tidak mempermasalahkan wajahnya yang dijamin jelek saat menguap, pasti akan dilakukan dengan sukarela melebarkan mulutnya untuk menyedot muka masam Ramos. Perhatian Thea teralihkan ke rambut seniornya yang masih sama berantakannya seperti siang kemarin. Curiga belum dibersihkan sampai pagi ini. Pasti sudah ditumbuhi ketombe dan diselimuti keringat. Thea bergidik sambil membuang pandangan sesaat ke arah kerumunan yang menontonnya pagi ini.
Anak buah Ramos sudah memagari pangkal koridor utama yang bertujuan mencegah Thea masuk ke kelasnya. Cewek itu harus diberi peringatan, sentuhan kejutan hingga dia memucat, maka citra Ramos tidak akan rusak, aman terkendali. Kemarin telinganya gatal saat murid kelas XII terutama teman-teman sekelasnya mencibirnya karena berhasil takluk oleh juniornya. Adegan yang mereka harapkan yaitu Odithea menangis tersedu-sedu, memandangi Ramos penuh ketakutan lalu berujung tidak masuk sekolah. Namun, kemarin justru Odithea Wastari keluar dengan gaya cool-nya. Sial!
Kali ini Ramos akan menuntut munculnya Barry, membuktikan dirinya masih pantas melawan junior sombong itu. Emosinya semakin menggelegak direspon begitu santainya dengan wajah setengah kantuk, tapi masih dengan tatapan yang sama. Penuh keberanian. Juniornya mendongakkan kepala, menunggu kalimat yang keluar dari mulutnya dan mulai tampak bosan hanya mendapat tatapan mematikan.
"Informasi dari gue kemarin harusnya ada hasil. Sekarang, mana?" tagihnya dengan penekanan yang menurutnya ampuh menyiksa wajah kantuk itu seharian ini. Namun, lagi-lagi Ramos dihadiahkan respon yang sama. Dia memendekkan jaraknya yang menimbulkan pekikan kaget dari para murid perempuan.
"Belum ada. Nggak ngebantu malah," balas Thea sambil mati-matian menahan agar tidak menguap.
"Oh, jadi kemarin lo cuman bergaya jadi pahlawan teman-teman kelas, lo?!"
Thea menghembuskan napas kencang mengandung hasrat ingin menampar makhluk yang paling ditakuti para junior SMA Kencana. Para penonton terutama perempuan lagi-lagi memekik ngeri.
"Lo.." Pekikan semakin kencang membuat telinga Thea gatal dan nyeri. Dia memberi delikan ke gerobolan murid perempuan di salah satu sudut. Lebay. "Kalau gitu, kamu tunggu hari ini aja. Sekarang—"
"Berarti sekarang, istirahat nanti, pas pulang nanti. Lo bakal dapat treatment kayak gini dulu."
Thea ikut memendekan jarak, tak gentar untuk balik menantang. "Kalau aku ganti dengan informasi lain gimana? Kemarin, aku dapat berita yang bakal mengancam karir Kakak di sekolah, dan itu berhubungan dengan Barry. Aku rasa Kakak bisa nemuin Barry dengan cara Kakak sendiri kalau udah denger informasi ini."
"Sekarang lo balik ngancem gue? Nyuruh-nyuruh gue?!"
"Kakak yang kemarin nyuruh teman-temanku, terutama aku dan sekarang aku dapat informasi di mana Barry. Justru aku beri jalan ke Kakak karena informasi ini berhubngan dengan ketenaran Kakak di sekolah ini. Aku ini..." Thea menghela napas, sungguh jijik dia mengatakan ini, tapi hanya ini yang bisa dilakukannya bila Ramos mendesaknya hari ini. Tidak. Dia tidak takut akan ancaman Ramos. Dia hanya malas dan agak jijik bertemu rambut sarang burung itu. Apalagi energinya sekarang ini terkuras habis gara-gara lima cowok itu. Bahkan, otaknya yang nyaris konslet membuatnya turun dari angkot di radius dua ratus meter dari sekolah. "Aku nggak berdaya, Kak. Kalau Kakak yang bertindak pasti lebih cepat."
"Barry punya klub rahasia bareng teman barunya." Thea melayangkan tangannya, menghentikan mulut tebal Ramos untuk menyelanya. "Diketuai sama anak IPS kelas XI, tapi aku juga nggak bisa ngehubungin dia. Ada satu orang yang tahu sesuatu, rencananya pagi ini aku bakal ketemu dia kalau Kakak nggak ngalangin kayak gini."
"Jadi lo nyuruh gue seenaknya nyari informasi itu? Terus nyalahin gue yan ngehambat lo. Gitu?!" Disertai gertakan dan nada mendesis, rasa kantuk yang menyerang Thea tetap menguasainya. Dia satu-satunya makhluk di koridor itu yang bersikap bodoh amat.
Thea menggaruk rambutnya, kesal, gemas. "Ya terus sekarang keliatannya gimana?!" Thea mengacungkan jemarinya, menunjuk-nunjuk pangkal koridor yang dibentengi dengan tubuh besar anak buah Ramos.
"Buktikan sekarang kalau lo punya informasi itu? Jangan jadikan itu alasan lo untuk keluar dari sini!"
Thea melemparkan pandangan. Tadi dia melihat sumber informasinya yang tersenyum sumringah dan melangkah lebar masuk ke sekolah. Tepat di balik salah satu kerumunan murid di ambang koridor utama, murid berponi terlihat setengah wajahnya. Thea mengacungkan tangannya, yang direspon dengan pekikan menyebalkan itu. Ish! Rasanya ingin menyumpal mulut para cewek itu.
Arah telunjuk Thea melewati kerumunan itu. Mereka pun bergerak ke samping pelan-pelan dan memunculkan murid berponi itu.
"Sini lo!" seru Ramos melihat Wati yang berdiri dengan kaki bergetar.
Kembali diserukan perintah itu saat Wati masih terbenam di tempat. Matanya semakin membelalak, kelimpungan sendiri karena posisinya dia seorang diri di sana. Para murid otomatis membuat jarak sejauh mungkin, tidak ingin kecipratan sial di pagi hari harus kena semprot Ramos. Ini pertama kali dalam hidupnya melangkah girang semangat ke sekolah, dan dalam sekejap dilindas oleh kenyataan pahit pagi ini. Bersinggungan hidup dengan Ramos.
Odithea Wastari memandanginya tak minat, tapi setelah ditilik mata itu kelelahan karena kantuk. Odithea Wastari menggerakan dagunya, memintanya untuk mendekat, lalu tak ingin Ramos menyerunya ketiga kalinya dengan nada yang dijamin menggetarkan jantung, dia berani masuk ke medan perang.
"Lo punya info apa soal Barry?" tanya Ramos langsung ke inti permasalahan. Dia tak minat sebenarnya bermain dengan murid berponi itu. Hasratnya sudah tertuju ke Odithea Wastari.
Wati mengernyit. Barry? Dia pernah dengar nama itu, kalau tak salah murid kelas XI yang sering buat onar. Dia tak berani menggeleng atau pun mengangguk. Keduanya sama saja cari mati. Tapi kalau berdiam diri tetap saja mengantarkan pada kehancuran masa remaja di sekolah ini. Mulutnya bergetar, tampak akan menceritakan sesuatu, membuat Ramos sudah siap terutama bersiap menyemprotnya bila cewek berponi ini hanya mempunyai omong kosong. Ramos langsung melayangkan tuntutan ke Thea.
"Danish," ucap Thea sambil melirik Wati. Beberapa menit kemudian, Wati mengangga lebar, kali ini mulut bergetarnya benar-benar akan menceritakan sesuatu yang ditahan selama ini.
"Oh ya, Danish. Dia temannya Barry. Dia bikin klub rahasia," jelas Wati gelagapan. Dia mengusap peluh keringat di dahinya. Masih pagi. Jam menyegarkan, tapi Ramos sukses menaikkan tensi suhu.
"Klub rahasia apaan tuh?"
"Semacam klub buat membongkar rahasia orang-orang populer. Itu yang aku dengar saat itu. Dia pengen ngebongkar rahasia orang-orang yang berkuasa di sini."
Hanya dengan melihat tampang Ramos yang memerah, rahang menguat, mata melotot sempurna, tanpa dibumbui kalimat kasar dan deretan sumpah serapah yang mengiringinya, para penonton tahu Ramos sedang naik pitam di level tertinggi sepanjang hidupnya.
"Lo yakin? Dengar dari mana?"
Sebelum Ramos menunggu jawabannya, dia kembali berhadapan dengan muka kantuk Thea.
"Heh! Lo yakin dia nggak asal ngomong?"
"Aku sangat berhati-hati, Kak. Ini sumber informasiku. Dapat dipercaya. Kalau ragu mana mungkin aku ngasih tahu Kakak. Itu kan sesuai dengan klub yang kemarin Kakak kasih tahu ke aku."
Ramos menggerakan dagunya, meminta Wati meneruskan. "Aku waktu itu nggak sengaja denger pas Danish lagi berantem seseorang. Dia bilang tentang klub rahasia itu."
"Jadi, siapa Danish itu? Sekarang dia di mana?" serobot Ramos cepat, dia hanya ingin cepat ke intinya.
"Danish juga nggak masuk sekolah, Kak. Kayaknya mereka ngerencanain sesuatu tentang ngebongkar rahasia itu."
"Siapa orang itu?"
"Hah?
"Siapa orang yang berantem sama si Danish itu?"
"Dia...." Wati melirik-lirik, mencari seseorang yang ingin ditunjuknya juga. Seperti Odithea Wastari menunjuknya tadi. Tadi dia melihat orang itu belok menuju parkiran belakang. Mulutnya baru setengah terbuka saat orang yang dimaksud memasuki medan perang.
"Ada apa ini? Ko malah kumpul di sini?" Kak Naya melenggang cepat, tas jinjingnya terayun-ayun, rambut ekor kudanya melayang-layang di udara, terlalu heboh gerakannya hinggga tas jinjing dan rambutnya terlihat akan terlempar.
"Cepat masuk kelas. Bubar! Bubar!" Kak Naya mengayunkan tangannya, mengusir para murid melalui tas jinijing besarnya.
"Kak Naya...Kak Naya pasti tahu sesuatu tentang Danish. Mereka berantem hari itu," serobot Wati cepat, mengurungkan niat para murid untuk berbalik. Telinga mereka sudah siap mendegar, tak dipedulikan lagi oleh beberapa murid yang mengenal Wati sebagai tukang gosip karena faktanya Odithea Wastari mempercayainya. Tentu, orang sepintar Odithea Wastari tidak akan sembarangan menelan informasi.
"Dia..." Ramos meminta kepastian dan Thea memberikannya dengan anggukan kepala yakin. Bila bertingkah di depan guru saja nilainya nol besar, maka di hadapan Kak Naya yang dianggapnya hanyalah staf biasa tingkahnya lebih seenaknya, memasuki nilai minus.
"Kenal Danish?" tanya Ramos sambil mengangkat dagunya dan menggerakannya.
Kak Naya menatap balik Ramos tak kalah berani. Meskipun dia cuman bagian kecil dari sekolah ini, tapi para murid tetap harus menghargainya sebagai orang lebih tua. "Saya akan menjawab pertanyaan kamu kalau sikap kamu lebih baik."
Kak Naya membuang pandangan, kembali sibuk membubarkan para penonton. Ramos yang masih diam di belakangnya menatap punggung kecil itu yang sedang heboh menyuruh para murid mengosongkan koridor. Anak buah Ramos yang masih bersiaga di pangkal koridor tidak ampuh diusir, mereka akan bergerak bila bos-nya pun bertindak. Thea dan Wati sudah berlalu mengikuti kerumunan para murid.
Membutuhkan energi besar menangani Ramos, maka Kak Naya memilih menjauhkan diri saja. Dia baru selangkah saat Ramos tiba-tiba sudah menyamai langkahnya sambil mengejutkan Kak Naya. Ramos dan antek-anteknya tertawa mendapat respon berupa wajah pucat pasi dan mulut menganga kaget. Sunggingan senyuman dihadiahkan sebagai ucapan selamat tinggal dan sampai jumpa bertemu lagi di lain waktu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro