Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAGIAN 18

Keringat dan gatal sudah tak diacuhkan lagi. Tatapan dua cowok itu tak dihiraukan lagi. Mereka terutama Thea melangkah lebar-lebar, menggebu seperti akan mendapatkan hadiah. Dora cepat menyamai langkah Thea, hanya memamerkan gigi gingsulnya kepada Tiar yang memandangi mereka takjub. Masih berbalut seragam demi mencari lima murid itu. Hal itu sukses menyubit hati Tiar. Tiba-tiba tekadnya semakin tumbuh untuk membantu mereka. Bang Rengga tak jauh berbeda, sempat merasa bersalah karena Sabtu lalu itu ogah-ogahan membeberkan The Bookish Club, hingga dia lupa sesuatu. Sesuatu yang membawanya pada sesuatu yang lain, yang tak terduga.

Thea mengerem langkah sejenak di hadapan dua cowok itu, lalu langsung masuk ke halaman rumah Dora. Tiar tersenyum tipis saat Thea melewatinya dengan pandangan datar. Dia mendadak teringat aksi heroik Thea melawan Ramos. Membebaskan teman-teman kelasnya dalam masalah. Dan lihat kini, cewek itu bahkan bertingkah seperti yang punya rumah, sedangkan empunya rumah ngos-ngosan melewati mereka lalu langsung membukakan pintu. Lagi-lagi, Tiar melebarkan bibir. Tersenyum lebih lebar.

Dora mempersilakan mereka masuk. Dia melirik jam bulat di dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan. Sebentar lagi Mama pulang dan Papa akhir-akhir ini lembur karena proyek barunya. Untunglah. Papa tak suka bila ada tamu malam-malam, apalagi ini hanya teman sekolah Dora yang pasti menurutnya tak pantas bermain di malam hari. Berbanding terbalik dengan Mama, yang pasti akan langsung menyuguhi makanan. Sempat Dora akan mengajukan rumah Thea, tapi dia sudah tak enak hati duluan. Dia yang membawa kasus ini, dan Thea sudah banyak direpotkan. Terbukti, wajah cewek itu sudah sangat lelah, tapi saat mengetahui tujuan Tiar, justru Thea yang menggebu untuk cepat sampai.

Dora meneguk orang juice dari kotak kemasannya langsung, memberi kesegaran luar biasa bagi tubuhnya. Tubuhnya sejenak mematung di depan kulkas yang masih terbuka, tangannya belum enggan menutup pintunya. Dia menarik napas, menghembuskan perlahan. Petunjuk baru muncul, dia perlu tubuh yang rileks. Diambilnya kotak orange juice yang belum terbuka lalu dituangkan ke empat gelas tinggi. Kemudian, dibawanya ke meja ruang depan, ke hadapan Tiar dan Bang Rengga yang duduk bersebrangan dengan Thea, dan menyusul Dora yang duduk di samping tetangganya. Waist bag-nya sudah dilepas, kini tangannya sudah menggenggam notes dan pulpen.

"Jadi ada apa?" Thea yang membuka pertanyaan. Namun, Tiar dan Bang Rengga memilih membasahi dulu kerongkongan mereka, tergiur melihat segarnya cairan oranye itu. Kekompakan mereka membuat Dora tanpa sadar menyunggingkan senyum. Tiar kentara sekali menghapus raut tegang di wajahnya. Sedangkang Bang Rengga masih dengan gaya nyantainya, tidak terbebani oleh hubungan buruk mereka.

"Sorry, gue baru ngehubungi kalian. Bang Rengga tadi lagi UTS, baru kelar sore tadi." Tiar melirik sedikit Kakaknya dibumbui percikan delikan. "Orang di foto itu, yang mukanya dirusak memang Panji. Dan saat gue nanyain itu, Bang Rengga udah nyari tahu sesuatu, yang juga berhubungan dengan Panji."

"Panji anggota The Bookish Club, yang juga ketua klub jurnalistik." Bang Rengga langsung melayangkan tangan, meminta Dora untuk tidak mendemonya dulu. "Oke, sorry. Sumpah, aku baru ingat. Maksudnya baru ingat hal ini juga harus disampaikan. Awalnya pikirku nggak ada hubungannya, nggak perlu aku ceritakan juga, lagian aku memang nggak cerita ke Bian. Dia cuman nanya nama-nama anggota dan aku memberitahu dia. Dia nggak nanya soal Panji, atau detail lain tentang anggota lain. Jadi ya, aku menceritakan ke kalian inti masalah The Bookish Club aja. Setelah kita ketemu, hari itu juga aku langsung kontak anggota The Bookish Club. Satu-satunya cara cuman lewat Instagram, itu juga cuman beberapa orang yang bisa aku temukan akunnya. Mereka jelas nggak mau bicara, message-ku di Instagram nggak dibalas sama sekali, beberapa ngebalas dengan penolakan, nggak mau lagi bahas masa lalu. Mereka kompak mengisolasi diri dari anak-anak Kencana. Nggak ada yang tahu alamat mereka atau tempat kuliah mereka." Bang Rengga meneguk lagi gelasnya dan menyisakan kurang dari seperempat. Dalam waktu kurang dari sepuluh detik, Dora sudah kembali membawa kotak kemasan dari minuman itu. Jelas, peran Bang Rengga memang banyak ngomong di sini.

"Beruntung kemarin temanku di OSIS ngabarin. Katanya dia pernah lihat Panji di kampusnya. Dibantu teman-temannya, dia dapat info kalau Panji anak dari fakultas Bahasa. Kita coba telusuri, dan akhirnya tadi pagi aku sama temenku ketemu sama salah satu mahasiswa yang seangkatan dan sekelas sama Panji." Langsung terdiamnya Bang Rengga meningkatkan atmosfer ketegangan di ruangan itu. Thea meremas pinggiran sofa dan kertas di tangan Dora sudah kusut. Tiar menjulurkan tangannya, mengambil lagi gelasnya lalu meneguk hingga tandas. Gemas dengan Kakaknya pakai menjeda segala.

"Panji koma lima hari ini," cetus Tiar yang langsung mendapat delikan dari Bang Rengga.

Kembali, Bang Rengga membuka mulut. "Dia ditemukan babak belur di pinggir jalan. Kata beberapa warga yang lihat, katanya dia jatuh dari mobil yang lagi ngebut. Kasusnya sekarang dalam penyelidikan polisi, masih belum terpecahkan karena daerah itu minim CCTV, dan warga juga nggak lihat jelas plat mobilnya."

Notes itu terlepas, melayang, lalu terbuka di lantai menampilkan tulisan tangan berantakan yang hanya dapat dimengerti Dora. Tubuhnya tenggelam, kepalanya semakin menunduk, derasnya air mata menerjang kelompak matanya, membasahi kertas itu hingga mengaburkan tintanya. Dora terisak penuh ketakutan. Terisak kencang dalam tubuh yang bergemetar. Tak bisa dibendung lagi ketakutannya, mengoyak tubuhnya, menerjang jantungnya. Sakit. Perih. Beriringan dengan datangnya imajinasi liar menyeramkan tentang Abiannya. Terus dicetuskan caci maki terhadap dirinya sendiri. Seharusnya dia mendatangi dan membeberkannya ke polisi. Seharusnya...Dora semakin kencang saat mengingat tak ada yang bisa dilakukannya saat itu. Hanya satu-satunya, hanya Thea seorang yang terlintas. Yang membuatnya terus yakin bahwa dirinya bisa menemukan Abian. Bodoh. Dia memang bodoh. Thea benar.

Sudah ada dua orang yang terluka karena klub itu. Dora menggeleng pelan. Tidak. Ini hanya imajinasi saja yang pasti jauh dari kenyataan. Imajinasi liarnya hanyalah respon dari ketakutannya.

"Ra..." Tiar memanggilnya lirih. Tak sanggup berdiri untuk menghentikan getaran tubuh temannya itu.

Thea masih dalam posisinya dengan jemarinya saling meremas. Menahan tangis dan ketakutan agar tidak terlihat terlalu kentara. Bila mereka berdua menangis, hanya akan saling melemahkan. Salah satunya harus kuat. Salah satunya harus tetap berpikiran jernih. Isakan Dora mendorong gemetar tubuhnya, isakan Dora juga mendorong air mata semakin kuat menerjang pinggir matanya. Itu tidak boleh terjadi. Tidak boleh. Thea selalu menekankan, air mata hanya memperburuk keadaan. Thea sudah terlanjur basah. Rasanya sudah lama menempeli Dora, hingga pernah suatu waktu dia menganggap Dora dalam rantai kehidupannya. Dan kali ini, saat bagian rantai itu rapuh, Thea harus menguatkannya, harus memperbaikinya. Tangannya sudah merengkuh erat Dora, membawa tangisan Dora dalam dadanya, membasahi seragam baunya. Tepukan lembutnya di pundak Dora adalah salah satu cara memperbaiki bagian rantai rusak itu. Ikatannya di tubuh Dora erat, sangat erat hingga bisa memendam suara tangis Dora.

Sial! Matanya mengarah ke halaman itu. Dia tepat berhadapan dengan jendela yang gordennya terbuka, yang dibantu cahaya lampu memperjelas halaman rumah Dora. Sesi tangisan Dora dengan pemandangan halaman berumput itu kombinasi cocok untuk membawanya ke masa lalu, membawanya ke alasan dia begitu membenci Dora. Selalu kaku, seperti ada yang mengekang bola matanya bila halaman itu berserobok dengan tatapannya. Thea kembali disihir oleh halaman itu, gerak matanya membeku, telinganya berfungsi dengan sangat baik sampai tangisan kencangnya dua tahun lalu tepat di halaman itu mengalir dengan jelas, kencang, menyakiti telinganya. Di halaman itu dia menangis lebih kencang, lebih kencang dari pada saat menangisi kematian kedua orang tuanya. Di halaman itu, dia harus lagi-lagi kehilangan salah satu orang yang menopang kekuatannya setelah Papa-Mama pergi duluan.

"Thea..." lirihan Tiar dan sentuhan di lengannya menyairkan kebekuan dan kekakuan itu. Cowok itu berjongkok di depannya, menutupi jendela, menutupi halaman. Mulut Thea terbuka setengahnya, mengeluarkan helaan napas lega luar biasa. Isakan Dora juga mulai terhenti, tapi tidak dengan tubuhnya.

Beberapa saat sampai jarum jam menunjukkan pukul sembilan, diskusi kembali dibuka. Dora begitu juga Thea mulai tenang. Bisa menguasai diri. Bang Rengga yang dalam diamnya dari tadi mulai kuat lagi membuka mulutnya dan mengatakan, "Ayo kita pecahkan ini."

"Bondi gimana?" Dora membuka suara.

Rasa syukur tiba-tiba terucap dalam batin Thea mendengar Dora sudah kuat bersuara.

"Tadi sebelum ke sini, kita ke rumah sakit dan ketemu Bondi di sana. Kita coba tanya kronologisnya, tapi dia nggak tahu apapun. Dia cuman dapat kabar Kakaknya di rumah sakit dan langsung ke sana," jawab Tiar.

"The Bookish Club? Kalian coba nyinggung hal itu?"

Bang Rengga mengangkat tangannya, telunjuknya bergerak-gerak ke hadapan Thea. "Itu dia. Dia jelas menghindar pas kita ngomongin klub itu, malah secara halus ngusir kita.

"Dia tahu sesuatu?" Dora bertanya setelah meletakan gelasnya.

"Bisa jadi. Wajahnya tegang banget waktu itu. Aku yakin dia nyembunyiin sesuatu soal kecelakaan Kakaknya," jawab Bang Rengga.

"Apa kita perlu lapor polisi aja soal mereka yang hilang?" Pertanyaan yang dicetuskan Tiar sedikit menyentak Dora, tapi ada yang berontak dalam hatinya, berlawanan dengan penyesalannya tadi.

"Kalau kita lapor, polisi akan mendatangi sekolah, tentu menceritakan soal kita, kita akan terhambat, dan orang yang terlibat malah akan menghilangkan bukti." Thea mendapat respon tercengang dari tiga orang di depannya. "Kita sendiri yang harus mengungkapnya, menangkapnya, mengamankan bukti lalu melaporkan ke polisi."

"Lo tahu pelakunya, The?" tanya Dora terkesiap. Dia memajukan tubuhnya, mendesak Thea tidak lagi menggunakan teka-teki seperti di markas baca tadi.

"Seseorang di Kencana?" Bang Rengga mencodongkan tubuh.

Thea mengangguk. Kejanggalannya setelah pulang dari rumah Citra mulai mendapat jawaban. Informasi dari Kakak-Adik itu membantu menguatkan pemikirannya. Dia menjelaskan dugaan-dugaannya. Memaparkan analisisnya. Tiga orang yang mendengarnya tidak berkedip, tekun mengolah setiap kata yang dilontarkan Thea. Dora bahkan tidak ingat untuk notesnya. Dugaan Thea masuk akal, tapi Dora tetap melayangkan pertanyaan yang bisa menjadi plot hole dalam dugaan Thea. Thea menegaskan, memperjelas analisisnya sehingga baik Tiar dan Bang Rengga yang juga sempat menyanggah, untuk sementara menerima penjelasan Thea.

"Kita butuh bukti," ujar Bang Rengga yang jelas sekali tidak sepihak dengan Thea.

"Kita pancing dia," timpal Thea cepat. Dia menoleh ke Dora. "Pake si Wati itu."

"Wati anak IPS itu?" Tiar bertanya ragu, berharap tebakannya salah. Malas sekali berurusan lagi dengan si tukang gosip itu.

"Lo kenal?" Dora bertanya meremehkan seakan mengenal Wati adalah hal paling tidak berguna.

"Gara-gara dia, gue ribut sama si Cakra!"

Dora ingin sekali terkikik geli, tapi Abiannya mendistraksi semuanya. Tak bisa lagi menyembunyikan kesedihan.

"Dan pake Kak Ramos juga," cetus Thea.

Ide itu sukses menarik mulut kedua temannya menganga begitu lebar.

***

Kehadiran Mama Asri mengenyangkan perut mereka. Dia gatal menanyakan wajah sembab Dora, tapi coba ditahannya kuat-kuat saat melihat tiga teman anaknya makan begitu lahap. Mengerti dengan ruangan pribadi yang diinginkan Mama Asri, maka Bang Rengga langsung izin pulang setelah lima menit menunggu jeda selesai makan malam. Tetap tak sopan bila setelah makan, tepat di detik setelahnya langsung pulang. Mama Asri mengantar mereka ke depan, membekali juga kue-kue kering sebagai cemilan.

Thea menghembuskan napas cukup kencang saat berhasil melewati halaman itu dan kini sudah berdiri di luar pagar. Dia akan menyebrang bertepatan dengan cekalan Tiar di lengannya memaksanya tetap di tempat.

"Kita anter lo pulang. Udah malam, bahaya."

Kilasan kejadian di kelas itu, yang membuat Citra masih salah paham sampai sekarang memberinya energi untuk lepas dari cengkraman Tiar. "Nggak usah. Gue bisa sendiri."

Tiar menutup jalan yang akan dilalui Thea, meregangkan rendah kedua tangannya. "Please, kali ini terima bantuan dari teman sekelas lo. Setelah ini selesai gue nggak akan ganggu lo lagi."

"Gue nggak bisa pegang omongan lo karena sampe sekarang Citra masih salah paham."

"Ya ampun, masalah itu." Tiar memijit keningnya, memberi kesempatan bagi Thea menerobosnya. Namun, gerakan Tiar lebih luwes dan cepat kembali menghalangi jalan Thea. "Oke..oke..besok juga. Setelah rencana kita selesai. Gue bakal ngomong ke dia."

"Minggir!" gertak Thea. Kali ini dikerahkan seluruh tenaganya untuk mengenyahkan Tiar dari pandangannya. Tiar nyaris terjatuh, beruntung dia bisa menyeimbangkan diri.

"Thea! Kalau orang itu nyelakai lo gimana? Lo..." Tiar menganga. Perkataannya menguap. Udara malam masuk ke mulutnya yang kian melebar karena tertawa terbahak-bahak. Menertawakan dirinya sendiri. Cewek itu masuk ke dalam halaman sebuah rumah yang berdiri tepat di hadapannya.

"Lo benar-benar teman sekelasnya?" Bang Rengga yang dari tadi masih berdiri dengan menyandar ke badan mobil ikut tertawa, mengejek betapa konyolnya Tiar.

Tiar masih gemar mendeliknya. Tawanya langsung lenyap, digantikan dengan dengusan kesal. Kesal karena Bang Rengga mulai sok akrab dengannya. "Cepet woy!" teriaknya saat sudah masuk ke dalam mobil, sedangkan Kakaknya masih betah terkikik menahan perut.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro