BAGIAN 14
"Kuncinya aman, kan?"
Dora menepuk waist bag dengan bangga menunjukkan keuntungannya memakai tas itu. Kunci markas baca lima cowok itu diberikan Cecil pada hari mereka bertemu. Mengingat SMS Ervin maka tempat itu pasti ada hubungannya. Hubungan yang mulai terkuak melalui SMS yang dikirim Barry.
"Kira-kira apa yang bakal kita temukan di sana?" Dora bertanya di tengah bisingnya jalanan dan embusan angin cukup kencang dari ambang pintu angkot. Mereka berada di dalam angkot cukup penuh yang hanya menyisakan area di belakang supir.
"Novel The Houses?" lanjut Dora bertanya-tanya karena Thea masih merenung menatap berbagai bangunan yang bergerak cepat, berganti dalam sepersekian detik, hilang muncul dalam sekejap. Hingga akhirnya angkot berdecit kencang, memaksa para penumpang keluar dari posisi nyamannya, terdorong ke depan, terutama Dora yang lengan atasnya menubruk kencang belakang jok supir. Dia mengadu nyeri. Para penumpang yang didominasi ibu-ibu ikut membantu sopir angkot mengomeli pengendara motor yang tiba-tiba muncul dari gang.
Tangan Thea spontan mengikat kuat-kuat lengan kiri Dora. Napasnya menderu begitu cepat sampai Dora bisa mendengar sangat jelas. Thea masih dalam posisinya meskipun kejadian itu telah berlalu lima menit lalu. Memasuki menit keenam, dia meniup napas kencang, melepas pegangannya saat melihat perempatan lampu merah yang menandakan perumahan yang mereka tuju tidak jauh lagi.
"Lo nggak kenapa-kenapa, The?"
Thea mengangguk lemas. Dia mengeluarkan botol minumnya, mengalirkan air mineral ke kerongkongannya hingga habis. Merenung lagi beberapa saat, kesepuluh jarinya mencekik badan botol. Kuat dan lama. Lalu dia menghela lagi, melemaskan tubuhnya saat angkot berhenti dan menurunkan mereka.
"Thea, lo pucat banget," ucap Dora lirih bercampur resah. Botol minum masih dalam genggaman Thea, masih sama eratnya. Dora mencoba menyentuhnya yang pelan-pelan ampuh mengendurkan ikatan itu. "Kita pulang aja yuk," ajaknya hati-hati.
"Udah terlanjur ke sini dan ada sesuatu yang harus dipastikan." Thea mulanya akan menutup rapat-rapat penyebab dia begitu terguncang, tapi Dora masih memandanginya dan itu mulai mengetuk dirinya untuk lebih terbuka. "Gue cuman trauma karena kecelakaan waktu itu. Nggak perlu kayak gitu mandangin gue. Gue baik-baik aja—"
"'Cuman' lo bilang? Trauma itu—"
"Gue mampu. Gue bisa ngatasinya. Ada masalah lain yang bisa ngalihin pikiran gue, dan itu cara gue." Thea segera beranjak sebelum Dora memaksakan kehendak, menyetop angkot lagi lalu menariknya pergi.
Dora menyusul, menyamai langkahnya lalu menjulurkan sebotol air mineral yang masih disegel. "Belum sempat gue minum tadi pas istirahat. Buat lo."
Thea hanya melirik sekilas, kemudian kembali fokus pada langkahnya. Tak menyerah, Dora memaksa memasukkan botol ke saku samping tas Thea. "Gue nggak mau ya lo tiba-tiba pingsan. Muka lo—"
"Siapa yang bakal pingsan—" selorohannya balik dipotong Thea.
"Pucat, keringetan, tinggal tunggu waktunya aja!" Dora mengangkat tangannya, tegas, melarang Thea menyemprotkan balasan. "Biarkan gue peduli, oke? Terserah lo minum atau nggak."
Mereka berjalan dalam diam. Tidak diselimuti atmosfer menegangkan karena keduanya seakan sudah mengerti sifat masing-masing. Mereka hanya sedang menghemat energi, terutama Thea yang pikirannya sudah beralih ke koridor seharusnya. "Mereka nggak mungkin nyembunyiin novel itu di sini," ujarnya saat Dora berusaha membuka gembok lalu menarik rantai. Dua daun pintu itu terayun ke belakang, menimbulkan suara berderit yang menyambut mereka. Cahaya dari luar cukup membantu Dora menemukan saklar.
"Kenapa?" tanya Dora setelah berhasil menyalakan lampu lalu duduk di sofa.
"Mobil butut." Thea ikut menuju sofa, tapi hanya untuk menyimpan ranselnya. Selebihnya dia mulai berkeliling, berusaha menahan diri agar tidak menarik salah satu novel teenlit favoritnya sepanjang masa. Jingga dan Senja-nya Esti Kinasih. Apalagi saat menemukan All Creatures Geat and Small karya James Herriot, yang dituntaskannya dalam tiga hari. Petualangan dokter hewan yang membuat Thea terkagum-kagum, yang membantunya menambah pengetahuan dalam bidang biologi. Deretan buku-buku di ruangan ini berhasl memecah konsentrasinya!
Dora memandangi Thea sebagai tanda tak mengerti. Sempat mengajukan protes karena otaknya tak secanggih Thea.
"Coba cek cerita Cecil waktu itu," titah Thea masih berusaha mengalihkan matanya dari deretan judul, berfokus pada sesuatu lain yang bisa mendukung penyelidikan mereka.
Dora terkesiap, matanya nyaris menempel ke kertas notesnya. "Mobil butut. Asap mobil butut yang bikin mata Danish sakit." Sedetik kemudian, Dora sungguh masih tak mengerti. "Terus maksudnya apa mobil butut?"
Thea sudah duduk di bangku komputer, tangannya meraih-raih tombol di CPU lalu cahaya dari komputer agak menyentaknya ke belakang, cukup menyilaukan karena lampu bagian depan tidak sepenuhnya menerangi bagian belakang. Thea berhasil menemukan saklar lagi untuk menghidupkan lampu bulat yang menggantung di area komputer. Mulai sibuk menggerakan tetikus mencari apapaun yang dikerjakan lima cowok itu.
"Barry kebangun gara-gara suara tetangga marah-marah. Mobil butut yang bikin mata Danish perih. Lalu SMS Barry isinya sesuai dengan cerita Cecil. Lo mulai ngerti?" Walaupun Thea tahu tetangganya itu tak akan mudah menangkap maksudnya, tapi dia tetap melayangkan tanya kembali selagi dia fokus pada sebuah folder.
Terdengar langkah Dora mendekat, dijamin akan protes dan memaksa Thea langsung saja ke intinya. "Ada mobil butut yang ngawasin mereka berlima di sini."
Dora mendekat disusul suara gedebuk buru-buru dari kursi yang diseret Dora lalu ditempatkannya di samping Thea dan didudukinya. Ditatapnya intens Thea dari samping, menandakan tak ada lagi waktu untuk teka-teki.
"Mereka diawasi, nggak tahu oleh siapa. Yang pasti oleh orang yang terlihat dalam skandal The Bookish Club," Thea menolehkan kepala. "Lo tanya ke tetangga samping rumah ini tentang mobil butut itu. Dia waktu itu marah-marah, pasti ingat sesuatu."
Tanpa kalimat apapun apalagi bantahan, Dora mendorong kursinya ke belakang lagi-lagi menimbulkan suara gedebuk yang tak enak di telinga, lalu melenggang pergi keluar dengan tangan yang memegang notes. Fokus Thea kembali ke file-file yang berceceran di folder bernama TBC. Singkatan The Bookish Club, pikir Thea saat memilih folder itu.
Nama setiap file di sana membulatkan matanya. Kepalanya terdorong berjarak kurang dari sepuluh senti meter dengan layar komputer. Segera tetikus menuju file yang menjadi prioritas.
Anggota.docx
***
"Oh..mobil butut itu? Duh ibu nggak kuat sama asapnya. Si bapak sampe batuk-batuk," seloroh si Ibu tetangga yang dengan tangan lebar mempersilahkan masuk Dora. Dengan alasan mencari mobil temannya yang dicuri, si ibu tetangga begitu bersemangat dan sukarela menyisihkan waktunya. Jelas sekali, radarnya sebagai penggosip komplek sangat kuat. Tak lama akan disiarkan bahwa rumahnya pernah ditempel mobil butut curian.
"Nggak nyangka lho itu rupanya mobil curian. Tapi ko malah nyuri mobil butut gitu," sungutnya meremehkan, yang mempermudah Dora untuk mengulik lebih lanjut.
"Buat mastiin nih bu, ingat warna nggak jenis mobilnya dan warnanya?"
Si Ibu tetangga menempelkan jari telunjuknya di hidung, tak lama dia menjentikkan jari semangat. "Ingat banget, semacam kayak mobil sedan jadul gitu. Warnanya biru kolot. Benar kan? Benar? Itu mobil temannya, Neng?"
"Betul banget, Bu!" Balas Dora puas, melambungkan kesenangan di dada si Ibu tetangga. "Nah, sekarang, yang paling penting. Kalau ibu berhasil ingat, ibu sangat membantu saya dan teman saya karena polisi nggak ada yang bisa nangkep tuh pencuri sampe sekarang."
Si Ibu tetangga memajukan tubuhnya hingga lututnya beradu dengan lutut Dora.
"Kapan tepatnya atau sesering apa mobil itu di sini? dan ciri-ciri orang yang ngedarainnya."
Sepertinya menjadi kebiasaan si Ibu yang menempatkan telunjuknya di hidung saat sedang berpikir, kembali dia melakukan itu, memproses ingatan. "Sekitar sebulan lalu, dalam seminggu itu hampir setiap hari sih. Hmm...ibu emang pernah marahin tuh yang punya mobil—eh maksudnya si pencuri itu—tapi dia di dalam mobil cuman manggut-manggut aja, terus langsung ngacir pergi."
"Jadi ibu nggak hafal mukanya kayak gimana? Perempuan atau laki-laki?"
"Kayaknya sih laki-laki dari perawakannya. Dia pake topi sampe nutupin muka, jadi nggak bisa dilihat jelas."
"Ada ciri-ciri khas, Bu?"
Kembali si Ibu dengan gaya berpikirnya. Dia menggeleng lesuh. Kecewa kepada dirinya yang tidak bisa tampil optimal demi mendapatkan perhatian sebagai penemu pencuri mobil butut. Dia tak menyerah, butuh energi untuk menyegarkan pikirannya. Sekaligus malu karena tamunya tidak disuguhi. Setelah mengaliri kerongkongannya dengan es teh manis, si tuan rumah mulai memperlihatkan raut teringat sesuatu. Dora langsung menyimpan gelas dingin itu lalu bersiap dengan penanya.
"Ada sesuatu, Bu?" tanya Dora akhirnya karena si Ibu tetangga yang rupanya sampai sekarang belum Dora ketahui namanya—termenung dengan kening berlipat-lipat.
"Dia pake jam tangan. Jam tangannya juga butut," ucapnya ragu lalu dia mengangguk yakin setelah kembali dalam mode berpikir. "Iya itu betul. Dia pake jam tangan butut."
"Jenis jam tangannya, bentuknya kayak gimana, ibu tahu?"
Si Ibu kembali mengambil gelasnya menyedotnya sambil menggelengkan kepala. Tak ada lagi yang diingat meskipun sudah menandaskan es teh manisnya.
"Maaf ya, Neng. Ibu cuman ingat segitu aja," sesalnya saat Dora berpamitan di ambang pintu. Dora membalas dengan ramah, tak masalah, justru informasi si Ibu tetangga banyak membantunya. Hendak dia menghilang ke balik pagar rumah itu, si Ibu memanggilnya lagi sambil lari terburu-buru ke arahnya.
"Ibu, ingat sesuatu, Neng. Waktu itu bocah yang sering nongkrong di rumah sebelah pernah masuk ke mobilnya." Si Ibu melanjutkan dengan berbisik. "Jangan-jangan dia komplotannya ya, Neng?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro