BAGIAN 12
Kehadiran Citra ada untungnya. Otot-otot mereka saling bekerjasama menarik rak besar berisi puluhan buku non fiksi yang release bertahun-tahun silam. Buku-buku itu berasal dari sumbangan para alumni ataupun yang dibeli di pasar buku murah. Itu pun dengan memilih buku termurah tanpa tahu isinya sukses menarik minat para murid atau tidak. Rak itu sama berdebunya dengan rak-rak ramping itu, mereka berkali-kali bersin dan sesekali menutup mata. Terlalu banyak malah, seperti sengaja ditaburkan.
Saat rak itu berhasil membentuk sudut enam puluh derajat dengan dinding, terlihat semacam papan atau triplek persegi menempel di dinding. Paku di ujung papan itu tampak dipaksa dipasang kembali, tapi tak terlalu berhasil. Thea menarik rak lebih lebar, memberi luas agar tubuhnya bisa mencapai papan yang terletak dua meter di atasnya.
"Apa itu?" tanya Citra ikut masuk ke celah itu. Melihat Thea yang berusaha menggapai papan itu, dia langsung menuju ke bagian depan perpustakaan, mengambil sapu yang sempat dilihatnya tadi saat masuk.
"Pake ini," ujar Citra.
Thea menerima bantuan itu lalu membuka celah lebih lebar di antara papan dan dinding. Papan itu sudah cukup lapuk sehingga dalam lima kali hentakan menggunakan gagang sapu, berhasil terbuka walaupun ujung paku yang lain masih merekat kuat.
"Jendela," ucap Thea. Dia keluar mengamati rak buku mata pelajaran. Rak buku non fiksi terletak di belokan dinding, dan rak buku mata pelajaran berada di samping kiri dari hadapannya. Thea melihat sesuatu di sana, di celah rak buku mata pelajaran dengan dinding. Bersama dengan Citra kembali, ditariknya rak buku itu dan lagi-lagi menampilkan papan tinggi besar. Beruntung papan itu mudah dilepas yang menampilkan sebuah pintu.
Thea bergegas berbalik, akan memanfaatkan Citra sebaik-baiknya dan tentu akan membalas sesuai permintaan Citra.
"Gue nggak bisa jelasin sekarang. Tapi sekarang gue pengen minta tolong, jaga pintu depan perpustakaan, jangan sampai ada yang masuk. Bikin alasan apapun itu. Termasuk kalau ada Kak Naya."
Citra manggut-manggut, melongo, masih kebingungan dengan pintu rahasia yang langsung diketahui Thea hanya dari SMS Kakaknya.
"Kak Naya?"
Thea berusaha sabar. "Kak Naya itu koordinator perpustakaan. Pokoknya yang tampilannya formal dan rambutnya diikat. Ulur waktu, cegah dia masuk sampai bel istirahat bunyi."
Citra langsung mematuhi saja karena Thea tampak terburu-buru dan menekannya. Citra menjauh, menghilang, tertutup rak-rak. Kemudian Thea bersiap memasuki ruangan rahasia yang pernah dianggap mustahil kehadirannya.
***
Meja dan kursi yang ditumpuk tak beraturan memadati ruangan dengan lebar 3 x 3 meter itu. Hanya bagian atas tumpukan saja yang berantakan, tapi rupanya setelah ditilik bagian bawahnya, masih tertata rapi. Kecuali tumpukan di salah satu pojok yang tampak sudah dibongkar lalu dipasang di tengah-tengah ruangan yang cukup apek ini. Satu meja cukup panjang dan lima kursi mengelilingi meja itu. Di depannya berdiri papan tulis putih yang penuh dengan bekas hapusan spidol.
Waktu Thea tak banyak untuk mengenali ruangan ini dengan detail. Satu hal yang membuatnya cepat bergerak yatiu SMS Cakra, yang mengarah ke ruangan ini, yang pasti menyimpan petunjuk.
Duh! Thea masih sempat mendumel. Mengapa mereka harus mengirimkan SMS segala yang cukup sulit dimengerti? Mengapa tidak katakan saja langsung? Thea langsung mengangguk paham dengan malas saat teringat SMS itu dikirim senin sore, sehari sebelum mereka hilang. Artinya mereka hanya berjaga-jaga karena tahu dalam bahaya.
Dia bergerak cepat mengamati kolong tumpukan meja dan kursi, bahkan menatap lekat papan tulis putih berharap ada celah yang dapat menyembunyikan petunjuk. Namun, sejauh ini, usahanya tak ada yang berhasil. Satu-satunya harapan adalah laci itu, tidak berharap banyak karena menyembunyikan petunjuk di laci adalah hal paling riskan. Mudah ditebak.
Menempel ke dinding, berdiri laci besi tingkat lima. Setelah dibuka satu per satu tidak ada petunjuk atau novel yang diharapkan kehadirannya di sini. Ya, betul sesuai dugaanya. Tiba-tiba Thea mengerjap, beringsut bergerak lagi mengingat lima murid itu menyukai teka-teki. Diraba-rabanya bagian atas setiap laci, sisi kanan dan kirinya hingga di laci keempat terasa sesuatu yang menggumpal dan berkerak. Telapak tangannya semakin heboh meraba area itu, tapi tidak ada benda yang diharapkan. Namun, itu apa? Gumpalan lem tidak mengarah ke The Bookish Club.
Thea jongkok, menatap laci itu lekat-lekat, seakan sedang menggeledahnya melalui indera keenam. Otaknya berpacu dengan waktu, bersaing dengan detik dan menit. Senyuman kecil mulai terbentuk, anggukan kepalanya menandakan mulai mengerti sesuatu. "Di sini mereka menemukan novel itu," lirihnya. Waktu terus mendesaknya, dia mendorong laci keempat terlalu kuat hingga dirasakannya sesuatu di belakangnya. Thea mengulangi, membuka lalu menutupnya. Nah itu! Dia merasakan sesuatu yang berat.
Sambil terus melirik ke jam tangan bulatnya yang menunjukan tiga menit lagi bel istirahat menghamburkan pada murid dari kelas, Thea berusaha mendorong laci besi berat itu. Kalau saja, setiap laci bisa dibongkar seperti laci plastik di rumahnya, maka pekerjaannya akan lebih mudah. Dengan kekuatan yang dipaksakan, beruntung dia berhasil membalikkan sedikit laci. Agak tertolong karena isi laci yang kosong.
Sesuatu menempel di belakang laci keempat. Terpasang oleh lem juga tapi tampak baru karena tidak tertempel benar seperti keadaan papan yang menempel pada jendela dan pintu. Thea mencopot benda itu—yang rupanya adalah pigura kecil yang memasangkan foto sekumpulan orang.
Thea bergidik. Bola matanya bergerak menelusuri setiap wajah di foto itu. Ada sebelas orang bergaya, menyandar ke setiap rak di perpustakaan. Mereka tersenyum lebar yang berhasil meyakinkan Thea bahwa mereka sangat berbahagia saat itu. Brama berdiri paling tengah, menyandar ke rak paling tengah di perpustakaan. Thea langsung mengenalinya karena dari rautnya saja dengan mata serius dan senyuman bijak sudah cukup menunjukkan jiwa kepemimpinannya. Di rak samping kanannya, Thea langsung mengenali walaupun wajahnya sedikit berbeda dari foto yang didapatnya dari goodreads. Lan Cester alias Alan. Namun, hanya ada sepuluh wajah yang bisa dilihatnya. Satu orang, yang berdiri di rak paling ujung kanan, tidak menampakkan wajahnya. Bagian wajahnya dirusak, membentuk lubang di sana.
Bel tanda bahaya itu alias bel istirahat berdering nyaring menjauhkan pandangan Thea dari tubuh tak berwajah itu. Dia hendak mengembalikan posisi laci saat menyadari ada sesuatu yang ditangkap matanya tadi. Kembali, dengan jantung berdegup kencang, dia mengarahkan matanya ke bagian kanan bawah foto. Sebuah lambang tercetak di sana. Lambang bentuk kamera dengan sepasang jari yang tampak akan memotret.
"Jurnalistik?" gumamnya, berhasil mengingat lambang yang juga pernah tertera di fotonya dalam majalah sekolah.
***
Dora tak mengindahkan peringatan dari lambungnya. Dia mendengarnya, tapi tertutupi oleh tekadnya mendatangi kelas Danish Norman. Beruntung, dia tepat waktu. Gerombolan murid baru saja keluar dari ambang pintu, memberinya jalan untuk mencegah beberapa murid yang semoga mau mengeyampingkan masalah perut mereka. Walaupun Dora agak ragu.
Bibirnya mendadak melengkung lebar, semakin bersemangat dan yakin aksi mencegatnya tidak akan sia-sia saat melihat seseorang yang dikenalnya. Sebenarnya, tidak terlalu dikenal. Orang itu pacar temannya di klub renang.
"Robi!" Panggil Dora sambil berusaha keluar dari kerumunan murid yang datang dari arah berlawanan.
Cowok jangkung sawo matang itu mengernyit heran, memastikan orang yang memanggilnya adalah teman pacarnya.
"Dora, kan?" tanyanya memastikan.
Seorang cowok berkulit sama dengan Robi, tapi lebih pendek berdiri di samping Robi ikut memandangi Dora heran, apalagi saat melihat waist bag yang terpasang. Martin—cowok di samping Robi—memandanginya dengsn selidik. Kedua alis hitamnya menyatu, begitu tekun mengamati sosok di depannya. Dora baru ingat, cowok itu yang ditemuinya saat mencari Danish minggu lalu.
"Gue mau nanya sesuatu." Dora agak merapatkan diri ke dinding kelas agar tidak menghalangi jalan, lalu dua orang itu mengikuti.
"Lo yang waktu itu nanyain Danish ya?" serobot Martin yang ingatannya mulai muncul.
"Danish?" tanya Robi memastikan telinganya tidak salah dengar.
"Iya betul, dan sekarang gue mau nanya lagi tentang Danish."
Robi tampak akan membuka mulut, tapi lagi-lagi Martin menyerobot. "Percuma. Lo mau nanya ke setiap anak di kelas ini juga percuma. Nggak ada yang tahu tentang dia, apalagi peduli padahal dari minggu kemarin bolos. Lo juga tahu kan dia nggak masuk akhir-akhir ini?"
Dora berusaha menahan emosinya untuk tidak menyemprot Martin yang main menyerobot saja sebelum mendengar maksudnya. Dia menatap Robi, memberi sinyal bahwa Dora hanya ingin melayangkan tanya ke Robi saja. "Meskipun nggak sepeduli itu, tapi lo sampai nyadar kan dia nggak masuk sekolah." Pernyataan itu membuat Robi nyengir dan Martin menganggukan kepala malas.
"Gue nggak tahu ketidakpedulian lo sampe mana, tapi lo tahu nggak, atau pernah lihat sekilas dia dekat sama siapa?"
Martin bergeming. Sedang berpikir. Syukurlah. Namun, Robi juga mengalami hal yang sama.
Setengah menit berlalu, Robi mulai berbicara. "Hmmm...nggak ada satu pun teman kelas yang dekat sama dia. Dia penyendiri. Tapi, akhir-akhir ini emang dia dekat dengan itu lho..." Dia menoleh ke Martin, "Anak IPS yang waktu itu pernah ribut di kantin."
"Cakra?" Kali ini Dora menyerobot, sukses melukiskan kekesalah di wajah Martin.
"Lo bisa tanya dia aja kalau gitu," timpal Martin.
"Tunggu.." Robi teringat sesuatu, mencegah Martin yang hendak menariknya untuk segera mengisi perut mereka. Lagi-lagi dia menatap Martin, meminta bantuan mengingat sesuatu. "Lo ingat nggak Tin, si Wati pernah ngomelin Danish? Tapi tuh anak malah diam aja, nyelonong pergi."
"Jadi maksud lo Wati dekat sama Danish?" tanya Martin gemas. Menurutnya itu jelas mustahil.
"Dia bilang bakal ngebongkar rahasia apa gitu. Katanya Danish bakal nyesel."
"Ah lo, kemakan aja sama omongan si Wati. Yang keluar dari mulut tukang gosip macam dia itu nggak ada yang bener. Dia selalu nganggep dirinya paling up to date," cerocos Martin bagai kereta api yang meluncur cepat sampai tujuan dalam waktu kurang dari lima detik.
Robi tidak sepenuhnya setuju dan Martin terus meyakinkannya. Dua cowok itu seakan lupa ada Dora di depannya yang sudah tekun menulis segala hal yang keluar dari dua mulut itu. Dora tidak menginterupsi. Biarlah mereka terus berkoar.
"Buktinya sekarang si Wati diam-diam aja. Dia nggak nyebarin berita tentang Danish, berarti dia nggak tahu apa-apa. Ya, lebih tepatnya nggak ada yang mau dengerin omongan dia," imbuh Martin.
Robi mengigit bibir bawahnya. Membenarkan omongan Martin dengan cengiran yang dilayangkan ke Dora, dan bermaksud minta maaf karena tak bisa membantu.
"Nggak masalah." Dora membalas cengiran Robi dengan raut mengerti. "Nanti gue tanya sendiri aja ke Wati."
Martin melipat kedua tangannya, geleng-geleng kepala tak percaya. Dia berdecak. "Lo cuman buang-buang waktu ngomong sama dia. Percaya sama gue!"
"Tadi pas upacara gue lihat dia kebagian tugas jaga di belakang, jadi mungkin aja dia masih piket di UKS." Tidak sepaham dengan Martin, Robi cepat memberitahu Dora sebelum sobatnya itu bercerocos lagi dan membuat Dora meledak marah.
***
Tidak tercantum nama Wati di daftar piket yang terpasang di dinding UKS dekat ambang pintu. Kedatangan Dora tidak membangunkan seorang murid perempuan yang tidur dengan memanfaatkan kedua tangannya sebagai bantal di atas meja. Dora masuk lebih dalam, sedikit menyibak tirai yang langsung mengarah ke empat ranjang, tapi tak ada orang di sana. Satu-satunya yang dapat dimintai bantuan adalah cewek tidur itu.
Dora cepat mendekat saat cewek itu bergerak-gerak. Cewek itu mengangkat kepalanya masih dengan kedua mata terpejam. Kelopak matanya membentuk sedikit celah, yang makin lama membesar saat menyadari ada orang lain di depannya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, acak-acakan, beberapa mengacung. Poninya sudah berpindah posisi, menampilkan kening lebarnya. Menyadari bagian yang harus ditutupinya malah terbuka, cewek itu buru-buru merapihkan poni yang bagai tirai itu.
"Sakit? Langsung masuk aja. Kalau lagi mens, ambil aja pembalut di kotak obat, oke? Jangan dibikin dramatis karena lo sakit. Capek gue ngurus cewek-cewek sini yang lebay amat kalau lagi sakit, kayak si Tania itu yang minggu lalu cuman caper aja sama pacarnya biar ditungguin di sini. Padahal itu tak tik biar nggak jadi diputusin." Cerocosannya panjang, tanpa rem, terdengar begitu jelas dengan nada penuh cemooh dan dalam posisi setengah terpejam. Mendengar itu, melihat raut penuh kekesalan itu, Dora langsung menangkap sesuatu. Sebelum melihat badge name yang menyetak nama Andiniwati—rupanya nama Andin lah yang ditulis di daftar piket—Dora langsung menarik kursi, duduk di seberang cewek yang menurutnya bernama Wati itu. Si tukang gosip.
"Gue mau nyari Wati—gue mau nyari lo," koreksi Dora cepat.
Wati berdecak kesal sambil mengucek matanya. "Andin. Panggil gue Andin!" tegasnya, jelas tidak menyukai nama yang sembarangan disematkan teman-temannya. "Lagian dari mana lo tahu nama itu?—" Wati langsung mengerjap, menghilangkan raut kantuk berat itu. "Ya ampun, apa lo penikmat gosip juga? Sampe nyari tahu tentang gue? Apa-apa? Apa yang mau lo tahu? Atau lo mau ngasih tahu sesuatu? Tenang, gue bisa bikin berita itu heboh." Dia berseri-seri seakan mendapat pekerjaan dengan gaji selangit.
Dora tak berkedip. Menganga. Bergidik. Dia sering melihat orang macam ini, tapi sosok di depannya ini kelewat percaya diri. Lihat, dia bahkan menegakkan punggungnya, sempat menawari Dora minum yang ditolaknya dengan gelengan kepala dan hingga sekarang, Wati tidak memberinya celah untuk berbicara, dia masih asyik bercerocos ini itu, mengenai pengetahuannya yang luar biasa tentang murid-murid SMA Kencana. Betapa bangganya saat anak-anak jurnalistik sempat menanyainya untuk mengungkap skandal apa saja yang mungkin terjadi di sekolah. Katanya seperti itu. Entah, sekali penggosip tetap penggosip, sulit mempercayainya.
Wati beruntung. Beruntung tidak bertemu Thea yang pasti sekarang sudah memotong omongan panjangnya dengan kalimat sadis dan tatapan mengerikan. Bersyukurlah kau, Wati!
"Jadi ada info apa?" tanyanya di akhir kehebohan popularitasnya di sekolah. Itu katanya. Faktanya Dora baru tahu sosok Wati si tukang gosip beberapa menit lalu.
"Gue mau minta info ke lo."
Wajah Wati lebih sumringah, "Yang mana? Tentang—"
"Danish," cegah Dora cepat sebelum kemballi mengisi ruangan ini dengan kebanggaan si Wati menjadi tukang gosip.
"Ahh...nggak seru!" dumelnya. Dia menyandar ke punggung kursi, mulai tak tertarik.
"Karena ada sesuatu yang pasti bisa bikin heboh." Mudah sekali memancing orang macam Wati. Dora tersenyum miring.
"Apa emang?" tagihnya
"Gue pengen minta dulu infonya."
"Tapi nanti lo wajib ngasih tahu gue ya!"
Sesungguhnya Dora hanya asal ngomong. Gaya Wati yang sok penting, yang ujungnya malah berkepala besar harus dibalas dengan sikap yang sama. Dan kali ini Dora terpaksa mengatakan, "Oke. Tapi info yang gue minta jangan dikurangi, ditambahin."
Wati menjetikkan jarinya. "Gue nggak pernah ngarang apapun—"
"Ya, tapi tukang gosip biasanya suka nambah-nambahin."
"Itu pemanis. Biar lebih nikmat."
Dora mengibaskan tangannya, menyingkirkan jari Wati yang memenuhi pandangannya. "Pokoknya gue pengen dengar cerita asli tanpa lo tambahin. Gue nggak butuh sesuatu yang nikmat dari cerita lo."
Wati membenarkan posisi duduknya, agak maju. Tanpa tanggapan lagi, dia akan mematuhi itu. "Dari mana ya gue ceritanya," ucapnya bingung sendiri.
"Maksudnya?"
"Oke gue mulai dari Minggu sore itu." Kedua tangan Wati bergerak-gerak saat dia bercerita. "Minggu sore itu gue habis pelatihan PMR di sekolah. Gue pulang paling terakhir karena harus nyari kunci motor gue yang sempat hilang dan untungnya ditemuin di sini. Oke, itu nggak penting. Terus, saat gue mau ngambil motor di parkiran belakang, gue dengar suara orang berantem. Mereka kayak lagi debat gitu. Gue nggak nyangka sih lihat pemandangan itu. Itu Danish sama Kak Naya."
Bola mata Dora nyaris melompat keluar. Membulat begitu pula dengan bibirnya, "Kak Naya yang koordinator perpustakaan?"
"Yap!" balasnya bangga karena hanya dirinya seorang yang memergoki mereka. "Gue nggak ngerti mereka ngomongin apa karena pas gue datang, mereka cuman saling melotot. Muka Danish ya ampun serem banget. Terus Kak Naya cabut deh."
"Pasti lo dengar sesuatu kan? Apapun itu meskipun bukan kalimat jelas."
"Hmmm...gue dengar...Bookish...Bookish ya Bookish Club. Terus kalimat terakhir Kak Naya yang gue dengar samar-samar, 'Kamu nggak ngerti'."
The Bookish Club. Ya itu dia. Dora lupa tidak mengeluarkan notesnya lalu mencatatnya. Biarlah. Semoga dia bisa mengingatnya karena ini informasi penting.
"Terus waktu itu Danish gimana? Lo lihat sesuatu yang aneh dari dia?"
"Dia cuman diam aja, cukup lama. Gue harap ada adegan kejar-kejaran karena pasti mereka punya hubungan."
Dora mendegus. Cerita basi. Tak selalu kisah di dunia ini tentang hubungan cinta.
"Gue keluar dari tempat persembunyian, ngambil motor gue, terus pulang."
"Jadi Danish lihat lo?"
Wati mengangguk sambil menunjukkan senyuman penuh ancaman. "Gue ngasih kode harus hari-hati kali ini karena gue tahu sesuatu tentang dia. Makanya gue sengaja langsung nunjukin diri." Jemarinya masuk ke sela-sela rambut, menghapus ketidakaturan di kepalanya, kemudian dia kembali berkata dibumbui pandangan misterius. "Seperti biasa dia cuman diam aja. Besoknya gue coba mancing dia, biasalah gue ngasih kode ke kelas kalau ada seseorang yang baru berantem dengan pacarnya—"
"Tapi nggak ada yang nanggepin," serobot Dora sambil menahan tawa, yang kemudian langsung mengubah rautnya melihat Wati yang sedang melayangkan ancaman tentang kesepakatan ini.
"Yaa...karena itu tentang Danish. Nggak ada yang tertarik kalau tentang orang nggak populer." Wati beralasan berusaha meyakinkan Dora. "Kalau soal orang-orang populer, kayak Kak Jehan, Kak Pandu, Kak Ramos atau termasuk Si juara Umum itu, namanya Odet..Odetia? Ahh itu pokoknya, orang-orang pasti langsung tertarik ngedengerin gue."
Dora gatal meluruskan nama Thea yang memang sulit diucapkan. Namun, ini bukan tajuk utamanya. Dia harus kembali membawa obrolan ini ke dalam koridor yang sesuai harapannya. "Terus tanggapan Danish waktu itu gimana? Ada hal aneh nggak?"
Wati menepuk keningnya sambil mendengus kesal. "Oke, gue maklumi lo nggak sekelas sama Danish. Dalam kondisi gimana pun dia cuman diam diam diam. Ada hal aneh? Ya ampun itu pertanyaan paling susah. Mendingan gue ngerjain soal ekonomi akuntasi karena ada jawabannya. Soal dia, gue nggak bisa dapat jawaban apa pun kecuali dia ngomong ke gue. Ya, dia emang aneh sepanjang hidupnya di sekolah ini. Tapi senin sore itu, gue dapat sesuatu yang aneh, hmm...gimana ya bilangnya, sesuatu yang beda."
Dora memajukan kursinya. Senin sore. Hari itu mengantarkannya pada sesuatu.
"Hari Senin sore itu gue dapat SMS dari nomor yang nggak gue kenal. Ya ampun zaman sekarang masih pake SMS."
"Itu dari Danish?"
"Betul. Di akhir SMS-nya dia nyantumin namanya. Isi SMS-nya aneh banget, dan besoknya gue coba nanya-nanya ke dia maksudnya apa. Ya, seperti biasa dia cuman diam nyelonong pergi."
Dora menggebu semangat. Petunjuk yang dia cari akhirnya tersedia di depan. "Isi SMS itu apa?"
Wati memutar bola matanya, ke kiri, kanan, atas. Bibirnya ditekan ke dalam, lalu menyeringai. "Gue mau tahu dulu ini tentang apa? Lo punya hubungan gelap sama si Danish itu? Lo orang ketiga di antar Danish sama Kak Naya? Atau jangan-jangan Kak Naya orang ketiga itu?"
Dora menggaruk-garuk kepalanya, kesal. Dia menarik napas, lalu menghembuskannya kencang hingga menimbulkan suara mengeluh. "Gue nggak mau ngomong, karena tahu mulut lo kayak ember bocor."
Wati terenyak. "Oke, gue akan tutup mulut."
"Gue nggak yakin." Dora melawan lebih kuat lagi. Jangan sampai si Wati ini memanfaatkannya dan menganggapnya remeh.
"Sumpah. Gue akan tutup mulut."
"Kalau lo mampu nyumpel mulut lo selama yang gue tentukan. Lo adalah orang pertama yang akan gue kasih tahu. Tapi kalau besok gue dengar sesuatu aneh, gue nggak akan ingat sama lo, dan lo nggak bisa dapat info yang lebih penting dari ini." Setiap kata, kalimat itu penuh penekanan yang mampu menggertak Wati sehingga dia hanya menganggukan kepala dengan takut.
"Danish hilang. Dan gue lagi nyari tahu penyebab dia hilang. Cuman sampe situ yang bisa gue kasih tahu. Sisanya, masih gue selidiki."
Hanya dengan raut mengerjap kaget Wati merespon informasi itu. Dia rela menunggu. Tahan menunggu. Dapat mengunci mulut gatalnya demi menjadi orang pertama yang mendapat informasi penting itu. Dia langsung mengeluarkan ponselnya, menuju fitur SMS lalu menunjukkan layar lebar sentuh itu ke hadapan Dora.
Yang terdekat, Yang menyakiti, Yang berbahaya.
Di bawah kalimat itu lagi-lagi tersedia link goodreads.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro