BAGIAN 11
Thea tidak bisa berkutik. Sepanjang hari ini sampai bel istirahat akan berbunyi setengah jam lagi, Kak Naya masih tertanam di kursinya. Karena biasanya akhir-akhir ini Kak Naya disibukkan di kurikulum, bolak-balik ke perpustakaan bahkan pernah stay di ruang kurikulum hingga menjelang pulang dan mempercayakan perpustakaan ke petugas. Dia sedang sibuk dengan ketikannya yang tidak berhubungan dengan perpustakaan. Thea bisa menangkap itu semacam data kurikulum. Selanjutnya dia tidak tertarik, karena disibukkan memikirkan cara menemukan ruangan itu.
Padahal, perpustakaan sepi hari ini, hanya beberapa siswa yang datang untuk meminjam dan mengembalikan buku. Ya, itu hanya bisa dihitung jari. Justru situasi seperti ini sangat mendukung aksinya. Sayangnya, terhambat oleh Kak Naya yang masih betah di perpustakaan. Thea sempat berkeliling, pura-pura mengecek buku, menata buku yang belum sempat dibereskan, tapi gerakannya tentu tak leluasa. Apalagi Kak Naya sempat bertanya-tanya saat Thea mencoba menggeser salah satu rak yang mengakibatkan beberapa buku jatuh.
Dia tidak pernah merasa sebodoh ini. Seharusnya jangan nekat. Thea menutup matanya, menenangkan sel-sel otaknya yang telah dibebani memikirkan kasus ini. Kemudian, sesuatu hinggap di benakanya.
"Kak, kenal namanya Danish nggak?"
Gerakan jari Kak Naya terhenti, berganti menggerakan tetikus lalu menyalakan printer.
"Danish anak IPS itu, kan?" tanya Kak Naya memastikan. Dirinya masih disibukkan dengan printer yang lagi-lagi macet.
Pikiran Thea teralih sejenak melihat printer tua yang selalu dipaksakan nyala oleh tukang servis elektronik langganan, sampai tukang servis itu mengeluh dan kesal printer ini terus dipertahankan. Ya, memang dia dapat untung, tapi masih punya hati nurani melihat anak SMA lusuh sepulang sekolah mengangkut printer ke tempatnya belasan kali.
"Iya, Kak," jawab Thea mengingat pagi tadi Dora akan ke kelas IPS untuk mencari tahu tentang Danish.
"Dia sering ke sini. Masa kamu nggak tahu." Kak Naya melirik Thea lalu tersenyum tipis, "Tuh, makanya sesekali perhatiin sekeliling. Danish itu hampir tiap hari ke sini, nggak tahu tuh berapa buku yang dia baca dalam sehari."
Thea tersenyum dengan menahan bibir ke dalam. Baginya tugasnya hanya melayani pengunjung perpustakaan, tak minat mengamati mereka.
"Kenapa emang, The? Pasti ntar istirahat dia ke sini."
Thea berharap seperti itu. Lima murid itu tiba-tiba nongol di ambang pintu, dan Thea tidak perlu lagi memeras otaknya.
"Oh ya, semoga...," jawabnya rendah, berdoa semoga itu tercapai, walaupun sangat kecil kemungkinannya, malah nol besar.
"Kenapa, The? Jangan...jangan kamu.." Kak Naya menyelidik dengan senyuman menggoda yang langsung dimengerti Thea.
"Nggak ko, Kak...aku cuman mau nanya soal buku yang belum dia balikin. Aku juga pengen baca."
Kak Naya menaikkan kedua alisnya, kaget dan heran, "Oh ya? Danish belum balikin buku? Nggak biasanya."
Sangat disesali, hingga Thea menyumpahi dirinya sendiri. Alasannya itu malah memancing Kak Naya memeriksa file peminjaman buku. Bagaimana kalau alasan itu malah menyerangnya? Duh...
"Ah buku ini...The Woman In The Window. Iya betul, harusnya Jumat kemarin dia balikin." Kak Naya kembali beralih menatap Thea. "Bukannya kamu udah baca novel ini?"
Thea masih ancang-ancang menghela napas lega saat tahu alasannya tepat, tapi ingatan Kak Naya bahwa dirinya pernah bercerita betapa kerennya novel itu menjadi masalah baru. Sambil mencoba membuka mulut, dia bersikeras memaksa sel otaknya mengeluarkan alasan masuk akal. Dengan gaya santai tanpa ada kecurigaan, Thea mulai mengumbar alasan, "Kan dibikin jadi film, Kak, jadi aku mau re-read lagi, agak-agak lupa ceritanya."
Kak Naya menutup folder file itu. Dia hanya mengangguk paham lalu lanjut menekuni dokumen yang sedang dicetaknya.
Thea mencoba lebih rileks, mengolah, merangkai percakapan agar tidak terjebak seperti tadi. "Kakak dekat sama Danish ya? Sampai tahu segala dia nggak pernah telat ngembaliin buku."
Kak Naya membungkukan badan, mengambil satu rim kertas yang belum dibuka dari bawah meja. "Hmmm gimana ya, pokoknya dia sering nyapa dan sekalinya ngobrol tentang buku nggak pernah berhenti. Otaknya tuh kayak perpustakaan, tahu aja judul-judul buku. Pas banget nih, kamu bisa minta rekomendasi novel-novel detektif gitu dari dia."
Ingatan Thea mulai bermunculan. Danish yang berkacamata tebal itu pernah berdiri lama di depan meja registrasi demi mengobrol dengan Kak Naya. Awalnya Thea pikir cowok itu cuman ingin mendekati Kak Naya dan pamer pengetahuannya tentang berbagai judul buku, tapi rupanya dia benar-benar menyukai perpustakaan, rajin meminjam buku, dan sesekali memberi rekomendasi buku yang harus ada di perpustakaan-meskipun tak ada Kak Naya di perpustakaan.
"Karena sering ke sini kayaknya dia tahu betul tentang perpustakaan dibandingkan aku, bisa jadi sampai hafal letak setiap bukunya di mana."
Kak Naya yang tadi heboh dengan printer mendadak mematung. Tak lama, dia langsung mengeluarkan keluhannya sambil mengetuk-ngetuk printer beharap cara itu ampuh.
Masih dengan tatapan menyelidik karena mendapatkan sinyal aneh dari raut Kak Naya, Thea tak gentar mengeluarkan serangan lagi. "Dari awal kelas sepuluh jadi pertugas perpustakaan sampai sekarang, aku belum hafal ada berapa jumlah rak di sini dan pembagian raknya."
Kak Naya memaksakan membentuk lengkungan tipis tertahan di bibirnya, yang berhasil ditafsirkan Thea sebagai upaya menutupi sesuatu yang tidak ingin dibaginya. Bukan tipikal seorang Odithea Wastari bila dia langsung diam saat tidak mendapat kejelasan.
Perpustakaan ini tidak terlalu besar, tapi tidak bisa disebut sempit. Hanya saja bagi ukuran perpustakaan sekolah harusnya lebih lebar agar tidak tampak sesak demi memberi kenyamanan bagi para murid. Perpustakaan SMA Kencana memang sesak. Itu yang pertama kali muncul di benak Thea saat pertama kali menginjakkan kaki di perpustakaan. Bila ada rumah produksi yang mau membuat film tentang hantu perpustakaan maka tempat ini sangat cocok, dengan pencahayaan minim, empat jendela yang masing-masing terpasang dua di sisi kanan dan kiri. Oh, ya tambahan satu jendela dekat pintu yang sering dijadikan tempat mengintip para murid.
Ada dua lampu entah berapa watt terpasang di langit-langit. Itu pun terakhir kali, satu lampu tidak berfungsi. Perpustakaan dipaksa menampung rak-rak besar, menempel di sepanjang dinding, yang mempersempit area baca. Hanya ada tiga area baca yang disekat oleh rak-rak dengan masing-masing area terdiri dari dua meja cukup lebar dan enam kursi. Dengan keadaan seperti itu tak jarang mengundang suasana horor yang menjadi obrolan heboh di kantin.
Terdapat area menjorok di sebelah kanan yang didominasi oleh rak-rak tinggi ramping berisi cerita-cerita rakyat dan buku-buku non fiksi yang kebanyakan adalah buku biografi, yang hanya tersentuh bila ada tugas Bahasa Indonesa. Deretan rak yang menempel di dinding lah yang dicurigai Thea, terutama area menjorok itu.
"Aku ada tugas analisis cerita rakyat, Kak. Danish tahu nggak ya judul apa yang menarik, yang nggak terlalu susah dianalisis. Pasti dia juga pernah dong ngunjungin rak di daerah sana."
Kak Naya mengambil kertas yang telah berisi ketikannya, menyusunnya lalu memasukkan ke dalam map. Gerakan kaku yang terlalu terburu-buru, dipaksa dibuat natural, pikir Thea.
"Sayang banget di area sana jarang dikunjungi murid, paling-paling rak fiksi yang bikin betah karena novel-novelnya. Padahal di area sana banyak buku biografi tokoh-tokoh sukses. Abian pernah minta ke aku buat menghidupkan lagi area sana, Kak, karena buku-bukunya bisa memotivasi para murid."
"Yaa..Ya... itu benar. Kita harus menghidupkan area sana karena sering dianggap horor sama anak-anak. Tapi memang sih biasanya tempat sepi dan mojok kayak gitu lebih disukai sama....kamu pasti tahulah," Kak Naya bergidik ngeri sambil memasang tampang seakan lupa sesuatu. "Oh ya, kamu kebal terhadap cerita begituan."
"Selama nggak ganggu, kita bakal aman-aman aja ko, Kak."
"Memang sih, tapi dulu area itu...." Kak Naya mengibaskan tangannya. "Ah, percuma cerita ke kamu. Jangan deh, Kakak jadi parno sendiri."
"Apa Kak?" Berharap yang didengarnya adalah kisah bunuh diri Brama.
"Dulu ada yang pernah kesurupan di sana, " bisik Kak Naya.
Gotcha! Itu dia! Thea berbangga diri, mengeluarkan ponselnya, menyampaikan pesan ke Dora. Chat pertama dengan Dora, yang diberi nama kontak "Dora Si Tetangga"
Masalah ruangan beres. Tinggal geledah.
***
Kesempatan emas ini hanya tersedia dua puluh lima menit. Kesempatan emas? Ko lebay banget, ya? Ya, memang begitu. Ini adalah kesempatan berharga sebelum bel berbunyi mendorong gerombolan murid keluar dari kelas, memenuhi setiap sudut sekolah, terutama kantin. Perpustakaan termasuk? Ya, bisa jadi walaupun kurang dari sepuluh siswa yang mau merelakan otaknya kembali berkecamuk dengan deretan kata. Thea tak mempermasalahkan itu. Perpustakaan kosong atau penuh bukan masalah besar baginya, tak seperti petugas perpustakaan lain yang selalu mengeluhkan betapa sepinya perpustakaan saat istirahat. Betapa sepinya gudang ilmu ini, begitulah yang dikatakan Puti.
Kalau kosong berarti tidak ada pekerjaan tambahan untuk membereskan buku-buku di meja. Thea bisa nyantai sambil mengisi perutnya. Mereka yang menjaga perpustakaan boleh membawa makanan ke dalam, itu pun harus dimakan di meja registrasi. Kalau sedang ramai-itu hanya terjadi sekali dalam sebulan, atau bahkan tiga bulan saat ada tugas, maka Thea rela membereskan apapun setelah seharian sebelumnya kebanyakan nganggur.
Namun, kali ini Thea sangat berharap tidak ada yang berminat masuk ke sini. Tidak ada satu pun, demi melancarakan aksinya. Sebelumnya, Kak Naya sudah tidak nyaman duduk di samping Thea yang terus membicarakan rak-rak di area pojok itu. Dengan alasan mau ke ruang kurikulum yang disampaikan dengan nada bergetar, Kak Naya melesat keluar dari perpustakaan.
Mudah bagi Thea menentukan ruangan itu. Melalui perkataan Kak Naya yang cenderung menakuti-nakuti dengan tampang dan nada yang tidak berhasil mengecoh Thea. Lagian Thea sering mendapati hal seperti itu di novel atau film saat ada seseorang mengatakan hal horor misalnya tentang rumah angker, maka di sana tersimpan kisah yang disembunyikan.
Setelah menutup pintu, yakin sepenuh hati tidak akan ada yang datang, Thea melangkah ke area pojok itu. Berdiri di ambang area pojok itu dengan berkacak pinggang, bola matanya bergulir ke kanan kiri, sebelah alisnya naik, otaknya terus menggali setiap detail yang diantarkan melalui matanya. Di depannya empat rak ramping berjajar, di samping kanan dua rak besar dan dua rak ramping, sedangkan di kirinya menjulang tiga rak besar.
Pertama, dia mengerahkan tenaganya menarik rak-rak ramping itu. Debu beterbangan, mendarat di rambutnya. Dia terbatuk-batuk tapi tidak membiarkan hal itu menghentikan aksinya. Buku-buku di area pojok ini berbau apek, gumpalan debu menutupi cover buku. Sekelebat rasa malu menyentuhnya karena tak pernah berminat membersihkan buku-buku di sini.
Tunggu....
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Ada cara lebih mudah yang tidak perlu mengerahkan ototnya dengan maksimal. Thea kembali mundur, menjauh tiga langkah dari rak kecil itu.
Rak itu berdebu. Sangat berdebu. Itu artinya bukan rak ini yang terhubung ke ruangan itu. Mestinya dia mencari rak yang sedikit bebas dari debu, atau menyisakan sesuatu berupa bekas seseorang telah menggesernya. Namun, sepanjang pengamatannya, ciri-ciri seperti itu belum ditemukan. Fokus Thea tidak tergoyahkan, tapi bukan berarti dia tidak menyiapkan telinganya bila ada suara gemerisik atau apapun itu. Tubuhnya menegak, menyiapkan akting terbaiknya saat mendengar langkah kaki mendekat. Dia sudah menyiapkan alasan mutakhir untuk Kak Naya.
"Kak Thea," ucap seseorang berbarengan dengan Thea membalikan badan.
Lega. Apa iya? Tidak bisa dikatakan sepenuhnya lega. Citra berdiri di depannya. Menghampirinya dengan raut datar, sulit sekali ditebak maksudnya apa. Hal itu cukup menandakan bahwa Tiar belum meluruskan kejadian itu.
"Aku pengen pintar kayak Kak Thea." Citra semakin mendekat.
Bau-bau menyeramkan, tanda-tanda akan menyerang atau bahkan mencabik tidak terdeteksi. Dia menggulung bibirnya, dengan pandangan yang terus tertuju ke lantai, hanya sedetik dua detik menatap malu Thea.
"Tinggal belajar aja," ucap Thea sambil menaikkan kedua bahunya. "Dan jangan ninggalin kelas kayak sekarang. Belum waktunya istirahat, tapi malah bolos nggak jelas."
Citra menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga, lalu berlanjut menggaruk punggung lehernya. "Nggak ada guru, Kak."
"Ya, manfaatkan waktu itu buat belajar."
"Makanya sekarang aku mau minta ajarin ini." Citra menyodorkan sebuah buku tulis, menggantung di tangannya dan tidak tertarik diraih Thea. "Aku bodoh banget di matematika. Ini ada PR dan mau-"
"Jadi patokan pengen jadi pinter harus bisa matematika?"
Citra hanya mangap-mangap. Mulutnya hendak membalas, tapi otaknya entah menyalurkan hal apa sehingga tak ada yang bisa disuarakan.
"Oke, gue ngerti. Tapi menurut gue, kalau lo mau jadi orang pinter, jadilah orang pinter sesuai apa yang bisa lo lakukan, apa minat lo, apa kemampuan terbesar lo." Thea menatap buku yang disodorkan. Dia akan sukarela membantu seseorang yang kesulitan dalam belajar. Namun, setelah mengerti tujuan Citra, hatinya tidak tergerak.
"Kalau tujuan lo biar narik perhatian Tiar, gue malas bantuinnya." Thea mengangkat kedua tangannya, "Bukan...bukan karena gue cemburu atau apalah itu. Tapi kalau tujuannya nggak jelas gitu, biasanya nggak berakhir bagus."
"Aku dapat SMS dari Kak Cakra. Kalau Kakak mau bantuin aku, bakal aku tunjukin SMS itu. Tapi ya berlaku sebaliknya juga." Tak ada lagi raut permohonan dan malu-malu. Citra membusungkan dada, bangga bahwa dia punya sesuatu yang tidak bisa dilewatkan Thea.
Demi cepat terpecahkannya masalah ini. Demi kesehatan otaknya. Demi Abian...? Thea agak malu memikirkan itu. Akhirnya, dia menerima tawaran itu.
"Oke, tapi tunjukin dulu SMS itu. Karena masalah ini jauh lebih penting dibandingkan masalah lo dengan Tiar."
Citra menerima, walaupun agak ragu. Namun, seorang Odithea Wastari tidak akan selicik itu, pikir Citra.
Di antara Chairul Tanjung si anak Singkong dan Matematika
Lalu di bawahnya tertera link goodreads.
Thea tak berkedip menatap layar yang disodorkan Citra. Lipatan terbentuk di dahinya yang mengerut. Hanya butuh satu menit, itu pun kurang, Thea langsung berbalik menghadap deretan buku di hadapannya.
Antara rak buku non fiksi dan buku mata pelajaran!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro