Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 - Reunion

Pemuda itu berada di atas Anya, bertopang dengan kedua tangannya untuk melindungi Anya. Akhirnya Anya bisa melihat wajah si pemuda dengan jelas, begitu pun dengan si pemuda. Setelah mata mereka saling bertemu, keduanya sama-sama terkejut. Reuni yang tidak terduga.

Anya tidak mungkin salah mengenal teman kecilnya saat tinggal di Katedral St. Theresia sekaligus pemuda elite MMGTE yang tidak sengaja dia tabrak di pusat kota. Neil. Anya penasaran, apa yang Neil lakukan di sini dan kenapa dia terlibat dengan Number Zero?

Anya memalingkan pandangan ke sebelah, merasa tidak nyaman dengan reuni yang tidak diinginkannya. Tepat di sebelahnya, terdapat sesuatu yang membuatnya merasa bersalah. Tangan kiri Neil yang membeku karena kutukan miliknya.

"Umm... lama tak jumpa ya, Anya." Neil membuka mulut duluan. Suaranya terdengar canggung. "Yah, sebenarnya aku tidak ingin bertemu denganmu di situasi seperti ini. Terlalu banyak yang terjadi selama tujuh tahun ini dan aku hampir saja melupakanmu. Maaf."

'Maaf' bukanlah kata yang ingin Anya dengar dari mulut Neil secara langsung. Justru Anya ingin menyampaikan kata tersebut ke seluruh rakyat Kekaisaran Northoriale yang menderita karena kutukan Snowstorm.

Namun, entah kenapa, Anya sulit mengeluarkan suara karena tenggorokan yang terasa sesak dan air mata mengalir sangat deras di pipinya. Apa yang sedang dia rasakan?

Neil terheran dan seolah-olah paham perasaan Anya sekarang, dia mengusap kepala Anya. "Berhentilah menangis, Anya. Cepat atau lambat, kau akan hidup normal dan Gille juga akan kembali kepadamu. Meski tidak ada Gille, kau tidak sendirian. Aku di sini karena ingin menyelamatkanmu, Anya."

Mendengar kalimat terakhir Neil membuat perasaan Anya terasa memilukan. Selalu saja aku diselamatkan, pikirnya. Padahal Anya berharap orang-orang di sekitarnya mengabaikannya. Dia merasa tidak perlu diselamatkan. Setelah membuat bencana besar di Kekaisaran Northoriale, apakah harga diri sebagai manusia masih tersisa di dalam diri Anya?

Namun, anehnya Anya tidak bisa menolak bantuan dari Neil. Dia semakin menangis kencang. Tak hanya Neil yang memberinya bantuan, Greum dan Aaron Norris pun juga. Meski begitu, dia tidak ingin dirinya saja yang diselamatkan. Number Zero yang bernasib sama sepertinya, apa tak ada seorang pun yang ingin menyelamatkannya?

Anya menutupi mata dengan lengannya, malu dengan air mata yang tumpah secara berlebihan. Air mata karena senang bercampur rasa bersalah.

"Neil... terima kasih. Tapi, aku..." Anya sulit merangkai kata-kata, napasnya mulai tidak beraturan. "minta maaf. Tanganmu itu... gara-gara aku..."

Neil menghela napas. "Tuh kan, kau menyalahi diri sendiri lagi. Sudah kubilang, kau tidak sendirian lagi, itu artinya kau bisa membagi perasaan yang kau alami selama ini kepadaku. Lagi pula, di tangan kiriku, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan sekarang."

Anya pun tersadar akan sesuatu. Kutukan tidak hanya sekadar terkutuk. Meski sekarang kutukannya telah menciptakan bencana besar, Anya bisa melindungi orang-orang penting baginya dengan kutukan Snowstorm. Neil sengaja berkata begitu agar Anya tidak menyalahkan kutukannya.

"Maaf mengganggu reuni kalian. Aku perlu berbicara dengan Anya."

Suara tersebut menginterupsi momen-momen Anya merasakan bahagia pertama kalinya. Neil segera bangkit berdiri di depan Anya, hendak menjauhkan pemilik suara itu darinya. Namun, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Kedua pihak berlawanan sama-sama sudah tidak punya kekuatan lagi untuk menyerang satu sama lain. Akibat dari Last Blessing, domain kutukan Cain dibatalkan dan itu sangat menguras seluruh kekuatannya.

Karena itu, Cain berhenti melangkah dan lanjut berbicara lagi. "Sebenarnya, bukan aku yang ingin berbicara denganmu. Asgall atau yang kau kenal dengan nama Number Zero ingin menyampaikan sesuatu padamu."

Anya memperhatikan gerak bibir Cain yang tidak mengeluarkan suara dari balik tubuh Neil. Tolong aku. Setelah itu, Cain menyeringai lebar seolah wajahnya tertulis 'aku menang'. Dia sengaja memancing emosi Anya tidak terkendali.

Dan tak lama, sosok Cain menghilang dari hadapan mereka tanpa meninggalkan jejak. Untuk sementara, rencana Cain tertunda dan sebelum itu terjadi, MMGTE harus mengerahkan seluruh elite untuk memusnahkannya, begitulah kata Aaron. Tak ada pilihan lain lagi.

Beberapa detik kemudian, Neil dan Anya menghela napas panjang di waktu yang sama. Keberuntungan berpihak pada mereka. Jika saja Cain masih berkekuatan penuh, mereka bakal mati dalam sekejap.

"Anya!"

Tak jauh dari mereka, terlihat Greum yang merangkul Aaron yang tertatih-tatih berjalan cepat ke arah mereka. Di sisi lain, seseorang juga memanggil nama Neil dari lubang tembok. Itu adalah Day dan Catherine.

Ketika mereka yang telah sampai di tempat Anya dan Neil saling bertukar pandangan, Greum tampak terkejut, terutama saat melihat kedatangan Day dan Catherine. Greum mengira setelah masalah Anya selesai, dia takkan pernah berjumpa dengan mereka lagi.

*****

Keesokan harinya, ketika matahari mulai menyinari dunia, Greum dan Day mencari penginapan baru untuk tempat persembunyian Anya sekaligus elite MMGTE yang terlibat dengan Anya. Sembari menunggu mereka mendapatkan penginapan, Anya pergi ke suatu tempat bersama Neil untuk mengisi waktu mereka bersama yang kosong selama tujuh tahun. Namun, tanpa Gille, terasa kurang lengkap bagi Neil.

Kebersamaan mereka saat berjalan-jalan entah ke mana dipenuhi keheningan dan kecanggungan. Sudah lama mereka tidak pernah bertemu sehingga pasti banyak yang ingin dibicarakan.

Anya memulai percakapan duluan saat mereka tiba di sebuah taman yang terbengkalai. "Kau tahu, aku tidak menyangka kau bakal menjadi elite MMGTE. Bagaimana rasanya menjadi elite?"

Pandangan Neil masih ke bawah, mengikuti langkahnya. "Menurutku, tidak ada yang spesial. Meski aku menjadi elite, tak ada yang berubah di dalam diriku. Aku masih belum kuat untuk melindungimu dan Gille. Ini membuatku frustrasi." Suaranya tertahan seolah hampir seluruh emosinya tumpah ruah.

Anya menggeleng pelan. "Ini bukan salahmu, Neil. Seperti yang kaukatakan padaku kemarin, kau tidak perlu menyalahi diri sendiri selama kau tidak sendirian. Bukannya selama ini kamu ditemani Greum dan yang lain?" timpalnya dengan suara yang lembut sekaligus senyuman tipis.

"Tapi...!" Neil segera menyanggahnya meski ucapan Anya ada benarnya. Tak tahu ingin berkata apa lagi, dia berhenti melangkah, kemudian menghadap ke Anya dan mencengkeram lengan atasnya dengan kepala tertunduk.

Anya memiringkan kepala, tak tahu apa gerangan Neil yang tiba-tiba terdiam. "'Tapi' apa?"

Neil menggigit bibir, lalu mengatakannya dengan suara berbisik. "Aku mencintaimu sejak kecil, Anya. Sudah lama aku ingin mengatakan ini padamu, tapi itu tidak pantas bagiku. Dengan kekuatanku sekarang, aku belum bisa melindungimu. Jika aku kehilangan kau dan Gille, aku..." Dia semakin menggigit bibir sampai mengeluarkan darah. "lebih baik mati saja."

Tak lama setelah itu, Anya hanya mengangguk-angguk seolah paham. Kemudian, dia mengangkat wajah Neil yang tertunduk dalam-dalam. Wajah Neil tampak berantakan dan terlihat ingin menangis. Ya, dia memang ingin menangis, tetapi dia merasa dirinya bisa tegar, seperti yang dilakukannya selama tujuh tahun ini.

"Aku sudah tahu itu, Neil. Awalnya aku tidak menyadari perasaanmu dan Gille lah yang memberi tahuku. Aku sendiri..." Wajah Anya melembut, menciptakan garis senyuman yang tak pernah ditunjukkan siapa pun. Dengan tatapan yang penuh percaya diri, dia melanjutkan, "juga mencintaimu."

Mendadak, air mata yang tertahan tidak bisa terbendung lagi. Neil segera menutup mata dengan lengan. Suaranya terisak-isak tak henti. Anya menenanginya dengan mengusap-usap kepalanya hingga Neil sudah merasa tenang.

Ketika menjelang sore, mereka menepi di danau yang tak jauh dari taman terbengkalai. Danaunya tampak bersih dan entah kenapa, air danau itu terasa hangat. Mereka pun memutuskan menghangatkan diri dengan mencelupkan kaki ke dalam air danau dan duduk bersebelahan.

"Jay? Oh, sebelum Number Zero—maksudku, Asgall menunjukkan diri, aku bertemu seseorang yang mengaku bernama Jay Lawrence. Kenapa dengannya?" tanya Anya terheran.

Dugaan Neil tidak salah. Sudah pasti orang itu adalah pengkhianat MMGTE meski tidak ada buktinya. Jika ingin bukti, terlihat jelas dari gerak-geriknya yang mencurigakan sejak Number Zero muncul.

Lamunan Neil terbuyarkan ketika Anya menyentuh punggung tangannya. Pipinya yang memerah memiliki warna yang senada dengan langit senja. Dalam hati, Neil berharap waktu berhenti dan membiarkannya dan Anya berduaan di sana selamanya.

"Neil, aku punya permintaan untukmu," ucap Anya tiba-tiba.

"Apa itu?"

Terdapat jeda yang cukup lama. Anya menarik napas dalam-dalam, kemudian diembuskannya. Matanya yang berwarna biru laut menyala-nyala, penuh keseriusan dan ketekatan.

"Bantu aku menyelamatkan Number Zero. Apa kau bisa?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro