Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sir Henry Dear

Ditulis oleh Nichole_A & wishna_Ad

Keluarga Duke Baratheon akan mengadakan pesta untuk acara pertunangan anak sulung mereka, dan semua diundang. Tentu, pesta megah selalu menjadi ciri khas keluarga itu. Sayangnya, meski dibuka untuk umum, tidak banyak tamu yang datang. Mereka takut lantaran sering terdengar kabar bahwa beberapa kali orang menghilang tanpa jejak di sana.

*********

Kabar itu terdengar di mana-mana, bahkan di sekolah.

"Michelle, mereka membicarakan keluargamu."

"Biarkan saja, Georgia. Lagi pula apa yang dikatakan mereka benar," jawab Michelle dengan santainya.

Michelle tidak terganggu dengan para penghuni sekolah yang menatapnya. Ya, itu semua tidak mengganggunya sama sekali.

*********

"Sir Henry?"

Betul dugaan Michelle, sosok laki-laki itu tengah berbincang dengan sang kakak di rumahnya. Sungguh, melihat laki-laki itu sepulang sekolah bagai melihat oase di padang rumput.

Henry tersenyum lebar melihat siapa yang memanggil.

"Michelle?"

Henry menghampirinya, meraih tangan dan mencium punggung tangan Michelle.

"Kau selalu tampak cantik, Nona," ujar Henry, tak lupa dengan kedipan sebelah mata. Seharusnya Michelle tersipu, tetapi tersenyum malu bukanlah ciri khas Michelle.

"Oh, aku selalu cantik!"

"Ya, adikku yang cantik. Bisakah kau pergi? Aku masih ada urusan penting dengan Henry."

"Kenapa kau seolah-olah ingin menyingkirkanku? Lagi pula aku bukan anak kecil, Sebastian, aku lima belas tahun!" sungut Michelle sambil berkacak pinggang, membuat Sebastian semakin mengganggunya dan Henry tertawa.

Suara tawa Sir Henry seakan nyanyian surgawi di telinga Michelle, andai tidak tercampur dengan tawa iblis dari lapisan bumi ketujuh-kakaknya.

"Georgia? Bagaimana kabarmu?" tanya Henry dengan nada yang lembut saat menyadari kehadiran Georgia di belakang Michelle. Perempuan berambut gelombang itu tersenyum, menatap Henry malu-malu.

"Saya baik, Sir, terima kasih sudah bertanya."

Sejujurnya, Michelle merasa kesal tiap kali Henry berbicara dengan Georgia. Michelle memang sudah mengenal Henry sejak lama. Henry adalah teman Sebastian. Ia tampan, pintar, dan berkarisma. Seperti Itulah Henry di mata Michelle. Sayangnya, Henry hanya menganggap Michelle seperti adik, tidak pernah menanggapi serius omongannya. Bahkan pernyataan cinta yang diutarakan Michelle beberapa minggu lalu dianggap hanya candaan. Sebaliknya, Henry selalu bersikap penuh perhatian pada Georgia.

Seharusnya Michelle bersyukur, setidaknya ia bisa berkomunikasi tanpa batasan dengan Henry. Namun, apa yang dipermasalahkan Michelle adalah sikap lembut Henry pada Georgia.

Michelle belum lama mengenal Georgia, hanya di tiga tahun terakhir. Dia anak dari Kepala Pelayan yang bekerja di rumah Baratheon dan sekarang menjadi temannya.

Malam itu, Michelle berdiri di depan cermin dengan cahaya temaram lilin di kedua sisi. Refleksi dirinya tampak jelas dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kulit putih porselen berbalut gaun tidur warna putih, rambut gelombang warna keemasan, mata biru samudra. Ia sempurna dan ia percaya, sayangnya ia memiliki nol attitude.

"Sir Henry Dear, apa yang tidak kau sukai dariku? Aku cantik dan memiliki segalanya. Bagaimana caraku memilikimu?" Michelle tampak berpikir sesaat. "Di pesta Sebastian, aku akan membuatmu hanya memikirkanku!"

*********

Hari pesta telah tiba. Beberapa hari terakhir suasana hati Michelle tampak gembira. Ia sudah merencanakan banyak hal di otaknya untuk memikat Henry.

Sayangnya, Michelle tidak menemukan sosok itu.

Michelle memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Karena jika tidak ada Henry, ia merasa sia-sia. Namun, ia mendengar sayup suara dua orang berbicara.

Michelle memutuskan untuk mengendap hingga suara itu terdengar jelas, dari kamar Georgia.

"Georgia, kau tahu aku tidak bisa menunggu lebih lama. Kau telah membaca semua suratku dan aku selalu mengatakan hal yang sama."

" Sir Henry, saya tidak bisa menerimanya. Saya hanya anak pelayan, dan apa yang akan dikatakan Michelle? Dia menyukai Anda."

"Tapi aku mencintaimu, Georgia. Menikahlah denganku."

"Bagaimana dengan Michelle?"

"Aku akan membawamu pergi menjauh dari tempat ini."

"Baiklah, aku … aku akan menikah denganmu, Sir Henry."

Jantung Michelle berdetak kencang, rasanya panas, bahkan lebih panas dari biasanya! Kedua tangannya mengepal hingga memutih, giginya bergemeletuk. Dalam ketidakstabilan hatinya, Michelle berusaha mengatur napas. Rencana awal yang ada di otaknya berubah 360 derajat.

*********

"Johny, aku akan mengirimkan seseorang untukmu, lakukan hal yang biasa kau lakukan. Aku akan menyusulmu setelah itu dan mengeksekusinya langsung."

Laki-laki yang memakai zirah dan helm besi terdiam sesaat.

"Siapa yang akan Anda kirim pada saya, Nona?"

"Kau akan segera tahu," desis Michelle.

Johny adalah orang yang menjaga ruang terlarang rumah Duke Baratheon dan sudah terbiasa menangani hal seperti ini, tapi tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di antara semua anggota keluarga Baratheon, perempuan ini adalah yang terkejam.

"Baik, Nona."

Michelle tersenyum manis. "Bagus! Aku akan mempersiapkan minuman khusus untuk seseorang. Mungkin Anggur Mandrake."

Kemudian, perempuan itu pergi dengan langkah percaya diri dan senyum lebar mengerikan di wajahnya.

*********

"Georgia?"

Nada manis Michelle mengiringi gerakan tangannya yang langsung membuka lebar pintu kamar Georgia, melihat pemandangan dua sosok yang sangat dikenalnya berada di atas tempat tidur. Mereka masih mengenakan pakaian lengkap tertutup, hanya sedikit berantakan. Mereka berdua terkejut dan spontan menghentikan apa pun aktifitas mereka. Georgia tampak ketakutan, wajahnya pucat, sedangkan sosok satunya berusaha bersikap sealami mungkin.

"Oh? Sir Henry Dear? Apa yang kau lakukan di kamar Georgia?"

"Aku menemaninya di sini, dia merasa tidak enak badan."

Michelle melebarkan matanya. "Benarkah? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku, Georgia? Aku akan membawakanmu obat." Obat yang bisa membawamu ke neraka lebih tepatnya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Michelle? Bukankah seharusnya kau di pesta Sebastian?"

"Aku tidak melihat Georgia dan berpikir mungkin dia ada di kamarnya. Jadi, aku membawakannya minuman."

Michelle menunjukkan segelas minuman yang ada di tangannya, minuman berwarna kuning keemasan dengan busa di atasnya, kemudian Michelle mengerutkan keningnya. "Sepertinya Johny mencarimu. Sebaiknya kau bergegas menemuinya."

Henry dan Georgia saling menatap satu sama lain, kemudian dengan berat Georgia bangkit, menatap takut pada Michelle.

"Michelle, aku pergi dulu."

Michelle mengangguk. "Ya, aku akan menyusulmu nanti."

Setelah Georgia pergi, Henry bangkit.

"Well , ayo kita menemui Sebastian."

Michelle tersenyum. "Aku membawakan minuman ini, tapi sayang sekali Georgia harus pergi. Apa kau mau meminumnya untukku? Kau bisa menemaniku di sini. Aku sedang mencari sesuatu di kamar Georgia."

Henry tampak berpikir sebentar, kemudian ia tersenyum. "Baiklah, aku akan meminumnya untukmu."

Henry mengambil gelas itu dan kembali duduk. Ia meminumnya perlahan.

"Sebenarnya apa yang kau cari di sini, Michelle?"

Michelle tersentak, tak sadar sejak tadi ia hanya berdiri terpaku. "Oh, ya …."

"Kau tidak sedang membohongiku, bukan?"

Michelle cepat-cepat berbalik, berpura-pura mencari sesuatu. "Tentu saja tidak!"

Tak lama kemudian, terdengar suara gelas yang pecah. Michelle berbalik, tersenyum saat melihat Henry mengerutkan keningnya, sebelah tangannya memegang kepala dengan kuat.

"Michelle, minuman apa yang kau berikan untukku?" tanya Henry, masih berusaha bersikap baik.

Michelle tersenyum. "Minuman 'mimpi indah' dariku, Sir."

Senyum Michelle semakin lebar saat melihat Henry tak sadarkan diri di atas tempat tidur Georgia.

Jantung Michelle berdetak kencang, ia merasakan sensasi mendebarkan sekaligus menyenangkan saat melakukan eksekusi di ruang terlarang.

"Jadi, apa yang harus kulakukan padamu? Oh, apa aku harus menggunakan cara lama? Selagi aku tidak lupa membawa pisau kesayanganku."

Benda kesayangan Michelle, pisau lipat perak dengan ukiran namanya berlapis emas.

Michelle menatap Henry yang tak sadarkan diri dengan senyum puas di bibirnya. Ia berdiri, mengambil pisau kesayangannya yang tersimpan di dalam tas. Pisau itu memberikan rasa nyaman baginya, sebagai salah satu benda yang selalu menemani dalam setiap tindakan tak terduga yang dilakukannya.

Michelle dengan santai berjalan mendekati tempat tidur, sambil mengamati Henry yang tak bergerak. Ia mengamati keadaan sekitar, mencari tahu apakah ada sesuatu yang bisa membuktikan keberadaannya di kamar Georgia. Setelah memastikan bahwa semuanya aman, ia memutuskan untuk mulai menghilangkan jejak.

Ia mulai membersihkan bekas minuman yang tumpah di lantai, memperhatikan setiap detail agar tidak ada bukti yang tertinggal. Setelah selesai, ia memperhatikan Henry sekali lagi. Ia tak ingin meninggalkan bekas apapun yang bisa mengarahkan petunjuk kepada dirinya.

Michelle membuka lemari pakaian Georgia, mencari baju yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh Henry. Setelah menemukan baju yang cocok, ia membuka kancing kemeja Henry, melepaskan baju, dan menggantinya dengan baju baru. Setelah selesai, ia menarik tubuh Henry ke sisi tempat tidur yang lain, menata tubuhnya dengan hati-hati, seolah-olah Henry hanya sedang tertidur.

Sebelum meninggalkan kamar, Michelle mengecek kembali setiap detail untuk memastikan bahwa tak ada jejak yang tertinggal. Ia mendekati wajah tampan Henry untuk menatap keindahan itu sejenak. Kemudian berbisik pelan di telinga lelaki itu.

“Tidak boleh ada seorang pun yang memilikimu, Sir Henry Dear! Kau hanya milikku seorang,” ucapnya pelan nan menggoda.

*********

Sementara itu, Georgia menemui Johny sesuai saran Michelle. Lokasi mereka bertemu memang agak jauh dan sepi dari keramaian pesta. Johny menatap ke arah Georgia.

“Michelle bilang, kau mencariku, Johny. Ada apa?” tanya Georgia dengan nada lembut seperti biasa.

Seharusnya tindakan kejahatan ini mudah dilakukan bagi dirinya. Namun, anehnya, ia tidak dapat melakukannya kepada Georgia. Apalagi mengingat perangai baik gadis pelayan ini. Georgia selalu tulus melayani gadis dari keluarga Baratheon itu.

Bagaimana mungkin gadis sebaik Georgia harus merengut nyawa? batin Johny seraya menundukkan kepala. Ia menatap Georgia lagi. Hendak mengatakan sesuatu, tapi sungguh terasa berat.

“Kenapa kau diam saja, Johny?” tanya Georgia lagi.

“Sebenarnya, a-a-aku …,” ucapnya terbata-bata.

Entahlah yang dimiliki gadis ini, seolah nada bicaranya memiliki kemampuan sihir yang dapat memanipulasi niat buruk seorang manusia. Namun, apa boleh buat. Ia sendiri pun juga takut pada hukuman yang akan menimpanya kalau tidak menuruti keinginan anak gadis keluarga Baratheon. Jadi, ia memilih tindakan aman saja. Tanpa diketahui oleh si pesuruh.

“Georgia, bisakah kau berbalik sebentar?” pinta Johny.

Sepertinya dugaannya, Georgia pasti menurut. Johny mengambil sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Dia langsung membekap mulut Georgia hingga gadis itu tak sadarkan diri.

“Maafkan aku, Georgia. Sepertinya aku harus pura-pura membunuhmu sebelum perempuan itu benar-benar mebunuhmu dengan cara yang lebih kejam.”

Malam itu, semua orang masih sibuk di tempat pesta. Jadi, Johny bisa mengendap-endap membawa tubuh Georgia yang tak sadarkan diri. Johny berniat ingin membawa kembali gadis itu ke kamarnya.

Ketika hampir menuju ke kamar Georgia, Johny menemukan sosok putra sulung keluarga Baratheon.

“Johny, apa yang kaulakukan di sini?” Sebuah suara tegas mengejutkannya. Hampir saja Johny menjatuhkan Georgia dari gendongannya.

“Tu-Tuan Sebastian … apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Johny gugup.

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu,” timpal Sebastian. “aku sedang mencari adikku. Aku juga mencari Henry. Di mana mereka?”

“Oh, baru saja aku melihat Nona Michelle kembali, Tuan!” ungkap Johny.

“Kembali dari mana?” tanya Sebastian lagi. Pria ini menatap Johny heran. “Mengapa pula kau membawa Georgia? Apa yang terjadi padanya?”

Apakah aku harus menceritakan yang sebenarnya kepada Tuan Sebastian? Johny meragu.

Jauh di lubuk hati yang paling dalam, Johny ingin mengungkapkan semuanya kepada Sebastian. Namun, ia juga memikirkan majikan perempuannya itu. Ada perasaan takut yang menyelimutinya tentang hukuman yang akan diterimanya dari perempuan cantik berperangai buruk itu.

“Mungkinkah ….” Tiba-tiba Sebastian menghentikan kalimatnya. Ia mengurut dagunya perlahan sambil memikirkan sesuatu.

“Ada sesuatu yang tidak beres,” duga Sebastian. Ia mengamati Georgia dalam gendongan Johny. Lalu menyentuh denyut nadi dan dahi gadis ini.

“Cuma pingsan,” ujar Sebastian. “lalu, di mana Michelle?”

Awalnya, Johny enggan menjawab. Tapi, apa boleh buat, ia merasa lebih setia kepada Sebastian sebagai anak tertua.

”Tadi Nona Michelle berkata ingin ke kamar Georgia. Makanya, saya ingin membawa Georgia yang pingsan ke kamarnya.”

Johny dan Sebastian sepakat menuju ke kamar Georgia bersama-sama. Sembari memastikan untuk mencari keberadaan Henry dan Michelle. Sebastian khawatir kalau adiknya berbuat yang tidak-tidak.

Dan ternyata, dugaannya benar.

“Michelle, apa yang kau lakukan?” seru Sebastian dengan sorot mata tajam menatap kepada adik perempuannya ini. Ia langsung menarik tangan Michelle yang memegang pisau. Benda tajam itu nyaris saja ia hunuskan ke arah pria yang tidur di sebalahnya-Sir Henry Dear.

Bagian dada gaun Michelle tampak turun sedikit. Wajahnya tersenyum licik. Pisau dalam genggamannya terasa kuat sekali. Sebastian sempat kesulitan saat mencegah percobaan pembunuhan ini terjadi.

“Michelle, hentikan! Kau akan dihukum berat kalau melakukannya.” Sebastian memberi peringatan kepada Michelle agar melepaskan pisaunya. Sayangnya, ia masih enggan melepaskan.

“Aku akan melakukan apa yang aku inginkan.” Michelle menghempaskan tangan kakaknya dan hampir menghunuskan pedangnya lagi. Dengan sekuat tenaga, Sebastian berhasil menarik Michelle menjauh dari Henry yang tak sadarkan diri. Pisau yang dibawa Michelle terpental ke lantai. Menimbulkan luka gores di tangannya.
Mendengar keributan ini, Georgia sampai terbangun dari pingsannya. Matanya terbuka sedikit. Ia bisa melihat sosok Michelle yang bertengkar dengan Sebastian. Begitu pula dengan Henry yang terkejut saat terbangun dari tempat tidur.

Rupanya, obat yang berada di minuman itu bukan racun. Melainkan obat tidur.

“Aku mencintai Sir Henry. Tapi, kenapa Sir Henry tidak mencintaiku dan lebih memilih gadis pelayan itu?”

“Kau sungguh gila!” Sebastian menampar Michelle hingga menimbulkan kemerahan di pipinya. “kau tidak boleh memaksakan cinta seseorang, apalagi sampai ingin merenggut nyawanya,” tegas Sebastian.

“Ini tidak adil, Sebastian!” Michelle menangis sekencangnya.

“Mencintai seseorang itu hakmu. Tapi, bukan begini caranya. Ini tindakan yang sangat berbahaya dan melanggar hukum. Apa yang akan dikatakan orang tua kita nanti kalau tahu anak perempuannya. Ternyata berbuat seperti ini?”

Kedok sudah terbuka. Akhirnya, seluruh perbuatan jahat Michelle terungkap di hadapan kakak semata wayangnya. Johny juga telah mengungkapkan tentang hilangnya beberapa orang saat pesta sedang berlangsung. Ruapanya, ini juga perbuatan Michelle.

“Kumohon, Sebastian! Aku tidak mau dipenjara,” rayu Michelle.

“Kau harus menebus dosa-dosamu.” Sebastian menyuruh para penjaga rumah untuk menangkap Michelle agar diserahkan kepada pihak berwajib. Meskipun berat, ia harus merelakan adiknya menerima hukuman yang setimpal.

Beberapa bulan kemudian, Sir Henry Dear dan Georgia melangsungkan pernikahan. Mereka berharap ke depannya tidak ingin menjalani kehidupan yang pahit seperti yang dialami oleh Michelle. Keduanya berdoa senantiasa agar diberikan kehidupan yang manis. Semanis permen gula kapas.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro