Love to Hate You
Kami pertama kali bertemu di pemakaman ibuku, setengah tahun lalu.
“Assassin?" Begitu katanya ketika hanya tersisa kami berdua di pemakaman lembab beraroma petrikor.
Kala itu wajahnya tertutupi topi hitam lebar, sepasang mata dibingkai kacamata gelap, mantelnya necis dan terlihat elegan, lengkap dengan syal yang melilit di atas kerah.
Aku menggeleng. "Ibuku sudah lama menderita penyakit jantung yang suka kambuhan." Kutarik mantel cokelat yang membungkus tubuh, udara dingin berembus lembut menerbangkan dedaunan kering. "Maaf, tapi apa aku mengenalmu?" Tanyaku sambil sedikit membungkuk untuk mengintip ke bawah topinya.
Wanita itu melepas kacamata, bibirnya yang diwarnai merah memesona melengkung anggun, bulu mata hitam panjang dan lentiknya ikut terangkat. Aku tahu, harusnya tidak terpana pada gadis yang baru kutemui di -- hari yang seharusnya -- menjadi masa berkabung paling mendalam seumur hidupku. Namun, sepasang mata sehangat teh panas di musim dingin tersebut membuatku kehilangan napas sejenak.
"Kurasa tidak." Dia melipat gagang kacamata. "Namun, kurasa aku mengerti bagaimana rasanya. Sepuluh tahun lalu, kakakku juga meninggal dunia. Dia satu-satunya yang kupunya."
Aku mendesah kecil, mengusap tengkuk dan merasa bingung. "Begitu, ya." Aku merasa tidak yakin, apakah harus bersimpati dan berkata; turut berduka cita? Padahal hari ini pemakaman ibuku.
Alih-alih, aku justru balik bertanya, "Assassin?"
Dia mengangguk kecil, tetapi mantap. "Assassin." Sorotnya yang tadi hangat, berubah jadi lebih dingin dari Kutub Utara.
Negara ini, kerajaan ini, kota ini, adalah wilayah makmur dan boleh jadi dikatakan, salah satu yang paling maju di era kini. Sayang, kesenjangan sosialnya sangat tinggi sampai-sampai kelayakan hidup seorang manusia dinilai terlalu rendah. Harga diri tidak lebih baik dari sekadar sampah apabila sepasang netramu berwarna gelap, rambutmu tidak disisir rapih, tubuhmu tidak wangi, dan pakaianmu bukan yang paling trendi. Kalau darah bangsawan bukan cairan yang mengalirkan oksigen ke seluruh tubuhmu, maka kau tidak pantas berjalan dengan wajah terangkat.
Wanita di sebelahku melepaskan topi -- sekilas kulihat simbol dari butik ternama di tepi -- rambut berwarna cokelat kehitamannya jatuh dan tergerai sempurna menutupi punggung. Semerbak aroma bunga langsung menyapa hidungku, dia jelas-jelas lebih harum daripada taman di distrik ini.
"Nona," nada suaraku berubah, jadi lebih hormat, "apakah tidak masalah kalau kau tetap di sini?" Tatapanku mau tak mau menunduk, menilik kaki jenjangnya yang mengenakan sepatu berhak tinggi warna hitam pula.
Wanita itu tertawa singkat. "Santai saja. Aku sudah lama tidak membawa bodyguard, sudah sejak kakakku meninggal." Telapaknya yang ditutupi sarung tangan mengibas udara, elegan. "Omong-omong, kau tinggal di sekitar sini?"
"Lima blok dari sini."
"Begitu, ya. Aku baru pindah kemari pagi tadi, saat rombongan yang membawa peti mati ibumu menghalangi truk barangku."
"Oh?" Alis kananku terangkat. Dia mau aku minta maaf? Tidak akan. "Lalu?"
"Lalu?" Ulangnya, dia sedikit berputar sehingga kini kami berhadapan. Baru kuperhatikan bahwa warna matanya indah sekali, seperti kelopak bunga matahari. "Sudah kubilang, aku baru pindah, kan? Artinya akan ada jamuan selamat datang. Berkunjunglah malam ini. Oke?"
Aku mengernyit tak paham. "Ibuku baru saja meninggal dunia dan kau ... ingin aku mengunjungi pesta?"
"Apa kubilang pesta?" Dia tersenyum usil. Kerlip jenaka menari-nari di mata indahnya. "Sepertinya, kau terlalu memandang tinggi para bangsawan. Kami bukan sekadar otak kosong yang gemar berpesta."
Aku mendengkus dan menendang kerikil. Helai ikal rambut cokelatku menggelitik pangkal leher. "Semua commoner membenci para noble," kataku blak-blakan. "Wajar saja kalau kami menganggap kalian sebagai otak kosong, kalau apa yang kalian lakukan tak lebih dari sekadar foya-foya dan adu kekayaan."
Aku berbalik dan berjalan pergi, mengikuti bekas sepatu orang-orang di atas tanah merah basah. Tanpa menoleh, bisa kudengar bunyi kelotak sepatu menyusul.
"Benarkah? Hanya foya-foya dan adu kekayaan?" Dia sudah berdiri di sampingku, berusaha mensejajarkan langkah selagi kami menuruni tangga batu, melintasi gundukan-gundukan tanah bernisan. "Kau lupa, ya. Kami mengelola hampir seluruh fasilitas kerajaan dan berkontribusi besar memajukan negara ini, baik dari dalam maupun luar kastil. Anak-anak kalangan biasa yang memiliki otak cemerlang, akan kami sekolahkan supaya bisa ikut berkontribusi daripada membiarkannya mengikuti ekor orang tua mereka. Secara garis besar, para noble sudah menjadikan negeri kita seperti sekarang."
Aku berhenti. Dia juga.
"Simpan ceramahmu untuk orang lain."
Wanita ini mengangkat bahu. "Setidaknya aku bukan seperti kalian, membunuh orang lain demi uang dan nafsu. Para assassin. Semua orang juga tahu kalau dalangnya adalah commoner yang tak menyukai bangsawan."
"Hah? Hanya karena punya banyak uang, jangan kira kau bisa menuduh kami seperti itu."
Sosok di depanku mengangkat tangan, dia kemudian menarik ritsleting tak kasat mata dari ujung bibir kiri dan kanan.
"Aku tidak pindah ke sini untuk berdebat. Justru sebaliknya, aku mau memperbaiki hubungan antara commoner dan para noble. Karena itu, datanglah ke rumahku nanti malam. Kapan lagi bangsawan dan orang biasa bisa makan semeja?"
Aku menggeleng. "Pertama-tama, perbaiki dulu gaya bicaramu yang membanding-bandingkan itu. Sama sekali tidak enak didengar."
"Jadi? Kau mau datang nanti malam?"
"Aku tidak bilang begitu."
"Namaku Cecilia Libelle. Aku tinggal tiga blok dari sini, rumah nomor 17 yang pagarnya dicat biru dan kotak surat merah. Aku akan menunggumu."
(***)
Jamuan, pesta sambutan, atau apalah Cecil menyebutnya, bahkan lebih sepi dari kuburan. Yah, siapa juga yang mau datang ke rumah seorang bangsawan? Distrik kami baik-baik saja tanpa mereka. Namun, dia serius saat mengatakan ingin memperbaiki hubungan antara bangsawan dan rakyat biasa. Kulihat sosoknya membagikan makanan di sepanjang jalan dari pagi sampai petang.
Tidak. Aku tidak memperhatikannya seperti yang Cecil kira, kebetulan saja adikku mendapatkan sekotak 'makanan paling enak yang pernah kucoba' dalam perjalanannya pulang dari sekolah. Bukan hanya sekali, tetapi hampir sebulan penuh. Ketika orang-orang terus menolak dan mencurigai keberadaannya, Cecil justru makin gigih. Dia menjadi donatur perbaikan fasilitas pendidikan, sosial, dan kesehatan, juga kerap kali menggalang donasi untuk rakyat miskin, yatim-piatu, lansia, dan lain-lain. Aku sampai meninggalkan pekerjaan lamaku di toko furnitur karena wanita ini terus datang dan memintaku membantunya. Dia membayarku tiga kali lipat dari gaji lama, jadi aku tidak menolak.
Adikku, Deo Alonso, bilang bahwa kami kelihatan cocok saat bekerjasama.
"Kau pasti sudah gila."
"Oh, ayolah. Wanita itu cerdas, mempesona, baik hati, suaranya indah, aromanya wangi, dan suara ketawanya lucu. Lalu, kau! Kau sudah seperti penasihat dan tangan kanannya saja. Lagipula, usiamu hampir kepala tiga dan kutebak, sudah lebih dari sepuluh tahun sejak kencan terakhirmu." Deo mencebik. "Kau sama lapuknya dengan perabotan rumah ini."
"Kau yang tidak pernah kencan, tidak pantas mengatakan itu padaku."
"Ajak dia kencan. Taruhan gajimu selama sebulan, bahwa Cecil menerimanya."
"Kau harus membayarku tiga kali lipat kalau dia menolak."
“Deal!"
Seluruh gajiku masuk ke kantong Deo bulan itu.
Walaupun menghabiskan waktu selama dua tahun, warga akhirnya mulai menganggap Cecilia sebagai bagian mereka. Apalagi setelah mendengar bahwa kami resmi menjalin hubungan dua bulan sejak kencan pertama -- tentu saja, mereka dengar dari Deo.
Minggu terakhir bulan Desember, aku pulang dengan perasaan berbunga-bunga sampai-sampai tak bisa berhenti tersenyum. Dalam saku kiri mantel cokelatku, terdapat sekotak cincin emas putih.
"Deo!" Panggilku seraya meletakkan sepatu ke rak. "Aku berencana melamar Cecil tahun baru ini. Bagaimana menurutmu?"
Tak ada balasan. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya dan perasaan tidak enak menghantamkan seperti sebilah besi dingin. Perlahan kupijak kaki menuju lantai atas, ke tempat kamar Deo berada. Lampu koridor atas dimatikan, suara yang terdengar hanya bunyi kaus kakiku yang berdecit dan napas. Perasaanku sedikit lega ketika melihat lampu kamar Deo menyala dari bawah pintu.
Tanganku meraih kenop pintu dan mendorongnya. "Aku memanggil, dasar tul--" Ucapanku terputus saat melihat tubuh Deo terikat di kasur, bersimbah darah dengan pisau dapur menancap tepat di tengah-tengah. Matanya membelalak, kepalanya terkulai menghadapku. Lebih mengejutkan dari itu, kulihat pula seorang wanita berambut cokelat kehitaman yang duduk di tepi kasur.
"Ludo Alonso. Nama samaran, Ghost. Seperti rumor, kau memang hantu. Dua belas tahun lalu pensiun sebagai assassin dan menjalani kehidupan normal di distrik terpencil." Cecil berdiri, sorotnya dingin. Dia meraih sepasang belati dari belakang sabuknya. "Sulit sekali bagiku untuk menemukanmu."
"Kenapa kau lakukan ini?" Perasaanku tercabik-cabik. Perihnya bercampur rasa bingung, seperti disiram air es dan air mendidih di waktu bersamaan. Rahang mengetat, napas memburu. Paru-paruku rasanya menyempit entah karena kecewa, sedih, takut, cinta, bingung, atau apa pun. "KENAPA?"
"KAU YANG MEMBUNUH KAKAKKU!"
***
Assassin. Satu kata yang membuatku tersenyum kecut. Masa lalu yang berusaha kulupakan sekuat tenaga, kini kembali terbuka. Membuatku terseret kembali ke sana. Anastasia Libelle, orang yang kubunuh kala itu ... adalah kakak Cecil? Dan Cecil berusaha mencari dan mendekatiku untuk membalaskan dendamnya.
Mengapa wanita itu tidak langsung membunuhku saja saat kami bertemu pertama kali di pemakaman ibuku? Mengapa harus membuatku tertarik dan berakhir dengan jatuh cinta dengannya? Kehilangan adikku saja rasanya sudah sangat menyakitkan. Apalagi mengetahui wanita yang kucintai hanya menggunakanku sebagai alat balas dendamnya.
Aku tidak ingin bertemu dengan Cecil lagi. Aku berusaha membatasi diri, menyembuhkan luka di dalam hati karena wanita itu. Wanita itu telah membunuh adikku, tetapi mengapa aku tidak bisa membencinya? Aku selalu memikirkan sosoknya, seolah dirinya adalah pusat gravitasi kehidupan.
Sejak kejadian itu, kusadari, keadaan tubuhku melemah dan semakin memburuk setiap harinya. Puncaknya ketika darah keluar dari mulutku saat aku terbatuk, dan dokter mengatakan umurku tidak akan lama lagi. Sedih? Mungkin tidak. Jika aku mati, bukankah itu merupakan hal baik? Aku bisa bertemu dengan ibu dan adikku yang lebih dulu berpulang.
Namun, Cecil ... aku ingin bersamanya meskipun wanita itu sudah menyakitiku, dan membenciku. Lebih tepatnya, kami pernah saling menyakiti dan membunuh anggota keluarga kami. Mungkin ada yang mengatakan bahwa aku aneh?
Ya, aku mengakuinya. Bagaimana bisa, aku ingin bersama orang yang telah membunuh adik kesayanganku? Namun, inilah yang hatiku mau. Akupun memberanikan diri mendatangi rumah Cecil, berharap masih bisa bertemu dengannya. Semoga saja wanita itu masih mau bertemu denganku meskipun kemungkinannya sangat kecil.
"Pergi dari rumahku!"
Baru saja membuka pintu, wanita itu sudah mengusirku. Beruntung, tanganku dengan cepat menahan pintu itu. Dengan sisa-sisa tenaga dan tubuh lemah, aku bisa melakukannya.
"Aku tahu kau begitu membenciku, ucapku, membuat cekalan tangannya pada kenop pintu mengendur. Meskipun terlambat, aku ingin mengatakan, aku minta maaf atas semua yang terjadi dua belas tahun yang lalu."
Aku memberanikan diri untuk mendongak, tatapan Cecil yang sedingin es berubah sendu saat melihat wajahku yang pucat.
"Tentang kakakmu, aku sungguh menyesalinya, lirihku. Aku berhenti menjadi assassin dan pindah ke distrik ini untuk menebus semua kesalahanku. Aku ingin berubah dan aku berhasil menjadi orang yang lebih baik."
Cecil terdiam, tidak memotong ucapanku. Wanita itu hanya menatapku dengan wajah datar, membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan olehnya.
"Sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Kita menjalani hari-hari bahagia, dan aku jatuh cinta padamu. Lalu, hari saat kau membunuh adikku, sungguh telah menghancurkanku. Seharusnya aku membencimu, tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Setelah apa yang kau lakukan pada Deo, aku tidak bisa membencimu."
Lalu, kulihat sebulir air bening menetes di kedua pipinya. Tentu saja aku terkejut melihatnya. Cecil menangis? Mengapa wanita itu menangis sementara dia membenciku?
'Awalnya, aku memang mencari dan mendekatimu untuk membalaskan dendamku atas kematian Anastasia. Tapi, dalam prosesnya aku jatuh cinta padamu. Dan itu adalah satu kesalahan terbesarku. Aku memang membencimu. Tapi, setelah aku membunuh Deo, aku menyesal. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Sejak saat itu, rasa bersalahku semakin bertambah, dan aku tidak sanggup menemuimu. Kupikir, kau juga membenciku."
Kedua netraku melebar. Cecil juga mencintaiku?
"Kau?" tanyaku.
Kulihat Cecil mengangguk di sela-sela air matanya yang jatuh. Kami berdua sama-sama terdiam setelahnya. Seolah kedua otak kami sedang berpikir keras. Banyak rasa yang tidak bisa dijabarkan.
"Cecilia," panggilku, membuatnya mendongak. "Aku sakit."
Kening Cecil berkerut sempurna. "Sakit?"
Aku mengangguk. "Waktuku tidak akan lama. Oleh karena itu, aku mendatangimu dan menyampaikan apa yang harus kusampaikan. Aku tidak ingin menyesal."
Mendengar ucapanku, Cecil menubruk tubuhku begitu saja, menangis keras di pelukan. Aku tersenyum tipis. Mengapa takdir begitu kejam? Kami bertemu untuk saling mencintai sekaligus saling membenci. Namun, mengapa aku tidak mencium aroma happy ending untuk hubungan kami?
"Aku ingin berjalan-jalan denganmu sambil bergandengan tangan. Anggap saja permintaan terakhirku.”
"Ayo kita lakukan!"
Dan kami benar-benar melakukannya, berjalan kaki sepanjang jalan distrik sambil bergandengan tangan. Rasanya membahagiakan. Aku ingin waktu berhenti, agar aku bisa tetap bersama Cecil. Namun, tiba-tiba tubuhku dibanjiri keringat dingin. Wajahku kian pucat dengan bibir membiru sebelum akhirnya ambruk begitu saja, membuat Cecil memekik keras.
"Ludo! Kau bisa mendengarku?!" suara panik Cecil menyapa telingaku, membuatku tersenyum. "Tetaplah bersamaku!"
"Cecilia, terima kasih sudah mengabulkan permintaan terakhirku. Aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersamamu. Berbahagialah selalu. "
*** END ***
Ditulis oleh Zaskia_putri & ichaaurahmaa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro