Loncatan Sangkala
Ditulis oleh salwariamah & tequilaiueo
"Jangan ... hoam ... kelamaan ...." Gumaman itu lolos dari bibir tipis Tara, mengiringi kepergian dua temannya yang pamit ke kamar mandi.
Seiring dengan mulutnya yang terus-menerus menguap, kelopak netra Tara perlahan agak terpejam. Sungguh, dia sangat mengantuk. Ingin rasanya bisa melakukan teleportasi ke kamarnya di rumah agar dapat segera melelapkan diri di atas kasurnya yang empuk. Akan tetapi, nyatanya dia tidak bisa ke mana-mana. Raganya tertahan bersama bertumpuk buku tebal yang mengelilinginya.
Tanpa terasa lima bulan lebih telah berlalu dari awal masuknya ke SMA. Kini, tahu-tahu saja dia sudah tiba di bulan penghujung yang membuatnya—mau tidak mau—akan segera berhadapan dengan Ujian Akhir Semester.
Itulah alasan yang menjadikannya terdampar di bangku teras perpustakaan seperti saat ini. Niatnya, ingin mempersiapkan diri dengan membaca banyak materi. Namun, ternyata belum ada setengah jam berjalan, matanya sudah sangat susah terbuka.
Bukan, Tara bukan alergi belajar. Meskipun bukan termasuk pemegang peringkat tertinggi, tetapi nilainya selalu lewat batas minimal, terutama di pelajaran berbasis angka dan hitung-hitungan. Hanya saja, dia memang kurang fasih dalam hal kata-kata dan hafalan. Itu sebabnya saat pendaftaran dulu dia tidak memilih jurusan IPS.
Namun, ternyata berada di IPA juga tidak sepenuhnya menyelamatkannya. Nyatanya dia masih tetap bertemu dengan pelajaran yang paling ditakutinya, sejarah, karena itu merupakan materi umum yang wajib dipelajari seluruh siswa.
Hal yang lebih horor adalah ... khusus pelajaran sejarah bentuk ujiannya essay. Sang guru berkata bahwa nanti bentuk soalnya akan meminta siswa untuk memaparkan pemahaman siswa sebaik-baiknya.
Tara menghela napas. Andaikan bisa, dia ingin sekali menghapuskan pelajaran itu dari hidupnya. Atau, jika tetap tidak bisa, dia berharap bisa mendapat pencerahan. Dia berharap ada sebuah keajaiban yang membuatnya bisa memahami materi tentang masa lalu itu.
Terlalu panjang berangan, tanpa terasa sedikit demi sedikit tangan kiri Tara yang menyangga dagu agak memiring. Sampai akhirnya ....
Tuk!
Tanpa dapat dicegah, kening lebar Tara tiba-tiba saja sudah berciuman dengan kerasnya meja.
"Haish ...." Seketika jemari lentik Tara meraba-raba bagian yang berdenyut itu. Rasanya teramat sakit, sampai berhasil menghilangkan inginnya untuk tidur. "Sialan!"
Masih dengan mengusap-usap dahi, Tara menjatuhkan punggung ke sandaran kursi. Wajahnya lurus, memerhatikan cahaya jingga yang membias langit di atas lengkungan tembok plang nama sekolah yang berada tepat lima meter dari posisinya. Beberapa detik kemudian pandangannya menurun, menyorot ke tengah-tengah gerbang yang terbuka.
Pupil Tara melebar tatkala mendapati sesosok pemuda bertubuh jangkung tengah melambaikan sebelah tangan. Rambutnya yang bervolume bergerak-gerak seiring dengan embusan angin sore. Membuat Tara seakan lupa caranya berkedip.
"Hai...!"
Tara terkesiap saat begitu saja pemuda itu sudah tepat berada di hadapannya. Kini mereka hanya berjarak beberapa puluh sentimeter, terhalang sebuah meja.
"Ka-kamu ... siapa?" Suara Tara tercekat. Perawakan orang di depannya yang begitu gagah dengan aroma maskulin yang menguat hebat, membuatnya gugup.
Pemuda itu mendudukkan diri di seberang Tara. Kemudian tangan besarnya terulur bersama ucapan, "Aku calon suamimu, dari masa depan."
Dagu Tara merosot. "Hah?!"
Pemuda itu malah terkekeh renyah. Wajah ovalnya memancar binar saat senyum lebarnya terukir. Tangannya yang tak bersambut pun beralih mengambil buku yang didirikan dekat wajah Tara. "Udah, ayo aku ajarkan materi sejarahnya."
Tara malah menggebrak meja. "Heh, kamu siapa? Enggak jelas banget! Mana ada orang loncat-loncat waktu. Halu!"
Dalam dirinya yang penuh emosi, Tara merapalkan harap kuat-kuat, ingin teman-temannya segera datang dan membantunya mengusir pemuda aneh itu. Dia tak jadi terkesima dengan pesona pemuda itu. Percuma tampangnya rupawan, jika isi kepalanya penuh imajinasi bahkan halu berlebihan.
Pemuda itu berdeham. "Aku udah bilang yang sebenarnya. Tergantung kamu mau percaya atau tidak." Telapak tangannya terangkat saat Tara hendak membuka mulut. "Tolong jangan mendebat lagi. Aku harus segera membantu kamu memahami materi sejarah ini."
Tara yang linglung hanya sanggup menggaruk rambut setelinganya. "Kenapa?"
"Udah, ayo belajar!" Jemari pemuda itu membuka lembar demi lembar.
Tara kehabisan kata, tak sanggup menanggapi lagi, tetapi kemudian menurut saja saat pemuda itu menyuruhnya untuk memperhatikannya kemudian mengulang-ulang apa yang dia ucapkan.
Akhirnya dia memilih diam, tak ingin ambil pusing, mau pemuda itu mengatakan kebenaran ataupun khayalan, terserah saja. Bagi Tara yang penting dia dapat bantuan belajar, cukup itu saja. Konsekuensi lainnya, dia pikirkan nanti.
"Sejarah berasal dari bahasa Arab 'syajaratun' yang berarti pohon," ucap Tara lantang. Melafalkan materi paling awal dari pelajaran sejarah mengenai asal katanya.
Pemuda itu tersenyum. Merasa usahanya bermenit-menit untuk menuntun Tara membuahkan hasil baik.
Tara mendongak sejenak, mencoba mengingat lanjutannya. "Uhm ... dalam bahasa Inggris sejarah disebut 'history', dalam bahasa Belanda disebut 'historia', dan ... dalam bahasa Yunani disebut 'geschiedenis'.
Pemuda itu menepuk kening. "Kebalik!" serunya geregetan, lantas menunjuk-nunjuk kertas. "Dalam Yunani disebut 'historia', sedang dalam Belanda disebut 'geschiedenis'."
Tara merenggut. "Tuh 'kan ... aku memang bodoh dalam menghafal."
"Enggak gitu." Pemuda itu meraih jemari Tara. "Kamu enggak bodoh, kamu hanya belum menguasainya saja. Jika berusaha lebih banyak lagi, aku yakin kamu pasti bisa lulus ujian ini."
Tara rasakan pipinya menghangat. Seolah ada beribu bunga dan kupu-kupu yang mengerubunginya. Dia ... terbawa perasaan. Sebab, ini pertama kalinya dia berhadapan dengan lawan jenis sedekat ini terlebih dengan perlakukan yang teramat manis. Rasanya sungguh mendebarkan.
Hening sesaat, sampai Tara bertanya pelan, "Kamu beneran dari masa depan?"
Pemuda itu mengangguk mantap.
"Kenapa bisa sampai sini?"
"Karena aku harus membantu kamu belajar."
Decakan Tara keluarkan. "Maksudku bagaimana caranya? Naik apa?"
Pemuda itu akan menarik tangannya. "Tidak bisa menjawab."
Namun, Tara malah mengeratkannya. "Oke, oke, ganti. Aku mau tahu identitas kamu."
Sejenak pemuda itu terlihat menimbang. "Namaku ... Toni, umurku 28 Tahun, dan statusku calon suami kamu."
Tara bergidik. Ngeri karena pemuda itu terus mengulang-ulang statusnya. "Bagaimana kita bisa bertemu?"
"Karena takdir."
Dengkusan Tara menguar keras. Dia jengkel. Mengapa bisa dia memiliki calon suami macam ini di masa depan. Apa salahnya di masa lalu atau sekarang yang akan membuatnya berakhir dengan pemuda itu?
"Caranya, gimana cara kita ketemu? Dan di mana?"
Ekspresi pemuda itu tak acuh. "Sudahlah, ayo kembali belajar. Waktu aku enggak banyak."
Tangan Tara terlipat di dada. "Kenapa kamu ngebet banget ngajarin aku, sih?!"
"Karena aku takut kamu gagal!" Nada pemuda itu agak meninggi.
Alis Tara terangkat sebelah. "Memangnya kenapa kalau aku gagal?"
"Kita enggak akan bisa bersama."
"Kok bisa?"
"Kamu ...."
Tara menunggu dengan penasaran. Namun, ucapannya hanya menggantung di udara dan keheningan melanda setelahnya. Pemuda itu bangkit, memutar tubuhnya ke arah Tara. Menyamakan tinggi hingga wajah mereka saling berhadapan.
"Pokoknya kamu harus berhasil," katanya mengusap rambut Tara. "Waktuku habis. Sampai jumpa, Tara."
Pemuda itu menyentil dengan keras. Tara terpejam merasakan sakit yang berdenyut di sana. Tangannya mengusap-usap kening lebarnya dengan kesal. Ketika matanya kembali terbuka ingin membalas, pemuda itu sudah tidak ada di hadapannya. Benar-benar hilang.
"Menyebalkan!" gerutunya mulai merapikan buku pelajaran yang terbuka. "Masa ada orang kaya gitu."
Angin berembus pelan saat Tara mendongak menatap langit. Tidak habis pikir dengan kejadian yang baru saja ia alami. Semua terasa tidak masuk akal. Orang dari masa depan?
Ketika sedang memikirkan pemuda itu dengan perasaan campur aduk, teman-temannya sudah kembali dan mengajak Tara pergi ke kelas karena pelajaran akan segera dimulai.
Rasanya seperti mimpi, atau dia berhalusinasi barusan?
###
Usaha tidak mengkhianati hasil. Tara tersenyum senang karena menjadi orang pertama yang maju. Bahkan mendapat nilai sempurna setelah berhasil memaparkan dengan baik tanpa gugup. Tara bangga dengan dirinya sendiri.
Karena sudah menyelesaikan ujian, guru memperbolehkan Tara pulang duluan. Tara bersenandung kecil dengan wajah berseri menuju gerbang sekolah. Saat hendak menyebrang setelah memastikan tidak ada kendaraan yang lewat, tubuhnya ditarik ke belakang hingga terjatuh.
"Kamu enggak apa-apa?"
Suara itu menyadarkan Tara yang masih terkejut. Tara mencari sumber suara tabrakan tersebut. Tak jauh dari tempatnya berada, kecelakaan mobil dan motor baru saja terjadi. Untuk pertama kalinya, Tara bersyukur masih diberi kesempatan hidup.
"Sini aku bantu."
Tara mendongak mendengar suara seseorang. Terkejut untuk kedua kalinya. "Toni?"
"Kamu tahu namaku?"
Karena takdir.
Tara mengingat kembali apa yang dikatakan Toni. Tidak mungkin ia salah mengenali orang di depannya, perawakan mereka hampir sama. "Kamu suami masa depanku."
Pemuda itu terkekeh kecil. Mengulurkan tangan membantu Tara berdiri yang jatuh terduduk. "Kita baru saja bertemu. Jangan-jangan kepalamu luka lagi."
"Enggak! Kamu suami masa depanku, kamu sendiri yang bilang." Entah dorongan dari mana Tara berani mengatakan dengan percaya diri.
"Apa buktinya aku bilang gitu?" Pemuda itu bersedekap.
Tara bungkam, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan. Mana mungkin ia bilang, Toni dari masa depan datang dan menyuruhnya tidak gagal dalam ujian ini. Tara sungguhan dianggap gila nanti.
"Enggak ada, 'kan? Ya, sudah. Kamu hati-hati pulangnya."
"Tunggu!" Tara mencegahnya yang hendak pergi. Kemudian mengatakan sesuatu tanpa berpikir dua kali, "Jadi pacarku."
"Kamu aneh, ya."
"Kita bisa coba dulu seminggu."
"Oke."
Rahang Tara terjatuh saat pemuda itu menyetujuinya begitu saja. Memangnya Tara tidak terlihat aneh atau mencurigakan?
"Tapi bukan pacaran, kita coba dekat satu sama lain dulu." Pemuda itu tersenyum dan memberikan ponsel pintarnya. "Sini, tulis nomormu biar aku gampang hubungin."
Tara mengetik nomor yang sudah hapal diluar kepala, lalu mengembalikan ponsel pintar tersebut. Entah kenapa Tara baru merasa dirinya gila sekarang setelah melihat senyum pemuda itu lagi.
###
Lembayung senja menghiasi langit di ufuk barat. Angin berembus membawa dedaunan yang berterbangan luruh ke bumi. Tara menengadah, menatap cakrawala dengan sisa-sisa warna jingga. Untuk kesekian kali ia menghela napas.
Sudah satu jam Tara menunggu di sini, tempat janjian mereka bertemu selama seminggu ini. Tidak ada tanda-tanda Toni akan datang menemuinya. Bahkan teleponnya tidak diangkat.
"Aku gila, ya? Mendingan fokus sama sekolah, 'kan?"
Seminggu bersama Toni memang menyenangkan, tetapi Tara merasa pemuda itu tidak nyaman didekatnya. Tara lebih sering bercerita, sementara Toni diam mendengarkan. Tara juga yang berinisiatif memulai lebih dulu, seperti mengajak Toni ke tempat-tempat kesukaannya.
Tara tersenyum kecil. Mengingat pertemuan pertama mereka, tidak seharusnya ia bilang begitu. Bukannya masa depan bisa berubah? Toni terlihat tidak peduli dengannya, itu mungkin faktanya.
"Cinta-cintaan merepotkan."
Suami masa depan apanya! Semuanya hanya lelucon!
"Tara!"
Tak jauh dari tempatnya duduk, orang yang membuat Tara galau sedang menatapnya. Toni datang dengan napas tidak teratur, wajahnya terlihat khawatir.
“Mau ke mana?” Toni bertanya sambil berjalan ke arahnya.
“Pulang. Kenapa? Rindu, ya?" Tara bertanya sekenanya setelah berdiri.
"Maaf aku baru datang," kata Toni memulai pembicaraan. "awalnya aku enggak begitu menaruh perhatian padamu, berharap pun tidak. Aku bahkan mau menghilang darimu."
Tara dia mendengarkan, tidak harus merespon seperti apa. Sampai Toni mendekat, menggenggam tangannya dengan serius.
"Lama kelamaan perasaan itu berubah. Aku selalu ingin dengar ceritamu, tentang kegiatanmu, atau kamu yang mengajakku pergi ke tempat yang belum pernah aku datangi. Aku menyukaimu. Aku bosan terus begini denganmu. Mau coba sesuatu yang baru seperti pacaran? Dalam hitungan mundur satu sampai sepuluh bilang kamu mau jadi pacarku."
"Tunggu dulu!" kata Tara panik karena Toni mulai menghitung mundur. Pemuda itu terus bicara tanpa memberikannya kesempatan. Kepalanya menunduk dengan gugup.
"Aku enggak main-main denganmu, Tara. Ayo, terus bersamaku."
Ucapan seriusnya dengan tangan saling bertaut membuat Tara tersentuh. Tak pernah ada bayangan akan seperti ini, padahal dulu ia juga tidak terlalu serius.
Dengan senyuman lebar Tara mengangguk sebagai jawaban. Ia semakin jatuh cinta pada seseorang yang memiliki sepasang mata hitam legam dan selalu menatapnya teduh.
The End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro