Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cinta Mati

Ditulis oleh wiwinwin0411 & mozaraja

Raisa artis paling terkenal di Indonesia. Karir melejit, prestasi selangit, kecantikannya jangan ditanya lagi. Dalam hidupnya Raisa seolah tidak memiliki kelemahan padahal ....

"Astaga! Capek banget, pegel, mana lecet lagi!" keluhnya. Tangan kanan Raisa memijit pelan pelipis lalu beralih ke tumit kakinya yang lecet.

Kulit putih bersih itu ternyata memiliki bercak kecoklatan di sekitar tumit. Raisa sadar, setiap pekerjaan mempunyai resiko tersendiri.

"Pengen libur," keluh Raisa.

Jam kerja yang lebih dari 8 jam dalam sehari membuat Raisa kehilangan banyak waktu bersama keluarga, teman sebaya. Pacar? Raisa bahkan tidak memiliki waktu untuk berpacaran. Kini usianya 25 tahun, tapi Raisa tak pernah merasakan rasanya jatuh cinta. Jatuh pernah sih, tapi cinta?

"Ah! Rasanya hidupku lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan jangkrik di kebun belakang rumah," ungkapnya pelan.

Menghabiskan masa remaja hingga dewasa di lokasi syuting. Pindah dari satu kota ke kota lain, adakah yang bisa Raisa rasakan selain lelah mental?

"Ra," panggil Dimas—manajer baru Raisa.

"Eh, iya Kak kenapa?" tanya Raisa. Buru-buru dia membenarkan posisi duduknya. Rasanya tidak sopan jika hanya mendengar tanpa memperhatikan. Usia Raisa dan Dimas terpaut 5 tahun. Tapi, Dimas itu ....

"Semangat. Masih ada kerjaan yang nunggu kamu. Oh iya, ini ada surat dari penggemar. Jangan lupa baca ya, Ris. Tanpa mereka kamu bukan siapa-siapa," pesan Dimas. Tanpa banyak bicara Dimas pergi meninggalkan Raisa. Membiarkan Raisa beristirahat tanpa ada gangguan.

Sebelum Dimas pergi, Raisa sempat tersenyum dan mengangguk.

"Surat lagi? Paling kalimatnya itu-itu aja! Bosen bacanya!" keluh Raisa dalam hati.

Kalimat apalagi yang akan ditulis penggemar setia bahkan fanatik selain pujian, rasa cinta, keinginan untuk bertemu dan yang gilanya ada yang ingin memiliki Raisa secara utuh.

Tidak ada sedikit pun niat Raisa 'tuk membaca surat itu. Tanpa melihat apa yang dituliskan penggemarnya, tangan Raisa bergerak cepat membuang surat itu ke kotak yang berisi tumpukan surat penggemar. Kotak yang selalu Dimas bawa. Entah apa alasannya, tapi pria itu selalu saja meminta Raisa agar membawa kotak surat itu.

"RA!"

Kali ini siapa lagi? Suaranya keras membuat telinga Raisa sakit.

"Bisa gak kalo manggil itu pelan-pelan? Lama-lama kuping aku budek!" gerutu Raisa yang justru dibalas tawa renyah Dinda.

Dinda—asisten pribadi Raisa sekaligus sahabat paling setia sejak belia hingga tua.

"Galak banget sih neng. Abang kan cuma mau ngasih makan," ungkap Dinda. Kedua tangannya menjinjing dua kantung kresek warna putih. Tanpa banyak tanya Raisa bergegas merebut salah satu kantung kresek yang dibawa Dinda.

"Lama banget!" kesal Raisa.

Dinda yang malas berdebat akhirnya memilih untuk menyerahkan semua makanan pesanan Raisa.

"Lo kalo lagi stress ngeri, ya. Makan sebanyak ini, untung gak pernah jadi lemak." sahutnya. Tak habis pikir dengan pola makan Raisa.

Makan banyak tapi badan tetap kurus, aneh tapi nyata.

"Diem! Orang lagi makan juga," bentak Raisa. Sungguh kesabaran Raisa makin habis, dia tidak bisa lagi berbicara dengan lembut. Lelah, sangat lelah. Raisa jengah berpura-pura, lebih baik jujur di depan orang terpercaya. Setidaknya dia bisa mengungkap perasaan yang selama ini dia simpan rapat-rapat.

"Iya deh iya. Ehh—" Belum sempat Dinda menyelesaikan ucapan. Perhatiannya lebih dulu teralihkan dengan tumpukan amplop berbeda-beda warna di kotak surat milik Raisa.

Raisa hanya mendongakkan kepala, menatap sekilas lantas kembali melahap nasi goreng pesanannya beserta makanan lain yang dibeli Dinda.

"Ini surat makin banyak aja. Gak mau gitu Lo jual ke tukang gorengan? Lumayan tau," Dinda memberi saran.

Ide untuk menjual surat-surat yang diberikan penggemar itu tidak sekali dua kali Dinda katakan. Tetapi jawaban Raisa tetap sama.

"Kak Dimas larang gue. Kata dia baca surat itu. Dibaca pas capek, sedih, nanti pasti mood bahagia balik lagi. Bisa semangat kerja lagi. Gitu katanya," papar Raisa.

"Ya, ya, ya. Dibaca juga kagak! Mending dijual diem-diem. Udah tenang aja, gue bisa bantu kok," kekeh Dinda.

Percayalah, Raisa pernah membuang bahkan membakar beberapa surat dari kotak itu, tetapi Dimas memergokinya dan anehnya Dimas selalu tahu jumlah surat itu. Jadi saat jumlah surat yang ada di kotak itu tidak sesuai dengan catatannya maka Raisa akan mendapatkan hukuman. Salah satunya tidak ditanya selama 1 Minggu. Raisa juga pernah membujuk Dimas agar memberinya izin untuk menyimpan di gudang surat-surat dari penggemar itu.

"Emang ini surat isinya apa sih? Kok Dimas sampe ngelarang Lo buang surat gak berharga ini," cerocos Dinda.

Kata-kata tidak berharga itu sebenarnya menyakitkan untuk didengar. Tetapi Raisa tidak ingin ambil pusing.

"Coba aja baca," saran Raisa.

Didorong rasa penasaran, Dinda akhirnya membuka satu dari puluhan amplop yang ada di kotak surat milik Raisa.

Saat Dinda sibuk membaca lembar demi lembar surat yang ditulis tangan itu, Raisa tetap asik menyantap makan siangnya.

Dimas tampak sedang sibuk berbincang dengan sutradara dan beberapa kru film lain.

Sebenarnya Raisa suka dengan kinerja Dimas. Dia perhatian ,bisa merasakan beban yang Raisa emban. Tidak pernah sekalipun Dimas lupa untuk bertanya apakah kabar Raisa baik atau tidak. Mental Raisa juga diperhatikan, tetapi ....

"Kenapa ya Kak Dimas sayang banget sama surat-surat itu? Apa sih istimewanya? Iya, itu surat dari penggemar, tapi kayak ada hal lain," gumam Raisa dalam hati.

Napsu makannya semakin berkurang setelah memikirkan kembali tingkah Dimas. Saat Raisa sedang asik melamun, memikirkan berbagai solusi dari berbagai pertanyaan yang dia miliki tiba-tiba saja Dinda mengejutkannya.

"Ra!" pekik Dinda. Raut wajahnya yang sejak tadi ceria kini berubah pasi. Keringat tampak jelas membanjiri kening.

"Kenapa? Ada yang aneh? Ada yang mau jadi suami gue? Ada yang minta gue buat jadi istrinya? Ibu dari anak-anaknya? Atau jadi mantunya?" tanya Raisa seakan-akan tahu dengan apa yang dipikirkan Dinda setelah membaca surat-surat itu. Ada sekitar 5 amplop yang dibuka Dinda. Ternyata cukup mengasyikkan membaca surat dari orang-orang yang tidak pernah ditemui tetapi mereka peduli.

"Ra, Lo beneran gak pernah baca surat-surat ini?" tanya Dinda memastikan. Wajahnya bertambah pucat. Harap-harap cemas Dinda menanti respon Raisa.

Raut wajah Raisa yang awalnya tenang berangsur-angsur memucat. Ada yang tidak beres. Raisa yakin, surat itu bukan surat biasa.

"Pernah, dulu. Kalo gak salah setelah Dimas jadi manajer, aku udah gak baca surat itu lagi. Banyak banget fans fanatik yang nulis surat-surat aneh. Jadi aku gak minat buat baca. Kenapa sih?" tanya Raisa. Sebisa mungkin menetralkan raut wajahnya.

"Ra ... ini gila! Isi surat ini lebih parah dari apa yang pernah Lo baca. Gue yakin yang nulis bukan fans fanatik tapi—" Belum sempat Dinda menyelesaikan kalimatnya Dimas sudah lebih dulu masuk dan mengajak Raisa untuk kembali ke lokasi syuting.

Dimas berucap dingin, "Bagian kamu."

Raisa mengangguk dan buru-buru bangkit hendak pergi walaupun pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, 'Sebenarnya apa isi surat itu? Hal gila apa yang Dinda maksud?'

***

Raisa tidak pernah menyangka bila puluhan surat-menyurat itu dari satu orang. Menyuarakan isi hati secara bertahap, menumpahkan segala rasa dengan begitu apiknya melalui rangkaian kata menggugah jiwa. Isi lembaran kertas masih menempel kuat pada dinding otak—enggan lupa barang sejenak. Gaya tulisan tangan tegak bersambung berhasil menggelitik hati sedemikian rupa nan candu, mengisi ruang lihatnya.

Benar apa yang Dinda ucap, isinya terlalu gila untuk direalisasikan menjadi sebuah fakta nyata. Mengapa dia tak berniat membaca satu surat saja dari tumpukan amplop sedari awal? Mungkin saja Raisa tidak dikejutkan sampai-sampai membuatnya hampir jantungan.

Sedalam apa rasa si pengirim surat, itu bisa terlihat jelas dari luapan atas sepucuk surat tanpa nama pengirim. Namun, stempel mawar di pojok amplop dia kenal dengan baik. Sungguh, semua ini di luar dugaan, bagaimana pria itu menyukainya?

"Aku masih gak nyangka," ucap Raisa seraya menutup wajah.

Sejak menginjakkan kaki di lokasi syuting hingga pulang, dia—Raisa tidak fokus barang seujung kuku. Dengan mengetahui fakta bahwasannya Dimas sang Manajer menaruh hati padanya, menyebabkan wanita cantik itu kelimpungan. Masih menolak fakta, bersikeras bila itu bukanlah Dimas, melainkan orang lain.

Akan tetapi jika itu bukan Manajernya, mengapa tulisan tersebut begitu familiar? Alhasil, demi menjaga ketentraman hati, dia menghindari pria tersebut dengan segala macam alasan.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 waktu setempat dan Raisa belum kunjung mendapat taksi baik online atau pun biasa, sementara semua orang di lokasi syuting telah pulang. Dia ... tertinggal.

"Kamu masih di sini?" tanya Dimas.

Mendongakkan kepalanya, melihat gerangan siapa yang menegur di depan gerbang gedung. "Kak Dimas?"

"Gak ada taksi lagi jam segini. Daripada kamu jalan kaki atau dibegal, mending ikut saya," sarannya. Menunjuk arah parkiran, lebih tepatnya pada sebuah mobil.

***

Suasana antar keduanya begitu canggung. Raisa dengan gejolak hati akibat isi surat pengungkapan rasa, sementara Dimas menerka-nerka apa yang akan terjadi bila wanita itu membaca seluruh surat. Atmosfer mengelilingi seakan mencekik, terasa berat juga menyesakkan.

Raisa benar-benar tak habis pikir, jika saja sungguh Dimas maka dia akan mencubit pria itu berulang kali tanpa ampun. Pantas saja nyaris setiap hari memberikan surat dengan embel-embel dari penggemar.

"Raisa," panggil Dimas.

"I-iya, Kak Manajer? Eh ...."

Si pria menggelengkan kepala seraya menghela napas. Mata kucingnya masih setia memandangi jalanan kota bahkan menaikkan kecepatan, mengindahkan Raisa yang nampak memucat.

Di jam begini, jalanan amat sangat lengang. Dimas menyadari peluang untuk menyuarakan isi hati. Tak membuang waktu, dia berucap, "Yang di surat itu saya."

Tak bisa memberikan respon berarti, Raisa hanya mematung dengan mata membola sempurna. Dugaannya tepat. Surat cinta tiada habis tersebut dari Manajernya sendiri

"Sebenarnya saya udah suka kamu lumayan lama. Bukan cinta dalam sekali pandang, tapi karena terbiasa. Ngarep banget ngira saya suka kamu gitu aja," ungkapnya. Tak memperdulikan wanita di sampingnya tengah berenang dalam lautan kebingungan.

Raisa kebingungan harus memberi respon seperti apa, hanya bisa terdiam mendengar penuturan Dimas. Wajah pria itu biasa saja, cenderung tanpa ekspresi.

Kecepatan mobil tersebut mencapai batas maksimum dan Dimas enggan mengurangi lajunya, walau tengah memandangi wajah sang pujangga.

Seperti apa pun wanita ini, baik buruknya akan dia tampung meski akan membuatnya pusing akibat mendengar celotehan atau bahkan diceramahi—siraman rohani.

"Saya cinta sama kamu, Raisa," akunya gamblang.

Bibir berlapis lipstik merah muda terbuka hendak menyuarakan isi hati pula, tetapi ...

"Kak, awas!" Raisa berteriak histeris.

Tabrakan pun tak terelakkan. Mobil yang mereka naiki menabrak sebatang pohon, begitu kuat—bagian depan hingga penyok.

Dimas tak sadarkan diri akibat kepala juga wajahnya membentur setir juga dasbor. Belum lagi salah satu betisnya terhimpit, kemungkinan besar hancur. Di sisi lain, Raisa setengah sadar.

Dalam ruang lihatnya, ada kobaran api dari arah depan. Meski tubuh lemas bukan main, tetapi tangannya berusaha menggapai sang Manajer.

"K-Kak Dimas ... Kak ...." Memanggil susah payah, tapi tak mendapat respon.

Jelas. Kejadian ini terlalu mendadak, setelah pengakuan cinta si pria 5 tahun lebih tua darinya, langsung dihadapkan dengan tragedi semengerikan ini.

Dia enggan menyalahi Dimas akibat membawa mobil secara brutal. Bagaimana pun jua, takdir akan tetap terjadi meski Dimas mengendarainya perlahan, sekalipun dengan atau tanpa pria itu kemalangan masih menimpa.

Siapa sangka pernyataan cinta untuk pertama kalinya bagi Raisa tak direstui oleh Tuhan. Sebelum detik-detik terakhir ledakan terjadi nanti, dia ingin mengingat-ingat momen kebersamaan mereka.

Pasrah. Tak ada jalan lain 'tuk lari, walau pun mampu Raisa tidak mungkin meninggalkan Dimas terbakar api romantika seorang diri. Setidaknya, dengan cara seperti ini mereka akan mati bersama.

Terdengar konyol atau seakan ingin memiliki akhir kisah bagai Romeo dan Juliet, tetapi faktanya mustahil 'tuk menghindari kematian kini. Kaki si pria pecinta terhimpit habis sementara tubuhnya sendiri mati rasa tiada bertenaga. Motivasi apa saja itu tidak akan bisa membangkitkan semangat membara, kematian sudah di depan mata.

Raisa terbatuk, darah menyelip di antara celah bibir. "Makasih ... Kak Dimas," cicitnya banjir akan air mata.

Setiap orang berhak memerdekakan rasa termasuk Dimas. Entah itu berakhir dengan cinta tragis terbawa sampai menuju nirwana atau penolakan tanpa tahu seperti apa kalimatnya. Dan, untuk Raisa pun dia berhak memutuskan ingin menerima atau membuang kunci cinta tersebut.

Kobaran api kian membesar—perlahan memasuki area kursi pengemudi. Dalam tangisnya dapat Raisa lihat tubuh Dimas yang dibalut api lambat-laun. Di mana wajah bertabur senyum kala menjahilinya? Di mana iris coklatnya terang yang senantiasa menyorotnya hangat?

Di mana kebahagiaan mereka? Mengapa Tuhan memberi jalan seperti ini pada mereka yang bahkan belum pernah mengecap asmara, belum memiliki seseorang teramat berharga untuk dilindungi.

Wanita itu membatin pilu, "Kak Dimas, kamu ngerasa nyesel gak suka sama aku dan kita berakhir kayak gini?"

Tak pernah memandang Dimas sebagai sosok pria 'tuk menjadi pelabuhan hati, sekedar hubungan kerja—Manajer dan artisnya. Namun, akibat insiden ini hatinya mengalami kebingungan sebelum api merambat—membakar kulit sedemikian rupa.

Kesakitan, euphoria tak terhingga, penyesalan juga kebingungan membungkus hati Raisa. Memorinya perlahan ikut serta terbakar, memudar pedih, mengharu-biru suasana suram.

"Aku harap aku gak lupa sesuatu selama jadi rekannya. Entah kenapa kayak ada yang kurang," batin Raisa.

Bahkan, sekedar untuk mengingat problematika apa yang sempat terjadi pun Raisa tak sanggup. Ledakan memekakkan telinga terjadi di gelapnya malam, menghantarkan dua insan tanpa kejelasan menuju alam selanjutnya.

Tumpahan cat rasa terlalu banyak sehingga tumpang tindih, membuat Tuhan murka sebab suatu alasan yang mereka lupa.

Suara Dimas beserta ucapan cintanya akan selalu Raisa ingat walau raga sudah tiada. Walau dia sendiri pun merasa gundah haruskah mengiyakan pernyataan tersebut.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro