Api dalam Kehilangan
Ditulis oleh PinceSlovu & Nichole_A
Tatapan penuh sinar, tersirat di bola mata Daren. Entah harus sampai kapan aku dan Daren berhadapan seperti ini. Aku hanya bisa mengulurkan tangan dan meletakkannya di dahi Daren. Tidak panas, cukup untuk suhu tubuh manusia pada umumnya.
Daren hanya mengambil tanganku yang menempel di dahinya. "Aku nggak apa, sayang."
Aku memanyunkan bibir. "Terus kenapa? kamu diam terus sejak tadi."
"Kamu ingin tahu?" Pertanyaan Daren ku angguki secara tegas.
Daren tersenyum lalu berkata penuh bahagia, bahwa sebentar lagi dia akan dinas pemadam kebakaran. Sebenarnya aku senang, tapi di lain hati aku merasa keberatan akan semua ini.
Daren menyadari raut sedihku. "Kamu kenapa, Ne? Kamu nggak suka aku kerja?"
Aku menggeleng cepat, lalu mengulas senyum. "Aku senang kok, tapi--"
Aku sedikit ragu untuk mengatakan bahwa aku tak siap kehilangan kebersamaan dengan Daren. Mungkin aku terlihat sangat posesif, tak membiarkan Daren jauh dari hidupku. Terlebih menurutku pekerjaan pemadam kebakaran ini sangat membahayakan nyawa. Oh my God, bagaimana jika terjadi sesuatu pada Daren? Aku tidak siap membayangkannya.
Aku tersadar, saat tangan Daren mengusap lembut puncak kepalaku. "Kenapa sayang?"
Aku membuang napas gusar. "Nggak apa-apa, aku cuma nggak rela jauh dari kamu. Aku cuma takut--"
Ucapanku terhenti, saat Daren membawaku dalam pelukannya. Aku tau, ini adalah pekerjaan yang selama ini diimpikan Daren. Dan aku tidak bisa memaksa dia untuk terus berada di sampingku di setiap saat. Bagaimanapun ini menyangkut masa depan Daren.
Aku ingat, saat SMA Daren pernah mengatakan tujuannya masuk kerja jadi pemadam kebakaran.
"Yanne." Daren menatapku dengan wajah serius.
"Iya?"
"Menurut kamu, kalau aku kerja jadi pemadam kebakaran gimana?" ucapan Daren seakan-seakan meminta restu pada mimpinya.
"Kenapa kamu mau kerja itu? Kamu nggak takut, apa?" tanyaku balik.
"Takut, sih."
"Terus?"
"Tapi aku merasa ini keren, Ne. Aku ingin menolong semua orang yang membutuhkan pertolongan. Hitung-hitung, jadi superhero." Daren menyisir poni rambutnya ke belakang. Salah satu matanya bergerak naik turun ke arahku.
Aku hanya bisa tergelak. "Kamu benar-benar baik, Ren. Aku jadi semakin--"
"Semakin apa?" goda Daren.
"Hemmm, itu--" Aku menggaruk kepala tak gatal, merasa salah tingkah.
Daren tersenyum tipis. "Mau pacaran nggak sama aku?"
"Heh?" Aku melongo atas perkataan Daren barusan. Apakah aku salah dengar barusan? Daren menembakku?
"Mau nggak?" tanya Daren sekali lagi.
Aku mengerucutkan bibir. Daren memang beda, biasanya semua cowok mempersiapkan banyak hal untuk mengajak gadis yang disukainya pacaran. Heh! Sepertinya ada yang salah dari perkataanku barusan. Kapan juga Daren menyukaiku?
"Di mana-mana ya, kalau cowok ngajak pacaran itu. Di bacain puisi cinta atau apalah gitu. Lah, ini simple banget."
Daren tertawa mendengar penuturanku.
"Kenapa? ada yang salah?" ucapku kesal melihat tanggapannya.
"Terus, kamu mau yang gimana? atau kamu mau, aku nyatain perasaan dulu?" Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan yang baru diucapkan Daren.
"Jangan bercanda deh, Ren. Aku nggak suka!"
"Aku memang nggak bercanda. Aku serius suka sama kamu. Ya, tapi mungkin cara aku saja nggak terlalu romantis seperti yang lain. Habisnya mendadak banget sih, jadi nggak ada persiapan apa-apa."
Aku melongo lagi dan lagi. Ini Daren kerasukan apa tadi pagi? Kenapa cepat sekali berubahnya?
Hari Daren meminta pendapat tentang pekerjaan pemadam kebakaran. Hari itulah, kami resmi pacaran. Meskipun terkesan simple, Daren tetaplah cowok yang unik bagiku.
***
Sudah seminggu, aku dan Daren tak bertemu. Aku benar-benar merindukannya. Tapi, walaupun begitu kami masih sering berkomunikasi lewat pesan. Beruntung sekali aku memiliki Daren yang selalu setia. Dia menerimaku apa adanya. Ternyata, tidak semua cowok ganteng yang playboy. Walaupun kebanyakan ditemui memang playboy, sih.
"Ne, nanti malam jalan-jalan, yuk! Ada orang yang mau ku kenali sama kamu." Sila yang ada di sampingku membuka obrolan.
Aku menoleh. "Memang siapa?"
"Ada deh, nanti malam ku jemput di kost-an."
Aku mengangguk saja. Tak mau berpikir panjang.
***
Sesuai yang dikatakan Sila. Malam ini kami pergi ke luar berdua, sekaligus bertemu dengan seseorang yang dimaksud Sila. Rasanya benar-benar membuat jantungku kaget, setelah melihat seseorang yang dimaksud Sila.
Cowok tinggi, kulit putih, dengan wajah tak kalah gantengnya dengan Daren. Dia adalah mantanku, Leo. Kami berdua pernah menjalin hubungan selama lima bulan. Karena Leo harus sekolah di Amerika, dia pun dengan berat hati memutuskan hubungan kami. Aku sejujurnya merasa kecewa dengan perlakuan dia padaku waktu itu. Tapi bagaimana lagi? Mungkin maksud perpisahan itulah, aku jadi bisa bertemu Daren.
"Kamu Leo?" Aku menatap wajahnya yang tak berubah sama sekali.
"Hahaha, iya benar, syukurlah kamu tidak lupa padaku. Aku pikir, kita harus berkenalan kembali."
Aku menggeleng cepat. Obrolan aku dan Leo berlanjut. Hingga, dia tiba-tiba menanyakan perihal status hubunganku yang sekarang. Bertepatan itu, aku merasa semangat dan bercerita bagaimana Daren dan hubungan kami.
"Sepertinya aku sudah terlambat, ya? Dia memang terbaik untukmu. Sebenarnya, aku masih menyukaimu, Ne. Tapi sekarang percuma saja. Aku sudah kalah duluan dari Daren."
Aku merasa sedih mendengar itu, tapi aku tidak bisa apa-apa. Di hatiku cuma ada nama Daren, aku tidak bisa menerima Leo seperti dulu. Lagi pula, aku tidak mau mengkhianati ketulusan cinta Daren. Tapi, di satu sisi aku merasa takut jika Leo pergi lagi. Perasaan macam apa ini?
"Maaf, untuk saat ini kita hanya bisa jadi teman. Aku hargai perasaanmu, karena aku nggak mungkin mengkhianati perasaan Daren." Aku berusaha untuk hati-hati mengatakannya. Aku tidak ingin membuat Leo semakin terluka akibat ucapanku.
***
Aku menjatuhkan diri ke kasur. Tanganku bergerak memeriksa ponsel, lalu menghubungi seseorang di balik sana.
"Halo Ren, kamu gimana di sana? Aku kangen banget sama kamu. Kapan ya, kita bisa liburan bareng gitu?" Aku memanyunkan bibir di depan kamera ponsel.
Daren tertawa kecil, melihatku tampak menggemaskan. "Aku nggak bisa balik sayang, nanti kita pasti ketemu kok."
"Janji, ya?" Aku menyodorkan jari kelingking di hadapan kamera. Dan di balas tautan jari oleh Daren. "Iya sayang, janji."
"Sejujurnya, aku khawatir banget sama kamu. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu, kalau kamu kerja begini. Aku jadi benci deh, sama api.'
"Loh, kenapa?" Daren menatapku lekat.
"Ya, karena api sudah bikin kamu berubah tugas. Nggak perhatian ke aku. Harusnya kamu nggak kerja itu."
Daren menggeleng heran melihat tingkahku. Kami terus bertukar cerita. Hingga ... suasana berubah menjadi ribut. Aku menatap layar ponsel dengan wajah khawatir, sembari memanggil nama Daren.
"Ren?"
"Ren, ada apa?"
"Ada rumah kebakaran, sayang. Aku tutup dulu, bye!"
Aku terdiam sejenak, menatap layar ponsel dengan wajah khawatir. Lagi-lagi aku khawatir dengan Daren, pekerjaannya membuatku takut kehilangan dirinya. Pemadam kebakaran adalah salah satu pekerjaan berbahaya bagiku.
"Daren--"
Switch writter
Aku hanya terpaku saat Daren menutup sambungan telepon secara sepihak. Berbagai macam hal buruk menghantui pikiranku, meski ini tidak kualami pertama kali, tetapi kecemasanku lebih kuat dibanding biasanya. Bagaimana bila terjadi hal yang buruk pada Daren? Aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Tuhan, tolong lindungi kekasihku!
***
Aku tidak bisa tidur dan ajaibnya … semalam terasa begitu panjang.
Tak lama kemudian, ponselku berbunyi, dengan cepat aku menyambarnya.
'Hai! Ini nomorku, save ya! Leo.'
Aku menghela napas panjang, setelah membalas singkat pesannya aku kembali merebah. Sudah pasti Sila yang memberitahukan nomorku padanya.
Ponseku berdering lagi.
'Kukira kamu sudah tidak mau berbicara denganku.'
'Leo, hubungan kita memang sudah berakhir, tapi bukan berarti kita tidak bisa berteman.'
'Terima kasih ya.'
***
Satu hari berlalu sejak kejadian itu, tapi tidak sekali pun aku mendengar kabar dari Daren. Apa yang terjadi dengannya?
Aku tidak punya keinginan untuk makan, tidur pun tak nyenyak. Setiap menit setiap detik selalu memperhatikan pesan yang masuk atau panggilan telepon, tapi Daren seakan hilang.
Hari ini, Sila mengajakku pergi ke kafe. Ia tahu apa yang terjadi denganku dan ia sangat khawatir.
"Apa Leo menghubungimu lagi?"
Aku mengangguk lemah.
"Ne, kenapa kamu tidak mencoba berbicara saja dengan Leo? Kau bisa kembali dekat dengannya."
"Aku tidak bisa."
"Kenapa? Dulu kamu pernah mencintai Leo."
"Dulu, sekarang aku mencintai Daren."
"Daren tidak menghubungimu, Ne. Daripada kau menunggu–"
"Ini masih satu hari, Sil," geramku. Jujur saja, Sila terkesan seakan sedang memaksaku. "Aku yakin Daren pasti lupa menghubungiku."
Aku menatap wajahnya, Sila tampak lelah, sepertinya raut wajahku tak jauh berbeda.
"Apa kamu pernah lihat televisi? atau membaca berita terbaru di sosial media?"
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Sila. Kemudian, Sila memberikanku ponselnya dan aku membaca apa yang tertulis di sana. Tiba-tiba tanganku gemetar, tak terasa air mataku turun dengan sendirinya.
"Itu yang kumaksud kamu harus mulai hidup baru, Ne. Daren telah ditemukan dan dia … tidak selamat."
Mulutku terbuka, mencoba untuk berbicara, tapi tak bisa. Hanya tangis yang keluar, tangisan pilu kehilangan dirinya.
***
Sepulang dari kafe, aku menutup pintu rapat-rapat, menyandar pada pintu kost dan perlahan merosot. Aku memeluk kedua kakiku, membenamkan wajahku. Tak terasa air mataku mengalir lebih deras, disusul dengan teriakan hingga rasanya tenggorokanku mulai sakit, tidak peduli penghuni kost lain menganggapku gila.
Setelah rasa panas di hati ini mulai sedikit reda, aku memutuskan untuk mencuci wajah dan pergi ke rumah Daren.
Benar saja, rumahnya sepi. Tidak ada orang sama sekali. Daren sudah biasa hidup sendiri, kami pun memiliki rencana jika menikah akan tinggal bersama di sini.
"Yanne?"
Aku menoleh, kemudian mengerutkan keningku. "Leo? Kamu kenapa di sini?"
"Kamu lupa? Rumahku kan memang di dekat sini."
Aku menunduk, tersenyum lemah.
"Astaga, lucu sekali dunia ini."
"Yanne, aku sudah tahu beritanya. Aku … aku turut berduka cita."
Aku mengangguk, kedua pundakku bergetar diiringi dengan air mata yang turun. Tak lama kemudian, Leo memelukku.
Ironis sekali, laki-laki lain memelukku, di depan rumah kekasihku sendiri.
***
Seminggu berlalu, api yang dulu begitu dipuja oleh Daren kini berbalik menjadi satu hal yang paling kubenci.
Karena api yang telah merenggut laki-laki yang sangat kucintai.
"Ne?"
Sejak saat itu Leo rutin mengunjungi kost-ku. Sila yang memberitahukan alamatku pada Leo. Meski aku tidak mengizinkannya masuk, dia tetap masuk, membuka tirai jendela dan membawakan makanan untukku, meski ia tahu aku tidak akan menyentuhnya.
"Yanne, mau sampai kapan kamu seperti itu?"
Aku tidak ingin menjawabnya.
"Kamu masih punya aku dan Sila. Aku tahu kamu sedih, tapi Daren pasti juga sedih lihat kamu seperti ini."
"Lalu aku harus apa? Daren pergi meninggalkanku."
Aku menangis. Kemudian, tangan hangat Leo memgusap kepalaku lembut.
"Jalani harimu seperti biasanya, Ne."
"Semua akan mengingatkanku padanya."
"Aku tidak menyuruhmu melupakannya, bukan?"
Aku mengangkat wajah dan melihatnya. Dia tersenyum hangat padaku, tatapan matanya seakan mampu menyihirku untuk menjadi sedikit lebih baik.
***
Dua minggu berlalu, perlahan aku mulai bisa menerima keadaan. Tentu, dengan adanya Leo di sampingku itu sangat membantu. Aku bergantung padanya.
Hari itu, Leo berkunjung lagi ke kost dan bercerita tentang pekerjaannya, aku hanya tersenyum sambil menikmati biskuit yang dibawanya untukku.
"Yanne."
"Ya?"
"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi … jika aku bilang masih mencintaimu, apa kamu mau membalasku?"
Aku terdiam. Aku memang mencintainya dulu, tapi rasa cinta itu hilang setelah aku bersama Darel, tapi kuakui saat ini aku pun tidak mau kehilangan Leo.
"Tidak perlu dijawab sekarang juga tidak apa-apa kok."
Leo tertawa gugup, kemudian aku menggenggam sebelah tangannya.
"Leo, aku tidak mungkin bisa menghapus rasa cintaku pada Darel meski dia sudah meninggal, tapi aku juga tidak mau kehilangan kamu. Maaf jika aku egois, aku hanya sudah terbiasa lagi denganmu."
Leo tersenyum. "Aku tahu, kita bisa mulai dari awal lagi."
Leo mencari sesuatu di tasnya dan mengambil sebuah kotak kecil, membukanya di hadapanku.
"Apa kamu mau menjadi istriku?"
Aku menangis lagi. Aku tidak bisa menggambarkan perasaan ini, aku sedih tapi aku juga bahagia. Aku tidak bisa berkata-kata dan aku hanya mengangguk, menerimanya.
***
"Leo! Leo berhenti."
Leo menepi dan menghentikan mobilnya. Aku melihat tempat yang baru saja kami lewati, itu adalah lokasi kebakaran yang terakhir kali ditangani oleh Daren.
Aku turun dari mobil dan berlari menuju tempat itu, tak peduli dengan Leo yang memanggilku.
Tempat itu dulunya adalah rumah yang sangat besar, sekarang tinggal sisa-sisa bangunan yang berwarna hitam juga puing-puingnya. Di sekitarnya masih dipasang garis kuning polisi.
Aku berdiri di depannya, tatapanku mengarah lurus ke depan, karena tepat di balik sisa bangunan, aku melihatnya. Sosok itu juga melihatku, tubuhnya bersih, wajahnya pun tersenyum.
"Daren?"
Aku melangkah, mendekatinya hingga jarak kami hanya tinggal lima langkah. Itu adalah Darenku!
"Sayang? Kamu menangis?"
Aku bahkan tidak merasakan air mataku, aku mengangguk dan menghapusnya.
"Daren." Aku menangis lebih kencang saat ingin memeluknya, tapi menyadari bahwa ada cincin yang melingkar di jari manisku. Aku tidak lagi milik Daren, melainkan Leo.
"Daren, aku … akan menikah dengan Leo."
Daren hanya tersenyum. "Apa kamu bahagia?"
"Aku lebih bahagia bersamamu."
Daren mengulurkan tangannya, tapi saat aku hendak meraihnya, seseorang memelukku dari belakang.
"Yanne! Kamu kenapa di sini?"
"Daren." Aku menangis lebih kencang lagi.
"Tidak ada siapa-siapa di sini. Ayo kita pulang, ya?"
"Tapi Daren."
"Daren itu sudah meninggal, Ne."
"Dia ada depan kita! Daren ada di sana!"
"Yanne, tolonglah. Ayo kita pulang, karena tidak ada siapa pun di sini selain kita."
Tidak! Bagaimana bisa Leo tidak melihatnya? Daren ada di sana!
Leo berhasil membawaku pulang, tapi hatiku masih ada di sana.
Kenapa Leo begitu posesif padaku? Apa dia cemburu karena aku bisa bertemu dengan Daren? Daren jauh lebih baik dan Daren tidak posesif.
Daren lebih bisa membuatku bahagia daripada Leo. Aku memang tidak mau kehilangan Leo, tapi maaf Leo, aku … aku akan pergi ke tempat di mana Daren berada, karena hatiku telah ditawan olehnya.
The End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro