Chapter 03
Mata Kamaniya mengerjap pelan kala cahaya mentari menyelinap dari celah tirai jendela yang mengusik lelapnya. Tubuh Kamaniya terasa lelah luar biasa. Pun area di antara paha masih nyeri akibat kegiatan semalam. Seketika wajah Kamaniya panas disusul warna merah di dua pipi saat persatuan dengan Narendra terlintas di benak.
Ia mengeratkan selimut yang menutupi tubuh telanjangnya. Lantas mendapati Narendra yang berdiri memunggungi. Pria itu tampak sedang mengancingkan kemeja putih yang dipakai semalam sambil sesekali menyugar rambutnya.
"Aduh," lirih Kamaniya ketika nyeri semakin terasa ketika kakinya akan mengayun dari ranjang.
Sejauh Kamaniya mengingat, setelah melewatkan pertanyaan Narendra, mereka kembali melanjutkan penyatuan inti tubuh penuh gairah. Seolah sama-sama lupa diri. Hingga kemudian ia terkulai lemas dan tertidur di dalam gendongan Narendra. Well, begitulah cara Kamaniya berpindah dari meja bundar ke ranjang empuk itu.
Mendengar rintihan Kamaniya, Narendra menoleh sembari menyatukan kancing di lengan. Ia bisa bernapas lega setelah tidak menemukan kamera tersembunyi di dalam kamar tersebut. Setidaknya tingkah Narendra yang seperti binatang semalam hanya cukup terekam dalam ingatan saja.
"Kamu bisa ambil bayaranmu," kata Narendra sambil menunjuk ke nakas samping ranjang dengan ujung dagu. Beberapa gepok uang seratus ribu tersusun manis di sana.
Hati Kamaniya seakan tertusuk sembilu ketika mendengarkan kalimat itu. Ia baru sadar ternyata semalam penyatuan mereka hanya sekedar transaksi jual beli. Ah, lagipula Kamaniya cukup gila jika mengira Narendra melakukannya karena tertarik. Jelas-jelas hanya terpancar nafsu belaka dari sepasang mata beriris sepekat malam itu.
Ia semakin mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh diikuti air mata yang terjatuh tiba-tiba. Sangat menyedihkan. Ternyata ia berakhir seperti sang ibu, menjadi wanita penghangat ranjang karena putus asa dengan tekanan tekanan kehidupan.
Rintihan Kamaniya yang semakin keras membuat Narendra menoleh. "Kamu menangis?"
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Kamaniya sambil mengusap air matanya kasar. "A-aku baik-baik saja."
Kembali memalingkan wajah, Narendra mulai penasaran dengan wanita itu. Sebab semalam bukanlah pertemuan pertama mereka. Narendra sempat melihat wanita itu memberi makan kucing liar di depan The Moon Hotel. Kebiasaan yang selalu dilakukan sang pujaan hati.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Narendra ingin memastikan dugaannya.
"E...." Kamaniya bangkit dari tidurnya perlahan. Sedikit ragu untuk menyebut nama Madam Lola. "Ma-Madam Lola."
Dahi Narendra mengerut, menyatukan kedua alisnya yang tebal. Nama itu terdengar asing baginya.
"Madam Lola bilang, anda adalah klien terpenting The Paradise. Maka, saya berusaha semaksimal mungkin," lanjut Kamaniya sedikit malu-malu. Ia masih mengeratkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos.
"The Paradise?" Narendra memutar tubuh. Wajahnya terlihat kebingungan. Apa mungkin Camelia meminta orang lain agar tidak meninggalkan jejak?
"I-iya. The Paradise." jawab Kamaniya seraya meremas ujung selimut. "A-anda adalah klien pertama saya."
Narendra menaikkan salah satu alisnya. Wanita itu memang tidak berdusta. Kemarin merupakan malam pertamanya dan Narendra yang membuka segel keperawanan itu.
"Madam Lola menyuruh saya datang ke kamar 96 untuk langsung menemui anda," lanjut Kamaniya.
"Tapi ini kamar 69," tukas Narendra yang semakin membuat Kamaniya terhenyak. Lantas ia membalikkan tubuh ke arah Kamaniya.
Bagaimana bisa ia salah masuk kamar? Seingatnya selama perjalanan Kamaniya selalu melafalkan nomor kamar itu agar tidak lupa. Namun, kegugupannya justru membuat ingatan Kamaniya terbolak-balik.
"Be-benarkah?" Kamaniya terhenyak. Ia menarik room service book yang tergeletak di nakas samping gepokan uang dari Narendra. Matanya semakin melebar saat melihat nomor kamar 69 di sudut kanan. "Ba-bagaimana bisa?"
Kamaniya tidak bisa membayangkan betapa marahnya Madam Lola. Entah ia harus bersyukur atau mengutuk diri sendiri.
"Argh!" Kamaniya kesal dengan pikirannya sendiri. Bagaimana bisa bersyukur dengan menjual diri? Meskipun Narendra adalah pria yang dikaguminya selama ini, tetapi Kamaniya menginginkan pertemuan yang lebih baik dari sekedar pelacur dan sang Tuan.
"Ah sudahlah. Ambil uang itu untuk bayaranmu." Narendra meraih jas yang tersampir di punggung sofa lalu beranjak pergi.
"Tu-tunggu!" Panggilan Kamaniya menahan langkah Narendra. "Bisakah anda membayar saya dengan hal lain?"
Narendra cukup terkejut dengan pemikiran wanita asing itu. Zaman sekarang bukankah uang menduduki tahta tertinggi di atas segalanya?
"Lanjutkan," kata Narendra tanpa membalik tubuh.
"Tolong bawa saya keluar dari tempat ini. Saya tidak mau kembali ke tempat itu lagi." Air mata Kamaniya spontan mengalir deras. "Tolong antar saya untuk menemui Bibi saya di rumah sakit."
"Aku bukan sopir taksi," jawab Narendra singkat.
"Saya mohon, Tuan." Kamaniya turun dari ranjang, melesat menghadang Narendra. Hingga ia lupa membawa selimutnya.
Narendra memalingkan wajah ketika tubuh polos Kamaniya menyambut penuh pesona. Ia mengulurkan jas sebagai isyarat untuk menutupi tubuh tersebut. Sikap spontan yang dilakukan Narendra. Meskipun semalam ia sudah melihat keseluruhan tubuh Kamaniya.
"Ma-maaf," ujar Kamaniya malu. Ia menerima jas tersebut lantas digunakan untuk menutupi tubuh sebisanya. "Tapi saya tadi sungguh memohon bantuan anda. Bawa saya keluar dari tempat ini."
"Kamu masuk sendiri, seharusnya kamu bisa keluar sendiri bukan?" terang Narendra dengan tatapan sedingin es.
"Tidak bisa." Kamaniya menggeleng putus asa. Air mata masih membasahi kedua pipi. "Anak buah Madam Lola pasti akan menghadang saya."
"Itu bukan urusanku!" tandas Narendra seraya melewati tubuh Kamaniya begitu saja.
"Saya mohon." Kamaniya menghadang Narendra tanpa gerakan.
Narendra terdiam sesaat. la mengamati wajah Kamaniya yang jika diperhatikan dengan seksama, cukup berbeda dengan Sadhara. Namun, terkadang sekilas mirip. Napas berat lantas diembuskan olehnya. Mungkin ini karena efek belum menerima kepergian Sadara.
"Minggir," ucap Narendra.
Kamaniya menggelengkan kepala, "tidak sebelum anda menolong saya."
"Apa kamu tuli? Aku tidak akan menolongmu!" tandas Narendra sambil mendorong tubuh Kamaniya untuk menyingkir dari jalannya.
Kamaniya mematung tanpa gerakan. Ia hanya bisa menangis dan meratapi nasib. Narendra yang dulu terlihat begitu ramah dengan senyuman tipis meskipun terkesan pelit, sekarang sudah berubah. Pria itu sangat arogan dan tidak berperasaan.
Kedua lutut Kamaniya terasa lemah. Tubuhnya jatuh bersimpuh di lantai. Lantas ia memeluk kedua lutut sambil terus terisak. Ia berusaha mencari cara agar bisa lolos dari jeratan Madam Lola. Entah ia harus meminta bantuan kepada siapa. Sebab Kamaniya tidak memiliki siapapun di dunia ini selain Bibi Freya.
Selain itu, pria yang selalu menjadi inspirasinya dan dikagumi dalam diam terlihat acuh tidak peduli.
"A-apa yang harus aku lakukan," gumam Kamaniya dengan nada yang bergetar.
***
"Dasar bodoh!" Tangan Camelia mengayun untuk menampar pipi Madam Lola dengan sangat keras. Matanya melotot disusul dada naik turun sebab menahan emosi. "Bagaimana bisa ada anak baru yang salah masuk kamar?"
"Maaf Nyonya," cicit Madam Lola sambil memegangi pipinya yang panas.
"Maaf katamu? Semua rencanaku gagal karena ketololan kamu!" teriak Camelia menunjuk Madam Lola. la menyugar rambut frustasi lalu berjalan menuju balkon.
"Kemarin saya berusaha menghubungi, Nyonya. Te- tetapi tidak diangkat." Madam Lola mengejar Camelia dengan tergopoh-gopoh. "Sa-saya takut mengganggu, Nyonya."
Camelia melirik ke Madam Lola sekilas sambil meraih botol vodka di atas meja. Tentu saja semalam ia mengabaikan setiap panggilan. Sebab sedang merayu Aditama untuk menunda penyerahan saham terbesar perusahaan kepada Narendra. Meskipun usaha itu sia-sia. Aditama selalu menganggap Narendra memiliki kepiawaian berbisnis di atas rata-rata. Maka dari itu Camelia berusaha menjatuhkan Narendra dengan cara apapun.
"Sa-saya juga sudah meminta Monica membawa kamera. Sesuai dengan permintaan, Nyonya," tambah Madam Lola. "Semuanya sudah saya persiapkan Nyonya."
"Kamu tahu betapa susahnya mengambil momentum ini?" geram Camelia.
"Maaf, Nyonya. Saya mohon maafkan saya." Spontan Madam Lola berlutut sambil memohon ampun kepada Tuannya. Ia tahu jika Camelia bisa membuangnya kapan saja.
"Dasar pelacur tidak berguna," cerca Camelia.
"Sekali lagi maafkan saya, Nyonya." Madam Lola memohon untuk kesekian kalinya.
Mengambil satu batang rokok lalu menyalakannya. Camelia menghirup nikotin kuat-kuat sambil melemparkan pandangan ke laut lepas dengan buih yang mengumpul. Deru ombak terasa memenuhi rungu setiap menabrak batu karang.
Camelia tidak ingin usahanya selama ini sia-sia. Sudah banyak hal yang dikorbankan Camelia untuk mendapatkan kekuasaan dalam Aditama grup. Ia pikir setelah hamil di luar nikah, kedua putranya akan bisa mengakuisisi perusahaan Aditama. Namun, keluarga besar Aditama masih menggunakan peraturan kolot untuk memberikan kekuasaan kepada putra pertama dari pernikahan sah atas restu keluarga.
Namun, bukan hal yang mustahil untuk merebut semuanya. Ia sudah berhasil menyingkirkan dua istri Aditama dan sekarang menjadi satu-satunya pendamping pria konglomerat itu.
Sambil meneguk vodka langsung dari botol, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Aku tidak akan membiarkan Narendra menguasai harta suamiku!"
TO BE CONTINUED....
Selamat malam, Lovelies. Cerita ini bisa kalian baca selengkapnya di Karyakarsa. Tenang aja masih GRATIS kok ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro