Chapter 8 • Jasmine Maxwell
Selamat datang di chapter 8
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Mengenal seseorang selama bertahun-tahun,
bukan berarti kau akan mengenalinya luar dalam
—Jasmine Maxwell
_______________________________________________
Musim semi
Chichago, 26 April
18.00 p.m.
Usai kami menyelesaikan pemotretan tepat sebelum makan siang, para crew memutuskan untuk beristirahat di salah satu reasort dekat danau Crystal. Selain karena lelah bekerja, besok sekolahku juga libur karena weekend. Malam harinya akan diadakan acara makan malam di tepian danau. Memang beginilah kebiasan Flo Management ketika ada pemotretam di luar kota.
Biasanya aku malas bersosialisasi dan langsung pulang dengan ibu. Detik ini, kuputuskan untuk ikut makan malam bersama mereka. Padahal bisa saja aku memilih pesan makanan lewat jasa layanan kamar seperti saat makan siang tadi. Namun sekarang aku sedang malas makan sendirian. Itu karena sedari tadi pikiranku terus membayang tentang Lee. Kira-kira apa yang dilakukannya sekarang?
Seandainya ia memiliki ponsel.
Tiba-tiba ide cemerlang datang menyusipi pikiranku. Aku tahu, besok aku akan membelikannya ponsel. Namun bagaimana cara mengatakan alasannya selain aku ingin menghubunginya setiap saat?
Sebenarnya apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini? Semenjak ada Lee, aku selalu memikirkannya setiap waktu. Lalu jantungku mulai mawas diri untuk bertabuh cepat. Aku ingin menceritakannya pada adikku yang sok tahu, tapi kami belum sempat bertemu karena aku sibuk.
Aku membuang napas berat yang singkat kemudian kembali menatap diriku di pantulan cermin. Berdiri membenahi dress putih tulang selutut yang kupadukan dengan kardigan warna pastel. Melengkapi penampilanku dengan sandal ceper, maka aku siap pergi makan malam. Bertepatan dengan itu ketukan pintu pertanda Lexter datang menjemput mengharuskanku bergerak dari meja rias kamar resort-ku ke arah pintu untuk membukanya.
“Baru kali ini kau ikut makan dengan kami Jass. Tadi siang kau makan di kamarmu.” Lexter berbicara di sebelahku kala kami berjalan menyusuri resort untuk mencapai tepi danau.
“Perutku butuh makan,” jawabku acuh tak acuh sambil berusaha membenahi rambut gelombang pantaiku yang berkibaran karena tiupan angin. “Yah. Kalau bisa aku lebih ingin di rumah daripada ikut acara makan malam ini. Sebastien sibuk dan tidak bisa menjemputku, jadi aku terpaksa. Lagi pula aku bosan makan sendirian di kamar.”
Aku melirik Lexter yang mengenakan kaus lengan panjang polos hijau gelap dengan celana santai putih gading selutut. “Itu bagus ... kau jadi bisa bersosialisasi. Ngomong-ngomong, apa benar kau tidak ingin aku membantu menyelesaikan masalah guru private-mu?”
Aku berhenti sesaat untuk menarik napas lalu mengembuskannya sembari memejamkan mata. “Lex kita sudah membicarakannya sepanjang hari. Kenapa kau masih membahasnya lagi?”
Lexter mengikutiku berhenti. “Karena aku khawatir padamu Jass,” jawabnya sambil menggerskkan tangan untuk mempertegas kata-katanya.
“Sudah kukatakan tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku bisa mengatasinya sendiri. Sungguh. Aku benar-benar ingin menuruti perkataan Dad kali ini.”
Lexter mendesah keras sambil menandang sekeliling sebelum memusatkan pandangannya tertuju padaku lagi. “Kau tahu Jass? Aku hanya berusaha jadi berguna untukmu.”
“Aku tahu ... tapi kau tidak perlu—”
“Karena aku menyukaimu Jass.”
Kalimat Lexter yang memotong kalimatku, membuatku tercekat dan ternganga sesaat. “K-kau apa Lex?”
“Aku menyukaimu. Lebih dari seorang sahabat. Dari dulu,” jawabnya tanpa jeda dan tanpa ragu dengan raut wajah serius.
Aku pun menatap ke dalam iris biru Lexter. Ingin mencari letak kebohongan atau lelucon kunonya yang tidak bermanfaat yang ia simpan di sana tapi tidak ketemu. Lagi-lagi, aku diam sesaat. “Bagaimana kau bisa? Menyukaiku?” tanyaku implusif.
“Karena setiap hari kita bersama Jass. Kalau tidak ada kau, aku terus memikirkanmu dan ingin bertemu karena aku merindukanmu.”
Jantungku berdebar kencang ketika menyadari bahwa apa yang Lexter alami sama seperti apa yang kualami terhadap Lee. Khususnya hari ini. Aku mungkin sudah memikirkan laki-laki culun berkacamata itu seribu kali dalam satu jam. “Tapi aku seperti yang dikatakan orang-orang, tidak memiliki sopan santun. Kau tahu kan?”
“Jassy ... jatuh cinta itu tidak memandang sifat seseorang. Kadang juga tidak memandang fisik dan waktu. Aku tahu kau, bagaimana kau yang sesungguhnya.”
Jadi itukah yang sedang kualami juga pada Lee? Laki-laki culun miskin yang tidak setampan Lexter atau model laki-laki yang pernah pemotretan denganku? Namun aku bisa terus memikirkannya dan ingin terus bertemu dengannya meski baru beberapa kali bertemu dengannya? Karena aku jatuh cinta padanya serta merindukannya?
Tidak mungkin. Aku masih belum mempercayai kesimpulan otakku. Karena harga diriku melarangnya. Lee itu miskin. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada orang miskin seperti dirinya.
“Karena itulah aku ingin berguna untukmu Jassy. Minimal menyingkirkan guru private—”
“Lexter!” Aku yang semula mencerna setiap kalimat Lexter pun lantas memekik karena tidak suka bila ia akan menyingkirkan Lee.
Lexter tampak bergeming, kemudian meneguk ludah. “Baiklah, aku tidak akan ikut campur tentang guru private-mu.”
Perasaan lega segera menyusup ke setiap inci tubuhnya yang kurus. Lalu aku mengangguk. “Memang seharusnya begitu Lex. Aku juga senang kau berada di sekitarku. Tapi, aku rasa aku tidak bisa menerimamu.”
Lexter tercengang. “K-kenapa? Karena kau takut skandal yang akan timbul? Bukankah tidak masalah jika itu denganku? Kita sama-sama model Jass ... dan sama-sama dari kalangan atas. Aku bukan orang miskin yang tidak kau sukai dan kau paranoidkan”
Entah kenapa ketika ia menyebut status miskin, aku kontan tidak suka dan merasa ada sesuatu yang ingin kuledakkan dalam diriku sebab secara tidak langsung otakku mengaitaknnya dengan Lee. Namun aku berusaha meredamnya. Bagaimanapun aku tidak akan menyalahkan Lexter ketika berbicara seperti itu. Sampai detik ini pun, aku baru mengubah presepsi itu. Meski harga diriku mencegah, tapi nyatanya, aku memikirkan ingin bertemu dengan Lee—yang notabennya miskin—setiap waktu.
“Lebih baik, kita segera makan. Aku lapar,” jawabku yang telah memasang wajah datar mirip saat pemotretan kemudian berlalu meninggalkan Lexter. Sedangkan sahabatku itu masih menuntut penjelasan perubahan jawabanku sembari berusaha menyamai langkahku.
“Atau kita bisa merahasiakannya dari siapa pun. Termasuk semua orang yang bekerja di Flo Management.”
Aku menggeleng samar. “Aku tidak bisa Lex.”
“Ta-tapi kenapa?” tanya Lexter dengan alis yang semakin mengernyit dan kening yang kian berkerut dalam kala sempat kulirik sekilas.
“Penggemarmu bisa marah kalau kau memiliki pacar sepertiku,” jawabku asal yang setengahnya merupakan kebenaran.
Memikirkan, aku yang hanya berstatus sebagai sahabat Lexter saja sudah dirundung oleh Regina dan dua anteknya. Apalagi dengan status pacar? Aku yakin mereka akan menjambakku lebih keras seperti singa kelaparan karena tidak makan ratusan tahun. Lagi pula, dalam otakku sama sekali tidak terbersit sedikit pun tentang ide menjalin hubungan dengan Lexter melebihi sahabat. Baik sejak dulu mau pun sekarang. Ditambah kini ada Lee yang lebih sering menyusupi otakku daripada skala oksigen yang kubutuhkan untuk bernapas.
Kau tahu bagaimana tanggapan Lexter? Sahabatku itu sontak tertawa kencang. Seolah ini merupakan hal terlucu yang pernah ia dengar. “Kau pasti bercanda. Aku tidak peduli pada mereka.”
Iya, ia memnag tidak peduli. Termasuk saat aku dirundung penggemar fanatiknya bernama setan Regina itu. Sekali lagi aku juga tidak akan menyalahkan Lexter karena ia tidak tahu-menahu soal itu. Hanya Lee, yang merangkap sebagai penyelamatku waktu itu. “Terserah kau saja Lex.”
Aku meneruskan langkah menuju tepi danau yang tenang. Lampu kabel panjang mirip lampu natal tergantung di sepajang pilar kecil di antara meja makan malam yang terbuat dari kayu ek panjang segera menyambut. Ada juga beberapa lilin dalam gelas yang berdiri di antara makanan yang tersaji di meja. Aku tidak yakin apinya akan bertahan karena angin danau bertiup sedikit arogan.
Sudah ada beberapa crew yang berada di kursi dan sedang menikmati minuman pembuka sambil mengobrol dan tertawa. Ketika aku dan Lexter datang, mereka menyambut kami dengan ramah. Namun, sekali lagi kutegaskan, aku tidak ingin beramah-tamah dengan siapa pun. Jadi aku hanya duduk di sana lalu mulai minum minuman pembuka tanpa alkohol. Berlainan dengan Lexter yang memilih minum wine merah. Aku sempat melihat ada dua botol gin di meja itu.
Sepanjang sisa makan malam, aku hanya makan tanpa berbicara dengan crew lain. Sedangkan Lexter berusaha mencuri perhatianku dengan melakukan hal apa pun. Hal-hal itu lantas membuatku merasa tidak nyaman bersamanya. Aku juga melihatnya minum gin beberapa Collins Glass sehingga wajahnya mulai memerah dan sedikit mabuk. Bicaranya juga mulai melantur.
“Kalian ingat saat kita pemotretan di Ancient Bristlecone Pine Forest beberapa tahun lalu?” Lexter memulai dengan nada sengau. Aku mulai merasa jengah pada para crew yang mengingat hal tersebut dan membicarakannya. Seolah kejadian itu baru saja mereka alami. Padahal tidak ada yang spesial.
Lexter menambahkan, “Jassy lebih tinggi sedikit dariku waktu itu, tapi sekarang ... aku lebih tinggi darinya. Bukankah aku sudah menjadi seorang pria? Hahaha ....” Ia melengkapi omongannya dengan berdiri sambil memegangi Collins Glass yang isinya masih setengah sebelum menenggaknya hingga tandas.
“Hentikan itu Lex!” desisku yang kini memandang lilin dalam gelas yang apinya menari karena angin.
“Aku sudah menjadi pria dewasa Jass ...,” selorohnya sambil menepuk dada mirip Tarzan. Aku jadi semakin tidak nyaman. “Lihat Jass ....” Lexter lantaran duduk lalu mendekatiku. Aroma gin yang menusuk membuatku mual. Aku sedikit berjingat. “Tatap aku Jass.”
“Lex berhenti bertindak bodoh dengan mempermalukan dirimu sendiri!” Aku menekan setiap kata-kataku.
“Tidak Jass, kau harus menerimaku ... ayolah ....” Lexter menghadap semua crew yang sudah memusatkan perhatian mereka pada kami. “Kalian akan merahasiakannya kan kalau aku berpacaran dengan Jassy?”
“LEXTER!” Aku memekik, kencang sekali. “Hentikan! Tidak ada yang seperti itu!” Aku bangkit ingin keluar dari situasi bodoh ini tapi Lexter menarik lenganku.
“Jassy ... ayolah terima aku ....”
“Lepaskan aku Lex!” Aku menyentak lenganku tapi masih belum berhasil lolos dari laki-laki mabuk itu.
Lalu kudengar salah satu crew memerintah, “Frans, jangan biarkan modelmu seperti itu.”
Frans pun menurut, lalu mengambil alih Collins Glass di genggaman tangan Lexter. Fotografer itu pun berusaha memisahkan cengkraman Lexter pada lenganku lalu memapahnya menjauh. Mungkin ke kamar resort-nya atau ke mana pun. Aku tidak peduli. Malah lebih bagus Lexter pergi ke neraka. Bagaimana ia bisa mempermalukan diriku dan dirinya seperti ini?
Entah kenapa saat ini Lee terlintas dalam benakku dan rasanya aku ingin menemuinya sekarang juga. Aku tidak peduli lagi bahwa ia orang miskin atau apa pun. Meski berkali-kali harga diriku memerintah untuk tidak mempercayai kesimpulan otakku. Namun hatiku mengambil alih lebih banyak bahwa aku menyukai Lee.
Aku masih memegangi lenganku sambil menatap Lexter dengan geram. Bersamaan dengan itu wanita berumur dewasa berkebangsaan Jepang yang berprofesi sebagai asisten—yang baru saja tiba dan melihat situasi ini—menghampiriku dan bertanya, “Kau tidak apa-apa Jass?”
“Lenganku sakit dan merah,” jawabku.
“Astaga, kita harus mengompresnya.” Ia langsung membawaku ke kamar resort-nya untuk mengambil plastik kompres yang sudah diisi es batu dan diletakkan di lenganku.
“Aku tidak ingin ada skandal apa pun tentang hal ini Yuri,” kataku tegas. Yuri yang menemaniku duduk pun mengangguk.
“Tidak, Flo Management tidak akan membiarkan masalah ini sampai keluar. Untunglah kita menyewa semua tempat ini jadi tidak ada pengunjung lain.”
Aku kadang merasa bersalah pada Yuri yang selalu kutimpali kekesalan. Layaknya beberapa hari lalu ketika aku memintanya memberitahu jadwal pemotretan serta mengurusi surat izin sekolah. Meski ia sering mengritik tentang etitutku, tapi wanita bermata sipit itu tetap gigih bekerja denganku.
“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada Lexter? Baru kali ini aku melihatnya mabuk.”
“Aku menolaknya.” Yuri tertawa sambil menutupi mulutnya. Sampai-sampai aku takut mulutnya robek akibat terlalu lebar tertawa. “Ini sama sekali tidak lucu.”
Yuri berdeham, berusaha untuk meredakan tawanya. “Maafkan aku. Baru kali ini seorang Lexter ditolak. Padahal kau tahu sendiri bagaimana penggemarnya di luar sana? Dan berapa model yang mengantri ingin berkencan dengannya tapi dia selalu menghabiskan waktu denganmu.” Aku hanya bergumam sambil menatap lenganku yang sudah tidak seberapa sakit. “Memang aku sudah menduganya kalau dia menyukaimu. Tidak hanya aku. Semua orang di Flo Management juga mengetahuinya. Sebenarnya Manager juga tidak mempermasalahkan kalian akan menjalin hubungan karena status kalian setara. Aku tidak mengerti kenapa kau menolaknya hanya karena akan menimbulkan skandal.”
“Apa kau tahu? Kau terlalu cerewet. Aku pusing mendengarkanmu. Aku keluar.” Sebaiknya aku minta Sebastien menjemputku malam ini. Kurasa ia sudah tidak adankerjaan karena ibu dan ayah baru saja mengabariku tentang penerbangan mereka.
Yuri mengikutiku beranjak dari sofa. “Kenapa kau marah hanya karena ini? Biarkan saja Lexter. Maklumilah, dia sedang mabuk.”
Aku tidak mengacuhkan Yuri. Jadi aku keluar dari kamarnya. Tidak ingin mengorek isi hatiku yang ingin bertemu dengan Lee. Entah kenapa aku ingin bertemu dengannya sekarang dan tidak ingin menundanya.
“Hei Jass! Setidaknya katakan terima kasih pada orang yang sudah mengobati lenganmu! Dadar tidak punya etika!”
Sekali lagi aku mengebaikan teriakan Yuri dan jenis protesnya yang sama setiap saat.
Setibanya di kamar, kutelepon Sebastien dengan cepat sembari mengemasi barang-barangku. Aku tahu ini sudah malam tapi aku benar-benar kesal terhadap Lexter, Yuri—yang menganggap hal ini sepele, padahal menurutku tidak—dan aku ingin segera bertemu dengan Lee. Kuminta supir pribadiku itu untuk merahasiakannya dari ayah dan ibu.
Sekitar dua jam kemudian, Sebastien datang bersama Nameeta—salah satu maid yang bekerja di rumahku dan selalu mengurusi keperluanku.
“Urusi barangku.” Aku memerintah Sebasiten dan Nameeta sembari berjalan ke mobil dengan perasaan campur aduk.
“Ada apa Nona?” tanya Nameeta khawatir usai ikut duduk di kursi sampingku. Sedangkan Sebastien sudah melajukan mobil. Aku sempat berjumpa dengan Frans dan Yuri tapi kuyakin asistenku itu bisa mengatasi permasalahan bodoh ini dengan baik kalau ditanya Frans tentang kepergianku yang secara mendadak.
“Aku ingin ke rumah Devoughn.”
Raut wajah Sebasiten dan Nameeta jelas terkejut luar biasa. “Tapi Nona, ini sudah malam,” bantah Sebastien. “Tidak sopan kalau bertamu malam-malam.”
Nameeta di sampingku kembali bertanya, “Kenapa Nona? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Namun aku menghiraukannya dan kembali memerintah Sebastien. “Aku ingin bertemu dengan Devoughn. Kau mendengarku Seb?! Lajukan mobilnya ke rumah Devoughn sekarang juga!”
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Repost : 28 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro