Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3 • Lee Devoughn

Selamat datang di chapter 3 • Lee Devoughn's POV

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka gentiyingin)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤️❤️❤️

______________________________________________

Jika kau memperlakukan orang semaumu dan semena-mena karena kau merasa memiliki banyak uang, jangan heran kalau orang-orang itu tidak memberi hormat padamu
Kecuali mereka yang memang berniat khusus untuk memanfaatkamu

-Lee Devoughn
______________________________________________

Musim semi
Michigan, 24 April
12.10 p.m.

Kami mendiskusikannya di tengah makan malam dan hasilnya grandma Rose mengijinkanku menjadi guru private untuk putri Mr. Alexander Maxwell setiap pulang sekolah minus weekend. Kata beliau, itu justru bagus bisa membagi pengetahuan yang kumiliki dengan orang lain. Maka ilmu tersebut akan bermanfaat. Namun pendapat itu ditentang oleh Helena dengan alasan aku tidak akan betah dengan sifat Jasmine Maxwell yang sombong dan arogan serta apatis. Setidaknya itulah nama yang kudengar darinya. First think first about her name, that't beautiful.

"Lee, aku tidak akan menampik jika-aku yang sebagai perempuan-juga menganggapnya sangat cantik, tapi dia sangat sombong. Kau tidak akan betah semenit saja bersamanya." Lagi-lagi komentar itu yang kudengar dari Helena ketika kami sedang mengantri makanan di kantin.

"Dia tidak suka orang miskin seperti kita. Dia memang sangat, sangat, cantik tapi ...."

Haruskan ia mengulang kata cantik terus-menerus? Memangnya secantik apa?

"Tidak memiliki inner beauty dan dia bad etitude terhadap siapapun," lanjut Helena, kali ini dengan berbisik, kemudian berjalan dan meletakkan nampan stenlis agar petugas kantin memberinya makanan.

Usai giliranku, kami mengambil duduk di meja bagian pojok. Ngomong-ngomong sedari aku pindah ke sekolah ini, meja ini selalu kosong. Kata Helena, memang tidak terlalu suka ada yang duduk di sini. Tidak leluasa melihat sekitar karena pandangannya dibatasi oleh meja petugas kantin. Aku tidak mengerti kenapa harus memandangi sekitar bila sedang makan. Aku malah lebih suka makan dengan hanya memandangi makananku. Namun sesekali mengobrol kupikir juga tidak masalah.

"Apa kau tahu bagaimana bad atitute-nya?" Rupanya, Helena tidak berniat berhenti sebelum aku menolak tawaran kepala sekolah. Jadi aku menggeleng untuk menjawab atas pertanyaannya yang kupikir tidak membutuhkan jawaban dariku.

"Dia suka melakukan bully pada murid lain bernama Regina. Aku pernah memergokinya menjambak rambut Regina beberapa kali di koridor. Tapi aku tidak bisa melaporkannya, karena kau tahu sendiri orangtuanya sangat berpengaruh di sekolah kita. Aku takut dikeluarkan."

Aku menghentikan gerakan tanganku yang memegang ayam goreng tepung untuk menggagalkannya masuk mulut. Berpikir apakah yang dimaksud Helena itu kejadian serupa yang kualami kemarin? Jika seandainya iya bisa ditarik kesimpulan yang memakaikan kacamataku kemarin adalah Regina. Itu berarti yang menjambak rambut Regina adalah Jasmine bersama dua murid perempuan yang lain.

Jadi, aku akan mengajar gadis berambut pirang dan bermata biru terang yang memang lumayan arogan. Namun untuk kategori sangat cantik? Kupikir Regina lebih cantik. Jauh malah. Mataku memang minus tapi sewaktu memakai kacamata, aku bsia melihat dengan jelas. Lalu untuk sombong? Kurasa Regina jauh lebih sombong dari Jasmine.

"Jadi sebaiknya setelah makan katakanlah pada kepala sekolah jika kau tidak bisa menerima tawarannya, agar cepat mencari penggantimu," tambah Helena setelah menelan ayam gorengnya.

Apa aku harus menolaknya seperti kata Helena? Tapi ... tiga puluh dua dollar dalam sehari Lee ... tiga puluh dua dollar. Ralat, hanya selama maksimal tiga jam dalam sehari.

"Apa dia melakukannya bersama dua temannya yang lain?" Aku menemukan diriku sendiri bertanya pada Helena.

Saat tanganku sudah memegang ayam goreng tepung dan hendak memasukkannya ke mulut lagi, Helena menyondongkan badannya ke depan dengan mata yang memicing untuk kembali berbisik, "Apa kau penasaran dengannya?"

Tanganku pun turun kembali. "Sebenarnya tidak sama sekali Helena, tapi karena kau terus membicarakannya sejak tadi malam sampai sekarang, aku jadi sedikit-" Aku menghentikan kalimat untuk memilih padanan kata yang cocok selain terusik agar tidak membuatnya tersinggung. Akan tetapi sebelum mendapatkan jawabanku, ia menjentikkan jari, kemudian berkata sambil menegakkan badannya kembali.

"Kau pasti penasaran." Sepasang mata biru Helena sekarang melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Sebentar lagi dia akan datang bersama kapten tim rugby. Mereka itu dua orang yang kaya raya. Bedanya Lexter Willingstone tidak sombong seperti Jasmine Maxwell. Ngomong-ngomog dia tidak punya teman selain Lexter."

Lalu dua murid yang ikut melakukan bully itu siapa? Apa aku salah menyimpulkan? Setelah kupikir lagi, bisa jadi itu orang lain, bukan Jasmine atau Regina.

Untuk menutupi pikiranku yang tidak rela karena telah salah menyimpulkan, aku tersenyum sambil memasukkan ayam ke dalam mulutku. Setelah menelannya baru berkomentar. "Jadi kau menyukai kapten tim rugby?" tanyaku sambil menyesap minuman di gelas kertas.

"Siapa? Lexter?"

Aku mengangguk.

"Tidak, aku memang menyukai seseorang, tapi bukan Lexter. Lagi pula semua murid perempuan di sekolah ini menyukainya. Tapi aku tidak."

"Begitu?" Aku mengangguk sambil melanjutkan makanku.

"Berenti membicarakan diriku, sekarang bagaimana dengan kau sendiri?"

"Apa?" tanyaku pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Helena.

"Kau tahu maksudku, Lee ... kau tidak bodoh!"

Aku mengatubkan bibirku rapat-rapat sambil membuang napas berat. "Aku tidak ada waktu untuk hal semacam itu Helena."

Detik itu juga aku bisa melihat wajah cerianya mendadak menjadi senyum yang dipaksakan. Memang kenapa? Apa ia tidak puas dengan jawabanku?

"Kau harus menikmati masa remajamu, Lee. Akan selalu ada waktu untuk hal-hal semacam itu. Kau tahu bukan? Kau memulainya dengan sangat baik saat mendengarkanku untuk tidak membaca ketika makan siang. Mungkin saja kau juga akan mengambil langkah besar selanjutnya untuk menyukai seseorang."

Aku memikirkan sejenak perkataan Helena dan mengaitkannya dengan jadwal kegiatanku sehari-hari. Mulai dari bangun subuh membantu grandma di peternakan untuk mengurus sapi, lalu menjual hasil susunya, mandi, sarapan, pergi ke sekolah, setelahnya mengajar-mulai hari ini-lalu pulang tentu sudah malam, aku sendiri harus makan malam, belajar kemudian istirahat dan siklus itu terus berulang.

Astaga aku memang tidak ada waktu untuk hal-hal semacam itu.

"Kau mirip grandma."

"Tentu saja karena aku cucunya. Ah begini saja, aku akan mengganti pertanyaannya. Apa tidak ada satu pun perempuan yang membuatmu tertarik sejak pindah ke rumah grandma? Atau ke sekolah ini, mungkin?"

Aku membenarkan letak kacamataku sambil mengunyah. "Kurasa tidak ada."

Yang kemarin memakaikan kacamatamu, kau tidak tertarik Lee? Kurasa Regina-atau pun siapapun namanya-cukup menyita perhatianmu bukan? Pikiranku mengolok-ngolok. Saat kuperhatikan Helena lagi, aku kembali menemukan wajah murungnya. Kenapa ia beriskeras ingin aku menyukai seseorang?

Bersamaan dengan makananku habis, kantin kembali berisik seperti kemarin. Grasak-grusuk pada hal yang sama yaitu Jasmine Maxwell.

"Itu dia Lee, dia di belakangmu bersama Lexter. Dia duduk tepat di belakangmu," bisik Helena sambil kembali menyondongkan badannya ke depan. Saat aku akan membalikkan badan, Helena memperingatkan. "Jangan menoleh padanya dan sebaiknya kau pergi ke ruang kepala sekolah sekarang lalu katakan kau tidak menerima tawarannya."

Aku memang berdiri dan menuruti Helena pergi ke ruang kepala sekolah tanpa menoleh ke arah Jasmine yang sedang duduk bersama Lexter. Namun, setelah memikirkannya kembali, tiga puluh dua dollar itu bukan jumlah yang sedikit.

Maafkan aku Helena, sangat disayangkan bila tiga puluh dua dollar dilewatkan hanya karena aku tidak tahan mengajar. Setidaknya aku harus mencobanya lebih dulu.

Musim semi
Michigan, 24 April
15.00 p.m.

Bell tanda sekolah telah usai berdentang. Aku yang masih mengemasi buku-buku dan memasukkan dalam tas dikejutkan oleh kehadiran Helena yang berdiri di sebelah bangkuku.

"Lee, aku akan membantumu," katanya tapi aku menolak.

"Ini sudah selesai, oh ya seperti kau harus pulang dulu. Aku akan pergi ke suatu tempat," kataku. Aku juga tidak mengerti kenapa tidak mengatakan alasan yang sebenarnya pada Helena.

"Ke mana kau akan pergi? Aku ikut."

"Tidak bisa, aku ... ada kegiatan club sains."

"Sejak kapan kau ikut club sains?" tanya Helena semakin curiga.

"Tadi sewaktu keluar dari ruang kepala sekolah, aku memutuskan untuk bergabung," kilahku.

Maafkan aku Helena.

Wajah cerianya berubah murung lalu terpaksa mengangguk. "Baiklah, aku pulang dulu."

Melihat Helena keluar kelas hingga berjalan ke gerbang dan naik bus sekolah, aku segera berdiri tidak jauh dari sana dan menunggu jemputanku. Kata kepala sekolah tadi, Mr. Alexander Maxwell memfasilitasiku dengan mobil dan supir untuk mengantarku ke rumah keluarga Maxwell.

Saat melihat mobil SUV hitam berhenti dan memastikan namaku, supir tersebut memintaku masuk lalu melajukan kendaraan itu membelah kota Michigan. Tidak lama kemudian mulai memasuki kawasan jarang bangunan. Aku pun sedikit was-was. Supir yang dapat membaca gelagatku yang tidak biasa berusaha meredamkan kegelisahanku.

"Tenang Mr. Devoughn, tempat tinggal Mr. Alex memang sedikit jauh dari kota. Nona Jasmine yang memintanya karena takut dikejar paparazzi," ucap pria yang mungkin berumur akhir tiga puluhan. Sesekali melihatku melalui spion tengah.

"Apa Miss Maxwell adalah artis?"

"Tidak, tapi super model remaja. Beberapa fotonya terpasang di papan reklame kota. Kita tadi melewatinya, kau benar-benar tidak tahu?"

Dengan sangat malu aku menggeleng.

"Baiklah, kau nanti akan segera beremu dengannya. Jangan merasa tertekan dengan sikap dan perkataan pedasnya, sebenarnya nona Jasmine hanya paranoid."

"Paranoid?" Aku mengulang pertanyaan pria tersebut.

"Iya-oh ya kita sudah sampai."

Aku mengamati sekeliling. Gerbang besar dan tinggi terbuka secara otomatis dan mobil yang kutumpangi melaju melewati sederet taman bunga sebelum akhirnya berhenti di depan air mancur yang terletak bersebelahan dengan foyer.

Mungkin jika salah satu maid, tidak berbicara, aku pasti masih betah memandangi rumah-bukan-kurasa lebih mirip estate ini dan digiring masuk. Melewati banyak ruang elegant kombinasi putih dan emas lalu berakhir di salah satu bangunan yang berdinding tanaman hijau dengan langit-langit yang sangat tinggi. Dilapisi kaca, jadi sinar mentari bisa masuk. Diluar menampilkan kolam ikan yang terasa menyejukkan mata. Juga terdapat sofa-sofa di tengah ruangan itu.

Kata maid tersebut ini merupakan ruang belajar favorit Jasmine. Untuk ukuran ruang belajar kenapa tidak ada perpustakan? Menurutku ruangan ini lebih cocok digunakan untuk ruang keluarga yang modern.

Saat mataku masih mengamati sekeliling, aku dikejutkan kedatangan maid tadi bersama seorang maid lain yang membawa nampan berisi cemilan dan minuman. "Silhakan, ini camomile tea dan kue. Tunggulah sebentar, nona Jasmine sebentar lagi akan ke sini."

"Terima kasih," ucapku sambil tersenyum.

"Mohon dimaklumi kalau kata-katanya pedas dan jangan diambil hati. Nona hanya paranoid. Semoga kau betah menjadi guru private-nya."

Sepeninggalan dua orang maid tersebut aku kembali bertanya-tanya dalam hati. Sudah tiga orang yang memperingatkanku tentang hal ini. Aku jadi semakin gugup sekaligus penasaran seperti apa sosok Jasmine ini sebenarnya dan paranoid terhadap apa? Kenapa sampai membuatnya bersikap arogan?

Saat aku memutuskan menyesap teh yang disuguhkan untukku agar mengurangi rasa gugupku, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Aku meletakkan cangkir tehku di meja lalu menoleh ke arah sumber suara tersebut dan betapa terkejutnya saat mataku mendapati gadis bermata hijau terang tempo hari yang berjalan ke arahku.

Bukan hanya aku saja yang terkejut, tapi ia juga. Tertanda dari langkahnya yang melambat serta keningnya yang berkerut samar. Kemudian langkah itu semakin dipercepat. Sementara aku yang tidak yakin itu adalah gadis tempo hari, melepas kacamataku dan menggosok lensanya menggunakan blazer marun seragamku lalu memakainya sambil memicingkan mata.

"Kau?!" pekiknya. "Jangan katakan kau adalah guru private-ku?!"

Bukannya menjawab, aku malah sempat-sempatnya mengamati dirinya yang sudah mengganti seragamnya dengan floral dress selutut tanpa lengan. Gelombang berkilau itu di gerai. Sangat cantik. Benar kata Helena, ia memang sangat cantik. Jenis yang tidak akan cukup puas bila harus dipandangi hanya sekali. Seperti saat pertama kali aku bertatap muka dengannya di koridor sekolah kemarin.

Tapi benarkah ia adalah Jasmine? Bukan Regina seperti yang diskripsikan Helena?

"Apa kau Jasmine Maxwell?" Aku mendengar diriku sendiri bertanya padanya, dan itu malah membuatnya semakin keliahatan marah.

"Apa maksudmu? Tentu saja aku Jasmine Maxwell! Apa yang kau rencakan sebenarnya?!" pekiknya sambil bersedekap tangan dan tidak perlu repot-repot duduk.

"Apa yang aku rencanakan?" ulangku, dalam dudukku mendongak untuk menatapnya.

"Jangan pura-pura bodoh! Aku sudah mengatakannya jika kau tidak akan mendapatkan apa pun dariku!"

Aku reflek berdiri. "Sebentar, kau salah paham."

Gadis cantik itu tampaknya tidak ingin mendengarkanku. "Aku berubah pikiran. Kalau begitu berapa?"

Semua pertanyaannya membuatku bingung. "Apa maksudmu berapa?"

"Berapa gaji yang diberikan ayahku untuk menjadi guru private-ku?! Aku akan menggajimu dua kali lipat setiap hari dengan catatan kau tidak perlu ke sini lagi!"

Aku terkejut. Lagi dan lagi. Sekarang aku mengerti kenapa semua orang memperingatkanku akan gadis cantik ini. Memang benar-benar luar biasa pedas.

"Cepat katakan lalu pergi dari estate-ku setelah aku memberimu uang!"

Bibirku kontan tersenyum masam. Helena benar. She's arrogant dan tidak punya adab.

"Pertama, Miss Maxwell, aku baru bertemu denganmu kemarin dan baru tahu namamu beberapa detik yang lalu. Kedua, demi Tuhan aku tidak ada maksud apa pun selain hanya ingin menjadi guru private-mu.

"Ketiga, aku memang membutuhkan uang karena aku sangat miskin. Orangtuaku sudah meninggal sehingga aku dan adikku harus menumpang hidup di rumah orang lain. Tapi aku mendapatkan uang dengan cara usaha. Tidak dengan cara direndahkan seperti ini.

"Jika kau memperlakukan orang semaumu dan semena-mena karena kau merasa memiliki banyak uang, jangan heran kalau orang-orang itu tidak memberi hormat padamu, Miss Maxwell. Kecuali mereka yang memang berniat khusus untuk memanfaatkamu.

"Keempat, aku sudah berniat mengambil pekerjaan ini sebagai amanah dari kepala sekolah yang diutus Mr. Maxwell. Jadi aku tidak akan kemana pun atau sudi mengambil tawaran uangmu.

"Terserah kau mau bersikap semena-mena atau apa pun tidak terhadapku. Tapi aku tidak akan pergi sampai urusan belajar kita selesai. Aku tidak ingin makan gaji buta yang diberikan Mr. Maxwell."

Entah mendapat keberanian dari mana, aku bisa mengungkapkan semua itu. Terpenting, yang semula aku memikirkan tiga puluh dua dollar pun hilang digantikan tekat kuat tidak ingin mengecewakan kepala sekolah atau pun Mr. Maxwell. Mungkin, sebagian hati kecilku juga menginginkan melihat gadis itu lagi dan lagi. Sampai-sampai menolak tawarannya yang menggiurkan.

Namun, aku memang bukan orang tidak tahu malu seperti itu dan aku mengatakan yang sebenarnya. Sekarang, aku hanya berharap ia tidak bertambah marah padaku karena ucapan-ucapanku barusan.

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

16 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro