Chapter 22 • Jasmine Maxwell
Selamat datang di chapter 22
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (hobi)
Thanks
Hapyy reading everyone
Hope you like it
❤️❤️❤️
____________________________________________________________
Bebas menjadi diriku sendiri tanpa memikirkan asal usul serta latar belakangku
—Jasmine Maxwell
____________________________________________________________
Musim panas
Michigan, 30 Juli
12.10 p.m.
“Jassy kita butuh bicara.”
“Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan Lex. Aku sudah memaafkanmu. Jadi, tenang saja.” Aku berjalan menuju lobi gedung secepat yang kubisa. Selain manager sedang tidak hadir dan artinya tidak ada rapat evaluasi sehingga bisa pulang lebih cepat, aku juga menghindari Lexter. Akan tetapi ia dengan tinggi dan panjang kaki yang melebihi ukuranku tentu dapat menyamai langkahku dengan mudah.
“Ini tentang prom night.”
“Ada apa dengan itu?” Sebenarnya, aku bertanya seadanya. Namun, entah kenapa bukannya memutus obrolan sampai di sini, sepertinya aku malah memperpanjang urusan.
Aku segera menyesalai keputusanku untuk pertanyaan itu. Harusnya aku bisa memikirkan pemilihan topik yang tepat untuk membuat pembicaraan ini benar-benar selesai.
“Aku ingin mengajakmu.” Lexter yang saat ini sudah mengganti pakaiannya jadi lebih santai pun hampir berhasil menghadang jalanku.
“Well, akan kukabari nanti.”
Sebenarnya, aku masih menunggu Lee untuk mengajakku ke acara itu. Namun aku ragu ia akan melakukannya. Berhubung saat beberapa hari lalu usai dari Redwood kami membahas perihal ini, ia menjawab akan memikirkan segala aspek tentang reputasiku lebih dulu baru memutuskan akan mengajakku atau tidak. Padahal aku menegaskannya jika sudah tidak peduli tentang semua itu lagi sekarang. Namun Lee tetap bersikeras melakukannya.
Sudah pernah kukatakan bukan, jika bersama dengannya, aku selalu bisa bebas menjadi diriku sendiri tanpa memikirkan asal usul serta latar belakangku?
“Apa sudah ada yang mengajakmu Jass?” Aku terhenyak mendengar pertanyaan Lexter yang telah resmi menghalangiku. Sejujurnya tidak menyukai nada yang ia gunakan. Seperti meremehkan. Apalagi ditambah senyum sombong itu.
Aku jadi berpikir, apakah aku dulu sama seperti laki-laki ini jika menghadapi sesuatu? Mengingat aku dan ia dulunya merupakan jenis pribadi yang kurang lebih hampir sama.
“Apa maksudmu? Tentu saja belum. Bisa tolong kau menyingkir Lex? Sebastien dan Nameeta sudah menungguku.” Aku bergeser ke kiri dan ke kanan tetapi Lexter mengikuti gerakanku.
“Kupikir sudah ada yang mengajakkmu. Aku hanya heran, kenapa kau tidak langsung menerima ajakkanku seperti dulu? Kau bahkan tidak menjawab telepon dan membalas pesan dariku. Dan satu lagi Jassy, kau absen menonton pertandingan rubgyku musim panas ini,” terangnya yang masih setia mengikuti gerakanku.
Semua yang Lexter katakan benar, teruntuk kalimat terahirnya. Sebelum ia bersikap seenaknya dan bertemu dengan Lee Devoughn, aku memang selalu menonton pertandingan rugby timnya dan sering kali mengiyakan ajakannya tanpa banyak pikir.
Pada akhirnya aku berhenti. Laki-laki berambut pirang ini juga berhenti. “Itu karena sikapmu Lex!” pekikku yang kini mendongak dan menatapnya tajam sambil melipat kedua tangan di dada.
“Sifatku? Bukankah kau baru saja memaafkanku Jass?”
“Yes, I did.”
“So what’s the problem now?” desak Lexter. “Apa kau sedang menunggu orang lain untuk mengajakmu ke acara itu?”
Aku pura-pura memutar bola mata malas sambil mendengkus. “Aku harus pergi. Sebastien dan Nameeta sudah menungguku.” Tubuh Lexter Willingstone yang besar berusaha kuterobos dan ia tidak lagi menghalangi jalanku. Namun, saat baru membawa tubuhku selangkah maju, kalimatnya berhasil menghentikanku.
“I heared you saw someone, Jass. Kupikir kita sahabat, tapi kenapa kau tidak menceritakannya padaku? Jadi itukah yang membuatmu menolakku?”
Aku memutar badan menghadap Lexter. “Sejak kau mengakui perasaan sukamu padaku, aku tidak bisa menyebut hubungan ini menjadi sahabat lagi Lex. Maaf—”
“Maaf? Apa aku salah dengar?” potongnya dengan nada agak tinggi, “seumur hidup, kau tidak pernah mengatakan itu. Kau berubah Jass. Apa karena Lee Devoughn si Kacamata sekaligus guru private yang kau tidak ingin aku membantumu mengusirnya itu?”
Aku ternganga. “Dari mana kau tahu?”
“Itu tidaklah penting.”
“Kalau tidak. Lalu kenapa kau seperti mempermasalahkannya?”
Gantian Lexter yang terhenyak. Pada detik yang lain mengumbar tawa meremehkan. Aku semakin tidak menyukainya. “Are you kidding me, Jass? Aku? Mempermasalahkan si Kacamata itu? Oh ayolah. Dia tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku Jassy. Dia berani membelamu waktu di kantin karena hanya sedang terlalu percaya diri. Benar kan?”
Aku masih bersedekap tangan dan menatap tajam ke arah Lexter dengan raut wajah serius. Kemudian ia semakin tersenyum geli seolah apa yang dikatakannya merupakan sesuatu yang terlucu di seluruh dunia. “Jangan katakan kau menyukainya, Jassy.”
“Aku memang menyukainya. Dan asal kau tahu Lex, dia seribu kali lipat lebih baik dibandingkan dengamu! Apa kau sadar? Sikapmu yang seperti inilah yang membuatku tidak nyaman!”
Menghiraukan omonganku, Lexter mengehntikan tawa remehnya. “Jassy, aku hanya memintamu supaya hati-hati. Mungkin saja dia jauh lebih buruk dibandingkan denganku. Aku khawatir padamu. Mungkin dia memang opportunities seperti yang selalu kaukhawatirkan terhadap orang asing dan miskin, seperti dia.”
Aku kembali tersenyum miring dan mendengkus. “Terima kasih Lex. Tidak perlu mengkhawatirkanku soal itu. Tidak mungkin dia seperti itu!”
“Siapa tahu? Kau baru saja mengenalnya Jass.” Usai mengendikkan bahu ringan, Lexter mendekatiku dengan wajah jauh lebih tenang dibandingkan tadi, lalu memegang kedua pundakku. “Kalau apa yang kukatakan benar, aku akan menganggap pembicaraan ini tidak pernah ada, dan kau boleh kembali padaku kapan saja. Jadi sahabat seperti dulu pun tidak masalah.”
“Jangan berharap Lexter. Aku yakin dia tidak seperti itu!” Aku bersikukuh.
“Mari kita buktikan, apakah si Pecundang itu akan mengajakku ke prom night atau tidak. Kalau sampai tidak, terimalah tawaranku.”
Jantungku berdebar keras. Ada sebagian dari diriku yang merasa takut dengan omongan Lexter. Karena memang pada kenyataannya itulah yang membuatku ragu Lee akan mengajakku ke acara tersebut.
Kedua alisku mengernyit sembari mengatur pikiran. Sementara dengan ketenangannya yang aneh, Lexter membuka jalan untukku dan mempersilakanku, dilengkapi ucapan hati-hati di jalan. Tanpa menjeda waktu barang sedetik pun, kubawa tubuhku menuju lobi. Namun samar-samar kudengar laki-laki itu memekik, “Kutunggu kabar baik darimu Jassy.”
Musim panas
Michigan, 2 Agustus
10.03 a.m.
Sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan pernyataan Lexter. Berkali-kali otakku juga meyakinkan diriku jika Lee tidak mungkin seperti apa yang ia katakan. Aku percaya pada laki-laki culun itu. Mungkin Lexter hanya mencoba menakutiku agar pendirianku goyah dan mau ia ajak ke acara prom, pikirku.
Selama dua hari penuh berikutnya, perkataan Lexter seolah berupa mantra sihir yang menjelma nyata. Lee tidak bisa kuhubungi. Hatiku mulai waswas. Aku lantas bertanya pada Lea dan yang ia katakan kakak laki-lakinya sedang sibuk mengerjakan esay untuk masuk universitas. Padahal aku tahu Lee sudah mengerjakannya lebih dari seminggu yang lalu. Meski demikian, aku tidak membantah apa yang Lea katakan.
Karena tidak tenang dengan keanehan Lee Devoughn, aku mengunjungi rumah grandma Rose. Namun hingga tiga jam menunggu, laki-laki berkacamata itu tidak kunjung pulang dari kegiatan menjual susu sapi segar seperti jadwal hariannya. Berkali-kali aku mengotak-atik ponsel untuk membunuh rasa cemas, tetapi hal tersebut juga tidak efektif.
Ngomong-ngomong, aku tidak hafal jalan ke peternakan karena sepanjang perjalanan menuju ke sana pandanganku selalu tertuju pada Lee, jadi aku terpaksa duduk di kursi kayu yang terletak di teras rumah grandma yang semua penghuninya masih belum kembali. Aku juga ingin menghubungi laki-laki itu tetapi Lea berkata hari ini Lee tidak membawa ponsel ke peternakan.
Aku mendesah keras. Lalu dalam sekejab mata, perasaan lega datang memenuhi diriku begitu melihat truk tua yang biasa dikendarai Lee tiba serta berbelok ke garasi belakang. Dengan sangat hati-hati, kuturuni anak tangga teras ini bermaksud segera menyusul, untuk memastikan laki-laki itu.
Kekecewaan kembali menyerangku seolah tidak terima ketenangan itu berdiam lama dalam tubuhku. Sepasang iris hijau safirku sama sekali tidak menemukan keberadaan Lee di sana. Hanya ada Helena yang baru saja turun dari kursi kemudi.
Harus kuakui—di luar konteks ia adalah saingan—meski badannya masih terbalut katelpak bau kotoran sapi mau pun tanpa mekap—aku benci mengakui ini—ia masih tetap kelihatan cantik.
“Oh, Maxwell. Tidak menyangka kau akan berkunjung ke sini lagi,” kata perempuan menyebalkan itu kala melihatku berjalan ke arahnya.
“Di mana Devoughn dan yang lain?” tanyaku implusif. Menduga Lee pasti sedang bersama Lea dan grandma.
Perempuan bau itu tersenyum remeh. “Grandma dan Lea masih di peternakan karena ada sapi yang melahirkan. Tapi Lee? Kurasa dia sibuk. Jadi kusarankah sebaiknya kau pulang saja.”
“Sibuk apa?”
“Kenapa aku harus memberitahumu?”
“Kalau kau tidak mau memberitahu, aku akan menunggunya.”
“Oh, aku sangat terkesan kau bisa menunggu lebih dari semenit di sini,” jawab Helena tenang tetapi dengan wajah menyebalkan. Aku sungguh-sungguh ingin menceburkannya ke kolam lumpur babi. Agar ia menyatu dengan alamnya.
“Tapi, terserah kau saja,” tambah sainganku itu. Pada saat akan berjalan meninggalkanku yang masih tercenung di tempat, ia menghadapku kembali. “Oh ya, aku lupa mengatakan sesuatu padamu Maxwell. Lee mengajakku ke prom night. Jadi kalau kau menunggunya untuk memastikan ajakan itu, aku minta maaf. Kursi pasangan Lee sudah penuh.”
Aku nyaris tak memercayai pengakuan Helena. Tidak mungkin Lee mengajaknya. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, bisa jadi karena perempuan itu seumah serta harus menghadiri acara yang sama. Jadi mungkin Lee lebih memilih jalan yang praktis. Tidak menutup kemungkinan juga ada alasan lain. Mungkin karena ia mengkhawatirkan reputasiku dan skandal yang akan timbul seperti saat membahasnya baberapa saat lalu. Padahal sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku sama sekali tidak keberatan mengenai hal tersebut. Kenapa ia malah melakukannya?
Atau jangan-jangan ia cemburu karena usai pemotretan, aku mengirimi pesan kalau sempat adu pendapat dengan Lexter sebelum pulang?
Iya. Benar. Lee pasti cemburu. Jadi sebaiknya aku harus bertemu dengan laki-laki itu dan menjelaskan hal tersebut padanya.
Alih-alih kembali ke kursi kayu teras rumah grandma Rose, aku lebih memilih masuk Maserati untuk menunggu Lee sebab tidak begitu tahan dengan udara musim panas. Sekitar satu jam kemudian, grandma Rose dan Lea datang bersama keluarga Brighton. Cepat-cepat kumatikan pendingin udara serta mesin mobil untuk menghampiri mereka.
“Grandma, Lea ...,” pekikku sambil berjalan cepat ke arah mereka.
“Miss Jasmine.”
“Jassy?”
Usai memisahkan diri dari keluarga Brighton, mereka menoleh secara bersamaan lalu menyambut pelukanku. “Apa yang membuatmu kemari?” Lagi-lagi mereka bertanya secara serentak.
“Tentu saja aku merindukan grandma dan Lea.” Mereka melepas pelukanku sambil menggiringku masuk.
“Kupikir kau juga merindukan kakakku,” goda Lea sambil tersenyum penuh arti.
“Itu, sudah pasti,” akuku malu-malu. Mengikuti mereka masuk rumah.
“Apa kau sudah datang dari tadi?” tanya grandma Rose.
“Kenapa kau tidak menghubungiku lebih dulu Jass? Jadi aku bisa pulang lebih awal dengan Helena.”
Dua orang itu memberondongiku dengan pertanyaan secara beruntun. “Well, aku ingin memberi kejutan,” kilahku yang kini sudah duduk di kursi dapur depan meja makan bundar bertaplak kotak-kotak putih dan merah pudar.
Seperti biasa, grandma Rose menyuguhkan teh min setelah melepas katelpak dan mencuci tangan. Kulihat Helena keluar dari kamar mandi dan tidak mengacuhkanku serta berjalan ke kamarnya. Berikutnya gantian Lea yang masuk untuk membersihkan badan.
“Terima kasih,” ucapku, “apa hari ini semua berjalan lancar?” tanyaku basa-basi. Biasanya sangat jarang kulakukan. Akan tetapi setelah dekat dengan Lee, kadang-kadang aku menirunya untuk menggiring ke topik utama.
Grandma ikut duduk di sebelah kursiku. “Ada sapi yang baru saja melahirkan, jadi kami harus memanggil Veterinarian dan bertahan lebih lama di sana. Tapi semuanya berjalan lancar. Anak sapinya berhasil lahir dengan selamat,” terang beliau, jauh lebih lengkap dari yang Helena katakan tadi.
Aku menunduk menatap gelas teh min dingin yang aliran airnya di luar gelas sudah mulai merambat turun. “Syukurlah. Tapi kenapa Lee belum pulang?”
“Aku juga kurang tahu, tadi dia bilang sedang ada urusan. Akhir-akhir ini dia kelihatan sibuk. Aku juga jadi jarang mengobrol dengannya.”
Aku mengangguk sebagai bentuk persetujuan. Berarti tidak hanya aku saja yang merasa Lee aneh belakangan ini—kecuali Helena.
Beberapa menit kemudian, saat tiba giliran grandma untuk menggunakan kamar mandi, aku memilih untuk ikut naik bersama Lea. Gadis itu kembali ke kamar, sedangkan aku ke kamar Lee untuk mengunggu penghuninya.
Angin yang masuk melalui jendela kamar ini terasa sejuk. Mungkin karena aku tidak memiliki cukup waktu tidur tadi malam sebab sibuk memikirkan Lee, mataku jadi berat. Aku merebahkan diri di kasur mungil lalu memeluk selimut beraroma laki-laki itu sambil tersenyum. Aroma mentholnya membuat perasaanku membaik. Kemudian entah sejak kapan aku mulai tidur.
Aku bermimpi berada di sebuah taman bunga warna warni yang sangat luas. Angin sejuk membuat tangkai-tangkai mereka berayun. Kujelajahi tempat ini melalui pandangan, tetapi tidak menemukan seorang pun. Anehnya aku tidak takut sendirian dan yakin seseorang akan datang.
Seakan mengabulkan harapanku, tiba-tiba sepasang telapak tangan familier menyentuh pundakku. Lee tanpa kacamata tersenyum hangat usai memindah berat tubuh berada tepat di depanku. Tanganku praktis terulur untuk memeluknya. “Devoughn ... aku merindukanmu,” ucapku.
Laki-laki itu tidak bicara melainkan membagi jarak di antara kami lalu mulai mencium keningku dengan lembut. Kemudian bergerak ke bibirku. Semula lembut lalu berubah liar dan tidak terkendali.
Lee merebahkanku di atas rumput yang anehnya terasa empuk. Selanjutnya ia membuatku melayang kembali. Persis seperti saat kami berkemah di Redwood. Karena kelelahan aku pun memejamkan mata untuk menikmati sisa-sisa pelepasan yang diberikan oleh Lee.
Kupikir, aku hanya memejamkan mata selama lima detik. Namun, ketika membuka kelopak yang terasa berat, aku sudah mendapati diriku berada di kamarku sendiri. Bukan kamar Lee Devoughn.
____________________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah votedan komen
Btw, mungkin saya bakalan update satu chapter spoiler
Jadi, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Repost : 3 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro