Chapter 19 • Lee Devoughn
Selamat datang di chapter 19
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Hapoy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Rupanya aku terlalu egois dan tidak mau berbagi dengan siapa pun tentang penampilan Jamsine
—Lee Devoughn
______________________________________________
Musim panas
Michigan, 3 Juni
18. 05 p.m.
“Devoughn,” panggil gadis itu sebelum aku melangkah keluar kamar untuk membiarkannya ganti baju. Jadi tubuhku kuputar lagi menghadapnya. “Bisa kau membantuku melepas zipper-nya?”
“Akan kupanggilkan Miss Nameeta Iskh.”
“Tidak perlu, kau saja.”
Aku membenarkan letak kacamata lantas berjalan kembali mendekati Jasmine serta memposisikan diri di belakangnya, sambil berusaha meluruskan pikiran yang mulai bercabang ke mana-mana.
Aku tidak tahu kenapa gadis ini selalu membuat pikiranku berkelana. Apalagi ketika ia sudah mengumpulkan untaian gelombang-gelombang halus harum nan indah itu ke pundak sebelah kiri. Dengan gemetar, aku berusaha menggapai zipper dress merah ini lalu menurunkannya sedikit.
“Sudah,” kataku sambil berusaha memindah berat tubuh, tetapi Jasmine menghentikanku dengan protesnya.
“Zipper-nya sampai pinggang Devoughn. Dan bagian pinggang itu mengecil, mana bisa aku melepaskan dress ini kalau kau hanya menurunkannya sedikit?”
Astaga! Aku mengutuk pembuat dress ini. Kenapa zipper-nya harus sampai pinggang? Apa mereka tidak tahu kalau otakku sudah mulai kusut membayangkan hal yang iya-iya?
“Ekhm, baiklah.” Aku menghentikan pikiran lalu mulai meraih zipper-nya kembali. Dengan mata terpejam, berusaha menurunkan itu sampai pinggang. Namun sebelum berhenti pada tujuannya, tanganku tidak sengaja menyentuh kulit punggung gadis itu. Kedua mataku terbuka seketika saat kurasakan pemilik tubuh tersebut terkesiap dengan napas memberat.
Aku pun tak membaik dengan keadaan ini. Kulitnya yang sangat halus seolah menjadi canduku untuk menyentuhnya lagi. Aroma campuran antara raspberry dan bergamot yang kental menyerang saraf pembauku, lalu diterjemahkan oleh otak dan memberi kesimpulan bahwa aku sangat menyukai aroma itu. Namun, aku benar-benar harus bersikap waras. Jadi, dengan cepat kuturunkan zipper itu hingga di pemberhentian terakhir. “Sudah, akan aku tunggu di luar.”
“Terima kasih,” jawabnya dengan kedua netra yang membulat. Tampak natural dan polos. “Bisa kau tutup pintunya untukku?”
“Ya.” Cepat-cepat kubawa tubuhku bergeser dari sana sebelum pikiranku makin kusut karena melihat sebagian tubuh Jasmine yang menggoda. Sekitar dua menit kemudian ia membukakan pintu dan betapa terkejutnya aku mendapati pemandangan di hadapanku. Lalu cepat-cepat kupalingkan wajah sambil berdeham. “Ekhm, a-aku akan mengambilkan jaket untukmu. Tunggu sebentar.”
“Devoughn, sekarang musim panas, kenapa aku harus mengenakan jaket?” tanyanya dengan nada kesal saat aku melintas, melewatinya untuk menuju lemari.
“Kalau begitu, ganti kausmu dengan yang ini.” Tanpa melihat, kuulurka kaus kuning padanya.
“Ck! Kenapa lagi? Memangnya ada yang salah dengan kaus yang kupakai ini?!” pekiknya tanpa mengambil kaus kuning yang masih kuulurkan. “Dan kenapa kau tidak melihatku saat bicara denganku? Siapa yang biasanya mengajarkan soal kesopanan dan bla bla bla—”
“Kalau begitu, kau mau menggantinya dengan warna lain selain merah? Putih, misalnya? Yang senada dengan kaus itu?” potongku cepat sembari memutar tubuh untuk menghadap serta menatapnya. Aku tidak ingin fokusku pecah karena pemandangan menggiurkan lainnya yang ia suguhkan.
“Merah? Apa maksudmu? Aku sudah mengganti dress merahku dengan—tunggu sebentar.” Jasmine mengerjap lalu menunduk dan melihat dirinya sendiri. Aku pun turut mengikuti pandangannya dan berusaha meneguk ludah dengan susah payah. Berlainan denganku yang sangat ingin memukul kepala agar pikiran ini tidak mengarah pada apa yang berada di balik warna merah tersebut, gadis itu malah terkekeh. “Ooohhh ... aku mengerti sekarang. Nameeta memang selalu memasangkan sesuai apa yang akan kupakan. Tapi memang kenapa kalau merah? Perempuan dan wanita mana pun sering memakai gaya ini, bahkan kadang mereka berpakaian luaran transparan. Ini bagian dari fesyen Devoughn,” katanya sambil terkekeh, “tidak usah dipikirkan. Ayo kita ke pasar malam.”
“Aku tidak peduli fesyen, prempuan atau wanita lain, atau bahkan apa pun itu. Kau pikir aku akan membiarkanmu ke pasar malam sebelum mengganti bajumu dengan yang ini?” Sekali lagi kudorong kaus kuning yang masih kugenggam supaya lebih dekat dengannya yang juga sedang menenteng dress merah laknat itu. Aku tidak tahu kenapa tidak bisa mengontrol nada suara tetap dalam golongan normal dan malah menaikkan nadanya ketika membahas yang satu ini.
“Kenapa?” tanya Jasmine. Kening gadis itu berkerut samar. “Kau ini aneh Devoughn! Kenapa kau mempermasalahkan semua baju yang kuapkai? Kenapa kau tidak mengerti kalau aku sudah memeprsiapkan baju ini khusus untuk ... untuk pergi ke pasar malam?!” pekiknya dengan wajah marah. Mempertegasnya dengan menunjuk dress serta kaus putih itu secara bergantian. Tanganku yang terulur pun ia dorong kembali.
“Jasmine, kau tahu berapa banyak laki-laki yang akan melihatmu kalau kau tetap mengenakan kaus putih itu?”
“Aku sudah terbiasa dengan hal itu. Aku juga kadang memakai bikini two piece di pantai. Jadi jangan mempermasalahkan hal sepele seperti ini Devoughn.”
“Ini bukan hal sepele.”
“Ini jelas-jelas hal sepele. Aku sudah menurutimu memakai kaus putih ini dan jin panjangmu yang bisa membuatku gerah, tapi kenapa kau masih mempermasalahkan hal lain?”
Aku mendesah keras sebelum mulai menceramahinya panjang lebar. Sebelumnya, melepas kacamata untuk memijit nagian pangkal hidung sbelum memakainya kembali. “Itu karena aku tidak tahu kau sedang memakai warna merah. Oke? Jasmine ... percayalah padaku, laki-laki normal itu setiap setengah jam sekali pikirannya selalu mengarah pada hal itu. Kau tahu kan maksudku? Jadi jangan memperkeruh pikiran mereka karena melihatmu dengan fesyen yang kau sebut-sebut ini.”
“Jadi kau juga seperti itu Devoughn?!” skaknya.
Aku hampir terkekeh, tetapi beruntungnya bisa mengusainya. “Aku laki-laki normal. Tentu saja aku begitu. Tapi aku berusaha menahan dan mengendalikan diri,” belaku pada diri sendiri. Kenapa ia tidak mengerti juga? Kenapa ia harus bertanya tentang hal yang jawabannya sudah pasti? Kenapa baru belakang ini kusadari wajah cantik yang dipaksa dewasa itu menyembunyikan kepolosan?
“Bagaimana kalau aku tidak ingin kau menahan diri padaku?” tanya gadis itu hampir berbisik.
“Apa?! Jangan bercanda Jamsine. Just wear this shirt and let’s go to there.”
Jasmine mendekatiku dan menengadah. “Aku tidak bercanda, Devoughn,” jawabnya masih dengan tatapan wajah polos.
Terpekur sesaat lalu mengatubkan bibir rapat-rapat, mataku terpejam sambil membuang napas berat. Aku menelan ludah dengan susah payah lagi untuk meluruskan pikiranku. “Pakailah ini, aku tunggu di luar,” ujarku dengan senyum yang kupaksakan tulus sambil meletakkan kaus kuning di tangannya yang kutarik, lalu memindah berat tubuh dan keluar serta menutup pintu sebelum ia mengatakan atau melakukan hal-hal yang menggelapkan pikiranku.
Musim panas
Michigan, 3 Juni
18.30 p.m.
Aku bernapas lega setelah Jasmine mengenakan bajuku. Aku tahu itu hanya sebuah kaus kuning dengan gambar smile devil face ungu tidak bermerek, serta celana jin biru terang yang warnanya sudah memudar. Meski ia menggulung bagian lengan serta ujung jinnya, Jasmine masih tampak menawan. Bagaimanapun itu jauh lebih baik dibandingkan dengan dress merah menterengnya itu atau kaus putihku yang mencetak jelas bra merah menterengnya.
Bukan karena ia tak cocok mengenakan dress tersebut seperti yang kukatakan padanya—atau kaus putih. Justru sebaliknya, sangat malah. Namun, aku tidak bisa membiarkannya berpakaian terlalu mencolok seperti itu, hanya untuk pergi ke pasar malam. Meski aku tidak yakin bila menemui kejadian ini lagi, aku akan membiarkannya.
Rupanya aku terlalu egois dan tidak mau berbagi dengan siapa pun tentang penampilan Jamsine, terutama saat berpakaian dress merah itu. Meski aku sangat yakin masih banyak pakaian yang jauh lebih bagus dan tentu saja membuatnya kelihatan sangat cantik—apalagi saat prmotretan dan fotonya harus dipajang di papan reklame jalan mau pun majalah—untuk detik ini saja, aku ingin bersikap egois. Sangat menjujung tinggi gagasan tidak menyukai setiap mata laki-laki akan melihatnya terang-terangan. Perasaan ini sebelas dua belas seperti saat Jeff bertaruh pada temannya untuk mengajak gadis berambut gelombang pantai ini kencan.
It means, I’m jealous. Couse my heart, mind, even my body want to her to my self. Aku tahu itu sangat konyol dan tidak tahu diri. Namun, itulah kenyataannya.
Setibanya kami di pasar malam, lampu-lampu terang yang memenuhi setiap sudut permainan menyambut kami, dan Jasmine masih cemberut. Sama seperti selama perjalanan ke sini. Aku tahu ia begitu bersemangat untuk bisa pergi ke sini, bahkan sudah menyiapkan segalanya selama berjam-jam dan tak kenal waktu, akan tetapi aku malah merusak semuanya.
“Aku minta maaf, aku hanya ... entahlah, rasanya tidak rela saat kau dilihat laki-laki lain karena mengenakan baju yang tadi,” akuku pada akhirnya, “seharusnya aku tidak seperti itu. Kau seharusnya boleh mengenakan apa pun yang kau mau. Aku tidak berhak melarangnya.”
Aku tidak tahu bila kejujuranku ternyata sangat ampuh mengubah wajah cemberutnya jadi senyum alami yang menawan. “Tidak apa-apa, aku senang kau jujur, Devpughn. Lain kali tidak perlu muluk-muluk. Cukup katakan yang sebenarnya.”
“Tentu,” kataku sambil mengangguk. Baru saja aku akan memperpanjang masa memanjakan mata dengan wajah cantik itu, seorang bocah berlari dan menyerempet Jasmine hingga membuat gadis tersebut tidak seimbang dan hampir jatuh. “Awas hati-hati!” pekikku lalu cepat-cepat merapatkan tubuh kurusnya ke tubuhku sembari membiarkan bocah lain mengejar bocah tadi melewati kami.
“Hei! Hati-hati kalau lari! Kau bisa menyerempet orang!” pekikku pada dua bocah itu, akan tetapi mereka menghiraukanku. Mungkin karena suasananya yang ramai serta jarak mereka yang sudah jauh, jadi tidak mendengarku.
Secara perlahan, Jasmine kulepaskan dari rengkuhanku. “Apa kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
“Ya,” jawabnya singkat.
“Boleh aku menggandengmu?”
Sebentar, apa yang baru saja kukatakan?
Aku melihat Jasmine melotot. Kedua alisnya ikut terangkat, dan mulutnya ikut menganga sedikit. Bintik-bintik hitam di sekitar pipinya tidak tampak sebab tertutup bedak dan digantikan perona pipi. Angin musim panas menerpa wajahnya yang jelita. Menyebabkan gelombang halus yang ia tata sangat indah itu seperti menari. Tidak hanya rambutnya, tetapi juga anting berbentuk gelang.
Terlalu lama menunggu reaksi gadis itu, aku kembali membuka suara. “Hanya takut seseorang menyerempetmu lagi.” Setelahnya aku mengulurkan tangan dan tanpa jeda Jasmine menyambutnya. Bahkan tak jarang ia merangkul seluruh lenganku sambil melihat-lihat sekitar sewaktu berjalan berkeliling. Kami juga menjumpai beberapa kios kecil penjual makanan, baju, serta asesoris.
“Jadi seperti ini pasar malam,” katanya yang masih asyik melihat sekitar.
“Begitulah. Kutebak kau pasti baru pertama kali ke sini.”
“Dasar tukang pembaca pikiran!” hardiknya.
Aku mengabaikan soal itu dan bertanya, “Jadi, permainan apa yang ingin kau naiki lebih dulu?”
“Devoughn, apa aku terlalu besar untuk naik itu?” tanyanya sambil menunjuk komedi putar.
“Kurasa tidak. Ayo.”
Mengesampingkan umur, petugas membiarkn kami menaiki permainan tersebut. Jasmine memilih kuda cokelat sementara aku memilih kuda putih yang berjajar di sebelah kirinya. Usai menaiki permainan itu, kami mencoba beberapa permaianan lain lalu menuju permainan adu ketangkasan. Aku dan gadis itu berlomba menembaki replika katak di salah satu bilik bermain dan ia berhasil mengalahkanku. Katanya, “Tentu saja kau kalah Devoughn, kau pasti tidak tahu kan, selain ikut boxing club, aku juga ikut menembak.”
Aku hanya mengacungkan kedua jempol. Tidak kaget. Hobi orang kaya memang beda.
Karena menang, ia mendapat boneka beruang besar. Sembari berjalan ke arah tak tentu, Jasmine berkomentar lagi. “Sebenarnya aku tidak suka boneka.”
“Kenapa? Perempuan biasanya suka, Lea juga suka mengoleksinya, kau juga pasti sudah lihat di kamarnya.” Aku menanyakan hal itu sambil membenarkan letak kacamata menggunakan jari telunjuk. Kami pun berjalan kembali, kali ini tanpa bergandengan tangan sebab semua tangan Jasmine sibuk memeluk boneka tersebut.
“Kupikir itu kekanakan. Tapi itu sebelum aku mendapatkannya sendiri saat ini,” jawabnya sambil mengangkat boneka beruang cokelat sebesar tubuhnya itu tinggi-tinggi, lalu memeluknya lagi sembari menyandarkan kepala di boneka tersebut dan melihatku. Seakan ia bisa berjalan tanpa melihat. “Kau tahu Devoughn, aku selalu berusaha bersikap dewasa. Tapi menurutku, sesekali bersikap kekanakan seperti ini juga tidak apa-apa. Aku pikir ini sangat menyenangkan.”
Beberapa saat kemudian, aku mengajaknya beristirahat di depan kedai kecil penjual takoyaki. Boneka itu juga ikut ia dudukkan di sebelah kirinya. Usai memesan makanan dan mendapatkannya, kulirik Jasmine dengan wajah insecure menatap makananku. Maka dari itu, aku mencoba menenangkannya. “Tidak apa-apa, kalorinya 170 dan rasanya enak, mereka juga higenis,” ucapku ketika melahap satu butir bola takoyaki bersama saus dan katsubuoshi yang kutusuk.
“Benarkah?” tanyanya, aku pun mengangguk sambil mengunyah.
“Kau harus mencobanya,” kataku usai menelan makanan itu. Butuh sedikit dorongan dari minuman yang kami beli untuk membuatnya turun dari tenggorokan menuju lambung.
“Baiklah, berikan padaku satu.”
“Hati-hati panas,” ucapku.
Jasmine memegang tanganku yang sudah menusuk sebutir takoyaki lalu mengarahkan ke mulutnya. “Uhm ... panas, tapi enak,” komentarnya sambil menutupi mulut yang terbuka menggunakan tangan saat mencoba mengeluarkan hawa panas tersebut. “Tidak kalah enak dari restoran langganan Trax. Ngomong-ngomong, Trax suka makanan ini.”
“Kurasa Trax itu selalu sepemikran denganku. Aku kaget kalau usianya di bawah Lea tapi sudah sangat kelihatan dewasa.”
“Bocah itu hanya sok dewasa, Devoughn. Takhlukan dia dengan cheese cake Jepang toko roti Bake Me Up langganannya, pasti dia akan menuruti perintahmu hehe ....”
Untuk yang ke-sekian kali, aku masih takjub dengan kakak beradik ini. Sama-sama berbeda status denganku, bahkan dikatakan berbanding terbalik denganku. Namun mereka serta orangtuanya seperti menerima aku apa adanya.
Beberapa waktu lalu bahkan Mrs. Maxwell memintaku bergabung dalam acara makan malam keluarga usai membuat Mjolnir Thor bersama Trax. Sepanjang makan malam mereka juga sama sekali tidak membahas atau menyinggung status atau kedudukanku. Aku pun sangat bersyukur dengan hal itu.
Well, enam takoyaki sudah kami habiskan dengan dua gelas minuman bersoda. Aku melihat Jasmine yang mengelus perut ratanya. “Enak sekali. Seandainya ada Trax, dia pasti tidak akan menyangka kalau ada takoyaki yang seenak ini.”
“Apa dia mau diajak kemari?”
“Tidak kamu, katanya kekanakan. Ngomong-ngomong, dari tadi kau sudah membiarkanku memilih permainan. Sekarang giliranmu yang memilih,” kata Jasmine sambil tersenyum.
“Tapi aku tidak yakin kau mau ikut.”
“Katakan saja, aku pasti akan ikut, Devoughn.”
Aku berdiri sambil memasukkan kedua tangan dalam kantung celana jin setengah lututku. “Baiklah, ayo.”
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Repost : 3 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro