Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14 • Jasmine Maxwell

Selamat datang di chapter 14

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

_____________________________________________

Kadang aku lelah
Apa hebatnya menjadi Jasmine Maxwell, yang notabennya selain sebagai super model remaja, juga putri sulung dari pemilik Maxwell Crop—perusahan dengan pendapatan tertinggi di Amerika—bila tidak bisa melakukan apa yang kuinginkan tanpa terikat dengan komentar miring dari orang-orang?
Jasmine Maxwell
______________________________________________

Musim semi
Michigan, 29 April
13.05 p.m.

Tidak ada satu pun murid yang senang menerima hukuman, kecuali aku. Kau tahu kenapa? Oh! Aku yakin kau juga pasti sudah bisa menebaknya. Ya ... ya ... kau benar! Supaya aku bisa berdua saja dengan Lee Devoughn!

Astaga aku begitu bersemangat tentang hal ini. Meski awalnya tidak menyukai sikap laki-laki culun itu yang ikut campur urusanku dengan Lexter yang mengakibatkan wajahnya terkena tinju—dan aku sangat khawatir akan hal itu tapi tidak juga bisa bersikap selayaknya orang normal karena reputasi—setidaknya rencana lanjutanku berjalan mulus.

Apa kau tahu, aku hampir melompat kegirangan saat kepala sekolah memberikan kami hukuman membersihkan seluruh bola di ruang peralatan olahraga yang terletak di gedung bagian barat selama seminggu penuh setelah pulang sekolah. Terhitung mulai hari ini. Jadi ketika Lee pamit masuk kelas lebih dulu, cepat-cepat kutelepon Sebastien dan memintanya untuk tidak menjemputku tepat waktu.

“Kenapa begitu Nona?” tanyanya, mungkin heran mendapati aku yang selalu menghindari sekolah umum seperti Peart High School malah pulang telat. Tentu itu hal yang tidak wajar baginya. Bukan hanya Sebastien, tapi juga Nameeta yang melihat aku tadi pagi begitu bersemangat bangun dan bersiap ke sekolah.

Lee Devoughn jelas memegang peran penting dalam hal ini.

“Jangan katakan pada ayah kalau aku sedang dihukum,” jawabku. Ponselku kujepit di antara kepala dan pundak sementara kedua tanganku sibuk membuka loker untuk mengambil buku pelajaran yang sudah dimulai sekitar lima menit lalu. Namun, aku tentu sudah memiliki alasan yang bagus atas keterlambatanku masuk kelas Mrs. Haruki.

“Dihukum?” ulangnya. “Bagaimana bisa? Tapi kenapa dari nada bicara Nona sangat senang?”

“Aku tidak akan menceritakannya padamu!” jawabku sambil cecikikan sendiri.

“Jadi aku harus menjawab apa, Nona?”

Aku menghentikan gerakanku mengambil buku untuk memindah ponsel ke sisi satunya. “Jawab saja aku sedang berbelanja.”

“Tapi Nona tidak suka berbelanja.”

Aku mendengkus. Sebastien benar. “Katakan saja aku sedang ingin makan pizza, Seb.”

“Tapi Nona sedang tidak boleh makan junk food karena diet.”

Aku mengeram. Kenapa semua yang ia katakan benar? “Seb, katakan saja aku sedang ke boxing club.”

“Tapi Nona—”

“Bloody hell! Sebastien Doughlash!” Aku memekik lalu memegangi ponsel erat. “Karang saja alasannya pada ayah! Ayolah Seb, jangan merusak mood-ku yang sedang baik hari ini!”

“Baiklah Nona, aku akan berusaha mengarangnya dengan benar,” jawab supir pribadiku itu.

Aku memutar bola mata malas lalu kembali menjepit ponselku untuk kembali mengambil buku lagi. “Sudah semestinya begitu Seb,” desisku yang baru akan menutup sambungan telepon saat mendengar suara perempuan bergumam. “Jadi, kau sedang bersama Nameeta?” tebakku.

“Oh, i-iya. Di-diaa sedang ekhm ... sedang ... menyetrika baju Mr. Devoughn.”

Mendengar nama itu jantungku berdebar keras. Namun, aku berusaha menyembunyikan senyum lebarku yang terbentuk dengan sendirinya. Untuk itu aku mengalihkan pembicaraan ini dan berniat mengakhirinya untuk segera mengabari Lea. Ngomong-ngomong adik Lee itu sudah menjalankan tugasnya sebagai mata-mata semacam tidak resmi bagiku.

“Oh, ayolah Seb, kau boleh berkencan dengannya,” selorohku. “Ya sudah, aku akan kembali ke kelas. Selamat berkencan. Katakan pada Nameeta kalau aku menyetujui hubungan kalian!”

Entah kenapa aku jadi tersenyum sendiri mengingat dua pekerja di rumahku itu. Mereka pikir aku tidak tahu kalau beberapa hari lalu saat menyadari perasaanku pada Lee, baik Sebastien mau pun Nameeta sama-sama saling curi pandang dengan wajah malu-malu ketika mengantarku ke rumah grandma Rose.

“Kelihatannya kau sedang senang.”

Aku hampir menjatuhkan ponsel yang masih terjepit di antara pundak dan kepala saat Regina bersama dua dayangnya bersandar di loker-loker dengan gayanya yang sok sembari bersedekap tangan. Aku mengutuk dalam hati. Kenapa perempuan setan satu ini selalu ahli membalikkan mood dan memilih waktu? Pelajaran sudah dimulai. Otomatis di tempat loker ini sepi. Kenapa pula ia bersama dua dayangnya itu tidak masuk?

Menghapus pertanyaan itu karena tidak ingin mood-ku terjun bebas, aku memilih menyimpan ponselku dalam kantung blazer dan membawa buku yang kubutuhkan. Aku menutup pintu lokerku dan berniat mengabaikan mereka. Namun baru selangkah, kedua dayangnya mendorongku lagi dan Regina melepas punggungnya dari loker.

“Mau ke mana Miss Jasmine Maxwell? Kenapa terburu-buru?” tanya setan itu dengan wajah yang ingin kulempari buku dalam genggamanku.

“Aku tidak punya waktu meladenimu,” kataku yang berusaha melangkah, tapi lagi-lagi ditahan oleh dua dayang itu.

“Kau pikir kau hebat bukan? Membuat Lexter terlibat dengan kepala sekolah?”

Aku tersenyum miring. Tentu saja semua yang ia lakukan selalu berkaitan dengan Lexter Willingston. Entah kenapa aku sekarang menjadi sangat tidak nyaman berada di dekat sahabat laki-lakiku itu. Semenjak peristiwa memalukan pada acara makan malam di tepi Danau Crystal. Apalagi ditambah kejadian yang baru saja terjadi di kantin. Jangan lupakan bagian ia meninju wajah Lee Devoughn juga.

Alih-alih berteriak ‘Lexter berurusan dengan kepala sekolah karena ulahnya sendiri dan aku menyelamatkannya dari hukuman,’ diriku berkata, “Minggir, aku ingin ke kelas.”

“Di mana tata kramamu? Aku sedang bicara denganmu, Jasmine ... kau dengar aku? Kenapa kau membuat Lexter mengemis padamu seperti itu?!” geram Regina.

“Kuanggap kejadian ini tidak pernah ada. Sekarang, lepaskan tangan kotormu dari seragamku!” kataku. Dalam pengucapannya kutekan.

“Kau pikir kami akan diam saja?! Sudah kukatakan menjauhlah dari Lexter! Tapi kau malah membuatnya mengemis padamu!” pekik Regina yang sudah menjambak rambutku.

Ini merupakan suatu kesialan. Aku malas meladeninya sebab salah satu temannya mengeluarkan ponsel dan merekam. Kalau aku membalas, sudah bisa kupastikan video itu akan disunting—dipotong pada bagian aku melakukan balasan padanya—lalu disebarluaskan dengan berita-berita kebobongan. Aku sungguh-sungguh membenci hal seperti ini.

Kadang aku lelah. Apa hebatnya menjadi Jasmine Maxwell, yang notabennya selain sebagai super model remaja, juga putri sulung dari pemilik Maxwell Crop—perusahan dengan pendapatan tertinggi di Amerika—bila tidak bisa melakukan apa yang kuinginkan tanpa terikat dengan komentar miring dari orang-orang?

Aku ingin pergi ke pantai dengan bebas, menonton bioskop, pergi ke karnaval musim panas, ke pasar malam, dan naik balon udara tanpa masker serta kacamata hitam agar tidak dikenali orang-orang. Aku ingin menjadi diriku sendiri sesuka hatiku. Paling utama, aku ingin berkencan dengan seseorang yang aku sukai meski ia seculun dan semiskin Lee Devoughn serta melakukan daftar-daftar keinginanku tadi dengannya.

Namun, nama belakang ‘Maxwell’ yang kusandang serta Flo Management akan rusak dengan itu. Aku tidak bisa mempermalukan keluarga dan agensi modelku hanya karena skandal bodoh yang sebenarnya bisa kuatasi dengan menahan diri dari orang-orang opportunities seperti mereka ini.

Aku mendongak mengikuti arah rambutku yang dijambak sambil menatap geram ke arah Regina yang sedang tertawa meremehkan.

“Ngomong-ngomong di mana pahlawanmu? Maksudku, bocah kacamata itu? Si Culun yang berpikir bisa menyelamatkanmu. Bukankah sangat menggelikan dia berusaha menyelamatkanmu dari Lexter? Ckckck bagaimana kalau kubuat berita tentang si Cantik dan si Buruk Rupa? Kau dan si culun itu. Bukankah ideku itu sangat bagus? Hahaha ... kupikir kalian sangat cocok.”

Aku bersumpah akan memukuli wajahnya dengan buku yang masih kugenggam erat-erat atau menendang tulang keringnya dengan sepatuku yang seharga mobil. Jikalau tidak ada yang tiba-tiba melempar Regina dan dua dayangnya dengan gumpalan kertas yang tampak berat. Masing-masing tepat mengenai kepala mereka.

Sekumpulan orang bodoh itu lantas mengusapnya sembari mencari sang biang kerok. “Heh! Siapa itu yang melempar gumpalan kertas?!” pekik Regina yang kepalanya sudah berputar-putar mirip kipas angin. Salah satu dayang yang merekam sudah menurunkan ponsel sebab ikut mencari. Aku hanya mengendikkan bahu ringan dan mulai melangkah. Namun, lagi dan lagi mereka masih ingin menahanku.

“Kita belum selesai—aw! Sialan! Siapa yang melempar kertas ini?!” pekik Regina lagi karena lemparan gumpalan kertas itu sudah mendarat di kepalanya untuk yang kedua kali.

“Jangan-jangan, di sini ada hantunya!” sahut dayang yang tidak kutahu namanya sembari mengusap kedua lengan serta kepala dan mata menjelajah mencari sumber pelempar itu.

“Diamlah! Tidak ada hal semacam itu!” jawab Regina yang secara ajaib melupakan keberadaanku karena perhatiannya tertuju pada temannya itu.

“T-tapi Reg, mukin dia benar. Coba lihat sekeliling sangat sepi. Lebih baik kita pergi dari sini!” sahut yang merekam tadi.

Baik Regina mau pun yang satunya sama-sama melotot kemudian mengangguk. Gerombolan pemandu sorak itu lantas pergi meninggalkanku yang tiba-tiba sudah ikut bergindik. Kepalaku juga tolah-toleh, mataku menjelajah pada sekeliling kemudian segera pergi dari sana karena sebenarnya aku juga takut pada hantu.

Astaga! Aku tidak percaya tadi sedang di ruang loker sendirian!

Musim semi
Michigan, 29 April
15.00 p.m.

Bel tanda usai sekolah berdentang. Hal yang selalu kunanti-nantikan. Biasanya aku lega karena sekolah telah bubar dan artinya aku bisa bernapas lagi di rumah. Namun, kali ini beda kasus. Aku begitu menanti akhir sekolan karena ingim bertemu Lee Devoughn. Jika dianalogikan dalam bentuk skala dari angka 1-10, aku akan memilih angka 11 dalam hal itu. Hehe.

Usai mengemasi buku-buku dalam ransel dan mengenakannya di punggung, aku mengeluarkan ponsel untuk pengirim pesan pada Lea. Tadi sewaktu kabur dan langsung masuk kelas Mrs. Haruki, aku lupa memberitahunya.

Dari Jasmine :
Tebak apa yang kudapatkan hari ini!

Tidak lama kemudian, balasan dari adik perempuan Lee masuk dalam pemberitahuan ponselku. Sembari berjalan menyusuri koridor, aku membacanya.

Dari Lea :
Kau berhasil mengajak kakakku berkencan?

Kedua alisku mengerut dengan bibir agak meruncing. Berpikir, ide Lea ini sangat bagus. Kenapa aku tidak mengajak Lee berkencan? Masalahnya, bagaimana caranya agar orang-orang tidak mengetahuinya?

Dari Jasmine :
Bukan, aku dapat hukuman sepulang sekolah selama seminggu bersama Lee. Akan kuceritakan nanti. Sekarang, aku akan pergi menemui kakakmu dulu.

Mengunci ponsel lalu memasukkan dalam kantung blazer, aku meneruskan jalanku di koridor. Ketika sudah hampir mencapai gedung bagian barat, aku melihat Lexter keluar kelas Mrs. Malvin. Buru-buru kubelokkan langkahku menuju koridor lain sebab tisak ingin ia merecokiku lagi, dan betapa terkejutnya aku juga melihat Lee keluar kelas Mr. Righman bersama Helena. Ugh! Kenapa perempuan itu selalu menempel pada Lee? Apa mereka selalu mengambil kelas yang sama?!

Aku refleks bersembunyi di balik pilar persegi yang menempel dengan dinding tidak jauh dari sana untuk mengintip mereka yang kelihatan sedang mengobrol. Karena suara murid yang ramai, jadi telingaku tidak bisa menyaring suara Lee dan Helena. Kututupi hidung serta mulut menggunakan rambut supaya tidak ada yang tahu bahwa itu adalah aku.

Aku tahu ini memang memalukan. Super model Jasmine Maxwell tengah menintip laki-laki culun—yang disukainya—sedang mengobrol dengan perempuan—saingannya—di sekolah.

Oke that’s bad. Very bad news. Seandainya ada seseorang yang melihatku.

Tiga puluh enam detik kuhitung, Lee akhirnya berpisah di ujung koridor dan berjalan menuju gedung olahraga bagian barat sementara Helena berjalan ke arahku. Kelihatannya sainganku itu memang mau pulang karena arah tersebut merupakan jalan menuju gerbang. Ketika ia melewatiku, aku segera merapatkan diri di dinding dengan jantung berkejaran.

Jangan sampai ia mendapatiku sedang mengintip, do’aku. Beruntungnya terkabul. Tanpa sadar satu embusan napas lolos dari paru-paruku. Berdeham untuk melonggarkan tenggorokan, aku membenahi penampilan sambil berkaca dengan kamera ponsel lalu berjalan jauh di belakang Lee. Laki-laki culun itu tampak berhenti dan menyapa murid laki-laki lain. Mungkin temannya sebab mereka terlihat akrab, kemudian meneruskan jalannya.

Setibanya di depan pintu ganda gedung tersebut, sudah ada Mr. Dughan dan sedang Lee sedang mengobrol dengan beliau. Tubuhku lantas kugeser ke sana.

“Miss Maxwell, kau sudah datang,” kata guru disipliner itu ketika melihatku berdiri di samping Lee yang juga menatap kehadiranku sambil membenarkan letak kacamatanya. Sudut bibir kiri laki-laki itu membiru. Aku mengkhawatirkannya.

“Sekarang kalian bisa memulainya dengan bola basket. Aku akan menunggu kalian,” tambah Mr. Dughan lagi. Secara praktis bayanganku tetang berudaan dengan Lee pun kandas. Aku pun refleks mengeluarkan napas berat.

Meski demikan, baik aku mau pun Lee sama-sama tidak bersuara selain mengangguk lalu mulai meletakkan ransel di tribun penonton. Sedangkan Mr. Dughan duduk di kursi tunggal dekat ruang olahraga. Lalu kami mulai mengeluarkan semua bola basket di keranjang yang mirip trolly supermarket dan membawanya di tengah lapangan.

Tiba-tiba ponsel guru disipliner itu berdering, suaranya bergema dan memekakan telinga. Aku dan Lee sama-sama menoleh ke arah beliau yang reflkes berdiri dan mengode menggunkan tangan. “Aku harus menerima telepon ini. Teruskan saja pekerjaan kalian.”

Rasanya hatiku ingin bersorak dan menekik kencang. Akhirnya! Aku hanya berdua saja dengan Lee. Namun kebahagiaan itu sepertinya tidak betah lama-lama berada di tubuhku sebab ucapan laki-laki culun ini yang membuatnya lenyap.

“Sebaiknya, kau pulang saja. Mr. Doughlas pasti sudah menunggumu.” Lee berkata tanpa memandangku. Ia hanya sibuk memegangi bola basket, membolak-baliknya, entah apa tujuannya.

“Tapi aku—”

“Akan kukerjakan bagianmu juga, jangan khawatir.”

“Devoughn, aku—”

“Tenang saja, aku tidak akan mengadukannya pada Mr. Maxwell. Karena itu pulanglah. Akan kukatakan pada Mr. Doughan kalau kau ada pekerjaan mendadak.”

“Devoughn!” pekikku. Aku heran dengan Lee. Ada apa sebenarnya? Kenapa ia sama sekali tidak memandangku sejak tadi. Apa ia marah karena hukuman ini? Atau kerana Lexter? “Apa kau marah padaku? Karena kau harus dihukum seperti ini?”

“Tidak, bukankah udah jelas itu kesalahanku karena ikut campur masalah kalian?”

“Ya. Kau benar Devoughn. Dan aku tidak suka kau ikut campur urusanku dengan Lexter. Kau tahu kenapa?”

Lee akhirnya mengangkat wajah untuk melihatku. “Tentu saja karena reputasimu. I’m so sorry Miss Maxwell. That was implusif. Lain kali, aku akan berpikir dulu sebelum bertindak. Seperti saat kau sedang dirundung Regina tadi, aku bersembunyi dan—”

“Jadi, kau yang melempari Regina?” Sekarang gantian aku yang memotong perkataannya.

“Iya, aku ... tidak sengaja melihatmu.”

Lee melihatku menggeleng. Kau tahu, Devoughn ... karena ulahmu, aku juga ketakutan seperti mereka! Kupikir memang hantu! Tapi, terima kasih. Berkat kau, aku jadi bisa lepas dari Regina. Ah aku ingin memelukmu sekarang.

Sorry, I beg your pardon?” tanyanya.

“Ha?” Aku kembali bertanya karena tidak mengerti maksud ucapannya.

“Kalau tidak salah dengar kau baru saja mengatakan ... ekhm ... ingin memelukku.”

“Apa?! Tapi aku mengatakannya dalam hati. Eh, maksudku ... aku ....” Aku gelagapan karena bingung memilih kata. “Ugh! Lupakan itu Devoughn! Mari kita selesaikan bola-bola ini dengan cepat.”

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Repost : 2 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro