Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1 • Lee Devoughn

Selamat datang di chapter 1 • Lee Devoughn’POV

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka terbang sana sini)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤️❤️❤️

_______________________________________

Aku ingin berteriak tidak adil
Kenapa di saat marah sekali pun ia harus secantik ini?

Lee Devoughn
_________________________________________

Musim Semi
Michigan, 23 April
12.30 p.m.

Apa kau tahu kota kecil di Monterey California bernama Carmel? Kota kecil dengan bangunan khas bergaya Italy, dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu padat dan udara yang masih asri? Di situlah tempat tinggalku berada. Tepatnya di dekat pantai bernama Carmel By the Sea. Pantai berpasir putih yang selalu ramai dikunjungi turis dari berbagai penjuru dunia saat musim panas, juga pemandangan matahari terbenam yang menawan, yang sanggup memanjakan mata bagi para penikmat keindahannya.

Bunyi deburan ombak lebih merdu daripada suara klakson mobil. Pejalan kaki dan pesepeda lebih terasa sedap dipandang daripada kendaran-kendaran lalu lalang yang bermerk. Udara yang hangat dan bau asin air laut lebih menenangkan daripada asap kendaraan bermotor yang membuat polusi. Itulah sebabnya kami memilih Carmel. Dengan latar belakang hamparan laut luas, bukan gedung-gedung pencakar langit yang berjajar.

Meski pada kenyataanya ayah hanya seorang nelayan dan ibu hanya seorang pedagang ikan, tapi hidup kami lebih dari cukup. Itu sebelum kapal pengangkut ikan yang orangtuaku tumpangi terbentur karang dan terbakar habis. Meninggalkan duka bagiku dan adikku atas kematian mereka.

Sejak saat itu, Carmel terasa seperti kota yang mencekam bagiku. Beruntungnya seorang janda tua bernama Roseline Scott kenalan orangtua kami, membawa kami ke Michigan. Tempatnya sedikit jauh dari kota sebab terdapat peternakan sapi perah Frisian Holstein, sehingga suasana lingkungan rumah beliau tidak nampak seperti di kota. Sama nyamannya dengan Carmel.

Bangunan rumah beliau berlantai dua dengan halaman luas yang mungkin bisa menampung beberapa mobil, dikelilingi pepohonan rindang dan pagar kayu. Saat pindah, aku merombak lantai dua. Mulanya itu rooftop tempat menjemur pakaian, lalu aku memberi sekat untuk membagi ruangan dengan adikku. Memang tidak terlalu luas, tapi menurutku lumayan nyaman.

Jendela kamarku menghadap halaman depan dekat pepohonan. Rak-rak buku berjajar memberi sentuhan artistik dan estetik di kamarku yang berkasur tunggal. Ada juga lemari pakaian, dan meja belajar yang terletak tepat di bawah jendela. Jadi aku bisa refresing mata saat lelah belajar.

Grandma Rose tidak tinggal sendirian. Beliau tinggal dengan seorang cucu perempuan yang sebaya denganku dan kebetulan akan satu sekolah denganku nanti di Peart High School. Salah satu tempat belajar terbaik di Michigan yang baru-baru ini menerimaku sebagai murid beasiswa sama dengannya. Bedanya sejak awal, ia sudah bersekolah di sana.

Well, sebelum kuceritakan bagaiamana pengalaman pertamaku pindah sekolah, izinkan aku untuk menceritakan sedikit tentang diriku agar kau tahu bagaimana tampangku. Mungkin dimulai dengan nama telebih dahulu. Namaku Lee Devoughn. Berumur delapan belas tahun yang berarti senior di sekolah. Jangan bayangkan aku sebagai laki-laki tampan. Maaf harus membuatmu kecewa akan hal itu. Aku berkacamata. Orang-orang sering menyebutku kutu buku. Keberadaanku di sekolah cukup tidak terlihat oleh murid lain kecuali guru.

Kata ibu, kulitku terlalu pucat untuk ukuran penduduk Carmel. Alasannya tentu aku jarang keluar rumah karena lebih sering berkencan dengan buku. Maka jangan heran jika perawakanku tinggi jangkung dan berambut hitam, senada dengan warna mataku. Secara garis besar, aku anak laki-laki yang biasa-biasa saja dengan pengetahuan luar biasa.

Aku ingat saat hari di mana pertama kali kakiku turun dari bus sekolah warna kuning tiga hari lalu. Mataku membelalak menatap gerbang yang terbuat dari besi kokoh dengan gaya arsitektur modern. Meneruskan langkah ke pelataran yang sangat luas dengan beberapa gazebo sebagai tempat belajar atau sekadar duduk. Kemudian Helena Scott—cucu grandma Rose—yang bertugas sebagai pemandu, menunjukkan ruang kelas, beberapa laboratorium, kolam renang, ruang musik, perpustakaan besar mirip di film-film kartun, aula gedung, lapangan basket, lapangan rugby dan lain-lain.

Untuk ketiga kalinya sekarang aku turun dari bus kuning, mataku masih sangat takjub akan kemegahan Peart High School.

Fokus! Fokus! Fokus! Aku menyuntikkan kata-kata itu ke dalam diriku sendiri ketika pindah ke kelas geografi bersama Helena.

Selain memperhatikan guru, sesekali mataku menyapu seluruh penjuru kelas. Mengamati sebagian besar dari teman-teman sekelasku yang tampak tidak menggubris saat guru sedang menerangkan. Ada yang bermain ponsel terang-terangan, ada yang membenahi kuku-kuku bercat mahal mereka, ada yang ngobrol, ada juga yang tidur. Tapi anehnya, kenapa guru sama sekali tidak menegur mereka?

Jujur ini menggangu pikiranku. Namun kukatakan pada diriku sendiri untuk tidak perlu memikirkan hal-hal kecil yang bukan urusanku.

Maksudku, aku tidak masalah untuk belajar dalam keadaan apa pun. Entah itu dalam keadaan tenang mau pun ramai. Aku bisa menangkap dan menyerap semua materi-materi dengan mudah. Mungkin karena itulah aku memiliki kelebihan kecerdasan. Toh, Helena juga tampak tidak terganggu dengan kegiatan mereka. Atau memang ia sudah terbiasa?

Aku hanya tidak terima jika ada yang tidak menghargai seseorang terutama seorang guru. Tapi sekali lagi, aku tidak ingin menjadi sok pahlawan atau terlihat mencolok di lingkungan elite ini jika dengan lantangnya meminta mereka diam untuk mendengarkan apa yang guru terangkan.

Sesaat kuperhatikan lagi beliau yang kini telah menyelesaiakan materi dan memberi pertanyaan. Untuk yang satu ini aku tidak bisa mengabaikannya. Jadi dengan antusias, aku mengangkat jariku tinggi-tinggi kemudian menjawab pertanyaan beliau mengenai susunan antariksa. Sangat mudah. Karena aku sudah membaca buku paket ini tadi malam, bahkan sudah menyelesaikannya hingga bab terkahir.

Musim Semi
Michigan, 23 April
12.00 p.m.

Jam makan siang. Helena berjalan berdampingan denganku ke kantin kemudian pindah ke barisan depanku saat mengambil nampan stenlis dan berjalan untuk mengantri makanan. Ketika sudah mendapatkannya ia mengerung lega.

“Lapar sekali ...” eluh perempuan berambut pirang tersebut.

Suara nampan stenlis ototmatis berbenturan dengan meja selaras dengan kursi yang kududuki kala menempati salah satu meja kosong.

“Hari ini burger.” Helena memejamkan matanya sebentar. Tanda ia tidak puas dengan makanan tersebut. “Sebenarnya aku lebih suka masakan grandma,” eluhnya lagi akan tetapi tetap memasukkan burger itu banyak-banyak ke dalam mulutnya.

Sementara aku sendiri juga demikian. Bedanya setelah melihatnya makan, iris gelapku fokus kembali pada buku di tangan kananku dan hanya anggukankulah yang menjadi tanda setuju.

“Lee! Hentikan!”

“Hei!” Aku mendengkus dengan tangan mencoba meraih buku yang baru saja dirampas Helena. Namun tidak berhasil, malah udara kosong yang kugapai.

“Kita sedang makan siang! Kenapa kau malah membaca?! Cobalah untuk menikmati makan siangmu walau tidak seenak masakan grandma!” pekiknya.

Setelah berhasil mendorong burgerku melewati tenggorokan dan turun ke lambung, aku baru membuka suara. “Apa salahnya membaca sambil makan siang?”

“Itu salah, coba nikmati makan siangmu dan istirahatkan otakmu sejenak, tidakkah kau merasa sudah sangat jenius?” terang perempuan yang beraura ceria tersebut.

Aku mengendikkan bahu ringan sambil menyesap soda. Memilih meraih burger dengan kedua tangan kemudian memakannya saat tiba-tiba terdengar suara grasak-grusuk dari penghuni kantin.

“Lihatlah, si sombong sudah datang!”

“Kenapa dia harus sekolah hari ini?”

“Kenapa harus orangtuanya yang menjadi donatur terbesar di sekolah kita? Tidakkah itu membuatnya semakin sombong?!”

“Pelankan suaramu jika tidak ingin didepak dari sekolah ini! Ayahnya bisa membuat karier orangtuamu tamat!”

Mau tidak mau, aku terpaksa memperhatikan arah pandangan mereka yang sedari tadi bergosip. Namun sebelum kepalaku menoleh sempurna pada objek yang sedang mereka bicarakan, salah satu murid menginterupsi.

“Kepala sekolah memanggilmu, kau diminta ke ruangannya sekarang,” kata murid laki-laki gendut padaku kemudian pergi meninggalkan meja kami.

“Apa aku membuat kesalahan?” gumamku yang didengar oleh Helena.

Ia pun menanggapi. “Tidak, jangan berpikir negatif dulu.”

“Oke,” jawabku singkat dan setenang mungkin kemudian menelan burger gigitan terakhirku. Setelah menghabiskan segelas soda, aku pun berpamitan pada Helena untuk ke ruang kepala sekolah.

Setibanya di depan pintu cokelat tua yang ada tulisan Ruang Kepala Sekolah, aku lantas mengetuknya.

Tok ....

Tok ....

“Masuk.”

Dengan patuh, aku membuka pintu dan pria paruh baya dengan kacamata bacanya yang berstatus sebagai kepala sekolah itu pun mempersilahkanku duduk.

“Mr. Lee Devoughn?” tanya beliau. Suaranya terdengar sangat berwibawa.

“Iya, Sir.”

Ada beberapa lembar kertas di meja yang beliau periksa sekilas kemudian menatapku. “Aku sangat terkesan dengan ilmu maupun nilai akademikmu, jadi aku ingin memintamu sesuatu.”

“Terima kasih atas pujiannya, apa itu Sir?”

“Apa kau tahu Mr. Maxwell?”

Aku mengingat-ngingat tentang nama itu sekilas kemudian menjawab beliau. “Pemilik sekaligus CEO Maxwell Corp? Pengusaha properti?” tanyaku memastikan jika tidak salah sebut. Mengingat perusahan itu sering terekspos di majalah bisnis. Bahkan termasuk salah satu perusahaan dengan pendapatan tertinggi di Amerika.

Kepala sekolah mengangguk. “Ya, kau benar. Selain itu beliau juga penyokong dana terbesar di sekolah kita dan minggu lalu sedang mencari guru private untuk putrinya yang bersekolah di sini, kurasa kau cocok.”

Putrinya?

“Benarkah?” Ada keraguan sejenak. Fokusku pun pecah pada selentingan yang baru saja kudengar tentang penyokong dana terbesar di sekolah ini.

Dapat kutarik kesimpulan sementara jika Mr. Maxwell sedang mencari guru private untuk putrinya yang sombong. Seperti selentingan-selentingan yang kudengar di kantin tadi. Entah gosip atau fakta, aku tidak ingin menyalahkan atau membenarkan karena belum pernah bertemu atau pun berinteraksi dengannya secara langsung.

“Tentu saja. Oh ya aku baru saja melihat sejarah nilaimu dari sekolahmu sebelumnya,” jawab kepala sekolah dengan menunjuk kertas di meja yang ternyata merupakan daftar riwayat nilaiku. “Dan itu luar biasa,” tambah beliau.

“Terima kasih,” ucapku tulus.

“Kau juga mendapat beasiswa karena nilai ini kan?” tanya beliau.

“Iya, benar Sir.”

“Nah ...” sahut beliau dengan cepat. “Bukankah ini suatu keberuntunganmu? Mr. Maxwell akan membayar tiga puluh dua dollar per hari.”

Tiga puluh dua dollar? Aku mengulangnya dalam hati. Itu angka yang sangat banyak untukku. Setara dengan pendapatan dari hasil penjualan susu sapi segar dari peternakan grandma selama seminggu dan aku bisa mendapatkan uang tersebut hanya dalam satu hari. Tapi, bagaimana jika seandainya aku mengajar? Pasti di peternakan akan kekurangan orang. Mengingat setiap pagi dan sore, aku, adik perempuanku serta Helena membantu mengurus sapi-sapi grandma Rose dan penghasilan itu pun bertambah karenanya.

Aku ragu, kemudian dengan hati-hati menjawab, “Apa boleh aku memikirkannya terlebih dahulu Sir?”

Kepala sekolah mengangguk pelan. “Tentu saja, pikirkan baik-baik, tapi aku harap kau menerimanya.”

Pasca pembicaraan tersebut selesai, aku pamit untuk keluar ruangan dengan hati bimbang. Berjalan menuju koridor, tetapi tiba-tiba telingaku mendengar suara anak perempuan yang memekik, “Step away from him!”

Karena penasaran, aku berjalan ke arah sumber suara tersebut untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mataku membelalak ketika mendapati seorang murid perempuan berambut pirang sedang menjambak seorang murid perempuan berambut cokelat gelap yang kedua lengannya dicekal oleh dua murid perempuan lain.

“Hei! Jangan lakukan bullying di sekolah!” Entah mendapat keberanian dari mana aku reflek berteriak dan mendekati gerombolan mereka untuk melepaskan tangan dari rambut murid perempuan yang dijambak.

“Bocah culun sok jagoan jangan ikut campur!” ucap murid perempuan yang menjambak.

“Apa kau mau sekalian kami bully?” seloroh anak perempuan lain lalu berusaha mengambil kacamataku dan berhasil membuangnya.

Tanpa kacamata aku tidak dapat melihat dengan jelas karena jumlah minusnya di atas lima. Selewat beberapa detik, aku menunduk untuk mencari kacamataku mirip Elma yang sedang mencari kacamatanya di film Scooby Doo. Bersamaan dengan terdengarnya suara rintihan kesakitan. Suaranya mirip si pirang. “Lepaskan aku perempuan sialan!”

“Pergi kalian dari sini!” Sekarang terdengar suara pekikkan berani dan dari suara lain. Aku yakin itu suara anak perempuan yang dijambak tadi karena baru kudengar.

Aku tidak tahu apa yang dilakukan anak perempuan itu sehingga si pirang dan dua temannya sudah pergi. Tertanda dari terdengarnya beberapa langkah kaki yang semakin menjauhi dari tempatku menunduk.

Masih mencoba mencari kacamataku, kejutkan lain datang menghampiriku saat tiba-tiba tanganku ditarik untuk berdiri. Detik yang lain kacamataku sudah dipasangkan dengan sempurna.

Sekarang aku dapat melihatnya dengan sangat jelas karena jarak kami yang sangat dekat. Perempuan yang sangat cantik. Perawakan tinggi kurus berkulit agak kecokelatan dan bermata hijau terang. Ada beberapa freckles yang tampak di area hidung dan pipinya.

Aku mengernyit. Murid perempuan yang kini tengah menatapku dengan tatapan jengkel ini seperti tidak asing. Aku yakin pernah melihatnya. Tapi di mana?

“Kau bodoh atau bagaimana?!” tanyanya sambil bersendekap tangan dan mundur selangkah.

“Aku hanya berusaha membantumu,” jawabku jujur sekaligus heran. Baru kali ini aku bertemu dengan seseorang yang marah karena dibantu. Namun fokusku pecah. Ingin berteriak tidak adil kenapa di saat marah pun ia harus kelihatan secantik ini?

“Tidak perlu, aku bisa sendiri! Karena ulahmu! Besok dapat dipastikan mereka akan melakukannya lagi dan terus-menerus pada kita! Itu sangat merepotkan! Aku tidak ingin ada scandal!”

Tidak ingin ada scandal? Maksudnya? Apa dia semacam artis? Maka dari itu aku seperti tidak asing saat melihatnya?

Thanks jangan khawatir, aku—”

“Aku tidak mengkhawatirkanmu! Aku mengkhawatirkan diriku sendiri!” potongnya cepat.

“Oh—”

“Jangan pernah menyebarluaskan persoalan ini!”

“Aku tidak—”

“Dan kau tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun dariku atau kejadian ini! Camkan itu!” Lagi-lagi ia memotong kata-kataku dengan nada sombong lalu berjalan pergi meninggalkan serta menebarkan aroma parfumnya yang mahal.

Jujur saja fokusku jadi terpecah karenanya.

_______________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

10 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro