CHAPTER 9
Leo benar. Dia tak perlu menjelaskan. Sikapnya terlalu jelas. Ia menyukaiku bukan sebagai sepupu. Ini gila.
Aku bahkan tak bisa menatapnya saat makan malam tadi. Kepalaku terus memutar kejadian saat di ruang spa.
Leo terus melumat dan memperdalam tautan bibir. Tangannya merayapi sekujur tubuh, bahkan menyelusup, menyentuh area terlarang di bagian bawah. Ia bahkan melepas handuk dan mulai membuka kancing celana jinku.
Jika aku tak membentur rak dan menjatuhkan botol-botol aroma terapi, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di sana. Saat tersadar, yang kulakukan hanya lari kabur secepatnya, bahkan mengabaikan panggilan Mike.
Tuhan, apa yang terjadi denganku? Aku pasti sudah kehilangan kewarasan.
Kubentur-benturkan keningku ke meja belajar. Sketsa pola bahkan kini berubah menjadi wajah Leo.
Ini kacau. Aku butuh teman bicara, tetapi harus kepada siapa?
Amanda? Ya. Hanya dia pilihanku yang paling terpercaya. Besok aku akan bicara dengannya.
***
Aku mematut diri, mengamati penampilan di depan kaca. Jumpsuit putih berbahan jin, berbentuk kepala kucing lengkap bergambar mata dan kumisnya di dada dengan model tambahan rok di atas lutut, ditambah kaos hitam lengan panjang untuk dalaman. Setelah itu, kukenakan bot hitam selutut sebagai pelengkap.
Tanganku meraih tas hitam selempang kecil, menyilangkannya di bahu kiri, hingga menjuntai sampai pinggul di bagian kanan. Rambut sengaja aku gelung biasa dengan menyisakan beberapa helai tergerai bebas di kedua sisi.
Aku memoles wajah dengan bedak tipis natural, lalu mengoles bibir dengan pelembab sebelum menambahkan lipstik sewarna di bibirku. Cukup.
Mike hanya buang-buang uang saja membelikanku begitu banyak perlengkapan make up. Kuhela napas. Mungkin aku bisa memakainya untuk riasan pesta di lain waktu.
Kulihat sekali lagi pantulan diri di cermin. Kepalaku mengangguk. Aku melirik ponsel di tangan, jam sembilan kurang lima menit. Siap. Berangkat.
Aku keluar kamar, lalu bergegas menuruni tangga. Kudengar seseorang tengah membuka dan menutup pintu. Kupalingkan wajah dengan cepat ke arah suara.
Niel mengernyit saat melihatku. "Kau mau ke mana? Jam makan siang masih lama. Kenapa tadi tidak turun untuk sarapan?"
"Aku ada janji dengan teman sebangkuku, Amanda. Kami akan bertemu dan sarapan di The Crepe House."
"Kau tahu tempatnya?"
"Iya, Mike sudah pernah menunjukkannya padaku."
"Jangan lupa pamit dengan Nenek. Dia di kamar."
"Oke. Aku akan berpamitan sekarang."
Aku bergegas mencari Nenek di kamarnya. Jariku mengetuk pelan. "Nenek? Boleh aku masuk?"
"Masuklah."
Kubuka pintu, melongok ke dalam. Nenek memakai kaca mata kali ini, terlihat sibuk tengah merajut sesuatu.
"Nenek, aku ada janji dengan teman sebangkuku. Kami ingin jalan-jalan. Aku akan menemuinya di The Crepe House sekalian sarapan di sana."
"Oh, pantas kau tidak turun sarapan tadi. Siapa nama temanmu itu?"
"Amanda Albright."
"Oh, pacar Mike?"
"Mantan, Nek."
"Dia sepertinya seorang yang bijak. Setidaknya ia tahu bahwa putus dengan Mike adalah yang terbaik. Mike buruk untuknya." Dia terkekeh sejenak bersamaku.
Kulihat ia memperbaiki kaca matanya yang melorot. "Aku senang kau mau jalan-jalan dengan temanmu, tetapi Mike dan Leo sedang pergi latihan tinju dan bela diri. Aku akan minta Niel untuk menemanimu. Pamanmu dan aku ingin kau nyaman dan aman." Ia mengambil ponsel dan menekan sebuah nomor.
Itu membuatku sedikit gugup seketika. Aku pun sibuk membayangkan apa yang akan terjadi saat Niel jalan-jalan bersamaku dan Amanda.
"Niel, temani Lizzy dan temannya jalan-jalan. Pakai saja mobil dan kartumu."
Ia mengakhiri telepon, lalu menoleh ke arahku dengan senyuman lebar. "Done. Pergi dan bersenang-senanglah, Sweetheart."
***
Niel memesankan aku sebuah panekuk tipis renyah dengan salad buah di atasnya, ditambah sebuah sandwich. Ia juga memesan es krim sundae di mangkuk ukuran besar. Dia bilang itu untuk kami berdua.
Aku memilih mencari tempat duduk di bagian dalam, memencil di pojok ruangan. Karena, meja-meja lain terlalu ramai dan akan mudah terganggu oleh orang yang sibuk keluar masuk.
"Temanmu belum datang juga?" tanya Niel sambil berdecak-decak. Dia datang membawa dan menaruh nampan berisi panekuk salad, sandwich, serta es krim ke meja, lalu duduk di hadapanku. "Cewek memang sering sulit membaca jam." Ia menggerutu sambil mulai menyendok es krim.
Aku memilih lebih dulu sibuk menyantap panekukku sambil diam-diam mengamati Niel. Dalam balutan jaket dan celana jin putih, ditambah mobil mewah putihnya, ia terlihat seperti seorang pangeran modern tanpa kuda. "Mungkin sebentar lagi."
Niel melirik jam bermerek mahal di tangannya. "Ini sudah pukul sembilan tiga puluh menit lewat sepuluh detik."
Oke. Poin yang tidak kusuka dari Niel bertambah satu lagi.
"Sebentar lagi." Aku beradu tatap dengan Niel cukup lama. Kuhela napas, menyadari tak akan menang melawan tatapan matanya. "Oke, baiklah. Aku akan meneleponnya sekarang."
Baru akan mencari nomor kontaknya, terlihat sebuah panggilan masuk di layar ponselku. Aku segera menekan tombol jawab.
"Halo, Amanda, kau di mana? Aku sudah di ...."
"Aduh, maaf, aku baru sempat meneleponmu, maafkan aku, Lizzy. Mendadak aku tak bisa pergi. Ibuku tiba-tiba harus ke luar kota. Aku disuruh menjaga rumah dan adik lelakiku yang masih kecil. Penjaga anak yang biasa ke rumah sedang sakit."
"Oh, baiklah. Aku mengerti. Lain kali saja kita rencanakan lagi."
"Sure! Thanks! Sampai jumpa besok!"
"Sampai jumpa." Aku menoleh ke Niel yang serius memandangiku. "Batal. Ibunya ke luar kota. Ia harus menjaga rumah dan adiknya yang kecil." Kuhela napas, merasa sedikit kecewa. "Kau ingin kita pulang saja?"
Niel terus mengamatiku. "Habiskan dulu makananmu."
Aku menurut. Kulanjutkan menyantap panekuk sampai habis, lalu mulai menggigit sandwich. Mataku melirik pada Niel yang masih memandangiku sambil memakan es krim.
"Ada yang aneh di wajahku?" tanyaku heran dengan mulut sibuk mengunyah.
"Kau jelek saat sedang makan."
Oke, Niel bukan seorang pangeran. Dia hanya ... tampan, tetapi menyebalkan. Itu saja.
"Aku tak perlu terlihat cantik untuk kau lihat," balasku dengan sikap masa bodoh, sengaja melahap sandwich lagi dalam gigitan lebih besar.
Namun, anehnya Niel justru tertawa kecil kemudian. Ia terus memandangiku dengan mata berbinar seakan aku sesuatu yang menakjubkan baginya. Namun, melihat ia tertawa justru membuatku lebih takjub.
"Done." Aku mengelap bibir dengan punggung jari seraya menatap es krim kemudian.
Seakan paham, Niel mendorong sisa es krim yang masih banyak ke arahku. Tanpa disuruh, aku segera megambil sendok kecil dari tangan Niel, menggunakannya untuk menyendok dan memasukkan sesendok penuh berisi butiran cokelat dengan pisang, ceri, dan krim kocok ke mulutku.
Aku mengerang, bahkan menjilati sisa yang tertinggal di sendok. "Mmmh, ini sangat enak."
Gerakanku terhenti saat melihat tatapan Niel yang begitu intens. "Hei, kau tahu, tak sopan memandangi orang yang sedang makan terus-menerus."
"Kau tahu aku menggunakan sendok itu tadi, bukan?"
Kuanggukkan kepala. "Ya, memangnya kenapa?"
"Kau ... bagaimana bisa ... menjilatinya seperti itu."
"Seperti apa?" Keningku mengernyit sambil lanjut menyendok es krim dan menyuapnya ke mulut lagi, lalu menyesap, dan kembali menjilat yang masih tersisa di sendok.
"Lizzy, hentikan!" sergah Niel sambil menghantamkan kepalan tangan ke meja.
Aku memandanginya bingung. "Kau kenapa sih? Aku tak boleh makan es krim ini? Kau bilang kita berbagi, bukan? Kau mau memakannya lagi? Nih!"
Kutancapkan lagi sendok ke mangkuk es krim, lalu menyodorkannya. "Kau seharusnya minta sendoknya dua. Jadi, kita tak perlu rebutan."
Niel hanya menatap sendok dan aku bergantian. Ia malah kini berlama-lama memandangiku lagi.
"Ada apa lagi? Kau kira tadi aku akan menghabiskannya sendirian? Dasar kau. Tidak sabaran sekali," gerutuku. "Lekaslah. Aku masih mau makan es krim itu." Kukeluarkan lidah, menggerakkannya ke sekitar bibir untuk membersihkan sisa es krim yang masih tertinggal.
Niel tiba-tiba menjulurkan jari telunjuk dan tengah dan menempelkannya di bibirku. "I said, stop it!"
Oke, kesabaranku habis. Dia pikir bisa memerintahku terus?
Kugigit salah satu jarinya. Niel mengaduh kecil, menarik kembali jemari sambil menatapku seakan tak percaya.
"Makan es krim dilarang. Menjilati sisa es krim juga dilarang! Ini lidahku, mulutku, bukan milikmu! Kau kenapa sih?!"
Itu cukup untuk membuat suara keramaian mendadak hening beberapa saat. Niel dan aku sama-sama kikuk memandang ke sekitar. Suasana pun segera kembali gaduh oleh obrolan dan aktivitas setiap orang.
"Kita pergi." Niel menarikku, melangkah cepat keluar, langsung bergegas menuju tempat parkir.
Tak mau menarik perhatian orang-orang yang ramai, kubiarkan saja kaki mengikutinya meski hampir setengah diseret, hingga sampai di mobil. Baru saja aku duduk dan menutup pintu dalam kebingungan dan kekesalan, Niel yang baru saja masuk, mendadak memajukan wajah, membuatku sontak membeku.
Mataku mengerjap cepat, menatapnya bingung. Ia terlihat berusaha keras menahan sesuatu.
Aku menyadari tatapan itu. Tatapannya mirip dengan saat Leo menatapku. Astaga. Apa mungkin ....
"Sh**."
Niel menyatukan bibit kami usai menggumamkan kata itu. Begitu cepat melumat, gerakan lidahnya pun sangat terampil, membuat aku kewalahan tak bisa bernapas. Ia seakan berniat membersihkan sisa es krim di seluruh mulut dan bibirku.
"Mmmph ...." Suara protesku tenggelam dalam lumatannya.
Tanganku terangkat untuk mendorong, tetapi ia menahannya dengan cekalan tangan yang kuat.
Kukira Niel terlihat lemah, tetapi kenapa memiliki tenaga begitu kuat? Anehnya, aku seakan tak mencoba untuk melawan lebih kuat.
Setelah beberapa saat menunjukkan keahlian permainan bibirnya, ia kemudian melepaskanku. Kami sama-sama terengah. Aku terpaku. Dia pun membisu.
Bukankah dia tak pernah pacaran dan anti cewek? Namun, kenapa keahlian bibirnya seperti seorang pemain yang profesional? Kemampuan Niel bahkan hampir setara dengan Leo. Aku mulai curiga apa saja yang ia pelajari saat berada di kamar.
Niel kembali ke kursinya, mengabaikan aku yang masih mematung seakan kehilangan akal. Ia kemudian bergerak lagi ke arahku. Spontan kututupi bibir dengan kedua tangan.
Kami saling pandang, mengerjap-ngerjapkan mata tanpa kata beberapa lama. Aku bahkan tak terpikir untuk bertanya alasan dia melakukan pertunjukan permainan bibirnya padaku.
"Pasang sabuk pengaman," gumam Niel sambil memasangkannya padaku.
Anehnya, ia kini terdengar lebih lembut dari sebelumnya meski masih terlihat kikuk. Aku biarkan dia memasangkan sabuk padaku.
"Mau ke mana sekarang?" tanyanya pelan.
"Ter ... serah ...." Suaraku terdengar sangat lirih dan bergetar sampai aku bertanya-tanya itu suara siapa.
Kuturunkan tangan perlahan dari bibir. Jantung masih berdentum dalam debar. Aku bahkan baru sadar tanganku sedikit gemetar.
"Wajahmu sangat pucat. Kita pulang saja."
Aku tak menjawab. Kubiarkan Niel menjalankan mobilnya menuju arah pulang tanpa protes.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro